- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Gustika Hatta: Indonesia Kini Dipimpin Presiden Penculik & Anak Haram Konstitusi


TS
kecimprink
Gustika Hatta: Indonesia Kini Dipimpin Presiden Penculik & Anak Haram Konstitusi

Perayaan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia meninggalkan jejak berbeda bagi Gustika Jusuf Hatta, cucu Wakil Presiden pertama RI Mohammad Hatta.
Alih-alih tampil dengan busana meriah, ia justru memilih kebaya hitam yang dipadukan dengan batik slobog—kain Jawa yang sarat makna duka.
“Kalau bukan Kamisan, pagi ini aku memilih kebaya hitam yang sengaja kupadukan dengan batik slobog untuk memperingati 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia,” tulis Gustika dalam unggahannya, dikutip Senin, 18 Agustus 2025.
Ia menjelaskan, dalam tradisi Jawa, kain tidak sekadar berfungsi sebagai busana, melainkan medium penyampai pesan.
Slobog, yang berarti longgar atau terbuka, lazim dipakai dalam prosesi pemakaman sebagai simbol pelepasan dan doa bagi kelapangan jalan orang yang berpulang.
“Take this as a silent protest, if you will, and a way to embrace my 1/8th Javanese heritage + a way to convey my innermost feelings. Probably would keep this up for the next five years. (Anggap saja ini sebagai bentuk protes diam, jika boleh, dan cara untuk merangkul 1/8 warisan Jawa saya, serta cara untuk menyampaikan perasaan terdalam. Mungkin akan saya pertahankan selama lima tahun ke depan),” lanjutnya, menegaskan busana itu juga ia maknai sebagai bentuk protes diam.
Kritik Keras pada Kondisi HAM
Lewat simbol berpakaian, Gustika sekaligus menyalurkan keprihatinannya terhadap situasi bangsa, khususnya penegakan hak asasi manusia (HAM).
“Bahkan kini kita dipimpin oleh seorang Presiden penculik dan penjahat HAM, dengan Wakil anak haram konstitusi. Militerisasi kian merasuk ke ruang sipil, dan hak-hak asasi rakyat Indonesia kerap dilucuti oleh penguasa yang tidak memiliki tepa selira, yang mau menulis ulang sejarah bangsa dengan memutihkan dosa-dosa penguasa beserta kroni-kroninya,” tegasnya.
Ia juga menyinggung peristiwa terbaru di Pati, di mana kekerasan aparat menelan korban jiwa.
“Jujur tidak sampai hati merayakan hari kemerdekaan Indonesia ke-80 tanpa rasa iba, dengan peristiwa demi peristiwa yang mengkhianati nilai kemanusiaan,” sambungnya.
Berkabung sebagai Bentuk Cinta
Meski memakai simbol duka, Gustika menolak tafsir bahwa dirinya putus asa. Baginya, itu justru cara mengekspresikan cinta pada republik.
“Dukaku lahir dari rasa cinta yang mendalam pada Republik ini. Bagiku, berkabung bukan berarti putus asa; dan merayakan bukan berarti menutup mata,” ujarnya.
Menurutnya, berkabung adalah jeda untuk menatap sejarah dengan jujur dan menjaga ingatan, sementara merayakan berarti mendoakan keselamatan bangsa dalam transisi.
Riwayat Pendidikan Gustika Jusuf Hatta
Gustika Hatta menempuh pendidikan tinggi di berbagai institusi bergengsi dunia. Ia pernah belajar selama satu tahun di Sciences Po Lyon (Institut d’Etudes Politiques de Lyon), Prancis, sebagai pengantar disiplin ilmu politik dan hubungan internasional.
Setelah itu, pada 2015, ia melanjutkan studi ke King’s College London dan meraih gelar Bachelor of Arts (Hons) War Studies. Program studi ini mengupas sejarah militer, strategi, keamanan, hingga kebijakan luar negeri, yang membentuk kerangka analitis Gustika terhadap konflik dan kekuasaan.
Selain itu, Gustika juga memperkaya wawasannya melalui kursus singkat di University of Oxford dan Sotheby’s Institute of Art, yang menambah perspektif tentang kebijakan, budaya, dan ekonomi kreatif.
Saat ini, ia tengah melanjutkan pendidikan pascasarjana di Geneva Academy of International Humanitarian Law and Human Rights untuk menempuh program Master of Advanced Studies (MAS) dengan fokus pada hukum internasional dalam konflik bersenjata.
Program eksekutif ini memang dirancang bagi para profesional yang bergerak di bidang hukum perang, HAM, dan aksi kemanusiaan.
Kiprah Internasional dan Jaringan Advokasi
Sejak remaja, Gustika aktif dalam forum internasional. Pada 2012, ia terpilih sebagai delegasi muda dalam United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Doha, Qatar. Setahun kemudian, ia menjadi intern untuk Delegasi Indonesia dalam UNESCO Youth Forum, yang memberinya pengalaman berharga di ranah pendidikan, budaya, dan sains global.
Ia juga sempat terlibat dalam forum pemuda PBB mengenai isu perempuan serta magang di misi Indonesia untuk PBB, memperluas pemahaman mengenai multilateralisme dan kerangka hak asasi manusia global.
https://suara.com/news/2025/08/18/16...ram-konstitusi






69banditos dan 4 lainnya memberi reputasi
5
1.2K
65


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan