- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
[CERPEN] PINTU LANGIT — PART 2: Jejak Penjaga Langit
TS
kenzie16465
[CERPEN] PINTU LANGIT — PART 2: Jejak Penjaga Langit
![[CERPEN] PINTU LANGIT — PART 2: Jejak Penjaga Langit](https://s.kaskus.id/images/2025/08/11/5345_10160369_2244_20250811090918.png)
Foto: KasKus/kenzie16465
Quote:
Kertas, Peta, dan Rasa Tak Nyaman
Pagi itu, aku bangun lebih cepat dari biasanya. Matahari belum muncul sepenuhnya di ufuk timur, tapi hawa dingin yang menelusup sampai tulang membuatku enggan kembali ke kasur.
Sisa mimpi semalam—atau apapun itu—masih melekat kuat di kepalaku. Kakek berjubah abu-abu, kabut bercahaya, dan gerbang batu raksasa…
Dan ya, kertas peta aneh itu masih ada.
Kulihat lagi benda itu, kusentuh permukaannya yang kasar dan bau kayu terbakar. Tulisannya samar, nyaris tak terbaca. Tapi ada satu simbol yang mencolok—sebuah lingkaran berisi tujuh titik kecilyang membentuk pola seperti gugus bintang.
Kupelototi terus kertas itu sampai akhirnya suara Ibu memanggil dari luar kamar, “Reno, ayo sarapan. Nanti kita ke Telaga Warna!”
Aku buru-buru menyelipkan kertas itu ke saku jaketku. Hari ini, aku harus kembali ke gerbang Pintu Langit, diam-diam.
Langkah Diam-Diam
Setelah sarapan, Ayah dan Ibu bersiap membawa adik keliling kawasan wisata. Kupura-pura ikut, tapi di parkiran, aku kabur ke arah berlawanan. Kembali menapaki tangga batu ke tempat itu.
Langit mendung. Kabut mulai turun, lagi-lagi terlalu cepat untuk jam segini.
Saat aku mencapai lokasi gerbang, tempat itu kosong total. Tidak ada wisatawan, tidak ada warung buka, bahkan suara alam pun terasa... aneh. Seolah segala sesuatu sedang menahan napas.
Di depan gerbang batu itulah aku berdiri. Kulihat dari dekat—bangunan itu tidak seperti yang kulihat kemarin. Lebih besar, lebih tua, dan lebih hidup.
Ada ukiran samar di dindingnya. Simbol-simbol aneh yang entah kenapa terasa akrab di pikiranku. Saat kusentuh salah satu ukiran, kertas dalam sakuku bergetar. Spontan aku mengeluarkannya, dan di saat itu juga, titik-titik di dalam peta mulai menyala perlahan.
Satu titik menyala merah.
Dan seketika itu pula—suara berbisik kembali terdengar.
"Jejak pertama telah ditemukan."
"Masuki kabut. Jangan ragu."
"Tapi ingat, waktu di sini bukan milikmu."
Dunia Di Antara
Aku tak tahu kenapa, tapi kakiku melangkah sendiri. Kabut menebal seperti tirai, menelanku perlahan. Udara jadi aneh. Lebih hangat, tapi juga lebih berat. Begitu aku melewati lengkungan gerbang batu, duniaku berubah.
Bukan lagi tempat wisata.
Bukan lagi Dieng yang tadi pagi.
Aku berada di hutan cemara tinggi, di mana cahaya matahari menembus seperti sinar ilahi. Angin bertiup pelan, membawa aroma bunga dan dupa. Di kejauhan, suara lonceng kecil terdengar samar.
Aku tahu ini bukan mimpi.
Aku berada di antara dunia—tempat yang tadi disebut kakek itu.
Dan di hadapanku berdiri sesosok gadis berambut panjang, mengenakan pakaian adat putih keperakan. Wajahnya teduh, matanya menatap dalam.
“Kau datang,” katanya. “Sudah lama kami menunggu.”
Namaku Shinta
Gadis itu mengenalkan diri sebagai Shinta, penjaga sisi gerbang dari dunia ini. Ia bukan manusia biasa, tapi bukan makhluk halus juga. “Aku bagian dari penjaga, sama seperti kakekmu dulu,” katanya.
Kakek? Kakek siapa?
“Tentu kau belum tahu,” lanjutnya. “Kakek buyutmu, yang tinggal di Kejajar dulu, adalah salah satu Penjaga Langit terakhir. Tapi ia memilih melepaskan tugasnya demi menikah dengan manusia biasa. Darahmu, Reno... masih menyimpan garis itu.”
Aku terdiam. Tak tahu harus percaya atau menertawakan.
“Dan kini, pintu terbuka lagi karena ancaman baru datang. Dunia manusia terlalu rakus, dan batas antara alam terlihat dan tidak terlihat semakin tipis. Penjaga baru harus bangkit. Kau—telah dipanggil.”
Ujian Pertama: Menyusuri Danau Terbalik
Shinta membawaku ke sebuah tempat yang ia sebut Danau Terbalik—danau di antara dimensi yang jika kau melihat ke dalamnya, kau akan melihat bukan pantulanmu, tapi siapa dirimu sebenarnya.
“Setiap calon penjaga harus melewatinya,” katanya.
Aku mengangguk, meski masih tidak yakin. Tapi aku tidak bisa mundur.
Saat kulangkahkan kaki ke tepi danau, airnya tenang, bening seperti cermin. Dan ketika aku menatap ke permukaan, aku melihat sosok lain.
Itu aku—tapi bukan aku yang sekarang.
Ia mengenakan pakaian penjaga, berdiri di atas kabut, dan menatapku dengan mata yang seperti langit malam. Tapi di belakangnya, muncul sosok hitam berwajah kabur—musuh.
Seketika itu juga, air danau berputar. Gelombang kabut muncul dari tengahnya dan membentuk sesosok makhluk bayangan yang bergerak ke arahku!
“Hadapi dia!” teriak Shinta.
“Tapi aku tidak punya senjata!”
“Kau punya cahaya!”
Aku menutup mata, panik. Tapi dalam gelap itu, suara dalam hatiku berbisik: “Percaya. Percaya. Kau bukan anak biasa.”
Saat kubuka mata, tanganku memancarkan cahaya keperakan—sama seperti jubah si kakek semalam. Cahaya itu membentuk perisai dan menahan makhluk bayangan yang menghantamku. Dan dalam sekali kilat, semuanya kembali sunyi.
Aku masih berdiri.
Dan danau itu… kini memantulkan wajahku, wajah seorang penjaga.
Waktu di Dunia Nyata
Setelah itu, Shinta berkata, “Jejak pertamamu sudah lengkap. Masih ada enam jejak lainnya.”
“Tapi aku harus pulang dulu,” jawabku. “Orangtuaku pasti panik.”
Ia mengangguk. “Kembali melalui kabut. Tapi ingat: waktu tidak sama di dunia kami dan dunia manusia.”
Saat aku kembali berjalan menembus kabut, dunia mulai memudar. Suara alam menghilang, digantikan suara ramai—dan langkah kaki—dan…
“Reno!!”
Itu suara Ayah.
Aku membuka mata. Kami kembali di tempat wisata. Aku berdiri tepat di depan gerbang batu. Tapi... hari sudah berganti. Bajuku lembap. Nafasku terengah. Dan di sekitarku, banyak orang berkumpul panik.
“Apa yang kamu lakukan?! Kamu menghilang hampir sehari!” bentak Ibu sambil memelukku erat.
Aku... baru menyadari, waktu di dunia nyata memang berjalan berbeda.
Tanda di Tangan
Malam itu, di kamar penginapan, aku menatap peta yang tadi hanya memiliki satu titik menyala. Kini... dua titik menyala.
Dan di telapak tanganku, muncul tanda kecil berbentuk lingkaran bintang tujuh, samar seperti tinta air.
Aku tahu, ini baru permulaan.
Dan suara dalam hatiku—atau mungkin suara dari kabut—berbisik lagi:
"Tujuh jejak. Tujuh penjaga. Tujuh pintu. Kamu satu di antaranya."
Quote:
![[CERPEN] PINTU LANGIT — PART 2: Jejak Penjaga Langit](https://s.kaskus.id/images/2025/08/11/3168_10160369_1167_20250811094412.png)
Diubah oleh kenzie16465 13-08-2025 00:07
0
71
1
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan