- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
HOROR STORY - SANG PENUNGGU MALAM


TS
jurigciwidey
HOROR STORY - SANG PENUNGGU MALAM

SANG PENUNGGU MALAM
Quote:
Ternyata, kematian kakakku bukanlah sebuah kebetulan, aku yang menggantikan pekerjaannya akhirnya mengetahui sesuatu, bahwa rumah sakit yang dia jaga mempunyai suatu misteri gelap yang merenggut nyawanya.
Aku harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi? karena kematiannya terlalu janggal untukku, dan ketika aku mulai bekerja, aku dihadapkan oleh peraturan aneh yang kakakku tulis ketika dia bekerja disana, dan ketika dia akan menulis aturan selanjutnya, dia meninggal.
Aku harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi? karena kematiannya terlalu janggal untukku, dan ketika aku mulai bekerja, aku dihadapkan oleh peraturan aneh yang kakakku tulis ketika dia bekerja disana, dan ketika dia akan menulis aturan selanjutnya, dia meninggal.
Quote:
BAB 1 - SEBUAH TANGGUNG JAWAB
Perkenalkan, namaku Wisnu.
Aku sekarang berdiri di sebuah pemakaman yang sunyi, dengan sebuah makam baru yang masih dipenuhi oleh bunga dan nisan kayu yang baru saja ditancapkan ke tanah.
Aku hanya diam dan melihat makam baru itu sekarang, tanah merah basah bekas pemakaman itu masih menempel di ujung sepatuku pada saat itu.
Ingin rasanya aku pergi, namun terasa berat, sehingga aku hanya bisa berdiri dan menatap sebuah nama dari nisan kayu yang tertancap di ujung sana.
Ardiansyah, Kakak satu-satunya yang aku punya, kini namanya hanya terukir di sepotong kayu yang tertancap di sebuah gundukan tanah.
Beberapa orang yang mengantarkan kepergiannya berkata bahwa aku harus ikhlas, tapi bagaimana caranya? A Ardi adalah orang yang paling mengerti tentangku, bahkan dia berusaha untuk membantu mewujudkan cita-citaku dan meninggalkan cita-citanya pada saat itu.
Tapi, di umurnya yang masih muda, dia mendadak meninggal, dan hal itu terjadi ketika dia sedang bekerja.
Padahal, A Ardi adalah orang yang paling sehat yang paling aku kenal, dia sering puasa, jarang jajan, bahkan dia selalu menyuruhku yang tidak suka sayur ini untuk memakan sayuran.
Tapi, entah kenapa umurnya gampang sekali direnggut, apakah ini takdir? atau ada hal lain yang membuatnya menjadi seperti ini.
Para pelayat sudah berangsur pulang di pemakaman itu, dan kini hanya aku yang berdiri sendirian disana tanpa ada seseorang yang menemaniku sekarang.
"Wisnu..."
Tiba-tiba, dari arah belakang ada suara yang memanggilku, aku seketika menoleh, dan disana terlihat seorang pria datang dengan setelan jas yang rapi muncul dan berdiri di sampingku.
Wajahnya tampak familiar, karena aku pernah beberapa kali melihat fotonya dari hp A Ardi yang dia tunjukan kepadaku.
"Aku sangat berbela sungkawa atas apa yang terjadi dengan kakakmu," katanya dengan nada yang pelan.
Aku hanya mengangguk pelan sambil terdiam sebentar, setelah itu aku langsung berkata.
"Terima kasih pak," jawabku pelan sambil menunduk ke arah makam kakakku disana.
Dia adalah Pak Wijaya, pemilik jaringan Rumah Sakit Wangsa Medika yang merupakan tempat kakakku bekerja.
Pak Wijaya menatapku dengan tatapan yang sedih, lalu dia meletakan tangannya di bahuku dan berkata.
"Mungkin kamu sudah tahu, bahwa kakakmu Ardi adalah karyawan yang berdedikasi, dia adalah seorang pekerja keras, bahkan aku tahu bahwa kerja keras yang dia lakukan semata-mata untuk membantumu kuliah."
Aku kembali mengangguk, tidak ada jawaban dariku untuknya, aku hanya bisa diam dan mendengarkannya berbicara kepadaku pada saat itu.
"Aku tahu ini berat," lanjutnya.
"Tapi, tidak ada yang tahu bahwa Ardi akan meninggalkan kita secepat ini."
Kami terdiam beberapa saat, Pak Wijaya hanya menatap makam itu tanpa pernah berkata apapun lagi, aku hanya menatapnya sebentar, dan dia seperti sedang memikirkan sesuatu di depan makam kakakku sekarang.
"Wisnu," kata Pak Wijaya.
"Aku tahu masalahmu, apalagi ketika kamu harus membiayai kuliahmu sendiri ketika kakakmu tidak ada."
"Aku tidak bisa membantu banyak, tapi kalau kamu memang butuh untuk melanjutkan hidup setelah ditinggal oleh kakakmu, aku bisa menawarkan sebuah posisi yang ditinggalkan Ardi untuk kamu tempati."
Aku hanya bisa menatapnya secara perlahan, dan tak lama dia berkata kembali.
"Aku bisa membuat kamu bisa tetap untuk kuliah, di satu sisi kamu juga bisa mendapatkan uang untuk kamu hidup, aku akan membiayai kuliahmu, dan kamu juga akan bekerja untuk menggantikan Ardi agar kamu bisa pegangan untuk kehidupanmu.
"Aku membantumu semata-mata karena Ardi orang yang baik, dia adalah orang yang bisa dipercaya, dan aku harap kamu bisa mengikuti jejaknya."
Tawaran itu terdengar sangat logis, bekerja di rumah sakit tempat A Ardi bekerja, dan mereka akan membiayai kuliahku sehingga aku tidak perlu khawatir akan hidupku sendiri.
Tapi, aku sepertinya harus berpikir terlebih dahulu, aku harus menenangkan diriku atas semua hal yang terjadi kepada kakakku yang mendadak ini.
Aku hanya ingin diam, berfikir, dan membiasakan diri untuk bisa hidup sendirian, dan setelah itu, aku baru bisa memutuskan atas apa yang Pak Wijaya tawarkan.
"Terima kasih Pak. Tapi... sepertinya saya perlu waktu untuk berpikir terlebih dahulu," jawabku dengan nada yang pelan.
Pak Wijaya tersenyum pelan, dia tahu maksudku, sehingga dia tidak memaksa atas apa yang dia tawarkan pada saat itu.
"Tentu saja, aku tidak memaksa kamu untuk memberikan jawaban itu sekarang."
Pak Wijaya tiba-tiba merogoh sakunya dan membuka dompetnya yang tebal, setelah itu dia menyodorkan sebuah kartu nama kepadaku.
"Kalau kamu sudah tenang, kamu bisa langsung menghubungiku di nomor yang ada disana."
Aku menerima kartu nama itu, dan Pak Wijaya menepuk bahu ku kembali untuk pamit meninggalkan pemakaman itu.
Aku mengangguk pelan, dan tak lama kemudian, Pak Wijaya kembali berjalan ke gerbang pemakaman dan menaiki mobil hitam besar yang terparkir di luar sana, meninggalkan ku kembali sendirian di pemakaman ini dengan suasana hati yang sunyi dan kelam pada hari itu.
***
Setelah sore, aku akhirnya kembali, rumah kontrakan yang kami tempati kini terasa sepi setelah kakakku meninggalkanku sendirian di dunia ini.
Kontrakan sempit ini kini terasa luas, bahkan seperti ada yang hilang ketika aku sampai duduk di dalam sana.
Bau kapur barus masih tercium samar ketika aku masuk ke dalam kontrakan, juga dus-dus dari minuman kemasan masih berserakan dan belum aku bereskan. Selain itu, tikar milik Pak RT masih tergeletak begitu saja di sudut ruangan dan belum aku kembalikan pada sore itu.
Aku melihat bahwa barang-barang A Ardi masih ada di tempatnya, jaketnya yang menggantung, sepatunya yang lusuh, bahkan cangkir kopinya di dapur belum sempat aku bersihkan.
Barang-barang itu seperti sedang menunggu pemiliknya pulang, namun ternyata pemilik dari benda-benda itu tidak akan kembali selamanya.
Aku akhirnya duduk di lantai, menatap kondisi kontrakan yang sepi dan sunyi di sore itu. Terlihat di atas lemari pakaian yang berada di ruang tengah ada sebuah amplop dari Universitas tempatku kuliah.
Itu adalah tagihan semester yang sedang diusahakan oleh A Ardi untuk dibayar bulan ini.
Aku ingat bahwa dia selalu berkata bahwa aku harus belajar serius, dan aku tidak perlu memikirkan biaya kuliah karena dia akan menanggung semuanya.
A Ardi kerja siang dan malam, bahkan sampai beberapa hari tidak pulang ke rumah karena dia ingin membantuku agar aku kuliah dengan benar.
Tapi kini, semua itu sirna, entah apa yang akan aku lakukan kedepannya, dan ketika aku duduk kembali sambil melihat total tagihan tersebut, pikiranku melayang ke pagi ini.
Dimana pada saat itu, aku mendapatkan telepon dari tempat A Ardi bekerja, memberitahukan bahwa kakakku ditemukan tidak sadarkan diri di pos jaganya.
Mereka bilang bahwa A Ardi mendapatkan serangan jantung, dan hal itu adalah hal yang paling membuatku terkejut selama aku hidup di dunia ini.
Meskipun agak sedikit janggal, tapi mereka tidak mungkin berbohong, laporan dari dokter rumah sakit tersebut memastikan bahwa A Ardi benar-benar meninggal karena jantung.
Aku hanya bisa menunduk kembali, air mata muncul di kedua mataku secara perlahan, di depan para warga yang datang dan membantu pemakaman A Ardi, aku bisa tegar, namun ketika aku sendirian, aku tidak bisa setegar itu.
Aku hanya bisa menangis, meneteskan air mata di dalam kontrakan ini, dan ketika aku hanyut dalam kesedihan.
Pandanganku tiba-tiba tertuju kepada kartu nama dari Pak Wijaya yang tadi diberikan kepadaku.
Sebuah kartu nama berwarna hitam dan emas, dan aku ingat bahwa ada sebuah tawaran pekerjaan darinya ketika aku berada di pemakaman A Ardi pada siang itu.
Setelah melamun selama satu setengah jam, aku akhirnya memutuskan, bahwa hidup harus tetap berjalan, dan kuliah yang sudah setengah jalan ini harus aku selesaikan.
Aku tidak peduli tubuhku harus menanggung semuanya, kuliah di pagi hari dan kerja di malam hari adalah jalan yang terbaik, karena itu mungkin satu-satunya cara agar aku bisa melanjutkan hidup ini sendirian tanpa ada kakakku A Ardi yang menemaniku di kontrakan kecil ini.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, akhirnya mengambil HP di saku, dan aku menekan nomor di kartu itu.
"Hallo."
"Selamat sore, Pak Wijaya, ini aku, Wisnu." kataku dengan nada yang terbata-bata.
"Ah iya, Wisnu, ada apa?" tanya Pak Wijaya dengan nada yang sopan di dalam telepon tersebut.
"Aku sudah memikirkannya Pak, dan sepertinya, aku akan mengambil tawaran pekerjaan itu Pak," jawabku dengan nada yang pelan.
***
Keesokan harinya, aku akhirnya datang ke Rumah Sakit Wangsa Medika, setelah mencari tahu alamat yang ada di dalam kartu nama Pak Wijaya, aku akhirnya sampai ketika Pak Wijaya membuatkanku janji untuk bertemu dengan salah satu staff HRD yang ada disana.
Ketika aku sampai, aku tidak menyangka bahwa Rumah Sakit tempat kakakku bekerja adalah rumah sakit yang besar.
Gedungnya megah dan bersih, dan ketika aku sampai, aku langsung diarahkan ke bagian HRD oleh security yang ada di depan.
Mereka seperti tahu bahwa aku akan datang, sehingga aku tidak menemukan kesulitan apapun ketika aku sampai disana.
Ketika aku sampai, aku langsung disambut oleh seseorang yang mengenalkan dirinya dengan nama Rina, seorang staff HRD yang akan mengurus berkas-berkas ku kelak.
Bu Rina menjelaskan bahwa aku tidak perlu tes, dia hanya perlu meminta data untuk mengganti data A Ardi dengan dataku, bahkan dia berkata bahwa ada setengah gaji A Ardi yang belum dibayarkan, sehingga nanti akan ditransfer ketika waktu gajian tiba beserta gajiku ketika aku sudah bekerja.
Aku yang duduk di depan meja Bu Rina hanya bisa terdiam, aku benar-benar tidak menyangka bahwa kakakku kerja di tempat yang megah seperti ini.
A Ardi tidak pernah membicarakan hal itu kepadaku, dia tidak pernah bilang apa-apa, dia hanya berkata bahwa pekerjaan dia adalah sebagai penjaga rumah sakit, dan setelah itu, dia tidak memberitahu apapun, termasuk tentang tempat dia bekerja hingga dirinya meninggal.
"Pak Wisnu, ada amanat dari Pak Wijaya bahwa bapak akan bekerja di shift malam kan ya?" tanyanya dengan nada yang tenang.
Aku mengangguk pelan, dan tak lama kemudian aku langsung menjawab.
"Iya bu, karena siangnya aku kuliah, sehingga aku hanya bisa bekerja ketika malam saja."
Bu Rina tersenyum ketika mendengar jawabanku, dan tak lama kemudian dia menyodorkan aku beberapa formulir untuk aku isi. Setelah itu, aku menyerahkannya lagi setelah aku mengisinya dengan lengkap.
"Ok kalau begitu pak, jadi kapan Pak Wisnu siap untuk bekerja? mengingat kondisi Pak Ardi yang merupakan penjaga rumah sakit benar-benar dibutuhkan dengan cepat."
Aku terdiam sebentar, memikirkan jawaban yang tepat di depannya, aku tidak bisa larut dalam kesedihan, kehidupanku harus tetap berjalan, dan apabila aku terus berada di dalam kontrakan dalam waktu yang lama, kesedihan itu akan terus aku rasakan, sehingga aku harus segera mengalihkannya.
"Aku bisa bekerja dari mulai sore ini bu," jawabku dengan pelan.
Bu Rina tersenyum, dia tahu bahwa aku masih berkabung, namun aku langsung memutuskan untuk segera bekerja pada saat itu.
Tanpa bertanya lebih lanjut, Bu Rina hanya tersenyum pelan, dan tak lama kemudian, dia kembali berkata.
"Ok kalau misalkan Pak Wisnu sudah bisa langsung bekerja, berarti pulang dari sini Pak Wisnu harus bersiap-siap terlebih dahulu, dan jam lima sore bapak kembali lagi. Untuk masalah pekerjaan nanti, akan ada yang menjelaskannya ketika akan mulai bekerja."
Aku mengangguk pelan, setelah itu Bu Rina kembali menyodorkan satu lembar berisi gaji bulananku dan beberapa hal yang aku dapatkan ketika bekerja di tempat ini.
Disana, dia menyuruhku untuk menandatangani semuanya, dan setelah semuanya sudah aku tandatangani, dia akhirnya mengajakku untuk berjabat tangan.
"Selamat, kamu sekarang sudah menjadi bagian dari kami," katanya sambil tersenyum.
"Terima kasih bu." jawabku pelan.
Setelah menandatangani dokumen itu, akhirnya aku kembali pulang, Bu Rina memberikan beberapa nasehat agar aku membawa hal-hal yang dibutuhkan ketika aku bekerja di tempat ini, termasuk memakai salah satu baju kerja kakakku yang kini tersimpan rapi di lemari.
Aku mengikuti saran Bu Rina untuk mempersiapkan semuanya di dalam kontrakan, dan tepat jam lima sore, aku sudah kembali di rumah sakit untuk memulai pekerjaan ku pada saat itu.
Aku kembali diarahkan ke ruangan Bu Rina, dan ketika aku sampai di ruangan Bu Rina, dia malah mengajakku untuk keluar dan pergi ke parkiran belakang.
Terlihat disana ada sebuah mobil sedan berwarna hitam sudah menungguku di parkiran, terlihat pula seseorang yang berdiri disana sambil menyender di dekat mobil tersebut dan melirik ke arah kami berdua.
"Perkenalkan, itu Dayat, dia adalah orang yang akan mengantarkanmu ke tempatmu bekerja, karena aku tahu bahwa kamu kuliah, jadi Pak Wijaya menyuruh Dayat untuk mengantarkanmu bolak-balik ke rumah sakit ini," kata Bu Rina sambil mengenalkan Dayat yang ada di depanku.
Bu Rina juga mengenalkanku padanya, bahkan dia juga berkata bahwa aku adalah adiknya A Ardi, sehingga dia hanya tersenyum pelan kepadaku pada saat itu.
Aku terdiam sebentar dan bergumam.
"Hah? di antar? emang kakakku kerja dimana sih?"
Aku melirik ke arah Dayat dan dia mempersilahkan ku untuk masuk ke mobilnya.
Tanpa tahu aku akan dibawa kemana, akhirnya aku masuk dan mengikuti arahan dari Bu Rina. setelah itu dayat pun akhirnya pamit ke arah Bu Rina, dan tak lama kemudian, dia masuk ke dalam mobil tersebut dan menyalakannya untuk segera keluar dari rumah sakit ini.
"Pak, maaf, memangnya tempat kerjaku dimana ya?" tanyaku pelan.
Dayat hanya melirik ku dari kaca spion, dan tak lama kemudian dia menjawab.
"Emang kamu ga diberitahu oleh Bu Rina?" tanyanya kembali.
Aku hanya bisa menggelengkan kepalanya secara perlahan, kulihat mobil yang aku kendarai kini keluar dari kompek rumah sakit besar itu dan masuk ke jalanan besar yang ada di depan rumah sakit tersebut.
Dayat langsung menghela nafas panjang, sambil melirik ke arah spion, dia kembali berkata.
"Sepertinya kamu tidak tahu ya, bahwa pekerjaan kakakmu ini bukan menjaga rumah sakit ini, tapi ada rumah sakit lain yang letaknya agak jauh dari sini."
"Kamu tahu sendiri kan, kakakmu itu pulang seminggu sekali, karena ya tempat kerjanya memang jauh, ini aja aku harus antar jemput kamu karena perintah Pak Wijaya yang bilang kamu kuliah ketika siang."
Aku hanya bisa diam ketika Dayat berkata seperti itu kepadaku. Sebenarnya, dimana kakakku kerja apabila tidak di rumah sakit besar ini.
Aku kini hanya menatap ke arah jalan, melihat bahwa perjalananku kini mulai menjauhi perkotaan dan masuk ke pinggiran kota.
Suasana di kiri dan kanan jalan yang awalnya penuh dengan rumah-rumah warga, kini mulai berganti dengan pepohonan dan kebun-kebun warga yang ada di sisi kiri dan kanan.
Ini bukan jalan yang aku kenal, dan disana jantungku mulai berdebar sedikit kencang dengan perasaan yang tidak enak yang mulai merayap secara perlahan.
Setelah hampir tiga puluh menit, mobil tersebut akhirnya melambat, kulihat sebuah bangunan terbengkalai yang tertutup seng di sekelilingnya.
Terlihat pula sebuah gerbang besi yang tinggi dan tertutup rapat sehingga tidak terlihat dari luar.
Mobil itu berhenti di depannya, lalu tak lama dia menekan klakson selama beberapa kali, dan setelah itu, pintu gerbang besar itu tiba-tiba terbuka dengan sendirinya.
"Ini dimana Pak?" tanyaku kembali.
Aku tidak tahu akan dibawa kemana aku ini, namun Dayat berkata bahwa nanti ada yang menjelaskan di dalam sana.
Dia hanya berkata bahwa dia sudah sampai dan berhenti tepat di depan bangunan tua yang sudah tidak terpakai.
Tulisannya sama dengan tulisan Rumah Sakit yang tadi aku datangi, namun bangunan ini benar-benar kosong dan tidak berpenghuni.
Ketika kami turun, tiba-tiba dari arah gerbang ada seseorang yang tersenyum kepada kami berdua.
"Ini yang gantiin Ardi?" tanyanya dengan pelan.
Aku langsung berbalik, dan disana terlihat seorang pria kurus berumur lima puluhan menyapaku dan Dayat pada saat itu.
Dia mengenakan seragam seperti yang A Ardi kenakan, namun seragamnya nampak lebih kusam dan tak pernah dicuci.
Dia melihatku dari atas hingga kebawah, dan tak lama kemudian dia langsung menjulurkan tangannya.
"Namaku Tisna, dan kamu bisa memanggilku Pak Tisna," katanya dengan nada yang pelan.
"Aku adalah teman kerja kakakmu yang dulu kerja di tempat ini sebelum, bahkan ketika rumah sakit ini masih berdiri dan sekarang sudah pindah ke tempat yang baru."
Aku hanya mengerutkan keningku, A Ardi tidak pernah bercerita tentang hal ini, yang dia ceritakan hanyalah menjaga rumah sakit, namun ketika aku tahu bahwa rumah sakit itu pindah ke tempat yang baru, dan A Ardi tidak pernah membicarakannya apabila dia menjaga rumah sakit yang terbengkalai seperti ini.
Dayat yang pada saat itu ada di dekat mobil tiba-tiba berkata bahwa dia akan menjemputku lagi ketika pagi, dia kembali pamit karena dia harus mengantarkan Pak Wijaya untuk pulang, setelah itu dia kembali masuk ke dalam mobil dan menyalankannya untuk kembali ke rumah sakit baru yang letaknya agak jauh dari bangunan terbengkalai ini.
Aku pun mengangguk, dan setelah itu mobilnya keluar dari tempat itu dan Pak Tisna kembali mengunci gerbang itu dengan rapat.
"Ingat, pintu gerbang ini harus selalu terkunci, ini adalah pelajaran pertama ketika kamu kerja disini, karena kita tidak mau sampai yang ada di luar masuk dan yang di dalam bisa keluar, nanti repot."
Aku tidak tahu maksudnya apa, tapi aku hanya mengangguk dan berjalan mengikutinya ke pos jaga yang ada di depan rumah sakit yang terbengkalai itu.
"Sebenarnya, kerjamu lebih santai daripada para penjaga rumah sakit yang baru itu, disini tidak ada yang banyak kamu kerjakan," kata Pak Tisna sambil memberikanku satu gelas air putih yang ada di pos.
"Kamu cuman harus patroli sekali dalam satu malam, melakukan apa yang seharusnya kamu kerjakan selama disini, dan menyelesaikan tugas kakakmu yang tertunda."
Perkenalkan, namaku Wisnu.
Aku sekarang berdiri di sebuah pemakaman yang sunyi, dengan sebuah makam baru yang masih dipenuhi oleh bunga dan nisan kayu yang baru saja ditancapkan ke tanah.
Aku hanya diam dan melihat makam baru itu sekarang, tanah merah basah bekas pemakaman itu masih menempel di ujung sepatuku pada saat itu.
Ingin rasanya aku pergi, namun terasa berat, sehingga aku hanya bisa berdiri dan menatap sebuah nama dari nisan kayu yang tertancap di ujung sana.
Ardiansyah, Kakak satu-satunya yang aku punya, kini namanya hanya terukir di sepotong kayu yang tertancap di sebuah gundukan tanah.
Beberapa orang yang mengantarkan kepergiannya berkata bahwa aku harus ikhlas, tapi bagaimana caranya? A Ardi adalah orang yang paling mengerti tentangku, bahkan dia berusaha untuk membantu mewujudkan cita-citaku dan meninggalkan cita-citanya pada saat itu.
Tapi, di umurnya yang masih muda, dia mendadak meninggal, dan hal itu terjadi ketika dia sedang bekerja.
Padahal, A Ardi adalah orang yang paling sehat yang paling aku kenal, dia sering puasa, jarang jajan, bahkan dia selalu menyuruhku yang tidak suka sayur ini untuk memakan sayuran.
Tapi, entah kenapa umurnya gampang sekali direnggut, apakah ini takdir? atau ada hal lain yang membuatnya menjadi seperti ini.
Para pelayat sudah berangsur pulang di pemakaman itu, dan kini hanya aku yang berdiri sendirian disana tanpa ada seseorang yang menemaniku sekarang.
"Wisnu..."
Tiba-tiba, dari arah belakang ada suara yang memanggilku, aku seketika menoleh, dan disana terlihat seorang pria datang dengan setelan jas yang rapi muncul dan berdiri di sampingku.
Wajahnya tampak familiar, karena aku pernah beberapa kali melihat fotonya dari hp A Ardi yang dia tunjukan kepadaku.
"Aku sangat berbela sungkawa atas apa yang terjadi dengan kakakmu," katanya dengan nada yang pelan.
Aku hanya mengangguk pelan sambil terdiam sebentar, setelah itu aku langsung berkata.
"Terima kasih pak," jawabku pelan sambil menunduk ke arah makam kakakku disana.
Dia adalah Pak Wijaya, pemilik jaringan Rumah Sakit Wangsa Medika yang merupakan tempat kakakku bekerja.
Pak Wijaya menatapku dengan tatapan yang sedih, lalu dia meletakan tangannya di bahuku dan berkata.
"Mungkin kamu sudah tahu, bahwa kakakmu Ardi adalah karyawan yang berdedikasi, dia adalah seorang pekerja keras, bahkan aku tahu bahwa kerja keras yang dia lakukan semata-mata untuk membantumu kuliah."
Aku kembali mengangguk, tidak ada jawaban dariku untuknya, aku hanya bisa diam dan mendengarkannya berbicara kepadaku pada saat itu.
"Aku tahu ini berat," lanjutnya.
"Tapi, tidak ada yang tahu bahwa Ardi akan meninggalkan kita secepat ini."
Kami terdiam beberapa saat, Pak Wijaya hanya menatap makam itu tanpa pernah berkata apapun lagi, aku hanya menatapnya sebentar, dan dia seperti sedang memikirkan sesuatu di depan makam kakakku sekarang.
"Wisnu," kata Pak Wijaya.
"Aku tahu masalahmu, apalagi ketika kamu harus membiayai kuliahmu sendiri ketika kakakmu tidak ada."
"Aku tidak bisa membantu banyak, tapi kalau kamu memang butuh untuk melanjutkan hidup setelah ditinggal oleh kakakmu, aku bisa menawarkan sebuah posisi yang ditinggalkan Ardi untuk kamu tempati."
Aku hanya bisa menatapnya secara perlahan, dan tak lama dia berkata kembali.
"Aku bisa membuat kamu bisa tetap untuk kuliah, di satu sisi kamu juga bisa mendapatkan uang untuk kamu hidup, aku akan membiayai kuliahmu, dan kamu juga akan bekerja untuk menggantikan Ardi agar kamu bisa pegangan untuk kehidupanmu.
"Aku membantumu semata-mata karena Ardi orang yang baik, dia adalah orang yang bisa dipercaya, dan aku harap kamu bisa mengikuti jejaknya."
Tawaran itu terdengar sangat logis, bekerja di rumah sakit tempat A Ardi bekerja, dan mereka akan membiayai kuliahku sehingga aku tidak perlu khawatir akan hidupku sendiri.
Tapi, aku sepertinya harus berpikir terlebih dahulu, aku harus menenangkan diriku atas semua hal yang terjadi kepada kakakku yang mendadak ini.
Aku hanya ingin diam, berfikir, dan membiasakan diri untuk bisa hidup sendirian, dan setelah itu, aku baru bisa memutuskan atas apa yang Pak Wijaya tawarkan.
"Terima kasih Pak. Tapi... sepertinya saya perlu waktu untuk berpikir terlebih dahulu," jawabku dengan nada yang pelan.
Pak Wijaya tersenyum pelan, dia tahu maksudku, sehingga dia tidak memaksa atas apa yang dia tawarkan pada saat itu.
"Tentu saja, aku tidak memaksa kamu untuk memberikan jawaban itu sekarang."
Pak Wijaya tiba-tiba merogoh sakunya dan membuka dompetnya yang tebal, setelah itu dia menyodorkan sebuah kartu nama kepadaku.
"Kalau kamu sudah tenang, kamu bisa langsung menghubungiku di nomor yang ada disana."
Aku menerima kartu nama itu, dan Pak Wijaya menepuk bahu ku kembali untuk pamit meninggalkan pemakaman itu.
Aku mengangguk pelan, dan tak lama kemudian, Pak Wijaya kembali berjalan ke gerbang pemakaman dan menaiki mobil hitam besar yang terparkir di luar sana, meninggalkan ku kembali sendirian di pemakaman ini dengan suasana hati yang sunyi dan kelam pada hari itu.
***
Setelah sore, aku akhirnya kembali, rumah kontrakan yang kami tempati kini terasa sepi setelah kakakku meninggalkanku sendirian di dunia ini.
Kontrakan sempit ini kini terasa luas, bahkan seperti ada yang hilang ketika aku sampai duduk di dalam sana.
Bau kapur barus masih tercium samar ketika aku masuk ke dalam kontrakan, juga dus-dus dari minuman kemasan masih berserakan dan belum aku bereskan. Selain itu, tikar milik Pak RT masih tergeletak begitu saja di sudut ruangan dan belum aku kembalikan pada sore itu.
Aku melihat bahwa barang-barang A Ardi masih ada di tempatnya, jaketnya yang menggantung, sepatunya yang lusuh, bahkan cangkir kopinya di dapur belum sempat aku bersihkan.
Barang-barang itu seperti sedang menunggu pemiliknya pulang, namun ternyata pemilik dari benda-benda itu tidak akan kembali selamanya.
Aku akhirnya duduk di lantai, menatap kondisi kontrakan yang sepi dan sunyi di sore itu. Terlihat di atas lemari pakaian yang berada di ruang tengah ada sebuah amplop dari Universitas tempatku kuliah.
Itu adalah tagihan semester yang sedang diusahakan oleh A Ardi untuk dibayar bulan ini.
Aku ingat bahwa dia selalu berkata bahwa aku harus belajar serius, dan aku tidak perlu memikirkan biaya kuliah karena dia akan menanggung semuanya.
A Ardi kerja siang dan malam, bahkan sampai beberapa hari tidak pulang ke rumah karena dia ingin membantuku agar aku kuliah dengan benar.
Tapi kini, semua itu sirna, entah apa yang akan aku lakukan kedepannya, dan ketika aku duduk kembali sambil melihat total tagihan tersebut, pikiranku melayang ke pagi ini.
Dimana pada saat itu, aku mendapatkan telepon dari tempat A Ardi bekerja, memberitahukan bahwa kakakku ditemukan tidak sadarkan diri di pos jaganya.
Mereka bilang bahwa A Ardi mendapatkan serangan jantung, dan hal itu adalah hal yang paling membuatku terkejut selama aku hidup di dunia ini.
Meskipun agak sedikit janggal, tapi mereka tidak mungkin berbohong, laporan dari dokter rumah sakit tersebut memastikan bahwa A Ardi benar-benar meninggal karena jantung.
Aku hanya bisa menunduk kembali, air mata muncul di kedua mataku secara perlahan, di depan para warga yang datang dan membantu pemakaman A Ardi, aku bisa tegar, namun ketika aku sendirian, aku tidak bisa setegar itu.
Aku hanya bisa menangis, meneteskan air mata di dalam kontrakan ini, dan ketika aku hanyut dalam kesedihan.
Pandanganku tiba-tiba tertuju kepada kartu nama dari Pak Wijaya yang tadi diberikan kepadaku.
Sebuah kartu nama berwarna hitam dan emas, dan aku ingat bahwa ada sebuah tawaran pekerjaan darinya ketika aku berada di pemakaman A Ardi pada siang itu.
Setelah melamun selama satu setengah jam, aku akhirnya memutuskan, bahwa hidup harus tetap berjalan, dan kuliah yang sudah setengah jalan ini harus aku selesaikan.
Aku tidak peduli tubuhku harus menanggung semuanya, kuliah di pagi hari dan kerja di malam hari adalah jalan yang terbaik, karena itu mungkin satu-satunya cara agar aku bisa melanjutkan hidup ini sendirian tanpa ada kakakku A Ardi yang menemaniku di kontrakan kecil ini.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, akhirnya mengambil HP di saku, dan aku menekan nomor di kartu itu.
"Hallo."
"Selamat sore, Pak Wijaya, ini aku, Wisnu." kataku dengan nada yang terbata-bata.
"Ah iya, Wisnu, ada apa?" tanya Pak Wijaya dengan nada yang sopan di dalam telepon tersebut.
"Aku sudah memikirkannya Pak, dan sepertinya, aku akan mengambil tawaran pekerjaan itu Pak," jawabku dengan nada yang pelan.
***
Keesokan harinya, aku akhirnya datang ke Rumah Sakit Wangsa Medika, setelah mencari tahu alamat yang ada di dalam kartu nama Pak Wijaya, aku akhirnya sampai ketika Pak Wijaya membuatkanku janji untuk bertemu dengan salah satu staff HRD yang ada disana.
Ketika aku sampai, aku tidak menyangka bahwa Rumah Sakit tempat kakakku bekerja adalah rumah sakit yang besar.
Gedungnya megah dan bersih, dan ketika aku sampai, aku langsung diarahkan ke bagian HRD oleh security yang ada di depan.
Mereka seperti tahu bahwa aku akan datang, sehingga aku tidak menemukan kesulitan apapun ketika aku sampai disana.
Ketika aku sampai, aku langsung disambut oleh seseorang yang mengenalkan dirinya dengan nama Rina, seorang staff HRD yang akan mengurus berkas-berkas ku kelak.
Bu Rina menjelaskan bahwa aku tidak perlu tes, dia hanya perlu meminta data untuk mengganti data A Ardi dengan dataku, bahkan dia berkata bahwa ada setengah gaji A Ardi yang belum dibayarkan, sehingga nanti akan ditransfer ketika waktu gajian tiba beserta gajiku ketika aku sudah bekerja.
Aku yang duduk di depan meja Bu Rina hanya bisa terdiam, aku benar-benar tidak menyangka bahwa kakakku kerja di tempat yang megah seperti ini.
A Ardi tidak pernah membicarakan hal itu kepadaku, dia tidak pernah bilang apa-apa, dia hanya berkata bahwa pekerjaan dia adalah sebagai penjaga rumah sakit, dan setelah itu, dia tidak memberitahu apapun, termasuk tentang tempat dia bekerja hingga dirinya meninggal.
"Pak Wisnu, ada amanat dari Pak Wijaya bahwa bapak akan bekerja di shift malam kan ya?" tanyanya dengan nada yang tenang.
Aku mengangguk pelan, dan tak lama kemudian aku langsung menjawab.
"Iya bu, karena siangnya aku kuliah, sehingga aku hanya bisa bekerja ketika malam saja."
Bu Rina tersenyum ketika mendengar jawabanku, dan tak lama kemudian dia menyodorkan aku beberapa formulir untuk aku isi. Setelah itu, aku menyerahkannya lagi setelah aku mengisinya dengan lengkap.
"Ok kalau begitu pak, jadi kapan Pak Wisnu siap untuk bekerja? mengingat kondisi Pak Ardi yang merupakan penjaga rumah sakit benar-benar dibutuhkan dengan cepat."
Aku terdiam sebentar, memikirkan jawaban yang tepat di depannya, aku tidak bisa larut dalam kesedihan, kehidupanku harus tetap berjalan, dan apabila aku terus berada di dalam kontrakan dalam waktu yang lama, kesedihan itu akan terus aku rasakan, sehingga aku harus segera mengalihkannya.
"Aku bisa bekerja dari mulai sore ini bu," jawabku dengan pelan.
Bu Rina tersenyum, dia tahu bahwa aku masih berkabung, namun aku langsung memutuskan untuk segera bekerja pada saat itu.
Tanpa bertanya lebih lanjut, Bu Rina hanya tersenyum pelan, dan tak lama kemudian, dia kembali berkata.
"Ok kalau misalkan Pak Wisnu sudah bisa langsung bekerja, berarti pulang dari sini Pak Wisnu harus bersiap-siap terlebih dahulu, dan jam lima sore bapak kembali lagi. Untuk masalah pekerjaan nanti, akan ada yang menjelaskannya ketika akan mulai bekerja."
Aku mengangguk pelan, setelah itu Bu Rina kembali menyodorkan satu lembar berisi gaji bulananku dan beberapa hal yang aku dapatkan ketika bekerja di tempat ini.
Disana, dia menyuruhku untuk menandatangani semuanya, dan setelah semuanya sudah aku tandatangani, dia akhirnya mengajakku untuk berjabat tangan.
"Selamat, kamu sekarang sudah menjadi bagian dari kami," katanya sambil tersenyum.
"Terima kasih bu." jawabku pelan.
Setelah menandatangani dokumen itu, akhirnya aku kembali pulang, Bu Rina memberikan beberapa nasehat agar aku membawa hal-hal yang dibutuhkan ketika aku bekerja di tempat ini, termasuk memakai salah satu baju kerja kakakku yang kini tersimpan rapi di lemari.
Aku mengikuti saran Bu Rina untuk mempersiapkan semuanya di dalam kontrakan, dan tepat jam lima sore, aku sudah kembali di rumah sakit untuk memulai pekerjaan ku pada saat itu.
Aku kembali diarahkan ke ruangan Bu Rina, dan ketika aku sampai di ruangan Bu Rina, dia malah mengajakku untuk keluar dan pergi ke parkiran belakang.
Terlihat disana ada sebuah mobil sedan berwarna hitam sudah menungguku di parkiran, terlihat pula seseorang yang berdiri disana sambil menyender di dekat mobil tersebut dan melirik ke arah kami berdua.
"Perkenalkan, itu Dayat, dia adalah orang yang akan mengantarkanmu ke tempatmu bekerja, karena aku tahu bahwa kamu kuliah, jadi Pak Wijaya menyuruh Dayat untuk mengantarkanmu bolak-balik ke rumah sakit ini," kata Bu Rina sambil mengenalkan Dayat yang ada di depanku.
Bu Rina juga mengenalkanku padanya, bahkan dia juga berkata bahwa aku adalah adiknya A Ardi, sehingga dia hanya tersenyum pelan kepadaku pada saat itu.
Aku terdiam sebentar dan bergumam.
"Hah? di antar? emang kakakku kerja dimana sih?"
Aku melirik ke arah Dayat dan dia mempersilahkan ku untuk masuk ke mobilnya.
Tanpa tahu aku akan dibawa kemana, akhirnya aku masuk dan mengikuti arahan dari Bu Rina. setelah itu dayat pun akhirnya pamit ke arah Bu Rina, dan tak lama kemudian, dia masuk ke dalam mobil tersebut dan menyalakannya untuk segera keluar dari rumah sakit ini.
"Pak, maaf, memangnya tempat kerjaku dimana ya?" tanyaku pelan.
Dayat hanya melirik ku dari kaca spion, dan tak lama kemudian dia menjawab.
"Emang kamu ga diberitahu oleh Bu Rina?" tanyanya kembali.
Aku hanya bisa menggelengkan kepalanya secara perlahan, kulihat mobil yang aku kendarai kini keluar dari kompek rumah sakit besar itu dan masuk ke jalanan besar yang ada di depan rumah sakit tersebut.
Dayat langsung menghela nafas panjang, sambil melirik ke arah spion, dia kembali berkata.
"Sepertinya kamu tidak tahu ya, bahwa pekerjaan kakakmu ini bukan menjaga rumah sakit ini, tapi ada rumah sakit lain yang letaknya agak jauh dari sini."
"Kamu tahu sendiri kan, kakakmu itu pulang seminggu sekali, karena ya tempat kerjanya memang jauh, ini aja aku harus antar jemput kamu karena perintah Pak Wijaya yang bilang kamu kuliah ketika siang."
Aku hanya bisa diam ketika Dayat berkata seperti itu kepadaku. Sebenarnya, dimana kakakku kerja apabila tidak di rumah sakit besar ini.
Aku kini hanya menatap ke arah jalan, melihat bahwa perjalananku kini mulai menjauhi perkotaan dan masuk ke pinggiran kota.
Suasana di kiri dan kanan jalan yang awalnya penuh dengan rumah-rumah warga, kini mulai berganti dengan pepohonan dan kebun-kebun warga yang ada di sisi kiri dan kanan.
Ini bukan jalan yang aku kenal, dan disana jantungku mulai berdebar sedikit kencang dengan perasaan yang tidak enak yang mulai merayap secara perlahan.
Setelah hampir tiga puluh menit, mobil tersebut akhirnya melambat, kulihat sebuah bangunan terbengkalai yang tertutup seng di sekelilingnya.
Terlihat pula sebuah gerbang besi yang tinggi dan tertutup rapat sehingga tidak terlihat dari luar.
Mobil itu berhenti di depannya, lalu tak lama dia menekan klakson selama beberapa kali, dan setelah itu, pintu gerbang besar itu tiba-tiba terbuka dengan sendirinya.
"Ini dimana Pak?" tanyaku kembali.
Aku tidak tahu akan dibawa kemana aku ini, namun Dayat berkata bahwa nanti ada yang menjelaskan di dalam sana.
Dia hanya berkata bahwa dia sudah sampai dan berhenti tepat di depan bangunan tua yang sudah tidak terpakai.
Tulisannya sama dengan tulisan Rumah Sakit yang tadi aku datangi, namun bangunan ini benar-benar kosong dan tidak berpenghuni.
Ketika kami turun, tiba-tiba dari arah gerbang ada seseorang yang tersenyum kepada kami berdua.
"Ini yang gantiin Ardi?" tanyanya dengan pelan.
Aku langsung berbalik, dan disana terlihat seorang pria kurus berumur lima puluhan menyapaku dan Dayat pada saat itu.
Dia mengenakan seragam seperti yang A Ardi kenakan, namun seragamnya nampak lebih kusam dan tak pernah dicuci.
Dia melihatku dari atas hingga kebawah, dan tak lama kemudian dia langsung menjulurkan tangannya.
"Namaku Tisna, dan kamu bisa memanggilku Pak Tisna," katanya dengan nada yang pelan.
"Aku adalah teman kerja kakakmu yang dulu kerja di tempat ini sebelum, bahkan ketika rumah sakit ini masih berdiri dan sekarang sudah pindah ke tempat yang baru."
Aku hanya mengerutkan keningku, A Ardi tidak pernah bercerita tentang hal ini, yang dia ceritakan hanyalah menjaga rumah sakit, namun ketika aku tahu bahwa rumah sakit itu pindah ke tempat yang baru, dan A Ardi tidak pernah membicarakannya apabila dia menjaga rumah sakit yang terbengkalai seperti ini.
Dayat yang pada saat itu ada di dekat mobil tiba-tiba berkata bahwa dia akan menjemputku lagi ketika pagi, dia kembali pamit karena dia harus mengantarkan Pak Wijaya untuk pulang, setelah itu dia kembali masuk ke dalam mobil dan menyalankannya untuk kembali ke rumah sakit baru yang letaknya agak jauh dari bangunan terbengkalai ini.
Aku pun mengangguk, dan setelah itu mobilnya keluar dari tempat itu dan Pak Tisna kembali mengunci gerbang itu dengan rapat.
"Ingat, pintu gerbang ini harus selalu terkunci, ini adalah pelajaran pertama ketika kamu kerja disini, karena kita tidak mau sampai yang ada di luar masuk dan yang di dalam bisa keluar, nanti repot."
Aku tidak tahu maksudnya apa, tapi aku hanya mengangguk dan berjalan mengikutinya ke pos jaga yang ada di depan rumah sakit yang terbengkalai itu.
"Sebenarnya, kerjamu lebih santai daripada para penjaga rumah sakit yang baru itu, disini tidak ada yang banyak kamu kerjakan," kata Pak Tisna sambil memberikanku satu gelas air putih yang ada di pos.
"Kamu cuman harus patroli sekali dalam satu malam, melakukan apa yang seharusnya kamu kerjakan selama disini, dan menyelesaikan tugas kakakmu yang tertunda."






tiokyapcing dan 12 lainnya memberi reputasi
13
3.2K
Kutip
57
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan