Kaskus

Story

delia.adelAvatar border
TS
delia.adel
Menolak Pndah Alamat
Menolak Pndah Alamat




Rasa ini masih milikmu walaupun kau tidak lagi menginginkan aku. Seperti kursi plastik di beranda rumahmu yang tetap menyimpan bekas tempat dudukku, walau kau sudah menjemurnya berhari-hari di bawah matahari. Kau pikir panas bisa menghapus semua jejak, padahal panas hanya membuatnya semakin dalam. Kau tidak pernah tahu bagaimana kursi itu sering mengaduh lirih di malam hari, meminta aku kembali, atau sekadar menaruh tas belanja di atasnya.

Aku mencoba hidup seperti biasa, tapi “biasa” itu sudah tidak ada. Biasa adalah saat aku bisa datang ke rumahmu tanpa mengetuk, masuk dapur, dan pura-pura protes karena gula pasir di toples habis. Sekarang aku hanya berdiri di ujung gang, pura-pura menunggu tukang sayur, padahal hanya ingin memastikan bahwa pintu rumahmu masih dicat biru seperti dulu.

Rasa ini memang aneh. Ia seperti jas hujan sobek yang tetap kupakai setiap hujan turun. Orang-orang bilang bodoh, tapi aku merasa justru itu yang membuatku hangat. Aku tahu, kau sudah mengunci pintu, mematikan lampu, bahkan mengganti kunci gembok hati dengan model terbaru yang katanya lebih aman. Tapi aku ini maling kenangan: aku tak butuh kunci, cukup bau hujan untuk membobolnya.

Kau tak lagi menginginkan aku, tapi kota ini penuh jebakan yang memaksaku mengingatmu. Warung di pojokan masih menjual roti sobek isi selai stroberi yang dulu kau benci tapi selalu kau makan kalau aku beli. Bangku taman di dekat lapangan bola masih miring seperti dulu, seakan mengajak kita kembali duduk bersebelahan, membicarakan hal-hal tidak penting sampai senja datang dan membuat kita percaya bahwa dunia akan selalu ramah.

Aku pernah mencoba membuang rasa ini ke kali belakang rumah. Aku tulis semua namamu di selembar kertas, kertas itu kulipat, lalu kulemparkan. Tapi arusnya malah membawanya ke tepi lagi, seperti bola plastik yang menolak pergi. Aku duduk lama di tepi kali, berharap air itu mengajariku bagaimana caranya melupakan tanpa harus menjadi kering.

Kadang aku merasa, mencintaimu setelah kau tidak lagi menginginkanku adalah seperti merawat tanaman plastik. Tak akan tumbuh, tak akan mati, tapi tetap saja aku sirami, karena aku takut kalau kotoran debu menutupinya, aku akan benar-benar kehilangan alasan untuk memeluknya.

Orang-orang mengajakku bercanda soal cinta baru. “Cari yang lain,” kata mereka, seolah hatiku ini warung kopi yang bisa berganti menu setiap minggu. Mereka tidak tahu, menu di hatiku cuma satu: kamu. Kalau kau pergi, warung ini tetap buka, tapi pelanggannya cuma aku sendiri. Aku duduk di meja pojok, memesan namamu, dan pelayan yang juga menghidangkannya dengan wajah muram.

Malam-malamku menjadi seperti kantong plastik yang ditiup angin, lalu tersangkut di kawat listrik: tak bisa turun, tak bisa terbang. Aku ingat dulu kita sering tertawa tanpa alasan. Sekarang aku tertawa karena ingin mengusir sepi, tapi malah terdengar seperti suara pintu berderit yang menakutkan.

Aku menulis ini bukan untuk membuatmu kembali. Aku tahu, kau sudah menutup semua pintu dan jendela. Bahkan kau mungkin sudah mengganti gorden, membuang kasur, dan mengusir semua kenangan yang mirip aku. Tapi rasa ini, entah bagaimana, masih betah. Ia seperti tamu yang datang waktu Lebaran, tapi setelah semua orang pulang, ia tetap duduk di ruang tamu, minta teh hangat lagi.

Aku mencoba membayangkanmu bahagia tanpa aku, dan di situlah rasa ini bertepuk tangan. Bukan karena ia setuju, tapi karena ia tahu, semakin aku mencoba, semakin aku gagal. Dan kegagalan ini seperti kucing liar yang tak mau pergi walau sudah dilempari sandal. Ia tidur di depan pintu, menggesek-gesekkan tubuhnya ke kakiku, meminta dielus.

Pernah suatu malam, aku terbangun karena mimpi tentangmu. Dalam mimpi itu, kita duduk di bangku panjang, saling diam, tapi tangan kita saling mencari. Saat aku terbangun, aku sadar itu hanya mimpi, tapi rasa ini masih menempel seperti bekas tinta yang tak bisa dihapus penghapus pensil. Aku ingin menelponmu, tapi ponselku seperti tahu bahwa itu ide bodoh, jadi baterainya habis.

Hari-hari terus berjalan, tapi aku tetap membawa rasa ini kemana-mana. Ke pasar, ke kamar mandi, bahkan ke mimpi siang saat aku pura-pura tidur di depan televisi. Orang-orang bilang waktu bisa menyembuhkan. Mungkin benar, tapi waktuku ini bandel. Ia lebih suka duduk di halte, menunggu bus yang tidak pernah datang, sambil memeluk rasa ini erat-erat.

Kadang aku merasa, kalau aku mati, rasa ini akan tetap hidup. Ia akan keluar dari tubuhku, berkeliaran di kota, duduk di kursi plastik depan rumahmu, sambil tersenyum kecil seperti maling yang sudah menemukan sarang yang tepat.

Dan entah kenapa, aku tidak marah.

....to be C......
bnbabaAvatar border
petrukdublajayaAvatar border
makgendhisAvatar border
makgendhis dan 5 lainnya memberi reputasi
6
767
41
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan