- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Yan Cristian Warinussy: 80 tahun Indonesia, Papua masih jadi tanah darah dan air mata
TS
mabdulkarim
Yan Cristian Warinussy: 80 tahun Indonesia, Papua masih jadi tanah darah dan air mata
Yan Cristian Warinussy: 80 tahun Indonesia, Papua masih jadi tanah darah dan air mata

Sorong, Jubi – Di saat seluruh rakyat Indonesia larut dalam sukacita memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia, suasana di Tanah Papua justru masih dilingkupi luka, ketakutan, dan darah. Lonjakan konflik bersenjata, jatuhnya korban jiwa, serta ketiadaan jalan damai menunjukkan bahwa Papua belum benar-benar menikmati makna kemerdekaan yang sesungguhnya.
Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy, menegaskan bahwa hingga kini, persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua justru makin memburuk.
“Saya prihatin atas kondisi HAM di Tanah Papua secara luas yang tidak menunjukkan situasi aman dan membaik hingga NKRI mencapai usianya yang ke-80 tahun, 17 Agustus 2025. Di seluruh persada Nusantara rakyat merayakan sukacita penuh keharuan. “
Tapi di Papua, khususnya di Intan Jaya, Papua Pegunungan, dan Papua Tengah, korban terus berjatuhan. “Baik anggota TNI/Polri, TPNPB, maupun rakyat sipil yang sama sekali tidak bersalah. Papua masih jadi tanah darah dan air mata,” kata Warinussy kepada media ini melalui pesan WhatsApp, Senin (18/8/2025).
Warinussy membandingkan Papua dengan Aceh. Ia menekankan bahwa momentum HUT RI ke-80 tahun ini bertepatan dengan peringatan 20 tahun damai Aceh pasca ditandatanganinya Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki pada 2005.
Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam kini merayakan 20 tahun pasca ditandatanganinya MoU Helsinki. “Itu adalah pembuka jalan bagi perdamaian di Aceh hingga saat ini. Tapi Papua justru sebaliknya. Bukan damai yang ditawarkan, tapi pemekaran hingga enam Daerah Otonomi Baru (DOB). Pola ini persis seperti politik devide et impera yang dulu dipakai pemerintah kolonial Belanda,” ujarnya.
Menurut Warinussy, pemekaran DOB hanyalah kedok untuk memperluas kontrol negara atas Papua. Ia menyebut, DOB membuat rakyat semakin terpecah, sementara kepentingan ekonomi negara semakin kuat mencengkeram.
Lebih jauh, Warinussy menyebut bahwa pengelolaan sumber daya alam (SDA) adalah agenda utama di balik kebijakan negara terhadap Papua. Pemusatan kekuasaan di Papua dalam konteks pengelolaan SDA sangat jelas. Dari tambang emas di Tembagapura, Timika, Blok Wabu di Intan Jaya, gas alam cair di Teluk Bintuni, hingga food estate di Merauke. “Semua menunjukkan upaya sistematis negara mengambil alih kendali penuh atas SDA di Tanah Papua,” ungkapnya.
Ia menilai bahwa konflik bersenjata yang selalu digambarkan pemerintah sebagai gangguan keamanan dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), pada hakikatnya adalah skenario untuk membenarkan pengerahan militer demi melindungi kepentingan ekonomi.
Menurut Warinussy, rakyat Papua asli sesungguhnya memiliki keinginan besar menyelesaikan konflik dengan cara damai. Hal itu bahkan telah diatur dalam Pasal 44, 45, dan 46 UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Namun, pemerintah justru seakan menutup mata. “Pemerintah Indonesia tahu betul rakyat Papua ingin damai. Tapi dalam praktiknya negara segan, bahkan tidak pernah mau menyentuh penyelesaian konflik lewat dialog. Usulan Jaringan Damai Papua (JDP), gagasan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sesuai amanat UU Otsus, tidak pernah direspons. Ini fakta,” ungkapnya.
Ia menegaskan, penyelesaian konflik semestinya ditempuh melalui dialog, negosiasi, atau perundingan bukan kekerasan. Prinsip dasar penyelesaian konflik adalah jalan damai, seperti MoU Helsinki untuk Aceh. Tapi untuk Papua, jalan damai dianggap tidak relevan. Padahal itulah satu-satunya solusi yang bermartabat. Negara lebih memilih mengorbankan rakyat Papua demi kepentingan ekonomi,” ucap Warinussy.
Warinussy menuding bahwa hambatan terbesar perdamaian Papua adalah adanya kepentingan para penikmat eksploitasi SDA yang selama ini menganggap Papua sebagai “rumah masa depan” bagi Indonesia. “Selama masih ada pihak-pihak yang menikmati keuntungan dari eksploitasi ilegal SDA di Papua, maka konflik tidak akan pernah selesai. Papua dianggap rumah masa depan bagi Indonesia. Di usia 80 tahun ini, negara seharusnya menghadirkan keadilan, bukan menambah luka. Tapi yang terjadi justru sebaliknya—Papua terus berdarah dan menangis,” kata Warinussy.
Keterangan Yan Christian Warinussy mempertegas paradoks besar di HUT RI ke-80 tahun ini: ketika seluruh bangsa bersorak gembira, Tanah Papua justru masih berkubang dalam ketidakadilan, konflik, dan penderitaan. “Jalan damai yang pernah berhasil ditempuh di Aceh belum juga berlaku untuk Papua. Yang tersisa hanyalah pertanyaan: sampai kapan rakyat Papua harus terus menunggu hadirnya keadilan?” katanya. (*)
https://jubi.id/domberai/2025/yan-cr...AWYubakn6jn2fA
kalau di Aceh GAM satu kekuatan.
Kalau di Papua pecah semua dari ULMWP, TPNPB, NFRPB, dan sebagainya

Sorong, Jubi – Di saat seluruh rakyat Indonesia larut dalam sukacita memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia, suasana di Tanah Papua justru masih dilingkupi luka, ketakutan, dan darah. Lonjakan konflik bersenjata, jatuhnya korban jiwa, serta ketiadaan jalan damai menunjukkan bahwa Papua belum benar-benar menikmati makna kemerdekaan yang sesungguhnya.
Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy, menegaskan bahwa hingga kini, persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua justru makin memburuk.
“Saya prihatin atas kondisi HAM di Tanah Papua secara luas yang tidak menunjukkan situasi aman dan membaik hingga NKRI mencapai usianya yang ke-80 tahun, 17 Agustus 2025. Di seluruh persada Nusantara rakyat merayakan sukacita penuh keharuan. “
Tapi di Papua, khususnya di Intan Jaya, Papua Pegunungan, dan Papua Tengah, korban terus berjatuhan. “Baik anggota TNI/Polri, TPNPB, maupun rakyat sipil yang sama sekali tidak bersalah. Papua masih jadi tanah darah dan air mata,” kata Warinussy kepada media ini melalui pesan WhatsApp, Senin (18/8/2025).
Warinussy membandingkan Papua dengan Aceh. Ia menekankan bahwa momentum HUT RI ke-80 tahun ini bertepatan dengan peringatan 20 tahun damai Aceh pasca ditandatanganinya Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki pada 2005.
Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam kini merayakan 20 tahun pasca ditandatanganinya MoU Helsinki. “Itu adalah pembuka jalan bagi perdamaian di Aceh hingga saat ini. Tapi Papua justru sebaliknya. Bukan damai yang ditawarkan, tapi pemekaran hingga enam Daerah Otonomi Baru (DOB). Pola ini persis seperti politik devide et impera yang dulu dipakai pemerintah kolonial Belanda,” ujarnya.
Menurut Warinussy, pemekaran DOB hanyalah kedok untuk memperluas kontrol negara atas Papua. Ia menyebut, DOB membuat rakyat semakin terpecah, sementara kepentingan ekonomi negara semakin kuat mencengkeram.
Lebih jauh, Warinussy menyebut bahwa pengelolaan sumber daya alam (SDA) adalah agenda utama di balik kebijakan negara terhadap Papua. Pemusatan kekuasaan di Papua dalam konteks pengelolaan SDA sangat jelas. Dari tambang emas di Tembagapura, Timika, Blok Wabu di Intan Jaya, gas alam cair di Teluk Bintuni, hingga food estate di Merauke. “Semua menunjukkan upaya sistematis negara mengambil alih kendali penuh atas SDA di Tanah Papua,” ungkapnya.
Ia menilai bahwa konflik bersenjata yang selalu digambarkan pemerintah sebagai gangguan keamanan dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), pada hakikatnya adalah skenario untuk membenarkan pengerahan militer demi melindungi kepentingan ekonomi.
Menurut Warinussy, rakyat Papua asli sesungguhnya memiliki keinginan besar menyelesaikan konflik dengan cara damai. Hal itu bahkan telah diatur dalam Pasal 44, 45, dan 46 UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Namun, pemerintah justru seakan menutup mata. “Pemerintah Indonesia tahu betul rakyat Papua ingin damai. Tapi dalam praktiknya negara segan, bahkan tidak pernah mau menyentuh penyelesaian konflik lewat dialog. Usulan Jaringan Damai Papua (JDP), gagasan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sesuai amanat UU Otsus, tidak pernah direspons. Ini fakta,” ungkapnya.
Ia menegaskan, penyelesaian konflik semestinya ditempuh melalui dialog, negosiasi, atau perundingan bukan kekerasan. Prinsip dasar penyelesaian konflik adalah jalan damai, seperti MoU Helsinki untuk Aceh. Tapi untuk Papua, jalan damai dianggap tidak relevan. Padahal itulah satu-satunya solusi yang bermartabat. Negara lebih memilih mengorbankan rakyat Papua demi kepentingan ekonomi,” ucap Warinussy.
Warinussy menuding bahwa hambatan terbesar perdamaian Papua adalah adanya kepentingan para penikmat eksploitasi SDA yang selama ini menganggap Papua sebagai “rumah masa depan” bagi Indonesia. “Selama masih ada pihak-pihak yang menikmati keuntungan dari eksploitasi ilegal SDA di Papua, maka konflik tidak akan pernah selesai. Papua dianggap rumah masa depan bagi Indonesia. Di usia 80 tahun ini, negara seharusnya menghadirkan keadilan, bukan menambah luka. Tapi yang terjadi justru sebaliknya—Papua terus berdarah dan menangis,” kata Warinussy.
Keterangan Yan Christian Warinussy mempertegas paradoks besar di HUT RI ke-80 tahun ini: ketika seluruh bangsa bersorak gembira, Tanah Papua justru masih berkubang dalam ketidakadilan, konflik, dan penderitaan. “Jalan damai yang pernah berhasil ditempuh di Aceh belum juga berlaku untuk Papua. Yang tersisa hanyalah pertanyaan: sampai kapan rakyat Papua harus terus menunggu hadirnya keadilan?” katanya. (*)
https://jubi.id/domberai/2025/yan-cr...AWYubakn6jn2fA
kalau di Aceh GAM satu kekuatan.
Kalau di Papua pecah semua dari ULMWP, TPNPB, NFRPB, dan sebagainya
nowbitool dan 4 lainnya memberi reputasi
5
141
8
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan