Kaskus

Entertainment

tanmalako091539Avatar border
TS
tanmalako091539
Drama Lintas Loyang: Pernikahan Imajiner Pukis dan Putu Ambon
Drama Lintas Loyang: Pernikahan Imajiner Pukis dan Putu Ambon

Di dunia kuliner tradisional yang semakin kehilangan arah, kabar paling absurd minggu ini adalah pernikahan antara putu ambon dan pukis. Sebuah peristiwa yang mengguncang ekosistem jajanan pasar, mengundang polemik di kalangan ibu-ibu, dan membuat para filsuf kuliner mengernyitkan dahi sambil berkata, "Ah, inilah zaman post-snack modernitas."

Sebagai pengantin pria, putu ambon tampil gagah dalam balutan motif bolong-bolong khasnya, yang oleh para ahli fermentasi disebut sebagai aerated texture symbolism. Ia berdiri tegap dengan pori-pori empuknya yang menggoda, penuh percaya diri karena merasa mewakili tradisi kudapan tropis yang sudah melintasi generasi. Sementara itu, pukis sebagai pengantin wanita tampil manis dalam balutan vanila sintetis, dengan senyum setengah matang yang khas. Pukis memang memiliki pesona tersendiri: bagian tengahnya lembut, tapi pinggirannya gosong elegan, seakan ingin mengatakan kepada dunia bahwa hidup memang selalu diwarnai ambiguitas rasa.

Pertemuan mereka bermula di sebuah etalase plastik yang berdebu di pinggir pasar tradisional, ketika penjual jajanan meletakkan keduanya bersebelahan tanpa memikirkan konsekuensi sosialnya. Dari situlah benih-benih asmara kudapan muncul, membentuk semacam getaran metafisik yang oleh antropolog kuliner disebut sebagai culinary intersubjectivity. Putu ambon melirik pukis dengan tatapan penuh gula cair, sementara pukis membalas dengan lirikan setengah meleleh di bawah panas lampu warung. Mereka tahu bahwa hubungan ini tabu, tapi seperti kata orang bijak di dunia jajanan: yang dilarang itu justru lebih menggoda.

Tentu saja, pernikahan ini menimbulkan polemik serius di kalangan masyarakat kudapan. Kelompok puritan jajanan pasar langsung mengeluarkan fatwa gastronomi: ini adalah bentuk dekadensi rasa. Putu ambon dan pukis berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Putu ambon adalah representasi fermentasi dengan DNA Maluku yang sudah diadopsi secara lintas pulau, sementara pukis adalah produk dari kolonialisme tepung yang diwariskan lewat cetakan loyang berkarat sejak zaman Hindia Belanda. Perkimpoian ini dinilai sebagai tindakan kuliner hibridasi yang berpotensi merusak tatanan kudapan tradisional.

Drama Lintas Loyang: Pernikahan Imajiner Pukis dan Putu Ambon

Namun di sisi lain, ada juga kelompok progresif yang mendukung pernikahan ini dengan semangat cross-cultural gastronomy. Mereka menilai ini sebagai simbol rekonsiliasi adonan, kolaborasi antara fermentasi dan loyang, antara pori-pori dan permukaan gosong. Dalam narasi mereka, perkimpoian putu ambon dan pukis adalah bentuk perlawanan terhadap rezim kuliner puritan yang selama ini membatasi jajanan pasar dalam kotak-kotak plastik yang konservatif. Di dalam dunia yang semakin cair, kata mereka, batas antara kue basah dan kue setengah basah seharusnya dihapuskan.

Kedua mempelai, dengan kesadaran penuh akan kontroversi ini, memutuskan untuk membuat kontrak pranikah. Mereka sepakat untuk menjaga tekstur masing-masing agar tidak terjadi loss of identity. Putu ambon berhak mempertahankan lubang-lubangnya yang sering dianggap sebagai cacat produksi padahal itu adalah iconic texture,sementara pukis tetap dengan bagian pinggir yang gosong tipis sebagai simbol culinary resilience. Mereka tahu jika nekat melebur adonan secara literal, hasilnya bisa berujung pada kudapan Frankenstein yang oleh akademisi disebut sebagai gastronomical grotesque.

Masalah kemudian muncul ketika publik mulai berspekulasi soal anak-anak hasil perkimpoian ini. Apakah akan lahir generasi baru jajanan bernama Pukon atau Putukis? Apakah mereka akan menjadi penganan berpori tapi berwarna kuning telur dengan setengah bagian terbakar? Pertanyaan ini memicu perdebatan di forum-forum food futurology. Seorang profesor dari Lembaga Riset Kudapan Transnasional bahkan mengkhawatirkan lahirnya generasi kudapan liminal: tidak jelas masuk kategori kue basah, kue kering, atau sekadar kenangan gagal. Anak-anak ini berpotensi mengalami krisis identitas adonan, bingung saat hajatan apakah mereka harus diletakkan di piring sebelah risol atau di dekat lapis legit.

Beberapa pihak lain justru mengusulkan agar anak-anak dari pernikahan ini diberi ruang di festival kudapan global. Mereka menyebutnya sebagai post-colonial dessert diplomacy, sebuah diplomasi pangan yang melampaui batas tradisi dengan cara menyatukan yang tak lazim. Tapi tentu saja, tak semua masyarakat siap menerima inovasi absurd seperti ini. Di sebuah warung kopi di sudut pasar, seorang bapak tua menggerutu, "Dulu itu jajanan ya jajanan, ambon ya ambon, pukis ya pukis. Sekarang semua dicampur-campur. Lha, ini negara atau adonan?"

Pada akhirnya, pernikahan putu ambon dan pukis hanyalah refleksi dari zaman yang semakin tak jelas batasannya. Di era hyperreality, di mana kenyataan dan imajinasi bercampur seperti adonan tanpa takaran. Mungkin pernikahan ini memang tidak pernah benar-benar terjadi, tapi bukankah banyak hal dalam hidup kita yang nyata tapi tak terasa nyata?

Dan jika dipikir-pikir, semua kudapan pada akhirnya akan berakhir di tempat yang sama: di dalam perut manusia, diolah oleh enzim pencernaan, lenyap menjadi sisa metabolisme yang nihilistik. Di titik itu, semua perdebatan tentang keaslian adonan kehilangan maknanya. Seperti kata filsuf penganan: di dalam lambung, semua kudapan bersatu dalam kesetaraan ontologis. Tidak ada lagi putu ambon atau pukis, yang ada hanyalah ampas.
Diubah oleh tanmalako091539 23-08-2025 16:02
0
43
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan