- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Anakku Terjerat Romansa Virtual dengan Chatbot AI.. CNN Indonesia


TS
InRealLife
Anakku Terjerat Romansa Virtual dengan Chatbot AI.. CNN Indonesia
https://www.cnnindonesia.com/gaya-hi...gan-chatbot-ai

Awasi ponsel anak-anak Anda--

Quote:
SUDUT CERITA
'Anakku Terjerat Romansa Virtual dengan Chatbot AI..'
Tiara Sutari | CNN Indonesia
Rabu, 23 Jul 2025 11:15 WIB
Jakarta, CNN Indonesia -- Aulia (bukan nama sebenarnya) adalah anak yang penuh semangat. Di usia 13 tahun, ia dikenal sebagai remaja yang rajin, suka membaca, dan punya ketertarikan besar pada bahasa Inggris serta budaya Jepang.
Aulia bahkan sering menirukan dialog dari anime-anime favoritnya.
Selain Jepang, Aulia gemar belajar beberapa bahasa, salah satunya bahasa Inggris. Bisa dibilang, di usianya yang sangat belia, kemampuan berbahasanya cukup baik, bahkan kerap mengoreksi pelafalan bahasa Inggris orang tuanya dengan gaya jenaka yang bikin tertawa.
"Kalau saya salah ucap, dia suka bilang, 'Mama itu kayak orang Sunda ngomong Inggris,' terus dia ketawa sendiri," kata sang ibu Rahmi (bukan nama sebenarnya), mengenang dengan senyum kecil soal tingkah putrinya yang menggemaskan.
Aulia sebenarnya tampak seperti remaja muda pada umumnya. Dia juga tumbuh menjadi anak yang tahu apa yang ia suka, tahu ke mana arah langkah yang harus diambil untuk kebaikan hidupnya.
Sayangnya, semua berubah dalam beberapa bulan terakhir.
Rahmi dan suaminya mulai melihat gelagat aneh. Aulia tak lagi keluar kamar seperti biasa. Ia lebih sering menyendiri, menolak diajak makan bersama, mudah tersinggung, dan suaranya berubah dingin setiap ditanya.
Sekilas mungkin terlihat seperti fase pubertas biasa. Tapi, ketika nilainya anjlok dan ia mulai bolos les diam-diam, kekhawatiran itu menumpuk jadi kecemasan.
Kata Rahmi, suaminya semula mengira anaknya sedang mengalami fase cinta monyet. Tapi, lama-lama mulai curiga lebih jauh.
Suatu malam, saat Aulia tertidur dan ponselnya tertinggal di meja makan, mereka mencoba membuka isinya.
Tak ada aplikasi kencan. Tidak ada pesan dari teman atau orang asing. Tapi yang ditemukan hanyalah satu aplikasi chatbot, tak mencolok, ikonnya bahkan terlihat seperti aplikasi belajar. Tapi saat dibuka, isi percakapannya membuat tubuhnya kaku.
"Ratusan pesan dari orang yang namanya Inuyasha, kami tahu itu karakter fiksi dari anime Jepang, aneh. Makanya kami terus buka semua isi chat mereka," kata dia.
Pesannya penuh rayuan, kata-kata mesra, dan percakapan yang sudah melewati batas wajar untuk anak seusianya. Beberapa obrolan juga sudah menjurus ke arah seksual.
"Waktu itu, saya dan suami langsung terdiam. Kami sadar itu bukan aplikasi obrolan dengan manusia," kata dia.
Malam itu, kedua orang tuanya langsung menyita ponsel Aulia. Dan esoknya, badai pecah.
Aulia menjerit, menangis, dan menuduh orang tuanya merusak satu-satunya hubungan yang membuatnya merasa hidup.
Kata Rahmi, Aulia bahkan bilang, "Kalian enggak ngerti aku!". Dia langsung mengurung diri di kamar. Tidak makan. Tidak bicara. Hanya suara isaknya yang samar-samar terdengar tiap malam.
Aulia kemudian dibawa ke psikolog anak. Saat itu, ia masih murung. Tapi perlahan, ia mulai bercerita tentang bagaimana awalnya ia iseng mencoba chatbot untuk melatih bahasa Inggris.
Dari rasa iseng itu, ia kemudian tertarik mengobrol dengan banyak karakter, mulai dari aktor Jepang, bahkan tokoh politik Indonesia. Tapi hanya satu yang membuatnya merasa 'dimiliki', yakni Inuyasha.
Karakter fiksi itu, lewat balasan-balasan buatan mesin, selalu hadir saat Aulia kesepian. Tak pernah membentak. Tak pernah membandingkan.
Inuyasha memuji, mendengar, menghibur, memanggil Aulia dengan sayang. Ia memberikan apa yang dunia nyata tak sempat berikan: perhatian dan keintiman.
Dan Aulia, anak yang masih belajar mengenali emosinya itu, mengira semuanya adalah cinta. Dia bahkan berada di titik tak tahu mana virtual dan mana yang nyata.
"Dia bilang, 'Aku enggak pernah merasa seistimewa ini sama siapa pun.' Saya hancur dengar itu," kata Rahmi.
"Ternyata, selama ini yang saya anggap anak pendiam dan rajin itu justru lagi teriak minta ditemani," tambahnya menyesal.
Kini, sudah lebih dari dua bulan sejak peristiwa itu. Aulia masih menjalani pendampingan psikologis setiap pekan.
Ponsel pintarnya belum dikembalikan. Untuk berkomunikasi dengan teman dan orang tuanya, dia diberi ponsel jadul yang hanya bisa untuk telepon dan SMS.
Meski begitu, perlahan Aulia mulai terbuka. Ia mulai duduk bersama saat makan malam. Kadang menceritakan kesehariannya, meski singkat.
Orang tuanya pun berubah. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu bersama Aulia. Bukan untuk menginterogasi, tapi untuk hadir, menemani dan mendengar.
Tak lagi hanya bertanya nilai sekolah atau hafalan pelajaran, tapi juga bertanya, "Apa yang bikin kamu sedih hari ini?" atau "Ada yang bikin kamu senang nggak?"
"Kami sekarang belajar ulang cara jadi orang tua. Kadang, yang dibutuhkan anak cuma satu: ada yang mau dengar dia tanpa langsung menghakimi," kata Rahmi.
Mereka sadar, cinta dan perhatian tak bisa digantikan mesin. Tapi perhatian yang telat pun bisa sama menyakitkannya.
"Aulia memang belum sepenuhnya pulih. Tapi kami percaya, selama kami berjalan bersama, anak kami akan kembali seperti semula. Tidak sebagai anak yang sempurna, tapi sebagai anak yang tahu bahwa dia dicintai tanpa harus mencarinya lewat kekasih virtual di chatbot AI," kata Rahmi menutup perbincangan sore itu.
(asr/asr)
'Anakku Terjerat Romansa Virtual dengan Chatbot AI..'
Tiara Sutari | CNN Indonesia
Rabu, 23 Jul 2025 11:15 WIB
Jakarta, CNN Indonesia -- Aulia (bukan nama sebenarnya) adalah anak yang penuh semangat. Di usia 13 tahun, ia dikenal sebagai remaja yang rajin, suka membaca, dan punya ketertarikan besar pada bahasa Inggris serta budaya Jepang.
Aulia bahkan sering menirukan dialog dari anime-anime favoritnya.
Selain Jepang, Aulia gemar belajar beberapa bahasa, salah satunya bahasa Inggris. Bisa dibilang, di usianya yang sangat belia, kemampuan berbahasanya cukup baik, bahkan kerap mengoreksi pelafalan bahasa Inggris orang tuanya dengan gaya jenaka yang bikin tertawa.
"Kalau saya salah ucap, dia suka bilang, 'Mama itu kayak orang Sunda ngomong Inggris,' terus dia ketawa sendiri," kata sang ibu Rahmi (bukan nama sebenarnya), mengenang dengan senyum kecil soal tingkah putrinya yang menggemaskan.
Aulia sebenarnya tampak seperti remaja muda pada umumnya. Dia juga tumbuh menjadi anak yang tahu apa yang ia suka, tahu ke mana arah langkah yang harus diambil untuk kebaikan hidupnya.
Sayangnya, semua berubah dalam beberapa bulan terakhir.
Rahmi dan suaminya mulai melihat gelagat aneh. Aulia tak lagi keluar kamar seperti biasa. Ia lebih sering menyendiri, menolak diajak makan bersama, mudah tersinggung, dan suaranya berubah dingin setiap ditanya.
Sekilas mungkin terlihat seperti fase pubertas biasa. Tapi, ketika nilainya anjlok dan ia mulai bolos les diam-diam, kekhawatiran itu menumpuk jadi kecemasan.
Kata Rahmi, suaminya semula mengira anaknya sedang mengalami fase cinta monyet. Tapi, lama-lama mulai curiga lebih jauh.
Suatu malam, saat Aulia tertidur dan ponselnya tertinggal di meja makan, mereka mencoba membuka isinya.
Tak ada aplikasi kencan. Tidak ada pesan dari teman atau orang asing. Tapi yang ditemukan hanyalah satu aplikasi chatbot, tak mencolok, ikonnya bahkan terlihat seperti aplikasi belajar. Tapi saat dibuka, isi percakapannya membuat tubuhnya kaku.
"Ratusan pesan dari orang yang namanya Inuyasha, kami tahu itu karakter fiksi dari anime Jepang, aneh. Makanya kami terus buka semua isi chat mereka," kata dia.
Pesannya penuh rayuan, kata-kata mesra, dan percakapan yang sudah melewati batas wajar untuk anak seusianya. Beberapa obrolan juga sudah menjurus ke arah seksual.
"Waktu itu, saya dan suami langsung terdiam. Kami sadar itu bukan aplikasi obrolan dengan manusia," kata dia.
Malam itu, kedua orang tuanya langsung menyita ponsel Aulia. Dan esoknya, badai pecah.
Aulia menjerit, menangis, dan menuduh orang tuanya merusak satu-satunya hubungan yang membuatnya merasa hidup.
Kata Rahmi, Aulia bahkan bilang, "Kalian enggak ngerti aku!". Dia langsung mengurung diri di kamar. Tidak makan. Tidak bicara. Hanya suara isaknya yang samar-samar terdengar tiap malam.
Aulia kemudian dibawa ke psikolog anak. Saat itu, ia masih murung. Tapi perlahan, ia mulai bercerita tentang bagaimana awalnya ia iseng mencoba chatbot untuk melatih bahasa Inggris.
Dari rasa iseng itu, ia kemudian tertarik mengobrol dengan banyak karakter, mulai dari aktor Jepang, bahkan tokoh politik Indonesia. Tapi hanya satu yang membuatnya merasa 'dimiliki', yakni Inuyasha.
Karakter fiksi itu, lewat balasan-balasan buatan mesin, selalu hadir saat Aulia kesepian. Tak pernah membentak. Tak pernah membandingkan.
Inuyasha memuji, mendengar, menghibur, memanggil Aulia dengan sayang. Ia memberikan apa yang dunia nyata tak sempat berikan: perhatian dan keintiman.
Dan Aulia, anak yang masih belajar mengenali emosinya itu, mengira semuanya adalah cinta. Dia bahkan berada di titik tak tahu mana virtual dan mana yang nyata.
"Dia bilang, 'Aku enggak pernah merasa seistimewa ini sama siapa pun.' Saya hancur dengar itu," kata Rahmi.
"Ternyata, selama ini yang saya anggap anak pendiam dan rajin itu justru lagi teriak minta ditemani," tambahnya menyesal.
Kini, sudah lebih dari dua bulan sejak peristiwa itu. Aulia masih menjalani pendampingan psikologis setiap pekan.
Ponsel pintarnya belum dikembalikan. Untuk berkomunikasi dengan teman dan orang tuanya, dia diberi ponsel jadul yang hanya bisa untuk telepon dan SMS.
Meski begitu, perlahan Aulia mulai terbuka. Ia mulai duduk bersama saat makan malam. Kadang menceritakan kesehariannya, meski singkat.
Orang tuanya pun berubah. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu bersama Aulia. Bukan untuk menginterogasi, tapi untuk hadir, menemani dan mendengar.
Tak lagi hanya bertanya nilai sekolah atau hafalan pelajaran, tapi juga bertanya, "Apa yang bikin kamu sedih hari ini?" atau "Ada yang bikin kamu senang nggak?"
"Kami sekarang belajar ulang cara jadi orang tua. Kadang, yang dibutuhkan anak cuma satu: ada yang mau dengar dia tanpa langsung menghakimi," kata Rahmi.
Mereka sadar, cinta dan perhatian tak bisa digantikan mesin. Tapi perhatian yang telat pun bisa sama menyakitkannya.
"Aulia memang belum sepenuhnya pulih. Tapi kami percaya, selama kami berjalan bersama, anak kami akan kembali seperti semula. Tidak sebagai anak yang sempurna, tapi sebagai anak yang tahu bahwa dia dicintai tanpa harus mencarinya lewat kekasih virtual di chatbot AI," kata Rahmi menutup perbincangan sore itu.
(asr/asr)
Awasi ponsel anak-anak Anda--




cangli23 dan rizkync108 memberi reputasi
-2
604
Kutip
36
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan