- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Pesawat J-10C Bersumber dari Israel, Dibiayai AS dan Kemudian Mem


TS
danantara
Pesawat J-10C Bersumber dari Israel, Dibiayai AS dan Kemudian Mem
Pesawat J-10C Bersumber dari Israel, Dibiayai AS dan Kemudian Membesarkan China
Jakarta - Pesawat yang juga diminati Indonesia, memiliki jalan sejarah lintas negara dan kubu.
Indonesia saat ini sedang mempelajari kemungkinan membeli pesawat buatan China J-10C.
Pesawat ini naik daun setelah berhasil menjatuhkan enam pesawat India, tiga di antaranya jet tempur canggih buatan Prancis, Rafale.
Peristiwa itu terjadi pada pertempuran udara antara Pakistan dan India pada 7 Mei 2025.
Sejak itu, J-10C mendapat sebutan sebagai pembunuh Rafale, karena ini pertama kalinya pesawat buatan Dassault Aviation itu dijatuhkan pesawat musuh.
Tak lama kemudian, Indonesia menyatakan tertarik membeli 42 J-10C.
Meski begitu, menurut Wakil Menteri Pertahanan Donny Ermawan Taufanto, sebenarnya Indonesia sudah ditawari pesawat itu jauh sebelum pertempuran antara India dan Pakistan.
Donny mengatakan tidak menutup kemungkinan Indonesia akan membeli pesawat tempur J-10C.
BACA JUGA: Mimpi Buruk Bagi NASA, Rusia Orbitkan Sarang Satelit yang Bisa Menyerang dan Membutakan Satelit AS
"Kalau memang kita evaluasi, pesawat ini bagus, memenuhi kriteria yang kita tetapkan, apalagi harganya murah, ya kenapa tidak?" kata Donny saat ditemui Antara di kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta Pusat, 4 Juni 2025.
Ia menjelaskan, rencana pembelian J-10C berawal dari kunjungan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Mohamad Tonny Harjono ke pameran alutsista di China.
Di sana, lanjut Donny, pihak China menawarkan pesawat tempur tersebut ke TNI AU.
"Kita termasuk ditawari pesawat itu. Ya termasuk evaluasi kita jugalah," katanya.
J-10C dinilai merupakan awal kebangkitan teknologi dirgantara China hingga kini mampu bersaing dengan teknologi pesawat AS dan Rusia.
Peluncuran jet tempur J-10 “Vigorous Dragon” dilakukan China pada 1998 dan menjadi sebuah pencapaian penting negara itu, karena menandai momen krusial dalam evolusi industri pertahanan Beijing.
Saat itu, sektor kedirgantaraan China masih dalam tahap awal, berjuang mengejar kesenjangan teknologi dan pengalaman terbatas dalam pengembangan jet tempur dalam negeri.
J-10 bukan sekadar pengenalan pesawat tempur baru, namun juga momen yang membuat China mulai siap menantang dominasi teknologi penerbangan Barat dan Rusia.
Berbagai laporan menyebutkan, pesawat ini sebenarnya bersumber dari Israel.
Teknologi itu tertrasnsfer ke China ketika negara tersebut masih memiliki hubungan diplomatik yang baik pada awal 1990-an.
Sedangkan pesawat itu diyakini awalnya merupakan proyek Israel pada 1988 yang dibiayai Amerika Serikat (AS) yang notabene merupakan salah satu musuh utama China.
Pada 1980-an, Israel yang merupakan anak emas AS mengembangkan pesawat tempur baru bernama LAVI.
Di era itu pula, proyek yang dibiayai AS tersebut dihentikan, karena Washington tak ingin terjadi persaingan dengan F-16 buatan Lockheed Martin yang juga menjadi andalan AS.
BACA JUGA: Turki Yakin Bisa Segera Jodohkan Jet Tempur Generasi Kelima KAAN dengan F-35
Laporan-laporan menduga bahwa meskipun LAVI tidak pernah mencapai status operasional, kemajuan teknologinya tidak sia-sia.
Israel diyakini telah mentransfer aspek-aspek penting dari program LAVI ke China, termasuk avionik, material komposit, dan sistem kendali penerbangan yang canggih.
Banyak di antara teknologi LAVI yang sejajar dengan teknologi yang digunakan dalam jet tempur Amerika saat ini.
Salah satu indikasi paling kuat dari pengaruh Israel pada J-10 adalah konfigurasi canard-delta-nya, karakteristik yang menentukan dari LAVI.
Meski begitu, meskipun J-10 dan LAVI memiliki banyak kesamaan, ada beberapa perbedaan utama.
J-10 lebih besar, lebih berat, dan disesuaikan dengan persyaratan operasional khusus China, termasuk konfigurasi mesin dan perangkat avionik yang berbeda.
Kolaborasi yang diduga terjadi antara Israel dan China tidak terbatas pada proyek J-10.
Sumber industri pertahanan mengindikasikan, kedua negara terlibat dalam beberapa transfer teknologi pertahanan selama akhir 1980-an dan awal 1990-an.
Salah satu contoh penting adalah pengembangan rudal udara-ke-udara PL-8 China, yang sangat mirip dengan rudal Python-3 Israel.
Diproduksi oleh Xian Aircraft Corporation, PL-8 tetap menjadi bagian integral persenjataan udara China, yang menggarisbawahi dampak abadi teknologi Israel.
Selain itu, Israel dilaporkan telah membantu China dalam memperoleh teknologi radar dan avionik.
Radar Doppler E/LM-2035 dan sistem navigasi inersia “Tamam”—keduanya merupakan produk pertahanan utama Israel—diduga telah diintegrasikan ke dalam jet tempur Tiongkok seperti J-8 dan J-10.
Selama tahun 1980-an, China secara aktif mencari teknologi Barat sebagai bagian dari strategi yang lebih luas untuk memodernisasi militernya.
AS dan beberapa negara Eropa memberi China akses ke sistem pertahanan canggih, termasuk mesin pesawat terbang dan avionik, terutama sebagai penyeimbang pengaruh Uni Soviet (sekarang Rusia).
BACA JUGA: AS Ternyata Super Power yang Rapuh, Tak Siap Hadapi Perang Besar dan Bahkan Masih Tergantung China
Namun, kerja sama ini terhenti tiba-tiba setelah terjadi insiden penumpasan aktivis di Lapangan Tiananmen tahun 1989.
Saat itu, negara-negara Barat menjatuhkan sanksi militer terhadap Beijing.
Hubungan China dan AS yang semula sempat membaik, kemudian memburuk.
Akses ke teknologi militer Barat semakin terbatas dan China terpaksa mencari sumber alternatif.
Israel, yang dikenal karena keahliannya yang canggih dalam teknologi avionik dan rudal, muncul sebagai mitra potensial.
Memang hingga saat ini masih terjadi perdebatan tentang sejauh mana Israel membantu China dalam mengembangkan teknologi pertahanan.
Meski begitu, kemajuan teknologi dalam program pesawat tempur China sangat menunjukkan adanya pengaruh eksternal.
Terlepas dari sejauh mana keterlibatan Israel, keberhasilan pengembangan J-10 menandai titik balik bagi industri penerbangan China.
Pesawat ini menjadi batu loncatan untuk program dalam negeri berikutnya, yang mengarah pada pengembangan platform yang lebih canggih seperti J-16 dan J-20 “Mighty Dragon” generasi kelima.
Saat ini, China berdiri sebagai salah satu kekuatan kedirgantaraan utama dunia, yang mampu merancang dan memproduksi sendiri jet tempur canggih yang menyaingi Amerika Serikat dan Rusia.
Terlepas dari apakah keahlian teknis Israel memainkan peran penting dalam evolusi J-10 atau tidak, pesawat ini tetap menjadi awal yang menentukan dalam perjalanan teknologi kedirgantaraan China menuju kemandirian militer dan proyeksi kekuatan global.
Sementara perdebatan tentang peran Israel dalam asal usul J-10 terus berlanjut, yang tidak dapat disangkal adalah bahwa J-10 mengawali kemunculan China sebagai pemain tangguh dalam dunia pertempuran udara modern yang penuh risiko tinggi.
BACA JUGA: Indonesia Justru Mendapat Berkah Tersembunyi dari Ancaman Sanksi CAATSA
Sejak peluncuran J-10, China dengan cepat mengembangkan pesawat tempur canggih.
Bahkan, China kini menyaingi AS dalam membangun platform pesawat generasi kelima.
China menjadi negara kedua yang mampu memproduksi dua varian pesawat generasi kelima, yakni J-10 dan J-35.
Platform itu menyaingi AS yang memproduksi pesawat tempur F-35 an F-22 Raptor.
Tak hanya itu, China sudah melangkah paling awal dalam mengembangkan pesawat generasi keenam, yakni J-36 dan J-50.
Sementara AS malah masih berkutat dengan perdebatan program Next Generation Air Dominance (NGAD), sebelum menyerahkan proyek itu kepada Boeing untuk membangun jet tempur generasi keenam yang diberi nama F-47.
Kini, China menjadi satu-satunya negara yang sudah memproduksi prototipe pesawat generasi keenam.
Diharapkan, China sudah mampu mengoperasikan pesawat tercanggih dunia itu pada awal 2030-an, di saat negara lain termasuk AS baru sibuk mengembangkannya.
Maka, pesawat J-10 yang diminati Indonesia itu memiliki sejarah besar bagi China, karena menjadi awal lompatan teknologi kedirgantaraan dan pertahanan mereka.
Hanya saja, Indonesia sampai sekarang belum memutuskan apakah akan jadi mengakuisisi J-10 atau masih memiliki alternatif lain.
Sebab, di saat yang sama, Indonesia juga tertarik bekerja sama dengan Turki dalam pengembangan pesawat generasi kelima KAAN.
Bahkan, Indonesia dan Turki sudah menandatangani Memorandum of Understanding pada 11 Juni 2025.
https://www.zonajakarta.com/nasional...besarkan-china
Endon cangkul aja impor
Jakarta - Pesawat yang juga diminati Indonesia, memiliki jalan sejarah lintas negara dan kubu.
Indonesia saat ini sedang mempelajari kemungkinan membeli pesawat buatan China J-10C.
Pesawat ini naik daun setelah berhasil menjatuhkan enam pesawat India, tiga di antaranya jet tempur canggih buatan Prancis, Rafale.
Peristiwa itu terjadi pada pertempuran udara antara Pakistan dan India pada 7 Mei 2025.
Sejak itu, J-10C mendapat sebutan sebagai pembunuh Rafale, karena ini pertama kalinya pesawat buatan Dassault Aviation itu dijatuhkan pesawat musuh.
Tak lama kemudian, Indonesia menyatakan tertarik membeli 42 J-10C.
Meski begitu, menurut Wakil Menteri Pertahanan Donny Ermawan Taufanto, sebenarnya Indonesia sudah ditawari pesawat itu jauh sebelum pertempuran antara India dan Pakistan.
Donny mengatakan tidak menutup kemungkinan Indonesia akan membeli pesawat tempur J-10C.
BACA JUGA: Mimpi Buruk Bagi NASA, Rusia Orbitkan Sarang Satelit yang Bisa Menyerang dan Membutakan Satelit AS
"Kalau memang kita evaluasi, pesawat ini bagus, memenuhi kriteria yang kita tetapkan, apalagi harganya murah, ya kenapa tidak?" kata Donny saat ditemui Antara di kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta Pusat, 4 Juni 2025.
Ia menjelaskan, rencana pembelian J-10C berawal dari kunjungan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Mohamad Tonny Harjono ke pameran alutsista di China.
Di sana, lanjut Donny, pihak China menawarkan pesawat tempur tersebut ke TNI AU.
"Kita termasuk ditawari pesawat itu. Ya termasuk evaluasi kita jugalah," katanya.
J-10C dinilai merupakan awal kebangkitan teknologi dirgantara China hingga kini mampu bersaing dengan teknologi pesawat AS dan Rusia.
Peluncuran jet tempur J-10 “Vigorous Dragon” dilakukan China pada 1998 dan menjadi sebuah pencapaian penting negara itu, karena menandai momen krusial dalam evolusi industri pertahanan Beijing.
Saat itu, sektor kedirgantaraan China masih dalam tahap awal, berjuang mengejar kesenjangan teknologi dan pengalaman terbatas dalam pengembangan jet tempur dalam negeri.
J-10 bukan sekadar pengenalan pesawat tempur baru, namun juga momen yang membuat China mulai siap menantang dominasi teknologi penerbangan Barat dan Rusia.
Berbagai laporan menyebutkan, pesawat ini sebenarnya bersumber dari Israel.
Teknologi itu tertrasnsfer ke China ketika negara tersebut masih memiliki hubungan diplomatik yang baik pada awal 1990-an.
Sedangkan pesawat itu diyakini awalnya merupakan proyek Israel pada 1988 yang dibiayai Amerika Serikat (AS) yang notabene merupakan salah satu musuh utama China.
Pada 1980-an, Israel yang merupakan anak emas AS mengembangkan pesawat tempur baru bernama LAVI.
Di era itu pula, proyek yang dibiayai AS tersebut dihentikan, karena Washington tak ingin terjadi persaingan dengan F-16 buatan Lockheed Martin yang juga menjadi andalan AS.
BACA JUGA: Turki Yakin Bisa Segera Jodohkan Jet Tempur Generasi Kelima KAAN dengan F-35
Laporan-laporan menduga bahwa meskipun LAVI tidak pernah mencapai status operasional, kemajuan teknologinya tidak sia-sia.
Israel diyakini telah mentransfer aspek-aspek penting dari program LAVI ke China, termasuk avionik, material komposit, dan sistem kendali penerbangan yang canggih.
Banyak di antara teknologi LAVI yang sejajar dengan teknologi yang digunakan dalam jet tempur Amerika saat ini.
Salah satu indikasi paling kuat dari pengaruh Israel pada J-10 adalah konfigurasi canard-delta-nya, karakteristik yang menentukan dari LAVI.
Meski begitu, meskipun J-10 dan LAVI memiliki banyak kesamaan, ada beberapa perbedaan utama.
J-10 lebih besar, lebih berat, dan disesuaikan dengan persyaratan operasional khusus China, termasuk konfigurasi mesin dan perangkat avionik yang berbeda.
Kolaborasi yang diduga terjadi antara Israel dan China tidak terbatas pada proyek J-10.
Sumber industri pertahanan mengindikasikan, kedua negara terlibat dalam beberapa transfer teknologi pertahanan selama akhir 1980-an dan awal 1990-an.
Salah satu contoh penting adalah pengembangan rudal udara-ke-udara PL-8 China, yang sangat mirip dengan rudal Python-3 Israel.
Diproduksi oleh Xian Aircraft Corporation, PL-8 tetap menjadi bagian integral persenjataan udara China, yang menggarisbawahi dampak abadi teknologi Israel.
Selain itu, Israel dilaporkan telah membantu China dalam memperoleh teknologi radar dan avionik.
Radar Doppler E/LM-2035 dan sistem navigasi inersia “Tamam”—keduanya merupakan produk pertahanan utama Israel—diduga telah diintegrasikan ke dalam jet tempur Tiongkok seperti J-8 dan J-10.
Selama tahun 1980-an, China secara aktif mencari teknologi Barat sebagai bagian dari strategi yang lebih luas untuk memodernisasi militernya.
AS dan beberapa negara Eropa memberi China akses ke sistem pertahanan canggih, termasuk mesin pesawat terbang dan avionik, terutama sebagai penyeimbang pengaruh Uni Soviet (sekarang Rusia).
BACA JUGA: AS Ternyata Super Power yang Rapuh, Tak Siap Hadapi Perang Besar dan Bahkan Masih Tergantung China
Namun, kerja sama ini terhenti tiba-tiba setelah terjadi insiden penumpasan aktivis di Lapangan Tiananmen tahun 1989.
Saat itu, negara-negara Barat menjatuhkan sanksi militer terhadap Beijing.
Hubungan China dan AS yang semula sempat membaik, kemudian memburuk.
Akses ke teknologi militer Barat semakin terbatas dan China terpaksa mencari sumber alternatif.
Israel, yang dikenal karena keahliannya yang canggih dalam teknologi avionik dan rudal, muncul sebagai mitra potensial.
Memang hingga saat ini masih terjadi perdebatan tentang sejauh mana Israel membantu China dalam mengembangkan teknologi pertahanan.
Meski begitu, kemajuan teknologi dalam program pesawat tempur China sangat menunjukkan adanya pengaruh eksternal.
Terlepas dari sejauh mana keterlibatan Israel, keberhasilan pengembangan J-10 menandai titik balik bagi industri penerbangan China.
Pesawat ini menjadi batu loncatan untuk program dalam negeri berikutnya, yang mengarah pada pengembangan platform yang lebih canggih seperti J-16 dan J-20 “Mighty Dragon” generasi kelima.
Saat ini, China berdiri sebagai salah satu kekuatan kedirgantaraan utama dunia, yang mampu merancang dan memproduksi sendiri jet tempur canggih yang menyaingi Amerika Serikat dan Rusia.
Terlepas dari apakah keahlian teknis Israel memainkan peran penting dalam evolusi J-10 atau tidak, pesawat ini tetap menjadi awal yang menentukan dalam perjalanan teknologi kedirgantaraan China menuju kemandirian militer dan proyeksi kekuatan global.
Sementara perdebatan tentang peran Israel dalam asal usul J-10 terus berlanjut, yang tidak dapat disangkal adalah bahwa J-10 mengawali kemunculan China sebagai pemain tangguh dalam dunia pertempuran udara modern yang penuh risiko tinggi.
BACA JUGA: Indonesia Justru Mendapat Berkah Tersembunyi dari Ancaman Sanksi CAATSA
Sejak peluncuran J-10, China dengan cepat mengembangkan pesawat tempur canggih.
Bahkan, China kini menyaingi AS dalam membangun platform pesawat generasi kelima.
China menjadi negara kedua yang mampu memproduksi dua varian pesawat generasi kelima, yakni J-10 dan J-35.
Platform itu menyaingi AS yang memproduksi pesawat tempur F-35 an F-22 Raptor.
Tak hanya itu, China sudah melangkah paling awal dalam mengembangkan pesawat generasi keenam, yakni J-36 dan J-50.
Sementara AS malah masih berkutat dengan perdebatan program Next Generation Air Dominance (NGAD), sebelum menyerahkan proyek itu kepada Boeing untuk membangun jet tempur generasi keenam yang diberi nama F-47.
Kini, China menjadi satu-satunya negara yang sudah memproduksi prototipe pesawat generasi keenam.
Diharapkan, China sudah mampu mengoperasikan pesawat tercanggih dunia itu pada awal 2030-an, di saat negara lain termasuk AS baru sibuk mengembangkannya.
Maka, pesawat J-10 yang diminati Indonesia itu memiliki sejarah besar bagi China, karena menjadi awal lompatan teknologi kedirgantaraan dan pertahanan mereka.
Hanya saja, Indonesia sampai sekarang belum memutuskan apakah akan jadi mengakuisisi J-10 atau masih memiliki alternatif lain.
Sebab, di saat yang sama, Indonesia juga tertarik bekerja sama dengan Turki dalam pengembangan pesawat generasi kelima KAAN.
Bahkan, Indonesia dan Turki sudah menandatangani Memorandum of Understanding pada 11 Juni 2025.
https://www.zonajakarta.com/nasional...besarkan-china
Endon cangkul aja impor

Diubah oleh danantara Kemarin 14:59






BALI999 dan 3 lainnya memberi reputasi
0
462
37


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan