Kaskus

Entertainment

tanmalako091539Avatar border
TS
tanmalako091539
Dari Panggung ke Pintu Belakang: Catatan Ringan tentang Candoleng-doleng
Dari Panggung ke Pintu Belakang: Catatan Ringan tentang Candoleng-doleng

Di banyak kota di Sulsel, panggung hajatan sudah seperti pasar malam. Ada lampu warna-warni yang berkedip, suara musik keras yang sering lebih bising dari mesin diesel tua, dan tentu saja, ada sesi yang selalu ditunggu-tunggu: candoleng-doleng. Ini bukan soal lagu, tapi soal atraksi.

Candoleng-doleng secara harfiah berarti sesuatu yang mengayun lemah gemulai, seperti buah mangga yang hampir jatuh karena ditiup angin. Tapi di atas panggung, maknanya berubah menjadi soal pemasukan: buah yang goyang, duit yang datang.

Bagi para biduan, ini adalah strategi ekonomi. Di zaman ketika tepuk tangan sudah tak lagi cukup untuk bayar listrik, saweran menjadi tujuan utama. Maka gerakan tubuh pun diolah sedemikian rupa, agar penonton yang tadinya hanya melihat, berubah jadi rela merogoh kantong. Ada yang melempar uang seperti sedang main bola bekel, ada yang menyelipkan dengan hati-hati seperti memberi makan kucing tetangga. Semua berlangsung atas nama hiburan, walau kadang lebih mirip tender: siapa berani nyawer lebih besar, boleh minta bonus goyangan lebih dahsyat.

Tapi di balik riuh panggung itu, ada transaksi yang tidak selalu berhenti di atas panggung. Kadang saweran hanyalah pembuka pintu. Setelah lampu mati dan panggung dibongkar, sebagian transaksi berlanjut di belakang layar. Bahasa halusnya, silaturahmi dilanjutkan secara privat. Dan ini bukan rahasia lagi di kalangan penonton setia maupun yang pura-pura baru tahu.

Fenomena ini sering dianggap hiburan semata. Tapi kalau dicermati lebih jauh, ada semacam penggerusan nilai di balik candoleng-doleng. Panggung rakyat yang dulunya jadi ajang silaturahmi dan tempat menyanyi sambil berjoget biasa, kini mulai berubah arah. Goyangan yang tadinya sekadar bumbu, kini jadi menu utama. Dan uang yang tadinya dikasih karena senang, kini jadi tiket untuk hal-hal yang lebih jauh.

Sebagian orang curiga, ini bukan semata soal ekonomi hiburan. Bisa jadi ini bagian dari proses perlahan yang tanpa disadari menggerus tatanan sosial dan budaya lokal. Semacam virus kecil yang masuk lewat celah hiburan, tapi perlahan-lahan membuat kampung lupa cara menjaga marwahnya sendiri. Dulu, ibu-ibu mengatur acara dengan pantun pembuka dan doa penutup. Sekarang, sebagian malah ikut antre di depan panggung, ikut menonton sambil senyum-senyum kecut.

Memang benar, hidup makin susah. Semua orang mencari jalan agar dapur tetap mengepul. Tapi kalau setiap panggung hiburan rakyat berubah jadi ladang transaksional yang makin liar, lama-lama tatanan kampung bisa ikut goyang, bukan cuma panggungnya.

Dan seperti biasa, yang ramai menghakimi adalah yang semalam ikut menonton. Yang merekam dengan HP, lalu paginya menulis status panjang soal moralitas. Di sinilah letak ironi paling lucu sekaligus paling menyedihkan: semua merasa penonton, padahal sesungguhnya semua adalah bagian dari pertunjukan.
creativeslen783Avatar border
romanpicisan777Avatar border
sedikitkurusAvatar border
sedikitkurus dan 3 lainnya memberi reputasi
4
1K
9
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan