- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Mengapa PDIP Akhirnya Menolak Penulisan Ulang Sejarah Indonesia?


TS
mabdulkarim
Mengapa PDIP Akhirnya Menolak Penulisan Ulang Sejarah Indonesia?

Awalnya PDIP hanya meminta agar proyek penulisan ulang sejarah Indonesia ditunda.
1 Juli 2025 | 14.01 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mendesak proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang dipimpin Menteri Kebudayaan Fadli Zon dihentikan karena proyek sejarah versi pemerintah tersebut telah menimbulkan luka dan perpecahan.
"Kami meminta dengan tegas: setop penulisan ulang sejarah ini karena sudah menimbulkan polemik dan melukai banyak orang," kata Wakil Ketua Komisi X DPR dari Fraksi PDIP, Maria Yohana Esti Wijayati, di Jakarta Selatan, Senin, 30 Juni 2025.
Awalnya PDIP hanya meminta agar proyek tersebut ditunda. Namun gelombang penolakan yang terus bermunculan membuat sikap partai bergeser. "Dengan banyak polemik yang muncul, target kami tidak hanya tunda, target kami adalah setop," ujarnya
Fraksi PDIP Siap Panggil Menteri Kebudayaan
Esti menegaskan Fraksi PDIP akan menggunakan jalur parlemen untuk menekan pemerintah. Komisi X DPR, kata dia, bakal segera memanggil Fadli Zon untuk mengulas rencana kerja kementeriannya, termasuk agenda revisi sejarah nasional.
Ia mengingatkan, pemerintah tak bisa memaksakan satu versi sejarah yang justru menimbulkan kegaduhan sebelum bukunya rampung. Salah satu kekhawatiran terbesar PDIP adalah akurasi isi buku sejarah yang sedang disusun.
Esti menyebut sejumlah sejarawan memilih mundur dari tim karena merasa tak sevisi dengan pendekatan pemerintah. "Mungkin tidak akan sesuai dengan fakta sejarah," kata Ketua DPP PDIP itu. Kekhawatiran serupa juga mengemuka dalam rapat dengar pendapat di Komisi X DPR.
PDIP Tak Ingin Sejarah Jadi Milik Pemenang
Sebelumnya, pada awal Juni lalu, Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat mengingatkan agar sejarah Indonesia tak dijadikan ‘his story’ cerita versi kelompok yang berkuasa.
“Janganlah kemudian sejarah itu ditutup-tutupi, janganlah sejarah itu disimpang-simpangkan, maka kita harus benar-benar ketika ada penulisan sejarah, itu harus dilakukan dengan terbuka,” ujar dia seperti dilansir Antara.
Ia menyinggung masa Orde Baru yang sempat melarang peringatan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni. Menurut Djarot, fakta sejarah semacam itu kerap dipelintir atau dihapus demi kepentingan politik.
Ketua DPP PDIP Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul sempat mengatakan partainya akan menulis sejarah versi sendiri. Bagi dia, penulisan sejarah niscaya sarat subjektivitas.
“Siapa pun yang akan menulis pasti akan ada kontranya. Terhadap inisiatif Menteri Kebudayaan Fadli Zon, maka sikap PDIP juga akan menulis ulang juga sejarah versi kami,” ujar Bambang di Kompleks Parlemen, Senin, 16 Juni 2025.
Bambang mengakui, subjektivitas akan selalu membayangi upaya penulisan ulang sejarah. Sebab sejumlah fakta sejarah kerap berbenturan dengan kepentingan penulis. “Karena (misal) dari sepuluh fakta, yang tidak menguntungkan ada dua fakta. Maka dua fakta itu bisa dibunuh,” ujarnya
Ia pun tak menampik bahwa hal serupa berlaku pada dirinya. Sebagai pengagum Sukarno, ia mengaku hanya akan menulis sisi keteladanan Presiden Pertama RI itu, tanpa mencantumkan kekeliruan yang bisa menimbulkan kritik. “Sama saja saya juga punya subjektivitas,” tuturnya.
https://www.tempo.co/politik/mengapa...nesia--1865153
semoga penulisan lancer...Mengapa PDIP Akhirnya Menolak Penulisan Ulang Sejarah Indonesia?

Awalnya PDIP hanya meminta agar proyek penulisan ulang sejarah Indonesia ditunda.
1 Juli 2025 | 14.01 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mendesak proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang dipimpin Menteri Kebudayaan Fadli Zon dihentikan karena proyek sejarah versi pemerintah tersebut telah menimbulkan luka dan perpecahan.
"Kami meminta dengan tegas: setop penulisan ulang sejarah ini karena sudah menimbulkan polemik dan melukai banyak orang," kata Wakil Ketua Komisi X DPR dari Fraksi PDIP, Maria Yohana Esti Wijayati, di Jakarta Selatan, Senin, 30 Juni 2025.
Awalnya PDIP hanya meminta agar proyek tersebut ditunda. Namun gelombang penolakan yang terus bermunculan membuat sikap partai bergeser. "Dengan banyak polemik yang muncul, target kami tidak hanya tunda, target kami adalah setop," ujarnya
Fraksi PDIP Siap Panggil Menteri Kebudayaan
Esti menegaskan Fraksi PDIP akan menggunakan jalur parlemen untuk menekan pemerintah. Komisi X DPR, kata dia, bakal segera memanggil Fadli Zon untuk mengulas rencana kerja kementeriannya, termasuk agenda revisi sejarah nasional.
Ia mengingatkan, pemerintah tak bisa memaksakan satu versi sejarah yang justru menimbulkan kegaduhan sebelum bukunya rampung. Salah satu kekhawatiran terbesar PDIP adalah akurasi isi buku sejarah yang sedang disusun.
Esti menyebut sejumlah sejarawan memilih mundur dari tim karena merasa tak sevisi dengan pendekatan pemerintah. "Mungkin tidak akan sesuai dengan fakta sejarah," kata Ketua DPP PDIP itu. Kekhawatiran serupa juga mengemuka dalam rapat dengar pendapat di Komisi X DPR.
PDIP Tak Ingin Sejarah Jadi Milik Pemenang
Sebelumnya, pada awal Juni lalu, Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat mengingatkan agar sejarah Indonesia tak dijadikan ‘his story’ cerita versi kelompok yang berkuasa.
“Janganlah kemudian sejarah itu ditutup-tutupi, janganlah sejarah itu disimpang-simpangkan, maka kita harus benar-benar ketika ada penulisan sejarah, itu harus dilakukan dengan terbuka,” ujar dia seperti dilansir Antara.
Ia menyinggung masa Orde Baru yang sempat melarang peringatan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni. Menurut Djarot, fakta sejarah semacam itu kerap dipelintir atau dihapus demi kepentingan politik.
Ketua DPP PDIP Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul sempat mengatakan partainya akan menulis sejarah versi sendiri. Bagi dia, penulisan sejarah niscaya sarat subjektivitas.
“Siapa pun yang akan menulis pasti akan ada kontranya. Terhadap inisiatif Menteri Kebudayaan Fadli Zon, maka sikap PDIP juga akan menulis ulang juga sejarah versi kami,” ujar Bambang di Kompleks Parlemen, Senin, 16 Juni 2025.
Bambang mengakui, subjektivitas akan selalu membayangi upaya penulisan ulang sejarah. Sebab sejumlah fakta sejarah kerap berbenturan dengan kepentingan penulis. “Karena (misal) dari sepuluh fakta, yang tidak menguntungkan ada dua fakta. Maka dua fakta itu bisa dibunuh,” ujarnya
Ia pun tak menampik bahwa hal serupa berlaku pada dirinya. Sebagai pengagum Sukarno, ia mengaku hanya akan menulis sisi keteladanan Presiden Pertama RI itu, tanpa mencantumkan kekeliruan yang bisa menimbulkan kritik. “Sama saja saya juga punya subjektivitas,” tuturnya.
https://www.tempo.co/politik/mengapa...nesia--1865153
semoga penulisan lancer...






direktur.muda dan 3 lainnya memberi reputasi
4
375
20


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan