- Beranda
- Komunitas
- News
- Citizen Journalism
Penggrebekan di Cidahu: Sentimen Agama Berbalut Narasi Perizinan!


TS
harrywjyy
Penggrebekan di Cidahu: Sentimen Agama Berbalut Narasi Perizinan!

Sumber Gambar
Kronologi peristiwa ini berawal dari sebuah rumah singgah di Kampung Tangkil, Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, yang dimiliki oleh Maria Veronica Nina, warga Jakarta, dan dikelola oleh adiknya, Wedi, bersama Jongky dan istrinya. Rumah ini, menurut laporan, digunakan untuk kegiatan retret pelajar Kristen, sebuah aktivitas keagamaan yang tampaknya memicu kemarahan warga setempat. Alasan yang diusung adalah soal izin: rumah tersebut tidak memiliki izin resmi sebagai tempat ibadah dari pemerintah atau Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Sejak April 2025, warga dan aparat setempat, termasuk Kapolsek dan MUI kecamatan, telah mengingatkan pengelola untuk menghentikan aktivitas keagamaan di lokasi tersebut. Namun, karena peringatan itu diabaikan, ketegangan memuncak hingga puncaknya pada Jumat siang, ketika warga, dengan spontanitas yang mencurigakan, mengambil hukum ke tangan mereka sendiri.
Tapi, benarkah ini sekadar soal izin? Jika izin adalah inti masalah, mengapa warga tidak menyerahkan penegakan hukum kepada pihak berwenang? Mengapa harus dengan kerumunan yang brutal, dengan teriakan penuh makian, dan perusakan properti yang jauh dari kesan beradab? Bukankah negara ini memiliki Satpol PP, polisi, dan hukum yang seharusnya menjadi penutup bagi setiap pelanggaran administratif? Di mana peran Satpol PP, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan peraturan daerah, ketika warga memilih untuk menjadi hakim dan algojo? Kepala Seksi Trantib Satpol PP Kecamatan Cidahu, Heppy Supriadi Supardi, dengan enteng menyatakan bahwa rumah tersebut memang tidak memiliki izin sebagai tempat ibadah, dan pengelola diminta menghentikan aktivitas. Tapi, pernyataan ini datang setelah kerusuhan terjadi, setelah kaca pecah, dan setelah anak-anak pelajar yang hadir dalam retret itu diteror oleh kemarahan kolektif. Mengapa Satpol PP tidak bertindak preventif sejak peringatan pertama di bulan April? Mengapa hukum dibiarkan tertidur, hingga warga merasa berhak menggantikan peran negara?
Narasi Administratif: Topeng Penindasan Berbasis Identitas
Narasi yang digulirkan oleh warga dan aparat setempat adalah soal “ketidaksesuaian peruntukan” rumah singgah tersebut. Mereka menegaskan bahwa ini bukan gereja, bukan tempat ibadah resmi, melainkan rumah tinggal yang digunakan secara “tidak semestinya.” Narasi ini, sekilas, tampak logis dan administratif. Namun, di balik topeng kertas bernama “izin,” tersembunyi wajah buruk intoleransi. Jika ini murni soal administrasi, mengapa simbol salib diturunkan dengan penuh amarah? Mengapa kaca jendela dipecahkan, dan mengapa anak-anak pelajar yang beribadah harus merasakan trauma yang akan menghantui mereka bertahun-tahun? Ini bukan sekadar pelanggaran izin; ini adalah penolakan terhadap eksistensi ibadah agama lain di tengah lingkungan mayoritas tertentu.
Narasi administratif ini adalah alat yang cerdik. Ia memberikan pembenaran yang tampak sah di mata hukum, namun sebenarnya menyamarkan sentimen agama yang jauh lebih dalam. Warga Cidahu, dengan dalih menjaga “ketertiban,” seolah diberi legitimasi untuk menyerang identitas keagamaan kelompok minoritas. Kepala Desa Tangkil, Ijang Sehabudin, dengan nada yang seolah penuh toleransi, menyatakan bahwa masyarakat tidak akan mempersoalkan jika legalitas dipenuhi. Namun, pernyataan ini menguap begitu saja ketika kita melihat fakta bahwa warga tidak menunggu proses hukum. Mereka memilih jalan kekerasan, seolah hukum adalah milik mereka, dan seolah keberadaan ibadah Kristen di lingkungan mereka adalah noda yang harus dihapus. Ini adalah penindasan berbasis identitas, yang dibungkus rapi dalam jargon “tidak ada izin.”

Pembongkaran Atribut Keagamaan: Luka pada Jiwa, Bukan Sekadar Benda
Salah satu pemandangan paling menyayat dari peristiwa ini adalah pembongkaran simbol salib, yang dilakukan dengan penuh kemarahan. Salib, bagi umat Kristen, bukan sekadar kayu atau benda; ia adalah simbol iman, pengorbanan, dan kasih. Menurunkannya dengan kekerasan, di depan anak-anak pelajar yang tengah beribadah, adalah tindakan yang tidak hanya merusak properti, tetapi juga melukai jiwa. Video yang viral menunjukkan warga menghancurkan kaca, meja, kursi, hingga gerbang rumah, dengan teriakan yang penuh makian. Ini bukan sekadar perusakan fisik; ini adalah pernyataan bahwa keberadaan agama lain dianggap ancaman, sebuah “penyakit” yang harus dibasmi dari lingkungan mereka.
Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) Bogor menyebut peristiwa ini sebagai “intoleransi nyata” yang melanggar hak konstitusional warga negara untuk menjalankan ibadah. Mereka menyoroti bahwa peserta retret, yang sebagian besar adalah pelajar, mengalami intimidasi dan trauma. Bayangkan, anak-anak yang seharusnya belajar tentang kasih dan kedamaian dalam retret mereka, justru disuguhi pemandangan brutal dari orang dewasa yang mengatasnamakan kesusilaan. Bukankah ini ironis? Mereka yang mengklaim menjaga religiusitas justru bertindak dengan cara yang bertolak belakang dari kesusilaan itu sendiri. Tindakan mereka tidak mencerminkan nilai-nilai agama apa pun, melainkan dendam dan kebencian yang terselubung.
Kesusilaan dan Religiusitas: Topeng yang Rapuh
Warga Cidahu, dalam aksi mereka mungkin akan mengklaim menjaga kesusilaan dan religiusitas lingkungan mereka. Namun, apa yang kesusilaan dari memecahkan kaca, menghancurkan properti, dan meneror anak-anak? Apa yang religius dari tindakan yang lahir dari kemarahan buta, yang tidak memberikan ruang untuk dialog atau musyawarah? Jika kesusilaan adalah tentang menjaga moral dan tata cara hidup bersama, maka tindakan mereka justru adalah antitesis dari itu semua. Mereka mengatasnamakan agama, namun perilaku mereka lebih dekat pada barbarisme daripada spiritualitas.
Lebih menyedihkan lagi, ada rasa bangga yang tersirat dari tindakan ini. Video yang beredar menunjukkan warga bertindak dengan penuh semangat, seolah mereka telah melakukan perbuatan heroik. Mereka merasa berhak, bahkan mulia, karena telah “membersihkan” lingkungan mereka dari apa yang mereka anggap sebagai penyimpangan. Ini adalah gejala berbahaya: ketika intoleransi tidak hanya diterima, tetapi dirayakan sebagai tindakan keberanian. Rasa bangga ini adalah cerminan dari sentimen agama yang telah membutakan nurani, yang membuat manusia lupa bahwa keberagaman adalah inti dari kemanusiaan itu sendiri.

Sumber Gambar
Bagaimana Jika Situasi Dibalik?
Mari kita lakukan eksperimen pemikiran. Bayangkan sebuah skenario di mana sekelompok umat mayoritas menggunakan rumah tinggal untuk kegiatan ibadah tanpa izin resmi. Apakah warga minoritas akan berani menggrebek, merusak properti, dan menurunkan simbol agama mereka? Apakah Satpol PP akan membiarkan situasi memanas hingga ke titik kekerasan? Jawabannya, kemungkinan besar, tidak. Dalam banyak kasus, kegiatan ibadah mayoritas yang tidak berizin cenderung dibiarkan, atau paling tidak, diselesaikan melalui jalur administratif tanpa kekerasan. Ini menunjukkan sebuah standar ganda yang mencolok: minoritas dihakimi dengan keras, sementara mayoritas sering kali mendapat kelonggaran.
Politikus PDIP, Guntur Romli, dengan tepat menegaskan bahwa ibadah tidak memerlukan izin di negara ini. Hak untuk beribadah adalah hak konstitusional, yang dijamin oleh UUD 1945. Jika ada masalah dengan pendirian rumah ibadah, solusinya adalah memfasilitasi, bukan melarang, apalagi merusak. Namun, di Cidahu, kita melihat sebaliknya: larangan yang disertai kekerasan, intimidasi, dan penghancuran. Ini bukan sekadar pelanggaran hukum; ini adalah pengkhianatan terhadap semangat kebhinekaan yang menjadi fondasi bangsa ini.
Di mana negara dalam semua ini? Satpol PP, yang seharusnya menjadi penegak peraturan daerah, tampaknya hanya bertindak sebagai komentator pasca-kejadian. Polisi, yang seharusnya menjaga keamanan dan ketertiban, baru bergerak setelah kerusakan terjadi. Forkopimcam Cidahu memang mengadakan musyawarah sehari setelah kejadian, pada 28 Juni 2025, dan menyatakan situasi sudah kondusif. Tapi, kondusif untuk siapa? Untuk warga yang merasa menang karena berhasil mengusir kelompok minoritas? Atau untuk anak-anak pelajar yang kini hidup dengan trauma? Negara, dalam hal ini, gagal melindungi hak warganya, gagal mencegah kekerasan, dan gagal menunjukkan bahwa hukum adalah milik semua, bukan hanya milik mayoritas.
Pemerintah daerah, yang seharusnya menjadi penjaga kerukunan, tampaknya lebih sibuk meredam isu daripada menyelesaikan akar masalah. Klarifikasi bahwa ini “bukan gereja” dan “bukan perusakan tempat ibadah” terasa seperti upaya untuk mencuci tangan, untuk menghindari label intoleransi yang kini melekat pada Cidahu. Tapi, fakta tetap berdiri: sebuah kelompok minoritas diteror, properti mereka dirusak, dan hak mereka untuk beribadah dilanggar. Tidak ada musyawarah yang bisa menghapus luka itu. Tidak ada pernyataan “kondusif” yang bisa mengembalikan rasa aman bagi mereka yang kini merasa asing di tanah kelahirannya sendiri.
Cidahu, Sukabumi, bukanlah kasus terisolasi. Ia adalah cermin yang dipaksa berdiri di depan wajah kita, memaksa kita untuk melihat kebenaran yang pahit: bahwa intoleransi masih hidup dan bernapas di antara kita, bahwa sentimen agama masih menjadi alat untuk menindas, dan bahwa narasi administratif sering kali hanya topeng untuk menyembunyikan kebencian. Kita bangga menyebut diri sebagai bangsa yang toleran, namun tindakan kita berkata sebaliknya. Kita bangga dengan Pancasila, namun kita lupa bahwa sila pertama bukan tentang supremasi satu agama, melainkan tentang kebebasan setiap individu untuk bertemu dengan Tuhannya.
Kepada warga Cidahu, kepada mereka yang mungkin merasa bangga setelah menghancurkan simbol salib dan meneror anak-anak, tanyakan pada diri kalian: apakah ini wajah agama yang kalian junjung? Kepada Satpol PP dan pihak berwenang, yang absen ketika hukum diinjak-injak, tanyakan: untuk siapa kalian bekerja, jika bukan untuk melindungi semua warga? Dan kepada kita semua, yang menyaksikan peristiwa ini dari kejauhan, tanyakan: berapa lama lagi kita akan membiarkan intoleransi menggerogoti jiwa bangsa ini?
Cidahu adalah peringatan. Ia adalah seruan untuk berhenti berpuas diri dengan jargon-jargon kosong tentang keberagaman. Ia adalah panggilan untuk menghadapi kenyataan, untuk mengakui bahwa kita masih jauh dari cita-cita bangsa yang adil dan beradab. Jika kita tidak belajar dari Cidahu, jika kita terus membiarkan sentimen agama mengalahkan kemanusiaan, maka kita tidak hanya kehilangan hak untuk menyebut diri sebagai bangsa yang toleran—kita kehilangan hak untuk menyebut diri sebagai manusia. Bangunlah, sebelum cermin itu pecah dan kita semua tenggelam dalam serpihannya.
Link Referensi






pelicin4lami dan 23 lainnya memberi reputasi
24
3.5K
163


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan