Kaskus

News

bestiekuAvatar border
TS
bestieku
Omon-omon Rumah Si Miskin

Omon-omon Rumah Si Miskin

TIADA angin tiada hujan, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait mengklaim telah membangun 157 ribu rumah—sekitar 5,2 persen dari target ambisius program 3 juta rumah yang dijanjikan Presiden Prabowo Subianto. Angka itu terdengar impresif, andai saja publik tahu di mana rumah-rumah tersebut sebenarnya berdiri.

Masalahnya, hingga kini tak tersedia data transparan atau peta sebaran yang meyakinkan tentang keberadaan rumah-rumah murah tersebut. Maruarar melemparkan klaim besar ke ruang publik, sementara program 3 juta rumah bahkan belum menyelesaikan tahapan paling mendasar: penyusunan regulasi, skema pembiayaan, dan rencana implementasi.

Sejak awal kabut tebal menyelimuti program 3 juta rumah. Meski digadang-gadang sebagai solusi atas krisis perumahan yang dihadapi jutaan rakyat miskin, hingga pertengahan 2025 program tersebut belum memiliki peta jalan yang terang. Sumber pendanaan belum jelas, mekanisme eksekusinya pun tak kunjung dirinci. Anehnya, pemerintah masih saja mengumbar “omon-omon” soal rumah murah—bahkan gratis—itu layaknya di musim kampanye.

Pernyataan Maruarar belakangan ini kian memperkeruh keadaan. Ia, misalnya, secara serampangan menyebut beberapa proyek swasta sebagai bagian dari program pemerintah. Bahkan renovasi tiga rumah oleh Yayasan Buddha Tzu Chi di Kampung Rawa, Jakarta, pada April 2025, dia klaim sebagai capaian kementeriannya.

Maruarar juga mengklaim rumah mungil seluas 14 meter persegi yang dipamerkan Lippo Group sebagai model masa depan program 3 juta rumah. Padahal pembangunan rumah seluas di bawah 36 meter persegi melanggar Undang-Undang Perumahan dan secara sosial tidak layak huni.

Jurus Maruarar mencampuradukkan program kementeriannya dengan program tanggung jawab sosial pengembang besar tidak hanya menciptakan ilusi pencapaian. Cara itu juga mengaburkan batas tegas antara fungsi negara dan kepentingan pasar.


Tak berhenti di situ, Maruarar juga mengubah parameter penerima rumah bersubsidi. Syarat maksimal penghasilan dinaikkan dari Rp 8 juta menjadi Rp 14 juta per bulan. Keputusan ini boleh jadi menguntungkan pengembang karena memperluas pasar, tapi berisiko besar meminggirkan masyarakat miskin. Dengan bertambahnya kompetitor dari kelompok berpenghasilan menengah, keluarga berpenghasilan rendah—yang paling membutuhkan bantuan perumahan—justru bisa tersisih.

Ihwal pembiayaan, pernyataan Maruarar pun tak kalah kontradiktif. Ia menolak mentah-mentah tawaran pinjaman US$ 1 miliar dari Bank Dunia dengan alasan menjaga kemandirian nasional. Padahal sebelumnya ia sendiri mengeluhkan keterbatasan dana pemerintah.


Bahkan jika Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau Danantara benar-benar mengucurkan dana Rp 130 triliun melalui skema kredit usaha rakyat (KUR) perumahan, itu pun belum mencukupi kebutuhan riil program 3 juta rumah. Untuk pembangunan 1 juta rumah di perkotaan saja dibutuhkan sekitar Rp 240 triliun. Artinya, sekalipun seluruh dana KUR terserap, kekurangannya masih lebih dari Rp 100 triliun.

Dengan segudang hambatan—dari ketiadaan regulasi, tumpang-tindih kebijakan, keterbatasan pendanaan, hingga bias kepentingan politik dalam pelaksanaannya—peluang keberhasilan program 3 juta rumah tampak kian mengecil. Bukan hanya lantaran program itu terlampau ambisius, melainkan juga karena sejak awal tak memiliki dasar serta arah yang dapat dipercaya.


https://www.tempo.co/kolom/maruarar-...-rumah-1843730

Diubah oleh bestieku 29-06-2025 18:03
soelojo4503Avatar border
anthraxxxAvatar border
anthraxxx dan soelojo4503 memberi reputasi
2
328
19
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan