- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Ratusan Warga Papua dan Maluku Dikriminalisasi dengan Pasal Makar
TS
mabdulkarim
Ratusan Warga Papua dan Maluku Dikriminalisasi dengan Pasal Makar
Amnesty Internasional: Ratusan Warga Papua dan Maluku Dikriminalisasi dengan Pasal Makar

Amnesty Internasional menilai kriminalisasi dengan pasal makar ini sebagai bentuk pelanggaran hak kebebasan berpendapat.
15 Agustus 2025 | 23.06 WIB
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dan koalisi masyarakat sipil memberikan keterangan bersama di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 21 Juli 2025. Tempo/Imam Sukamto
AMNESTY International Indonesia mencatat sebanyak 145 aktivis Papua dan Maluku dipidana dalam kasus makar sejak Januari 2019 hingga 2025. Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menyatakan ratusan orang itu dipidana setelah menyuarakan aspirasi kemerdekaan secara damai.
“Mereka dipidana menggunakan pasal 106 dan 110 KUHP terkait makar hanya karena mengekspresikan pandangan politiknya secara damai, sesuatu yang dulu juga dilakukan oleh para pendiri republik saat melawan penjajah,” ujar Usman melalui keterangan pers pada Jumat, 15 Agustus 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Usman menjelaskan kasus tersebut terjadi pada 2019-2025 dengan rincian sebagai berikut:
2019 : 46 kasus dengan 58 korban
2020 : 10 kasus dengan 28 korban
2021 : 8 kasus dengan 22 korban
2022 : 15 kasus dengan 24 korban
2023 : 4 kasus dengan 4 korban
2024 : 2 kasus dengan 5 korban
2025 (hingga Juli): 1 kasus 4 korban
Secara Wilayah, Amnesty Internasional Indonesia mencatat sebanyak 70 kasus makar Papua dengan 127 korban dan 16 kasus makar Maluku dengan 18 korban. Bahkan, lanjut Usman, ada seorang mahasiswa di Kota Jayapura yang sampai dua kali dijerat kasus makar pada tahun 2021 dan 2022 karena mengutarakan ekspresi damai. Sebanyak 127 orang di antaranya telah menjalani vonis di tingkat Pengadilan Negeri, sedangkan 8 lainnya masih berstatus tersnagka.
Usman menilai setiap orang berhak menikmati hak atas kebebasan berekspresi, termasuk untuk menyuarakan tuntutan politik secara damai. Hak itu telah dijamin dalam hukum hak asasi manusia internasional.
Dia mengatakan penangkapan serta penahanan tidak sah terhadap warga negara yang mengutarakan aspirasi dan ekspresi yang terjadi secara meluas dan terus berlangsung di Papua dan Maluku, menunjukkan keengganan pemerintah untuk menerima pandangan yang dianggap berseberangan.
Menurut Usman, seharusnya pemerintah dan aparat penegak hukum dapat memberdakan antara aspirasi kemerdekaan yang damai dengan kegiatan kriminal yang menggunakan kekerasan. “Kriminalisasi dan pembatasan ekspresi politik damai harus segera dihentikan,” kata dia.
Dia mengatakan kriminalisasi ekspresi damai seperti ini mencederai semangat kemerdekaan Indonesia. Sebab, negara berkewajiban menjamin hak setiap orang untuk bersuara dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan berbangsa.
“Sayangnya, 80 tahun berselang situasi justru berbalik, HAM yang menjadi pijakan kemerdekaan bangsa justru dijauhkan dari agenda utama kebangsaan. Negara merdeka ini justru memakai hukum untuk membatasi hak rakyat atas kemerdekaan berekspresi ketika menyuarakan kritik, mempertahankan hak-hak mereka, bahkan dianggap sebagai ‘mengancam’ pemerintah,” ujar dia.
https://www.tempo.co/hukum/amnesty-i...makar-2059393/
bersuara sama makar beda...

Amnesty Internasional menilai kriminalisasi dengan pasal makar ini sebagai bentuk pelanggaran hak kebebasan berpendapat.
15 Agustus 2025 | 23.06 WIB
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dan koalisi masyarakat sipil memberikan keterangan bersama di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 21 Juli 2025. Tempo/Imam Sukamto
AMNESTY International Indonesia mencatat sebanyak 145 aktivis Papua dan Maluku dipidana dalam kasus makar sejak Januari 2019 hingga 2025. Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menyatakan ratusan orang itu dipidana setelah menyuarakan aspirasi kemerdekaan secara damai.
“Mereka dipidana menggunakan pasal 106 dan 110 KUHP terkait makar hanya karena mengekspresikan pandangan politiknya secara damai, sesuatu yang dulu juga dilakukan oleh para pendiri republik saat melawan penjajah,” ujar Usman melalui keterangan pers pada Jumat, 15 Agustus 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Usman menjelaskan kasus tersebut terjadi pada 2019-2025 dengan rincian sebagai berikut:
2019 : 46 kasus dengan 58 korban
2020 : 10 kasus dengan 28 korban
2021 : 8 kasus dengan 22 korban
2022 : 15 kasus dengan 24 korban
2023 : 4 kasus dengan 4 korban
2024 : 2 kasus dengan 5 korban
2025 (hingga Juli): 1 kasus 4 korban
Secara Wilayah, Amnesty Internasional Indonesia mencatat sebanyak 70 kasus makar Papua dengan 127 korban dan 16 kasus makar Maluku dengan 18 korban. Bahkan, lanjut Usman, ada seorang mahasiswa di Kota Jayapura yang sampai dua kali dijerat kasus makar pada tahun 2021 dan 2022 karena mengutarakan ekspresi damai. Sebanyak 127 orang di antaranya telah menjalani vonis di tingkat Pengadilan Negeri, sedangkan 8 lainnya masih berstatus tersnagka.
Usman menilai setiap orang berhak menikmati hak atas kebebasan berekspresi, termasuk untuk menyuarakan tuntutan politik secara damai. Hak itu telah dijamin dalam hukum hak asasi manusia internasional.
Dia mengatakan penangkapan serta penahanan tidak sah terhadap warga negara yang mengutarakan aspirasi dan ekspresi yang terjadi secara meluas dan terus berlangsung di Papua dan Maluku, menunjukkan keengganan pemerintah untuk menerima pandangan yang dianggap berseberangan.
Menurut Usman, seharusnya pemerintah dan aparat penegak hukum dapat memberdakan antara aspirasi kemerdekaan yang damai dengan kegiatan kriminal yang menggunakan kekerasan. “Kriminalisasi dan pembatasan ekspresi politik damai harus segera dihentikan,” kata dia.
Dia mengatakan kriminalisasi ekspresi damai seperti ini mencederai semangat kemerdekaan Indonesia. Sebab, negara berkewajiban menjamin hak setiap orang untuk bersuara dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan berbangsa.
“Sayangnya, 80 tahun berselang situasi justru berbalik, HAM yang menjadi pijakan kemerdekaan bangsa justru dijauhkan dari agenda utama kebangsaan. Negara merdeka ini justru memakai hukum untuk membatasi hak rakyat atas kemerdekaan berekspresi ketika menyuarakan kritik, mempertahankan hak-hak mereka, bahkan dianggap sebagai ‘mengancam’ pemerintah,” ujar dia.
https://www.tempo.co/hukum/amnesty-i...makar-2059393/
bersuara sama makar beda...
itkgid memberi reputasi
1
160
6
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan