- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Korupsi Proyek Sumut dan Celah dalam Sistem Tender


TS
KangPri
Korupsi Proyek Sumut dan Celah dalam Sistem Tender
Quote:
Baru-baru ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan lima orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalan, di Dinas PUPR Sumatera Utara (Sumut) dan di Satuan Kerja (Satker) Pembangunan Jalan Nasional (PJN) Wilayah 1 Sumut, pada Sabtu (28/6/2025).

Kelima tersangka tersebut di antaranya, Kepala Dinas PUPR Sumatera Utara (Sumut) Topan Obaja Putra Ginting; Kepala UPTD Gunung Tua Dinas PUPR Sumut merangkap Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Rasuli Efendi Siregar; PPK Satker PJN Wilayah I Provinsi Sumut, Heliyanto; Dirut PT DNG, M Akhirun Efendi Siregar; dan Direktur PT RN, M. Rayhan Dulasmi Pilang.

Kasus ini, yang intinya adalah dugaan kongkalingkong pemenangan tender proyek, ditengarai oleh pengamat sebagai "gejala" dari modus yang sudah pernah dilakukan sebelumnya, yakni penyusunan spesifikasi teknis yang sengaja dirancang agar hanya bisa dipenuhi oleh penyedia tertentu.

Namun, bagaimana kronologi kasusnya dan apa celah hukum dalam sistem pengadaan yang dimanfaatkan?
Duduk Perkara dan Kronologi Kasus
Plh Direktur Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, mengatakan bahwa kasus ini bermula dari adanya laporan masyarakat yang menemukan sebuah infrastruktur yang kualitasnya jelek sehingga diduga ada tindak pidana korupsi.
"Berbekal dari laporan informasi tersebut dari masyarakat, kemudian KPK menurunkan tim tentunya dan memantau pergerakan yang kemudian juga di pertengahan tahun ini ada beberapa proyek jalan ya jalan, ada beberapa proyek jalan di Sumatera Utara," kata Asep saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Sabtu (28/6/2025).

Kemudian, Asep mengatakan bahwa pihaknya menemukan adanya penarikan uang senilai Rp2 miliar oleh Akhirun dan Rayhan, yang diduga untuk dibagikan kepada pihak-pihak tertentu, dengan harapan akan mendapat proyek pembangunan jalan.
Atas temuan tersebut, kata Asep, pihaknya melakukan pemantauan terhadap pertemuan antara Topan dengan Akhirun dan Rayhan, di sebuah tempat pada Kamis (26/6/2025) malam.
Kemudian, Asep mengatakan, berdasarkan hasil pemantauan, ditemukan ada proyek pembangunan jalan di Dinas PUPR Sumut dan Satker PJN Wilayah 1 Sumut dengan total proyek Rp231,8 miliar.
Asep menjelaskan, untuk proyek di Dinas PUPR Sumut, dengan nilai proyek Rp157,8 miliar, Topan, selaku Kepala Dinas, telah memerintahkan kepada Rasuli untuk memenangkan Akhirun pada proses lelang.
"Di sini sudah terlihat bahwa ada kecurangan ada ditunjukkan. Seharusnya ini kan melalui proses lelang yang benar-benar transparan gitu ya, tidak ditunjuk seperti itu," ujarnya.
Pemenang Lelang Proyek Jalan Sudah Diatur
Singkat cerita, Akhirun memerintahkan stafnya untuk berkoordinasi dengan Rasuli dan staf UPTD untuk mempersiapkan hal teknis terkait dengan proses e-katalog, agar proyek tersebut dimenangkan oleh Akhirun.
"Bahwa atas pengaturan proses e-katalog di Dinas PUPR Provinsi Sumut tersebut terdapat pemberian uang dari KIR (Akhirun) dan RAY (Rayhan) untuk RES (Rasuli) yang dilakukan melalui transfer rekening. Jadi, ada yang diberikan secara langsung tunai, ada yang diberikan juga melalui transfer," tuturnya.
"Selain itu juga diduga terdapat penerimaan lain oleh saudara TOP (Topan) dari KIR dan RAY melalui perantara. Jadi tidak hanya melalui pemberian langsung," tambahnya.
Asep melanjutkan, pada Senin (23/6/2025) hingga Kamis (26/6/2025), KIR memerintahkan stafnya untuk berkoordinasi dengan RES dan staf UPTD untuk mempersiapkan hal-hal teknis sehubungan dengan proses e-katalog.
“Jadi, sudah dipersiapkan segala sesuatunya. Dari awal memang PT DNG ini yang ditunjuk akan menjadi pemenangnya,” katanya.
Asep juga menjelaskan bahwa pihaknya menduga Topan sebagai Kepala Dinas akan menerima 4-5 persen dari nilai proyek. Namun, Asep memprediksi uang tersebut baru akan diberikan ketika proyek tersebut selesai.
Kemudian, untuk proyek di Satker PJN Wilayah 1 Sumut, terjadi dugaan korupsi, karena adanya kerja sama antara Rasuli dengan Akhirun dan anaknya Rayhan. Akhirun dan Rayhan dirancang untuk memenangkan proyek senilai Rp74 miliar.
Bukan Kali Pertama
Manajer Riset Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Badiul Hadi, menyebut kasus yang terjadi di Sumatera Utara ini mengafirmasi persoalan lama dalam sistem pengadaan kita, yaitu praktik pengkondisian pemenang atau kongkalikong lelang proyek pemerintah.
“Fenomena ini bukan insidental, tetapi bersifat sistemik dan seringkali melibatkan aktor internal pemerintahan dan rekanan swasta, serta bahkan oknum dari lembaga pengawas itu sendiri,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Senin (30/6/2025).

Salah satu modus yang paling umum terjadi adalah penyusunan spesifikasi teknis yang sengaja dirancang agar hanya bisa dipenuhi oleh penyedia tertentu. Selain itu, keterlibatan informal antara Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), kelompok kerja (pokja), dan penyedia, kerap dimulai bahkan sebelum proses tender resmi dibuka.
Lebih lanjut, Badiul menjelaskan, dalam banyak kasus, perusahaan “boneka” juga digunakan untuk menciptakan kesan seolah-olah ada persaingan sehat. Menurutnya, meski sistem pengadaan elektronik (LPSE/SPSE) dianggap sebagai kemajuan besar, sistem ini belum cukup menutup celah manipulasi.
“Karena keterbatasan pengawasan berbasis data. Meskipun semua data tersedia di LPSE, tidak semua pemerintah daerah membuka dan menginterkoneksikan data tersebut dengan publik secara real time,” ujarnya.
Selain itu, ia juga menyoroti masyarakat sipil dan organisasi pengawas belum diberikan ruang untuk terlibat dalam tahap-tahap kritis seperti penyusunan Rencana Umum Pengadaan (RUP), evaluasi kualifikasi, dan pengawasan kontrak.
Seperti yang dikatakan Badiul Hadi, kasus korupsi yang disebabkan oleh kecurangan dalam penentuan pemenang dalam lelang proyek pemerintah bukanlah kejadian yang pertama. Salah satu kasus korupsi terbesar yang pernah terungkap adalah kasus korupsi e-KTP yang diperkirakan merugikan keuangan negara Rp 2,3 triliun. Penyimpangan proyek pengadaan ini dimulai dari proses anggaran, lelang hingga tahap pelaksanaan.
Berdasarkan catatan Tirto, Jaksa Penuntut Umum KPK pernah mengungkap bagaimana proyek pengadaan e-KTP diarahkan sejak awal. Para pelaku, saat itu, yang terdiri dari anggota DPR dan pejabat di lingkup terkait, disebut telah mengatur agar pemenang lelang e-KTP jatuh kepada Konsorsium PNRI, yang terdiri dari sejumlah BUMN dan swasta.
Pada Februari 2011, saat rencana pembentukan konsorsium tengah berjalan, Irman dan Sugiharto disebut menemui Sekjen Kemendagri, Diah Anggraini. Dalam pertemuan itu, Diah meminta agar tiga konsorsium yang dibawa Andi Narogong yakni PNRI, Murakabi Sejahtera, dan Astra Graphia "diamankan" karena Andi dianggap sebagai rekanan lama kementerian.
Mekanisme Pengadaan Barang dan Jasa
Pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah Indonesia diatur secara rinci dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018, yang kemudian diperbarui melalui Perpres Nomor 12 Tahun 2021. Regulasi ini menjadi dasar hukum utama dalam pelaksanaan seluruh proses pengadaan, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan kontrak.
Salah satu metode utama dalam pengadaan adalah tender, yaitu metode pemilihan untuk mendapatkan penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya. Prosedur ini wajib digunakan apabila nilai pengadaan melebihi ambang batas tertentu (di atas Rp200 juta) dan tidak memenuhi syarat untuk metode yang lebih sederhana seperti e-purchasing, pengadaan langsung, atau penunjukan langsung.
Mengacu pada Pasal 50 Perpres 12/2021, mekanisme pemilihan melalui tender atau seleksi melibatkan delapan tahapan utama. Dimulai dari pelaksanaan kualifikasi, kemudian dilanjutkan dengan pengumuman atau undangan, pendaftaran dan pengembalian dokumen penilaian, serta pemberian penjelasan kepada peserta. Setelah itu, peserta menyampaikan dokumen penawaran, yang kemudian akan dievaluasi oleh panitia. Proses ini ditutup dengan penetapan dan pengumuman pemenang, serta masa sanggah untuk memberi ruang koreksi dari peserta lain jika ditemukan kejanggalan.

Pengamat kebijakan publik yang juga Direktur Lembaga Next Policy, Herry Gunawan, menilai praktik kongkalikong dalam proses tender proyek pemerintah kerap terjadi karena niat untuk mengambil keuntungan pribadi sudah muncul sejak awal, baik dari pihak internal birokrasi maupun mitra swasta.
“Dari situ, kemudian dicari celahnya. Dan celah yang paling memungkinkan, menurut saya, terutama pada proses pembuatan Kerangka Acuan Kerja (KAK) yang biasanya menjadi acuan saat tender. Di situ, lazimnya disertakan syarat-syarat vendor yang dibutuhkan, yang tentu saja bisa 'dimodifikasi' sesuai kebutuhan,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Senin (30/6/2025).
Sebagai contoh, Herry mencontohkan, sangat mungkin di KAK ada syarat misalnya pernah bekerja sama dengan pemerintah, dalam hal ini kementerian setingkat Kemenko. Ia menceritakan, syarat-syarat yang khusus dan unik ini biasanya untuk memuluskan mitra yang sudah dijanjikan untuk menang tender. Atas dasar hal itu syarat ‘disesuaikan’ dengan kapasitas dan pengalaman mitra tersebut.
“Model seperti itu bisa terjadi, karena pengawasan yang lemah. Seharusnya itu tugas Inspektorat. Kalau di Provinsi Sumut misalnya, pengawasannya tugas Inspektorat Daerah. Kalau di kementerian, ya Inspektorat Kementerian. Untuk eksternal, auditornya ya BPK atau BPKP,” ujarnya.
“Jika masih banyak kebocoran akibat kongkalikong, yang biasanya diperiksa atau disampaikan ke publik seperti sering kita dengar: ‘Prosesnya sudah sesuai peraturan yang berlaku’. Padahal, masalahnya bukan pada proses dalam arti rangkaian pengadaan. Namun, masalahnya diselipkan pada substansi dalam proses tender tersebut, seperti pada KAK tadi,” sambungnya,
Agar Kasus Sama Tak Terulang Lagi
Sebagai solusi dari permasalahan ini, Badiul Hadi dari FITRA mendorong pemerintah untuk mengambil beberapa langkah penting. Pertama, menerapkan transparansi penuh di semua tahapan pengadaan, dari perencanaan hingga pelaksanaan kontrak, termasuk mewajibkan publikasi terbuka atas dokumen RUP, tender dan hasil evaluasi.
Kedua, melibatkan masyarakat sipil dan kalangan akademik dalam tim evaluasi atau komite pengawasan proyek strategis daerah. Ketiga, melakukan reformasi kelembagaan Pokja Pengadaan agar lebih independen dari tekanan politik dan pengaruh dinas teknis.
“Serta peningkatan sistem deteksi dini digital, seperti pemanfaatan big data dan AI untuk mendeteksi pola pengulangan pemenang tender atau anomali harga,” ujarnya.
Sementara itu, Herry dari Next Policy menilai perlu ada pembenahan serius, terutama dari sisi pengawasan dan regulasi.
“Dalam setiap kasus korupsi, Inspektorat perlu diperiksa juga. Sejauh mana pengawasan yang sudah dilakukan. Jangan-jangan ada proses pembiaran,” katanya.
Langkah preventif lainnya, kata Herry, adalah pemeriksaan dokumen Kerangka Acuan Kerja (KAK) sebelum lelang dilaksanakan. Di dokumen inilah biasanya disisipkan "syarat-syarat aneh" yang mengarah pada pemenangan pihak tertentu. Selain itu, perusahaan-perusahaan yang ikut tender harus dicek potensi adanya hubungan atau relasi satu sama lain.
“Bisa jadi, perusahaan A berelasi dengan perusahaan C dari sisi penerima manfaat akhir. Dan keduanya ikut tender yang sama. Ini jelas sudah ada niat tidak baik,” katanya.
Terakhir, Herry juga mendorong adanya pembatasan kepesertaan tender. Perusahaan atau pihak yang sudah menang proyek di satu tahun, sebaiknya tidak boleh ikut proyek di tahun berikutnya.
“Umumnya kalau di dunia bisnis, dibatasi tiga kali. Kalau di pemerintahan, sebaiknya cukup satu kali saja atau maksimal dua kali. Kebijakan tersebut bertujuan untuk meminimalisir potensi kongkalikong antara pemilik proyek, dalam hal ini organisasi pemerintah (daerah maupun pusat) dengan vendor atau penyedia jasa,” pungkasnya.
https://tirto.id/korupsi-proyek-sumu...em-tender-hdDW
Kelima tersangka tersebut di antaranya, Kepala Dinas PUPR Sumatera Utara (Sumut) Topan Obaja Putra Ginting; Kepala UPTD Gunung Tua Dinas PUPR Sumut merangkap Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Rasuli Efendi Siregar; PPK Satker PJN Wilayah I Provinsi Sumut, Heliyanto; Dirut PT DNG, M Akhirun Efendi Siregar; dan Direktur PT RN, M. Rayhan Dulasmi Pilang.
Kasus ini, yang intinya adalah dugaan kongkalingkong pemenangan tender proyek, ditengarai oleh pengamat sebagai "gejala" dari modus yang sudah pernah dilakukan sebelumnya, yakni penyusunan spesifikasi teknis yang sengaja dirancang agar hanya bisa dipenuhi oleh penyedia tertentu.
Namun, bagaimana kronologi kasusnya dan apa celah hukum dalam sistem pengadaan yang dimanfaatkan?
Duduk Perkara dan Kronologi Kasus
Plh Direktur Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, mengatakan bahwa kasus ini bermula dari adanya laporan masyarakat yang menemukan sebuah infrastruktur yang kualitasnya jelek sehingga diduga ada tindak pidana korupsi.
"Berbekal dari laporan informasi tersebut dari masyarakat, kemudian KPK menurunkan tim tentunya dan memantau pergerakan yang kemudian juga di pertengahan tahun ini ada beberapa proyek jalan ya jalan, ada beberapa proyek jalan di Sumatera Utara," kata Asep saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Sabtu (28/6/2025).

Lima tersangka kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di Dinas PUPR dan preservasi jalan di Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional (PJN) Wilayah I Sumatera Utara dihadirkan dalam konferensi pers penetapan dan penahanan tersangka di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Sabtu (28/6/2025). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/YU
Kemudian, Asep mengatakan bahwa pihaknya menemukan adanya penarikan uang senilai Rp2 miliar oleh Akhirun dan Rayhan, yang diduga untuk dibagikan kepada pihak-pihak tertentu, dengan harapan akan mendapat proyek pembangunan jalan.
Atas temuan tersebut, kata Asep, pihaknya melakukan pemantauan terhadap pertemuan antara Topan dengan Akhirun dan Rayhan, di sebuah tempat pada Kamis (26/6/2025) malam.
Kemudian, Asep mengatakan, berdasarkan hasil pemantauan, ditemukan ada proyek pembangunan jalan di Dinas PUPR Sumut dan Satker PJN Wilayah 1 Sumut dengan total proyek Rp231,8 miliar.
Asep menjelaskan, untuk proyek di Dinas PUPR Sumut, dengan nilai proyek Rp157,8 miliar, Topan, selaku Kepala Dinas, telah memerintahkan kepada Rasuli untuk memenangkan Akhirun pada proses lelang.
"Di sini sudah terlihat bahwa ada kecurangan ada ditunjukkan. Seharusnya ini kan melalui proses lelang yang benar-benar transparan gitu ya, tidak ditunjuk seperti itu," ujarnya.
Pemenang Lelang Proyek Jalan Sudah Diatur
Singkat cerita, Akhirun memerintahkan stafnya untuk berkoordinasi dengan Rasuli dan staf UPTD untuk mempersiapkan hal teknis terkait dengan proses e-katalog, agar proyek tersebut dimenangkan oleh Akhirun.
"Bahwa atas pengaturan proses e-katalog di Dinas PUPR Provinsi Sumut tersebut terdapat pemberian uang dari KIR (Akhirun) dan RAY (Rayhan) untuk RES (Rasuli) yang dilakukan melalui transfer rekening. Jadi, ada yang diberikan secara langsung tunai, ada yang diberikan juga melalui transfer," tuturnya.
"Selain itu juga diduga terdapat penerimaan lain oleh saudara TOP (Topan) dari KIR dan RAY melalui perantara. Jadi tidak hanya melalui pemberian langsung," tambahnya.
Asep melanjutkan, pada Senin (23/6/2025) hingga Kamis (26/6/2025), KIR memerintahkan stafnya untuk berkoordinasi dengan RES dan staf UPTD untuk mempersiapkan hal-hal teknis sehubungan dengan proses e-katalog.
“Jadi, sudah dipersiapkan segala sesuatunya. Dari awal memang PT DNG ini yang ditunjuk akan menjadi pemenangnya,” katanya.
Asep juga menjelaskan bahwa pihaknya menduga Topan sebagai Kepala Dinas akan menerima 4-5 persen dari nilai proyek. Namun, Asep memprediksi uang tersebut baru akan diberikan ketika proyek tersebut selesai.
Kemudian, untuk proyek di Satker PJN Wilayah 1 Sumut, terjadi dugaan korupsi, karena adanya kerja sama antara Rasuli dengan Akhirun dan anaknya Rayhan. Akhirun dan Rayhan dirancang untuk memenangkan proyek senilai Rp74 miliar.
Bukan Kali Pertama
Manajer Riset Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Badiul Hadi, menyebut kasus yang terjadi di Sumatera Utara ini mengafirmasi persoalan lama dalam sistem pengadaan kita, yaitu praktik pengkondisian pemenang atau kongkalikong lelang proyek pemerintah.
“Fenomena ini bukan insidental, tetapi bersifat sistemik dan seringkali melibatkan aktor internal pemerintahan dan rekanan swasta, serta bahkan oknum dari lembaga pengawas itu sendiri,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Senin (30/6/2025).

Tiga tersangka kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di Dinas PUPR dan preservasi jalan di Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional (PJN) Wilayah I Sumatera Utara yakni Topan Obaja Putra Ginting (kedua kanan), Rasuli Efendi Siregar (kedua kiri), dan M. Rayhan Dulasmi Pilang (kiri) berjalan keluar usai dihadirkan bersama dua tersangka lainnya dalam konferensi pers penetapan dan penahanan tersangka di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Sabtu (28/6/2025).ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/YU
Salah satu modus yang paling umum terjadi adalah penyusunan spesifikasi teknis yang sengaja dirancang agar hanya bisa dipenuhi oleh penyedia tertentu. Selain itu, keterlibatan informal antara Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), kelompok kerja (pokja), dan penyedia, kerap dimulai bahkan sebelum proses tender resmi dibuka.
Lebih lanjut, Badiul menjelaskan, dalam banyak kasus, perusahaan “boneka” juga digunakan untuk menciptakan kesan seolah-olah ada persaingan sehat. Menurutnya, meski sistem pengadaan elektronik (LPSE/SPSE) dianggap sebagai kemajuan besar, sistem ini belum cukup menutup celah manipulasi.
“Karena keterbatasan pengawasan berbasis data. Meskipun semua data tersedia di LPSE, tidak semua pemerintah daerah membuka dan menginterkoneksikan data tersebut dengan publik secara real time,” ujarnya.
Selain itu, ia juga menyoroti masyarakat sipil dan organisasi pengawas belum diberikan ruang untuk terlibat dalam tahap-tahap kritis seperti penyusunan Rencana Umum Pengadaan (RUP), evaluasi kualifikasi, dan pengawasan kontrak.
Seperti yang dikatakan Badiul Hadi, kasus korupsi yang disebabkan oleh kecurangan dalam penentuan pemenang dalam lelang proyek pemerintah bukanlah kejadian yang pertama. Salah satu kasus korupsi terbesar yang pernah terungkap adalah kasus korupsi e-KTP yang diperkirakan merugikan keuangan negara Rp 2,3 triliun. Penyimpangan proyek pengadaan ini dimulai dari proses anggaran, lelang hingga tahap pelaksanaan.
Berdasarkan catatan Tirto, Jaksa Penuntut Umum KPK pernah mengungkap bagaimana proyek pengadaan e-KTP diarahkan sejak awal. Para pelaku, saat itu, yang terdiri dari anggota DPR dan pejabat di lingkup terkait, disebut telah mengatur agar pemenang lelang e-KTP jatuh kepada Konsorsium PNRI, yang terdiri dari sejumlah BUMN dan swasta.
Pada Februari 2011, saat rencana pembentukan konsorsium tengah berjalan, Irman dan Sugiharto disebut menemui Sekjen Kemendagri, Diah Anggraini. Dalam pertemuan itu, Diah meminta agar tiga konsorsium yang dibawa Andi Narogong yakni PNRI, Murakabi Sejahtera, dan Astra Graphia "diamankan" karena Andi dianggap sebagai rekanan lama kementerian.
Mekanisme Pengadaan Barang dan Jasa
Pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah Indonesia diatur secara rinci dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018, yang kemudian diperbarui melalui Perpres Nomor 12 Tahun 2021. Regulasi ini menjadi dasar hukum utama dalam pelaksanaan seluruh proses pengadaan, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan kontrak.
Salah satu metode utama dalam pengadaan adalah tender, yaitu metode pemilihan untuk mendapatkan penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya. Prosedur ini wajib digunakan apabila nilai pengadaan melebihi ambang batas tertentu (di atas Rp200 juta) dan tidak memenuhi syarat untuk metode yang lebih sederhana seperti e-purchasing, pengadaan langsung, atau penunjukan langsung.
Mengacu pada Pasal 50 Perpres 12/2021, mekanisme pemilihan melalui tender atau seleksi melibatkan delapan tahapan utama. Dimulai dari pelaksanaan kualifikasi, kemudian dilanjutkan dengan pengumuman atau undangan, pendaftaran dan pengembalian dokumen penilaian, serta pemberian penjelasan kepada peserta. Setelah itu, peserta menyampaikan dokumen penawaran, yang kemudian akan dievaluasi oleh panitia. Proses ini ditutup dengan penetapan dan pengumuman pemenang, serta masa sanggah untuk memberi ruang koreksi dari peserta lain jika ditemukan kejanggalan.

Terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP Setya Novanto membacakan pledoinya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada PN Jakarta Pusat, Jumat (13/4/2018). tirto.id/Rahadian
Pengamat kebijakan publik yang juga Direktur Lembaga Next Policy, Herry Gunawan, menilai praktik kongkalikong dalam proses tender proyek pemerintah kerap terjadi karena niat untuk mengambil keuntungan pribadi sudah muncul sejak awal, baik dari pihak internal birokrasi maupun mitra swasta.
“Dari situ, kemudian dicari celahnya. Dan celah yang paling memungkinkan, menurut saya, terutama pada proses pembuatan Kerangka Acuan Kerja (KAK) yang biasanya menjadi acuan saat tender. Di situ, lazimnya disertakan syarat-syarat vendor yang dibutuhkan, yang tentu saja bisa 'dimodifikasi' sesuai kebutuhan,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Senin (30/6/2025).
Sebagai contoh, Herry mencontohkan, sangat mungkin di KAK ada syarat misalnya pernah bekerja sama dengan pemerintah, dalam hal ini kementerian setingkat Kemenko. Ia menceritakan, syarat-syarat yang khusus dan unik ini biasanya untuk memuluskan mitra yang sudah dijanjikan untuk menang tender. Atas dasar hal itu syarat ‘disesuaikan’ dengan kapasitas dan pengalaman mitra tersebut.
“Model seperti itu bisa terjadi, karena pengawasan yang lemah. Seharusnya itu tugas Inspektorat. Kalau di Provinsi Sumut misalnya, pengawasannya tugas Inspektorat Daerah. Kalau di kementerian, ya Inspektorat Kementerian. Untuk eksternal, auditornya ya BPK atau BPKP,” ujarnya.
“Jika masih banyak kebocoran akibat kongkalikong, yang biasanya diperiksa atau disampaikan ke publik seperti sering kita dengar: ‘Prosesnya sudah sesuai peraturan yang berlaku’. Padahal, masalahnya bukan pada proses dalam arti rangkaian pengadaan. Namun, masalahnya diselipkan pada substansi dalam proses tender tersebut, seperti pada KAK tadi,” sambungnya,
Agar Kasus Sama Tak Terulang Lagi
Sebagai solusi dari permasalahan ini, Badiul Hadi dari FITRA mendorong pemerintah untuk mengambil beberapa langkah penting. Pertama, menerapkan transparansi penuh di semua tahapan pengadaan, dari perencanaan hingga pelaksanaan kontrak, termasuk mewajibkan publikasi terbuka atas dokumen RUP, tender dan hasil evaluasi.
Kedua, melibatkan masyarakat sipil dan kalangan akademik dalam tim evaluasi atau komite pengawasan proyek strategis daerah. Ketiga, melakukan reformasi kelembagaan Pokja Pengadaan agar lebih independen dari tekanan politik dan pengaruh dinas teknis.
“Serta peningkatan sistem deteksi dini digital, seperti pemanfaatan big data dan AI untuk mendeteksi pola pengulangan pemenang tender atau anomali harga,” ujarnya.
Sementara itu, Herry dari Next Policy menilai perlu ada pembenahan serius, terutama dari sisi pengawasan dan regulasi.
“Dalam setiap kasus korupsi, Inspektorat perlu diperiksa juga. Sejauh mana pengawasan yang sudah dilakukan. Jangan-jangan ada proses pembiaran,” katanya.
Langkah preventif lainnya, kata Herry, adalah pemeriksaan dokumen Kerangka Acuan Kerja (KAK) sebelum lelang dilaksanakan. Di dokumen inilah biasanya disisipkan "syarat-syarat aneh" yang mengarah pada pemenangan pihak tertentu. Selain itu, perusahaan-perusahaan yang ikut tender harus dicek potensi adanya hubungan atau relasi satu sama lain.
“Bisa jadi, perusahaan A berelasi dengan perusahaan C dari sisi penerima manfaat akhir. Dan keduanya ikut tender yang sama. Ini jelas sudah ada niat tidak baik,” katanya.
Terakhir, Herry juga mendorong adanya pembatasan kepesertaan tender. Perusahaan atau pihak yang sudah menang proyek di satu tahun, sebaiknya tidak boleh ikut proyek di tahun berikutnya.
“Umumnya kalau di dunia bisnis, dibatasi tiga kali. Kalau di pemerintahan, sebaiknya cukup satu kali saja atau maksimal dua kali. Kebijakan tersebut bertujuan untuk meminimalisir potensi kongkalikong antara pemilik proyek, dalam hal ini organisasi pemerintah (daerah maupun pusat) dengan vendor atau penyedia jasa,” pungkasnya.
https://tirto.id/korupsi-proyek-sumu...em-tender-hdDW
Ane demen ini baca berita ginian

Yg dinaikin tirto bukan cuma kasus ama oknumnya, tapi lebih kearah modus dan patternnya. Sebenernya emang udah lama ini modus, dan sudah saatnya dibenahi






silencely3 dan 4 lainnya memberi reputasi
5
210
Kutip
10
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan