Kaskus

News

lowbrowAvatar border
TS
lowbrow
Pekerja Indonesia Jadi Penyelamat Pabrik di Pulau Terpencil Jepang Ketangguhan Diakui
Pekerja Indonesia Jadi Penyelamat Pabrik di Pulau Terpencil Jepang Ketangguhan Diakui


Di tengah hamparan samudra biru yang mengelilingi Pulau Kita Daito—sebuah titik kecil di Prefektur Okinawa yang nyaris luput dari peta pariwisata Jepang—terdapat sebuah denyut kehidupan yang tak banyak diketahui dunia.

Di sanalah, 21 pekerja asal Indonesia kini menjadi tumpuan utama bagi kelangsungan industri gula yang mulai kesepian dari peminat lokal.

Pulau kecil ini bukan hanya terpencil, tapi juga menghadapi tantangan besar: kekurangan tenaga kerja.

Saat angin laut bertiup membawa aroma manis dari pabrik gula yang terus beroperasi siang malam, suara mesin dan langkah kaki para pekerja Indonesia menjadi irama harian yang menjaga denyut industri tua ini tetap berdetak.


"Awalnya hanya beberapa pekerja Indonesia yang datang. Tapi seiring waktu, jumlah mereka bertambah menjadi 21 orang,"

Para pekerja itu datang melalui program visa Tokutei Ginou—sebuah kebijakan khusus yang diluncurkan pemerintah Jepang sejak April 2019.


Pekerja Indonesia Jadi Solusi Besar Kelangkaan Jumlah Tenaga Kerja di Jepang

Visa ini bukan sekadar izin kerja, melainkan bentuk pengakuan akan keterampilan para pendatang asing untuk mengisi lubang besar dalam dunia industri Jepang yang mulai kehabisan tenaga akibat krisis demografis: populasi menua, angka kelahiran merosot, dan generasi muda enggan melirik pekerjaan kasar.


Di Okinawa, fenomena itu terasa nyata. Banyak pabrik terpaksa mendatangkan tenaga kerja musiman dari luar pulau.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, proses rekrutmen lokal semakin sulit.

Industri seperti gula yang membutuhkan kerja keras, ketahanan fisik, dan waktu kerja panjang, mulai kehilangan peminat.

Di sinilah para pekerja Indonesia mengambil peran—bukan sekadar mengisi kekosongan, tapi menjaga kelangsungan sebuah industri yang menjadi denyut ekonomi pulau.

Pada tahun 2022, Kita Daito Sugar Co., Ltd. mengambil keputusan besar: merekrut 10 pekerja asal Indonesia lewat organisasi penerimaan tenaga kerja asing.

Langkah itu menjadi awal dari perubahan besar di pulau tersebut.

Setahun kemudian, Presiden perusahaan, Kazuya Miyagi, datang langsung dan menambah jumlah pekerja menjadi 16, lalu kini mencapai 21 orang.

Kebanyakan dari mereka berstatus Pekerja Terampil Tertentu dalam bidang manufaktur makanan dan minuman.

Mereka bekerja sebagai tenaga kontrak sepanjang tahun—tidak hanya pada masa produksi, tetapi menjaga agar roda tetap berputar kapan pun dibutuhkan.

Dengan bertambahnya tenaga kerja, sistem kerja pabrik berubah drastis.

Dari dua shift menjadi tiga shift, yang berdampak langsung pada pemangkasan jam kerja. Namun justru dari situlah efisiensi meningkat, dan tekanan kerja mulai terkendali.

“Tanpa kehadiran mereka, kami tak bisa tetap beroperasi sambil mengikuti batasan jam kerja. Mereka sangat membantu. Kami ingin terus meningkatkan efisiensi dan menghemat tenaga kerja agar industri ini tetap bertahan,” ujar salah satu penanggung jawab pabrik, dengan nada yang mencampur antara rasa syukur dan kecemasan.

Kecemasan itu bukan tanpa alasan. Pada tahun 2024, Jepang merevisi Undang-Undang Standar Tenaga Kerja. Batas lembur kini ditetapkan maksimal 100 jam per bulan, dan rata-rata tak boleh lebih dari 80 jam dalam beberapa bulan.

Meski sektor-sektor tertentu seperti konstruksi, transportasi, medis, serta industri gula di Okinawa dan Kagoshima mendapat penangguhan aturan ini selama lima tahun, tekanan waktu terus mengejar.

Bagi perusahaan, tenggat itu adalah hitungan mundur. Mereka harus segera mengamankan tenaga kerja dan meningkatkan efisiensi, atau bersiap menghadapi kelumpuhan produksi. Namun mencari pekerja lokal tetap sulit, dan menggantungkan masa depan industri hanya pada tenaga kerja asing pun bukan tanpa risiko.

Sementara itu, bagi para pekerja Indonesia, hidup di pulau terpencil Jepang membawa suka dan duka. Jauh dari keluarga, mereka bekerja dalam iklim yang berbeda, budaya yang asing, dan ritme kerja yang tak ringan. Tapi ada satu hal yang menyatukan mereka: harapan.

Harapan untuk masa depan yang lebih baik. Harapan untuk mengubah nasib. Harapan agar keringat yang mereka teteskan tak hanya berarti bagi perusahaan, tapi juga bagi diri mereka sendiri dan orang-orang yang menanti di tanah air.

Di tengah deru mesin dan aroma gula yang memenuhi udara, para pekerja Indonesia itu adalah wajah dari kerja keras, keberanian, dan pengorbanan. Mereka datang bukan untuk sekadar mencari nafkah, tapi untuk menyalakan kembali api industri yang hampir padam—di sebuah pulau kecil yang perlahan-lahan kembali hidup karena kehadiran mereka.

https://trends.tribunnews.com/2025/0...gguhan-diakui?

tepsuzotAvatar border
reimu.Avatar border
Samurai_batukAvatar border
Samurai_batuk dan 4 lainnya memberi reputasi
3
445
16
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan