- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
CELIOS vs BPS: Mengapa Data Ekonomi Indonesia Diadukan ke PBB?


TS
KangPri
CELIOS vs BPS: Mengapa Data Ekonomi Indonesia Diadukan ke PBB?
Quote:
Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengirimkan surat kepada Badan Statistik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), United Nations Statistics Division (UNSD) dan United Nations Statistical Commission, Jumat (8/8/2025).
Surat dari lembaga riset yang fokus dengan isu ekonomi itu, terkait permintaan untuk mengaudit data pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Selasa (5/8/2025).
CELIOS menilai data pertumbuhan ekonomi yang dirilis oleh BPS menimbulkan indikasi adanya perbedaan dengan kondisi riil perekonomian Indonesia.
“Surat yang dikirimkan ke PBB memuat permintaan untuk meninjau ulang data pertumbuhan ekonomi pada triwulan ke-II 2025 yang sebesar 5,12 persen year-on-year (yoy),” kata Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, dalam keterangan resmi yang Tirto terima.
Direktur Kebijakan Fiskal CELIOS, Media Wahyudi Askar, menilai sebagai lembaga pemerintah yang tunduk pada standar statistik internasional, BPS perlu bebas dari kepentingan politik, transparan dan menjaga integritas data.
Ia menambahkan, jika terjadi tekanan institusional atau intervensi dalam penyusunan data oleh BPS, maka hal itu bertentangan dengan Fundamental Principles of Official Statistics yang diadopsi oleh Komisi Statistik PBB.
“Data yang kredibel bukan hanya persoalan teknis, tetapi berdampak langsung terhadap kredibilitas internasional Indonesia, dan kesejahteraan rakyat,” ujarnya.
Oleh karena itu, CELIOS berharap UNSD dan UN Statistical Commission segera melakukan investigasi teknis atas metode penghitungan PDB Indonesia, khususnya Triwulan II 2025.
“Kami juga berharap UNSD dan UN Statistical Commission mendorong pembentukan mekanisme peer review yang melibatkan pakar independen, serta dukungan reformasi transparansi di tubuh BPS. Keinginan masyarakat itu sederhana, agar pemerintah Indonesia menghitung pertumbuhan ekonomi dengan standar SDDS Plus sehingga datanya dapat dipertanggungjawabkan, ”imbuh Media.
Celios melihat bahwa data pertumbuhan ekonomi kuartal II yang dirilis BPS janggal dan tidak sesuai dengan kondisi riil perekonomian nasional~⚡
Temuan Kejanggalan dan Anomali Data BPS oleh CELIOS
Bhima dari CELIOS menyatakan bahwa inisiasi yang mereka lakukan sebagai upaya untuk menjaga kredibilitas data BPS. Sebab selama ini data BPS digunakan untuk berbagai penelitian oleh lembaga akademik, analis perbankan, dunia usaha termasuk UMKM dan masyarakat secara umum.
Ekonom lulusan Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) itu, sempat membedah seluruh indikator yang disampaikan BPS. Dia menemukan industri manufaktur tumbuh tinggi di level 5,68 persen (yoy), dengan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 18,67 persen.
Menurutnya, ini berlawanan dengan Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia yang mencatatkan kontraksi di posisi 49,2 pada akhir Juli 2025. Lebih baik ketimbang bulan sebelumnya yang berada di level 46,9.
“Porsi manufaktur terhadap PDB juga rendah yakni 18,67 persen dibanding triwulan ke-I 2025 yang sebesar 19,25 persen, yang artinya deindustrialisasi prematur terus terjadi. Data PHK massal terus meningkat, dan industri padat karya terpukul oleh naiknya berbagai beban biaya. Jadi apa dasarnya industri manufaktur bisa tumbuh 5,68 persen yoy? Data yang tidak sinkron tentu harus dijawab dengan transparansi.” ungkap Bhima.
Sementara itu, Media Askar menyoroti adanya kemungkinan inkonsistensi dan ketidakakuratan data PDB yang diklaim BPS tumbuh 5,12 persen pada kuartal kedua 2025. Menurutnya, hal ini berbeda dengan proyeksi berbagai lembaga internasional, termasuk Reuters yang memperkirakan hanya sekitar 4,8 persen.
“Jadi kami meminta UN Statistical Commission sama divisi statistik PBB untuk memastikan mengawasi penerapan metodologi statistik internasional yang valid supaya bisa comparable apple to apple antarnegara," ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (12/8/2025).
"Kami mengharapkan mereka untuk meminta BPS untuk melakukan peninjauan diagnostik teknis terhadap kerangka perhitungan pertumbuhan ekonomi Indonesia serta mendorong peer review ya, dan harapannya bisa melibatkan ahli statistik independen dan profesional,” tambah dia.
Media juga menyoroti sejumlah anomali lain dalam data ekonomi Indonesia yang dirilis BPS. Salah satunya adalah ketidaksesuaian antara pertumbuhan ekspor-impor yang dilaporkan. Angkanya mencapai sekitar 10 dan 11 persen pada kuartal kedua tahun 2025, dengan realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang justru turun hingga 22 persen secara tahunan (yoy).
“Belum lagi ketidakkonsistenan data di perhitungan PDB tersebut dengan indikator real lainnya seperti pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang relatif datar, yang hanya tumbuh 0,02 persen. Kemudian ada ketidakkonsistenan indikator manufaktur, begitu juga pola pertumbuhan musiman serta ambiguitas pembentukan modal tetap,” ujarnya.
Sementara Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda, menilai ketidakpercayaan terhadap data BPS didasari pada anomali dalam data historis. Salah satunya, pertumbuhan ekonomi triwulan II tahun ini tercatat lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya, padahal triwulan sebelumnya bertepatan dengan momentum Ramadan dan Idulfitri.
“Hal ini dikarenakan tidak seperti tahun sebelumnya, di mana pertumbuhan triwulanan paling tinggi merupakan triwulan dengan ada momen Ramadhan-Idulfitri. Triwulan I- 2025 saja hanya tumbuh 4,87 persen year on year, jadi cukup janggal ketika pertumbuhan triwulan II mencapai 5,12 persen,” ujar Huda.
Huda menambahkan, konsumsi rumah tangga yang menyumbang hingga 50 persen PDB hanya tumbuh 4,95 persen pada triwulan I 2025. Namun, anehnya, pertumbuhan ekonomi justru tercatat 4,87 persen.
“Tidak ada momen yang membuat peningkatan konsumsi rumah tangga meningkat tajam. Indeks keyakinan konsumen (IKK) juga melemah dari Maret 2025 sebesar 121,1 turun menjadi 117,8 (Juni 2025),” tambahnya.
Selain CELIOS, keraguan atas laporan BPS terkait pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II 2025 juga disampaikan Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF, Andry Satrio Nugroho. Ia menilai banyak data yang dirilis tidak mencerminkan kondisi riil di lapangan dan tak sejalan dengan data-data lain yang dikeluarkan pemerintah.
“Kalau kita melihat dari apa yang disampaikan oleh BPS terkait dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi ini, salah satu yang perlu kita lihat kembali apakah pertumbuhan tersebut memang terproyeksikan di lapangan,” kata Andry dalam "Diskusi Publik: Tanggapan Atas Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II-2025", Rabu (6/9/2025).
Ia menyebut, berdasarkan informasi yang dikumpulkan dari asosiasi dan pelaku industri, kinerja ekonomi pada kuartal kedua tahun ini
belum terlihat kuat dan belum sejalan dengan data BPS. Terutama jika melihat sektor-sektor utama penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB), seperti industri pengolahan, pertanian, perdagangan, konstruksi, serta pertambangan.
Lapangan usaha perdagangan yang tumbuh 5,37 persen versi BPS, misalnya, berbeda dengan pernyataan para asosiasi ritel yang menyebut permintaan justru melemah. Terlebih, ada fenomena yang mengindikasikan pelemahan daya beli, yakni rojali atau rombongan jarang beli.
“Kita tahu bahwa efisiensi yang dilakukan pemerintah seharusnya pertumbuhan dari penyediaan akomodasi dan makanan itu menurun, tetapi sangat mencengangkan –meskipun pertumbuhannya tidak sebesar pertumbuhan di tahun lalu– tapi jauh di atas pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.
Dapat Menyesatkan Pengambilan Kebijakan
Huda dari CELIOS mengatakan kasus manipulasi data memang kerap terjadi di negara-negara komunis sosialis, yang memang negaranya mempunyai kendali atas semua data.
“Contohnya Tiongkok yang memanipulasi data ease of doing business (EoDB) yang akhirnya menarik laporan EoDB. Di tingkat negara, kita tidak pernah tahu perekonomian Korea Utara seperti apa. Apakah ada manipulasi? Ya pasti ada karena mereka penguasa mutlak,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (12/8/2025).
Sementara itu, Media Askar menilai data ekonomi yang tidak akurat, khususnya jika pertumbuhan dilebih-lebihkan, dapat menyesatkan pengambilan kebijakan.
“Bayangkan, dengan data yang tidak akurat, pemerintah bisa keliru menunda stimulus, subsidi, atau perlindungan sosial, karena menganggap ekonomi baik-baik saja. Pelaku usaha, baik itu besar dan UMKM, para investor dan masyarakat pasti akan bingung dan terkena dampak negatif,” ujarnya.
Terpisah, Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai jika data yang disajikan BPS tidak valid, Indonesia berpotensi kehilangan peluang untuk maju. Sebab, berbagai kebijakan penting diambil berdasar data yang salah.
“Ini akan melahirkan kebijakan yang disconnect dengan reality,” katanya kepada wartawan Tirto, Sabtu (8/8/2025).
Wijayanto menambahkan jika data pertumbuhan ekonomi kuartal II tidak benar, Indonesia juga akan dipusingkan dengan berbagai fenomena aneh.
Misalnya rasio perpajakan (tax ratio) yang terus turun, rasio output modal inkremental (incremental capital output ratio, ICOR) akan melejit, hingga jumlah tenaga kerja yang diciptakan per 1 persen pertumbuhan PDB akan terus merosot.
Meski begitu, dalam situasi saat ini, ia menyebut masyarakat harus meyakini bahwa data BPS adalah benar, hingga terbukti sebaliknya. Merevisi data adalah hal lumrah, pernah dilakukan oleh banyak lembaga dunia, termasuk oleh BPS sendiri.
“Revisi statistik ada di ranah teknokrasi dan akademis; update atau perbaikan adalah hal yang lumrah dan justru diapresiasi. Idealnya, BPS mengundang para ekonom untuk berdiskusi secara transparan, tentang bagaimana angka-angka itu diukur. Saya yakin, para ekonom siap men-support apapun angka BPS jika itu benar. Tetapi BPS juga perlu legowo jika ternyata datanya salah,” tegas Wijayanto.
Perhitungan BPS Mengacu Standar Internasional
Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, sempat merespons anggapan permainan data dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi nasional kuartal II 2025. Dia menegaskan perhitungan yang dilakukan BPS telah mengacu pada standar internasional. Selain itu, data-data pendukung yang digunakan pun sudah sesuai.
“Data-data pendukungnya sudah oke, sudah semua. (Data) pendukungnya sudah mantap lah,” tegas dia, di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (6/8/2025).
Tirto berupaya menelusuri lebih jauh, namun hingga artikel ini tayang, Amalia belum menanggapi.
Senada, pemerintah melalui Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Hasan Nasbi, telah mengklarifikasi terkait hal serupa. Hasan menegaskan bahwa data pertumbuhan ekonomi yang dirilis oleh BPS sepenuhnya transparan.
"Jadi pertumbuhan ekonomi kita positif, tapi ada yang melihatnya dengan cara tidak positif. Pemerintah itu jujur-jujur aja loh mengeluarkan data. Kalau turun dibilang turun, kalau naik dibilang naik," ujar Hasan, di Jakarta, Kamis (7/8/2025),
Ia menyatakan, pemerintah selalu menyampaikan data ekonomi apa adanya. Ia mencontohkan, pada kuartal IV-2024, saat Presiden Prabowo Subianto telah menjabat, BPS merilis pertumbuhan ekonomi sebesar 5,02 persen, dan hal itu disampaikan secara terbuka.
"Jadi kalau turun kita bilang turun, kalau kita naik dibilang naik. Tapi memang ada sebagian kalangan yang kalau turun dia percaya, kalau naik dia tidak percaya," jelas dia.
Terpisah, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Anindya Bakrie, meminta kepada masyarakat agar percaya dengan data-data yang disajikan BPS. Sebab, Lembaga pemerintah non-kementerian yang bertanggung jawab untuk menyediakan data-data statistik ini, telah menjalankan tugasnya selama puluhan tahun, sejak 1960.
“Saya rasa, kita mesti percaya. Kalau misalnya angka dari BPS kita tidak percaya, kepada siapa lagi gitu? Mereka kan (lembaga) statistik yang sudah bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun bekerja,”kata dia kepada awak media, usai Pembekalan Retret Kadin 2025, di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Kamis (7/8/2025) malam.
Alih-alih mempermasalahkan data pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II 2025 yang dinilai segelintir pihak telah diotak-atik, kata Anin, pihaknya hanya akan fokus untuk mengangkat ekonomi kuartal III 2025 agar tumbuh lebih tinggi.
“Paling bagus kita fokus kepada mengangkat ekonomi lebih banyak lagi, daripada utak-atik angkanya. Karena angka itu memang angka yang sudah di-publish, sudah ditampilkan,” lanjut Anindya.
https://tirto.id/celios-vs-bps-menga...an-ke-pbb-hfEH
Surat dari lembaga riset yang fokus dengan isu ekonomi itu, terkait permintaan untuk mengaudit data pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Selasa (5/8/2025).
CELIOS menilai data pertumbuhan ekonomi yang dirilis oleh BPS menimbulkan indikasi adanya perbedaan dengan kondisi riil perekonomian Indonesia.
“Surat yang dikirimkan ke PBB memuat permintaan untuk meninjau ulang data pertumbuhan ekonomi pada triwulan ke-II 2025 yang sebesar 5,12 persen year-on-year (yoy),” kata Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, dalam keterangan resmi yang Tirto terima.
Direktur Kebijakan Fiskal CELIOS, Media Wahyudi Askar, menilai sebagai lembaga pemerintah yang tunduk pada standar statistik internasional, BPS perlu bebas dari kepentingan politik, transparan dan menjaga integritas data.
Ia menambahkan, jika terjadi tekanan institusional atau intervensi dalam penyusunan data oleh BPS, maka hal itu bertentangan dengan Fundamental Principles of Official Statistics yang diadopsi oleh Komisi Statistik PBB.
“Data yang kredibel bukan hanya persoalan teknis, tetapi berdampak langsung terhadap kredibilitas internasional Indonesia, dan kesejahteraan rakyat,” ujarnya.
Oleh karena itu, CELIOS berharap UNSD dan UN Statistical Commission segera melakukan investigasi teknis atas metode penghitungan PDB Indonesia, khususnya Triwulan II 2025.
“Kami juga berharap UNSD dan UN Statistical Commission mendorong pembentukan mekanisme peer review yang melibatkan pakar independen, serta dukungan reformasi transparansi di tubuh BPS. Keinginan masyarakat itu sederhana, agar pemerintah Indonesia menghitung pertumbuhan ekonomi dengan standar SDDS Plus sehingga datanya dapat dipertanggungjawabkan, ”imbuh Media.
Celios melihat bahwa data pertumbuhan ekonomi kuartal II yang dirilis BPS janggal dan tidak sesuai dengan kondisi riil perekonomian nasional~⚡
Temuan Kejanggalan dan Anomali Data BPS oleh CELIOS
Bhima dari CELIOS menyatakan bahwa inisiasi yang mereka lakukan sebagai upaya untuk menjaga kredibilitas data BPS. Sebab selama ini data BPS digunakan untuk berbagai penelitian oleh lembaga akademik, analis perbankan, dunia usaha termasuk UMKM dan masyarakat secara umum.
Ekonom lulusan Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) itu, sempat membedah seluruh indikator yang disampaikan BPS. Dia menemukan industri manufaktur tumbuh tinggi di level 5,68 persen (yoy), dengan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 18,67 persen.
Menurutnya, ini berlawanan dengan Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia yang mencatatkan kontraksi di posisi 49,2 pada akhir Juli 2025. Lebih baik ketimbang bulan sebelumnya yang berada di level 46,9.
“Porsi manufaktur terhadap PDB juga rendah yakni 18,67 persen dibanding triwulan ke-I 2025 yang sebesar 19,25 persen, yang artinya deindustrialisasi prematur terus terjadi. Data PHK massal terus meningkat, dan industri padat karya terpukul oleh naiknya berbagai beban biaya. Jadi apa dasarnya industri manufaktur bisa tumbuh 5,68 persen yoy? Data yang tidak sinkron tentu harus dijawab dengan transparansi.” ungkap Bhima.
Sementara itu, Media Askar menyoroti adanya kemungkinan inkonsistensi dan ketidakakuratan data PDB yang diklaim BPS tumbuh 5,12 persen pada kuartal kedua 2025. Menurutnya, hal ini berbeda dengan proyeksi berbagai lembaga internasional, termasuk Reuters yang memperkirakan hanya sekitar 4,8 persen.
“Jadi kami meminta UN Statistical Commission sama divisi statistik PBB untuk memastikan mengawasi penerapan metodologi statistik internasional yang valid supaya bisa comparable apple to apple antarnegara," ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (12/8/2025).
"Kami mengharapkan mereka untuk meminta BPS untuk melakukan peninjauan diagnostik teknis terhadap kerangka perhitungan pertumbuhan ekonomi Indonesia serta mendorong peer review ya, dan harapannya bisa melibatkan ahli statistik independen dan profesional,” tambah dia.
Media juga menyoroti sejumlah anomali lain dalam data ekonomi Indonesia yang dirilis BPS. Salah satunya adalah ketidaksesuaian antara pertumbuhan ekspor-impor yang dilaporkan. Angkanya mencapai sekitar 10 dan 11 persen pada kuartal kedua tahun 2025, dengan realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang justru turun hingga 22 persen secara tahunan (yoy).
“Belum lagi ketidakkonsistenan data di perhitungan PDB tersebut dengan indikator real lainnya seperti pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang relatif datar, yang hanya tumbuh 0,02 persen. Kemudian ada ketidakkonsistenan indikator manufaktur, begitu juga pola pertumbuhan musiman serta ambiguitas pembentukan modal tetap,” ujarnya.
Sementara Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda, menilai ketidakpercayaan terhadap data BPS didasari pada anomali dalam data historis. Salah satunya, pertumbuhan ekonomi triwulan II tahun ini tercatat lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya, padahal triwulan sebelumnya bertepatan dengan momentum Ramadan dan Idulfitri.
“Hal ini dikarenakan tidak seperti tahun sebelumnya, di mana pertumbuhan triwulanan paling tinggi merupakan triwulan dengan ada momen Ramadhan-Idulfitri. Triwulan I- 2025 saja hanya tumbuh 4,87 persen year on year, jadi cukup janggal ketika pertumbuhan triwulan II mencapai 5,12 persen,” ujar Huda.
Huda menambahkan, konsumsi rumah tangga yang menyumbang hingga 50 persen PDB hanya tumbuh 4,95 persen pada triwulan I 2025. Namun, anehnya, pertumbuhan ekonomi justru tercatat 4,87 persen.
“Tidak ada momen yang membuat peningkatan konsumsi rumah tangga meningkat tajam. Indeks keyakinan konsumen (IKK) juga melemah dari Maret 2025 sebesar 121,1 turun menjadi 117,8 (Juni 2025),” tambahnya.
Selain CELIOS, keraguan atas laporan BPS terkait pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II 2025 juga disampaikan Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF, Andry Satrio Nugroho. Ia menilai banyak data yang dirilis tidak mencerminkan kondisi riil di lapangan dan tak sejalan dengan data-data lain yang dikeluarkan pemerintah.
“Kalau kita melihat dari apa yang disampaikan oleh BPS terkait dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi ini, salah satu yang perlu kita lihat kembali apakah pertumbuhan tersebut memang terproyeksikan di lapangan,” kata Andry dalam "Diskusi Publik: Tanggapan Atas Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II-2025", Rabu (6/9/2025).
Ia menyebut, berdasarkan informasi yang dikumpulkan dari asosiasi dan pelaku industri, kinerja ekonomi pada kuartal kedua tahun ini
belum terlihat kuat dan belum sejalan dengan data BPS. Terutama jika melihat sektor-sektor utama penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB), seperti industri pengolahan, pertanian, perdagangan, konstruksi, serta pertambangan.
Lapangan usaha perdagangan yang tumbuh 5,37 persen versi BPS, misalnya, berbeda dengan pernyataan para asosiasi ritel yang menyebut permintaan justru melemah. Terlebih, ada fenomena yang mengindikasikan pelemahan daya beli, yakni rojali atau rombongan jarang beli.
“Kita tahu bahwa efisiensi yang dilakukan pemerintah seharusnya pertumbuhan dari penyediaan akomodasi dan makanan itu menurun, tetapi sangat mencengangkan –meskipun pertumbuhannya tidak sebesar pertumbuhan di tahun lalu– tapi jauh di atas pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.
Dapat Menyesatkan Pengambilan Kebijakan
Huda dari CELIOS mengatakan kasus manipulasi data memang kerap terjadi di negara-negara komunis sosialis, yang memang negaranya mempunyai kendali atas semua data.
“Contohnya Tiongkok yang memanipulasi data ease of doing business (EoDB) yang akhirnya menarik laporan EoDB. Di tingkat negara, kita tidak pernah tahu perekonomian Korea Utara seperti apa. Apakah ada manipulasi? Ya pasti ada karena mereka penguasa mutlak,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (12/8/2025).
Sementara itu, Media Askar menilai data ekonomi yang tidak akurat, khususnya jika pertumbuhan dilebih-lebihkan, dapat menyesatkan pengambilan kebijakan.
“Bayangkan, dengan data yang tidak akurat, pemerintah bisa keliru menunda stimulus, subsidi, atau perlindungan sosial, karena menganggap ekonomi baik-baik saja. Pelaku usaha, baik itu besar dan UMKM, para investor dan masyarakat pasti akan bingung dan terkena dampak negatif,” ujarnya.
Warga dari Keluarga Penerima Manfaat (KPM) membawa beras bantuan pangan sebanyak 20 kilogram saat penyaluran bantuan sosial beras di Kelurahan Sagulung Kota, Batam, Kepulauan Riau, Jumat (8/8/2025). ANTARA FOTO/Teguh Prihatna/YU
Terpisah, Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai jika data yang disajikan BPS tidak valid, Indonesia berpotensi kehilangan peluang untuk maju. Sebab, berbagai kebijakan penting diambil berdasar data yang salah.
“Ini akan melahirkan kebijakan yang disconnect dengan reality,” katanya kepada wartawan Tirto, Sabtu (8/8/2025).
Wijayanto menambahkan jika data pertumbuhan ekonomi kuartal II tidak benar, Indonesia juga akan dipusingkan dengan berbagai fenomena aneh.
Misalnya rasio perpajakan (tax ratio) yang terus turun, rasio output modal inkremental (incremental capital output ratio, ICOR) akan melejit, hingga jumlah tenaga kerja yang diciptakan per 1 persen pertumbuhan PDB akan terus merosot.
Meski begitu, dalam situasi saat ini, ia menyebut masyarakat harus meyakini bahwa data BPS adalah benar, hingga terbukti sebaliknya. Merevisi data adalah hal lumrah, pernah dilakukan oleh banyak lembaga dunia, termasuk oleh BPS sendiri.
“Revisi statistik ada di ranah teknokrasi dan akademis; update atau perbaikan adalah hal yang lumrah dan justru diapresiasi. Idealnya, BPS mengundang para ekonom untuk berdiskusi secara transparan, tentang bagaimana angka-angka itu diukur. Saya yakin, para ekonom siap men-support apapun angka BPS jika itu benar. Tetapi BPS juga perlu legowo jika ternyata datanya salah,” tegas Wijayanto.
Perhitungan BPS Mengacu Standar Internasional
Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, sempat merespons anggapan permainan data dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi nasional kuartal II 2025. Dia menegaskan perhitungan yang dilakukan BPS telah mengacu pada standar internasional. Selain itu, data-data pendukung yang digunakan pun sudah sesuai.
“Data-data pendukungnya sudah oke, sudah semua. (Data) pendukungnya sudah mantap lah,” tegas dia, di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (6/8/2025).
Tirto berupaya menelusuri lebih jauh, namun hingga artikel ini tayang, Amalia belum menanggapi.
Senada, pemerintah melalui Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Hasan Nasbi, telah mengklarifikasi terkait hal serupa. Hasan menegaskan bahwa data pertumbuhan ekonomi yang dirilis oleh BPS sepenuhnya transparan.
"Jadi pertumbuhan ekonomi kita positif, tapi ada yang melihatnya dengan cara tidak positif. Pemerintah itu jujur-jujur aja loh mengeluarkan data. Kalau turun dibilang turun, kalau naik dibilang naik," ujar Hasan, di Jakarta, Kamis (7/8/2025),
Ia menyatakan, pemerintah selalu menyampaikan data ekonomi apa adanya. Ia mencontohkan, pada kuartal IV-2024, saat Presiden Prabowo Subianto telah menjabat, BPS merilis pertumbuhan ekonomi sebesar 5,02 persen, dan hal itu disampaikan secara terbuka.
"Jadi kalau turun kita bilang turun, kalau kita naik dibilang naik. Tapi memang ada sebagian kalangan yang kalau turun dia percaya, kalau naik dia tidak percaya," jelas dia.
Terpisah, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Anindya Bakrie, meminta kepada masyarakat agar percaya dengan data-data yang disajikan BPS. Sebab, Lembaga pemerintah non-kementerian yang bertanggung jawab untuk menyediakan data-data statistik ini, telah menjalankan tugasnya selama puluhan tahun, sejak 1960.
“Saya rasa, kita mesti percaya. Kalau misalnya angka dari BPS kita tidak percaya, kepada siapa lagi gitu? Mereka kan (lembaga) statistik yang sudah bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun bekerja,”kata dia kepada awak media, usai Pembekalan Retret Kadin 2025, di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Kamis (7/8/2025) malam.
Alih-alih mempermasalahkan data pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II 2025 yang dinilai segelintir pihak telah diotak-atik, kata Anin, pihaknya hanya akan fokus untuk mengangkat ekonomi kuartal III 2025 agar tumbuh lebih tinggi.
“Paling bagus kita fokus kepada mengangkat ekonomi lebih banyak lagi, daripada utak-atik angkanya. Karena angka itu memang angka yang sudah di-publish, sudah ditampilkan,” lanjut Anindya.
https://tirto.id/celios-vs-bps-menga...an-ke-pbb-hfEH
Pribadi ane setuju ini jdi diskursus publik
Data itu sensitif, ane berharap perbedaan ini karena sudut pandang indikator yg dipake pihak yang saling bersebrangan aja, bukan manipulasi angka. Karena kalo manipulasi, in long run, it kills the President
Lanjut







wargan3t dan 3 lainnya memberi reputasi
4
330
Kutip
17
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan