- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
BPS Sebut Penduduk Miskin Indonesia Hanya 8 %, Bank Dunia Kuak Ada 66 %


TS
lowbrow
BPS Sebut Penduduk Miskin Indonesia Hanya 8 %, Bank Dunia Kuak Ada 66 %

TRIBUNJATENG.COM- Perbedaan mencolok antara data kemiskinan versi Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS) menuai perhatian publik dan akademisi.
Dalam laporan terbarunya pada Juni 2025, Bank Dunia menyatakan bahwa 66,6 persen penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan global, atau sekitar 194 juta jiwa.
Sementara itu, BPS dalam laporan resmi pada Maret 2025 menyebut jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 23,21 juta jiwa atau 8,47 persen dari total populasi.
Singkatnya, BPS menetapkan standar kemiskinan adalah mereka yang berpenghasilan di bawah Rp 20.500 per hari.
Sementara Bank Dunia menetapkan standar kemiskinan di bawah Rp 49.000 per hari.
Perbedaan Metodologi: PPP vs CBN
Laporan Bank Dunia menggunakan metodologi yang berbeda, yakni garis kemiskinan internasional berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP) sebesar US$3,20 per hari untuk negara-negara berpendapatan menengah atas seperti Indonesia.
Mengutip laporan Bank Dunia:
"Garis kemiskinan internasional sebesar Rp 49 Ribu per hari (menggunakan nilai daya beli tahun 2011/PPP 2011) digunakan untuk negara-negara berpendapatan menengah bawah."
— World Bank, Laporan Poverty and Shared Prosperity 2022
Dalam simulasi terbaru pada Juni 2025, Bank Dunia menggunakan nilai tukar PPP terkini yang menyebabkan sekitar 66,6 persen warga Indonesia dikategorikan tidak mampu memenuhi pengeluaran minimum tersebut.
Sebaliknya, BPS menggunakan pendekatan Cost of Basic Needs (CBN), yang menghitung kebutuhan dasar makanan dan non-makanan sesuai harga lokal. Dalam siaran pers BPS per 15 Juli 2025:
“Garis kemiskinan nasional pada Maret 2025 sebesar Rp550.458 per kapita per bulan. Penduduk yang pengeluarannya di bawah angka tersebut dikategorikan sebagai miskin.” — Siaran Pers BPS Nomor 47/07/Th.XXVIII, 15 Juli 2025
Mengapa Bisa Beda Jauh?
Menurut peneliti ekonomi Universitas Indonesia, Dr. Teguh Dartanto, perbedaan mencolok ini bukan karena ada kesalahan, melainkan karena "metode dan standar internasional jauh lebih tinggi dari standar domestik."
Sementara itu, mantan Kepala BPS Suhariyanto pernah menegaskan bahwa pendekatan BPS bertujuan untuk mencerminkan kondisi minimum layak hidup menurut standar nasional, bukan global.
“BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar. Ini mencakup 2.100 kalori per hari dan kebutuhan non-pangan seperti perumahan, pendidikan, dan kesehatan, tetapi disesuaikan dengan harga dan struktur konsumsi lokal.” — Suhariyanto, Kompas, 2020
Namun, pendekatan ini dinilai kurang mencerminkan tekanan ekonomi nyata yang dihadapi masyarakat, terutama di perkotaan.
Dampak Terhadap Kebijakan Publik
Ketidaksinkronan data ini menimbulkan persoalan serius dalam perencanaan kebijakan. Banyak program bantuan sosial seperti:
PKH (Program Keluarga Harapan)
BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai)
BLT (Bantuan Langsung Tunai)
Subsidi energi
selama ini dirancang berdasarkan data kemiskinan dari BPS dan DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial). Jika kenyataannya lebih dari separuh rakyat hidup di bawah garis kemiskinan global, maka jaring pengaman sosial Indonesia bisa dikatakan tidak cukup luas.
Dalam laporan evaluasi World Bank tahun 2022, dinyatakan:
> “Many poor and vulnerable households are not included in the national social registry (DTKS), leading to undercoverage in programs.” — World Bank, “Protecting All: Risk-Sharing for a Diverse and Diversifying Indonesia” (2022)
Pakar kebijakan sosial menyarankan:
1. Pemerintah perlu menggabungkan indikator lokal dan global dalam menetapkan strategi penanggulangan kemiskinan.
2. Validasi dan pembaharuan DTKS harus dilakukan lebih sering, melibatkan Pemda dan lembaga independen.
3. Penyesuaian ambang batas kemiskinan nasional perlu dikaji ulang agar tidak terlalu rendah dan mengabaikan kelompok rentan.
Perbedaan antara data BPS dan Bank Dunia bukan semata-mata soal angka, tapi menyangkut bagaimana negara melihat warganya sendiri: apakah cukup dengan memenuhi kebutuhan dasar minimum, atau layak hidup dengan standar global yang lebih manusiawi.
Ke depan, transparansi dan keterbukaan data menjadi kunci untuk memastikan bahwa kebijakan publik benar-benar berpihak pada mereka yang paling membutuhkan.
https://jateng.tribunnews.com/amp/20...-ada-66-persen






aldonistic dan 3 lainnya memberi reputasi
4
637
45


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan