Belakangan ini, berita tentang istri gugat cerai suami makin marak.
Bahkan nggak sedikit kasusnya yang datang dari rumah tangga yang awalnya kelihatan harmonis.

Ane nemu komentar dari salah satu kaskuser yang lumayan “nendang”:

"Kalau belum punya mental baja, jangan pilih perempuan dengan isu broken home atau fatherless untuk dijadikan istri. Energi kita akan habis untuk menanggulangi emosinya."

Kalimat ini keras, tapi kalau kita lihat fenomena sekarang, ada benarnya juga.
Kenapa? Karena perempuan yang membawa luka masa kecil sering kali punya trauma yang belum selesai.

Akibatnya, masalah kecil bisa jadi besar, rasa curiga gampang muncul, dan… kalau hubungan sudah mentok, jalan keluar yang diambil adalah gugatan cerai.

1. Fakta di Lapangan

Banyak suami mengaku kelelahan secara mental menghadapi pasangan yang overthinking dan emosinya naik-turun.

Banyak istri merasa lebih baik hidup sendiri daripada terus merasa tidak aman dalam pernikahan.

Data perceraian menunjukkan tren gugat cerai oleh istri meningkat setiap tahun.

2. Sisi Lainnya

Bukan berarti semua perempuan broken home pasti bikin rumah tangga hancur.Ada banyak yang justru jadi pasangan luar biasa karena mereka belajar dari masa lalu. Bedanya? Mereka mau proses healing, bukan cuma berharap suami jadi peredam luka.

3. Realita yang Perlu Diterima

Kalau kamu pria yang mentalnya belum siap menghadapi pasangan dengan bagasi masa lalu,lebih baik jujur dari awal—karena kalau nggak, siap-siap aja tenaga, waktu, dan emosi terkuras… dan ujungnya bisa berakhir di meja pengadilan.

Menurut kalian, fenomena meningkatnya gugat cerai istri ini memang karena karakter pasangan yang broken home…
atau karena suami yang kurang sabar dan nggak siap jadi “tembok” bagi luka masa lalu istrinya?

Mana yang lebih dominan?

Buat yang mau tahu cara menghadapi pasangan dari keluarga broken home tanpa berakhir di pengadilan agama, ane rekomendasiin baca ebook yang saya tulis sesuai kisah nyata disini