Kaskus

News

harrywjyyAvatar border
TS
harrywjyy
Tokoh Masyarakat Cidahu Minta Insiden Pengerusakan Vila Tidak Dibawa ke Ranah Hukum!
Tokoh Masyarakat Cidahu Minta Insiden Pengerusakan Vila Tidak Dibawa ke Ranah Hukum!
Sumber Gambar

Pada Jumat, 27 Juni 2025, sebuah vila di Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Sukabumi, menjadi saksi bisu dari amuk massa. Vila itu, yang digunakan untuk retret pelajar Kristen, diserbu warga yang memprotes penggunaannya sebagai “tempat ibadah tanpa izin.” Taman, gazebo, fasilitas MCK, hingga gerbang vila dirusak. Simbol salib diturunkan dan bahkan digunakan sebagai alat untuk merusak. Video peristiwa ini viral, memicu kemarahan publik dan sorotan tajam terhadap intoleransi di Indonesia.

Anak-anak yang sedang menjalani retret, yang seharusnya menjadi momen refleksi dan penguatan iman, diusir dengan intimidasi. Bayangkan ketakutan di mata mereka, trauma yang kini membekas, hanya karena mereka berkumpul untuk berdoa dan belajar bersama. Ini bukan sekadar perusakan properti; ini adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang kita junjung. Sekretaris DPD GAMKI Bogor, Andry Simorangkir, menyebut tindakan ini sebagai “bentuk nyata intoleransi” yang melanggar hak konstitusional warga negara untuk menjalankan keyakinan agamanya. Politikus PDIP, Guntur Romli, bahkan menyebutnya “perbuatan melawan hukum” yang merusak kerukunan beragama.

Namun, di tengah sorotan publik, respons Forkopimcam (Forum Komunikasi Pimpinan Kecamatan) Cidahu justru menambah garam pada luka. Alih-alih menegakkan keadilan, mereka memilih jalan damai yang terasa seperti pengkhianatan terhadap korban.

Forkopimcam meminta agar kasus ini tidak dilanjutkan ke ranah hukum, dengan alasan menjaga kerukunan. Namun, pernyataan ini terasa seperti pukulan telak bagi korban. Tujuh pelaku penggrebekan telah ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi, menunjukkan bahwa tindakan mereka jelas melanggar hukum. Lalu, mengapa Forkopimcam justru ingin menyelesaikan kasus ini di luar jalur hukum? Apakah kerukunan harus dibayar dengan mengorbankan keadilan?

Bayangkan jika situasinya dibalik. Jika sebuah kegiatan keagamaan mayoritas di sebuah rumah pribadi digrebek dan dirusak oleh kelompok minoritas, akankah Forkopimcam juga meminta agar kasusnya tidak dilanjutkan ke ranah hukum? Ironisnya, di Indonesia, ucapan yang dianggap menista agama saja bisa berujung pada hukuman penjara bertahun-tahun. Namun, pengerusakan properti, intimidasi terhadap anak-anak, dan pelanggaran hak beribadah justru dianggap cukup diselesaikan dengan “musyawarah.” Ini bukan hanya ketimpangan, tetapi kemunafikan.

Tokoh Masyarakat Cidahu Minta Insiden Pengerusakan Vila Tidak Dibawa ke Ranah Hukum!
Sumber Gambar

Forkopimcam menegaskan bahwa vila tersebut “disalahgunakan” sebagai tempat ibadah tanpa izin. Kepala Seksi Trantib Satpol PP Cidahu, Heppy Supriadi Supardi, bahkan menyebutkan bahwa pengelola vila diminta menghentikan aktivitas yang tidak sesuai dengan peruntukan rumah. Tetapi, pertanyaan mendasar muncul: apakah beribadah, dalam bentuk apa pun, bisa dikategorikan sebagai “penyalahgunaan”?

Retret, sebagaimana dijelaskan oleh penyelenggara, adalah kegiatan keagamaan yang bersifat sementara, bertujuan untuk refleksi, pembinaan rohani, dan penguatan iman. Dalam konteks ini, retret pelajar Kristen di Cidahu mirip dengan “pesantren kilat” dalam tradisi Islam—kegiatan positif untuk mengisi libur sekolah. Retret tidak sama dengan ibadah rutin seperti kebaktian mingguan di gereja. Vila tersebut bukan dijadikan gereja permanen, melainkan digunakan sementara untuk kegiatan rohani. Mengapa ini dianggap sebagai pelanggaran?

Hak untuk beribadah dijamin oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut agamanya. Guntur Romli menegaskan bahwa melaksanakan ibadah tidak memerlukan izin khusus, selama tidak mengganggu ketertiban umum. Jika sebuah rumah pribadi digunakan untuk kegiatan keagamaan yang tidak mengganggu, mengapa itu dianggap “penyalahgunaan”? Bukankah ini justru bentuk kebebasan beragama yang harus dilindungi?

Pemilik vila, yang telah diingatkan sejak April 2025, mungkin berada dalam posisi sulit. Mereka mungkin tidak menyadari bahwa penggunaan vila untuk retret akan memicu reaksi sebesar ini. Namun, tindakan warga yang merusak properti mereka—taman, gazebo, MCK, hingga gerbang—adalah pelanggaran nyata. Forkopimcam menyebut warga bersedia mengganti kerugian, tetapi apakah ini cukup? Kerusakan material mungkin bisa diganti, tetapi bagaimana dengan kerusakan emosional, reputasi, dan rasa aman yang telah direnggut?

Jika sebuah rumah pribadi tidak boleh digunakan untuk kegiatan keagamaan, lalu di mana batasnya? Apakah mengadakan pengajian di rumah juga akan dianggap “penyalahgunaan”? Apakah keluarga yang berdoa bersama di ruang tamu mereka juga harus meminta izin? Logika Forkopimcam tampaknya tidak hanya diskriminatif, tetapi juga tidak konsisten.

Di tengah hiruk-pikuk pernyataan Forkopimcam dan debat soal izin, ada satu kelompok yang luput dari perhatian: anak-anak yang sedang menjalani retret. Mereka adalah pelajar yang seharusnya menikmati momen libur sekolah dengan kegiatan positif. Namun, mereka justru menjadi korban intimidasi, menyaksikan amuk massa, dan diusir dari tempat yang seharusnya aman.

Untuk memahami kasus ini, penting untuk membedakan retret dan ibadah. Retret adalah kegiatan keagamaan yang bersifat sementara, sering kali diadakan di tempat terpencil seperti vila atau rumah singgah untuk menciptakan suasana reflektif. Berbeda dengan ibadah rutin, seperti kebaktian mingguan atau salat Jumat, retret lebih bersifat khusus, dengan fokus pada pendalaman iman, doa, dan kegiatan rohani lainnya. Dalam kasus Cidahu, retret ini diadakan untuk pelajar Kristen selama libur sekolah, mirip dengan kegiatan pesantren kilat atau perkemahan rohani.

Mengadakan retret di vila bukanlah hal aneh. Banyak komunitas agama, baik Kristen, Islam, maupun lainnya, menggunakan rumah pribadi atau vila untuk kegiatan serupa karena sifatnya yang fleksibel dan tidak memerlukan bangunan ibadah permanen. Pertanyaannya, mengapa ini dianggap “penyalahgunaan”? Jika sebuah vila digunakan untuk pengajian atau kegiatan keagamaan lain, akankah itu juga dipersoalkan? Standar ganda dalam kasus ini terlihat jelas, dan Forkopimcam gagal memberikan jawaban yang logis.

Sumber Gambar

Salah satu aspek paling menggelikan dari kasus ini adalah sikap Forkopimcam yang meminta kasus tidak dilanjutkan ke ranah hukum. Padahal, tindakan pengerusakan jelas melanggar hukum, dan tujuh pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka. Di sisi lain, kita sering melihat kasus penistaan agama—yang terkadang hanya berupa ucapan atau postingan media sosial—diproses secara hukum dengan keras, bahkan hingga vonis penjara. Mengapa pengerusakan, intimidasi, dan pelanggaran hak beribadah justru dibiarkan lewat dengan “musyawarah”?

Jika kita membalik situasi, akankah masyarakat menerima jika sebuah kegiatan keagamaan mayoritas digrebek dan dirusak, lalu pelakunya hanya diminta berdamai? Tentu tidak. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa hukum di Indonesia masih sering tunduk pada tekanan mayoritas, meninggalkan kelompok minoritas dalam posisi rentan. Pengerusakan adalah kejahatan nyata, bukan sekadar “miskomunikasi.” Mengabaikannya sama saja dengan melegitimasi intoleransi.

Kita harus berhenti berpura-pura bahwa semua baik-baik saja. Indonesia bukan negeri dongeng di mana semua agama hidup rukun dalam pelukan hangat. Realitasnya, sentimen agama masih hidup, menyusup dalam celah-celah masyarakat, dan meledak dalam aksi-aksi seperti di Cidahu. Hukum harus ditegakkan, bukan ditawar-tawar demi “kerukunan” yang semu. Pengerusakan adalah kejahatan, intimidasi adalah dosa, dan membiarkannya adalah pengkhianatan terhadap cita-cita bangsa.

Link Referensi:
Link Referensi
MemoryExpressAvatar border
papahmuda099Avatar border
hojosenpai861Avatar border
hojosenpai861 dan 7 lainnya memberi reputasi
8
3.4K
112
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan