- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Jaringan Gusdurian Minta Penulisan Ulang Buku Sejarah Dibatalkan


TS
mabdulkarim
Jaringan Gusdurian Minta Penulisan Ulang Buku Sejarah Dibatalkan

Tayang: Minggu, 22 Juni 2025 13:55 WIB
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Wahyu Aji
zoom-inlihat fotoJaringan Gusdurian Minta Penulisan Ulang Buku Sejarah Dibatalkan
TRIBUNNEWS.COM/RACHMAT HIDAYAT
TRAGEDI MEI 1998 - Allisa Wahid,putri sulung Presiden Keempat KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Alissa Wahid, merespons tegas pernyataan politikus Fadli Zon yang menyangkal terjadinya kekerasan seksual massal dalam tragedi Mei 1998.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aktivis dan putri mendiang Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Alissa Wahid, merespons tegas pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyangkal terjadinya kekerasan seksual massal dalam tragedi Mei 1998.
Dia juga mengkritik penolakan terhadap proyek penulisan ulang buku sejarah.
"Kalau di Jaringan Gusdurian, minta dibatalkan," kata Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian itu kepada wartawan, Sabtu (21/6/2025).
Terkait penyangkalan Fadli Zon soal kasus kekerasan massal 98, Alissa menyebut politikus Gerindra itu perlu memperluas wawasan.
"Satu, Pak Fadli Zon kayaknya perlu piknik lebih jauh, ngopi dengan lebih banyak orang," ucapnya.
Alissa menegaskan bahwa ketidaktahuan seseorang tidak lantas membatalkan fakta sejarah.
"Yang Pak Fadli Zon tidak tahu itu tidak sama dengan itu tidak benar. Just because you cannot see, doesn't mean it doesn't happen. Jadi, jangan karena kita enggak tahu informasinya terus kita menganggap itu tidak benar," ujar Alissa.
Ia merujuk pada sejumlah laporan resmi yang mengonfirmasi kekerasan seksual dalam tragedi 1998, termasuk rekomendasi Tim Gabungan Pencari Fakta dan Komnas HAM.
"Kemenkopolhukam dalam 12 kejahatan HAM masa lalu, itu di masa periode Pak Jokowi yang kedua sudah menyebutkan itu. Artinya, ini sudah menjadi informasi yang diverifikasi," ujarnya.
Ia juga mengungkapkan kesaksian langsung dari ayahnya, Gus Dur, yang pernah bertemu korban kasus kekerasan seksual massal.
"Gus Dur dulu bercerita kepada saya, menemui korban-korban rudapaksaan, membantu mereka pergi ke luar negeri. Ada kok yang dulu sempat ke Ciganjur sebelum akhirnya berangkat ke luar negeri," ucapnya.
"Pak Fadli Zon, jangan melakukan lompatan kesimpulan sebelum mendapatkan informasi yang lebih lengkap," tandasnya.
Sebelumnya, Fadli Zon memberikan klarifikasi terkait pernyataannya soal kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998.
Fadli menilai bahwa istilah “rudapaksaan massal” membutuhkan verifikasi fakta yang lebih kuat.
"Saya tentu mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini," kata Fadli Zon melalui keterangan tertulis, Senin (16/6/2025).
"Apa yang saya sampaikan tidak menegasikan berbagai kerugian atau pun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru hara 13-14 Mei 1998," ujarnya menambahkan.
Menurut Fadli, kerusuhan pada masa itu memang menyimpan banyak bentuk kejahatan, tetapi labelisasi “massal” terhadap kekerasan seksual harus digunakan dengan sangat hati-hati.
"Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik," ungkapnya.
Dia menyebut laporan investigatif dari media maupun dokumen resmi saat itu tidak menyajikan data yang cukup kuat.
"Berbagai tindak kejahatan terjadi di tengah kerusuhan 13-14 Mei 1998, termasuk kekerasan seksual. Namun terkait ‘rudapaksaan massal’ perlu kehati-hatian karena data peristiwa itu tak pernah konklusif," ucapnya.
Menanggapi kritik soal penghilangan narasi perempuan dalam buku Sejarah Indonesia, Fadli menyatakan bahwa justru semangat utamanya adalah untuk memperkuat kontribusi perempuan.
"Justru sebaliknya, salah satu semangat utama penulisan buku ini adalah memperkuat dan menegaskan pengakuan terhadap peran dan kontribusi perempuan dalam sejarah perjuangan bangsa," tuturnya.
Dia juga menyampaikan bahwa isu-isu perempuan telah diakomodasi dalam penyusunan buku hingga Mei 2025, termasuk sejarah gerakan perempuan, kekerasan berbasis gender, dan kesetaraan dalam pembangunan.
Terakhir, Fadli mengajak publik untuk terlibat dalam dialog terbuka dan konstruktif mengenai penyusunan narasi sejarah.
“Prinsip keterbukaan, partisipasi publik, profesionalisme dan akuntabilitas tentu tetap menjadi dasar penyusunan sejarah. Kami akan melakukan diskusi publik yang terbuka untuk menerima masukan dari berbagai kalangan, termasuk para tokoh dan komunitas perempuan, akademisi, dan masyarakat sipil,” ungkapnya.
“Sejarah bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang tanggung jawab kita di masa kini dan masa depan. Karena itu, mari kita menjadikannya ruang bersama untuk membangun pembelajaran, empati, dan kekuatan pemersatu,” tambahnya.
https://www.tribunnews.com/nasional/...lkan?page=all.
semoga lancer penulisannya secara terkahir kabarnya Sudha 70%
0
248
9


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan