- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Ironi Papua, Uang Korupsi Dipakai Beli Jet Pribadi, Warganya Harus Jual Pinang


TS
mabdulkarim
Ironi Papua, Uang Korupsi Dipakai Beli Jet Pribadi, Warganya Harus Jual Pinang
Ironi Papua, Uang Korupsi Dipakai Beli Jet Pribadi, Warganya Harus Jual Pinang untuk Naik Pesawat
Banyak warga Papua belum merasakan dampak dana melimpah yang mengalir di daerahnya. Justru, banyak dana triliuan rupiah digunakan untuk pribadi para pejabat.
Fakta baru dalam korupsi di lingkaran bekas Gubernur Papua Lukas Enembe kembali menyita perhatian publik. Terbaru, terungkap dana puluhan miliar rupiah dibawa dengan 19 koper dari Papua lalu dibelanjakan jet pribadi ke luar negeri. Sebuah ironi, ketika masih banyak warga Papua yang bahkan harus menjual pinang dahulu untuk bisa menikmati transportasi udara.
Pertengahan Juni 2025 ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap, fakta terkait dugaan korupsi dana operasional Provinsi Papua 2020-2022. Dalam kasus ini, terungkap bekas Gubernur Papua Lukas Enembe (2013-2023) dan bendaharanya, Dius Enumbi, diduga menggunakan uang korupsinya untuk membeli jet pribadi.
Lukas Enembe telah meninggal pada Desember 2023. Namun, saat ini, KPK masih terus menelusuri kasus korupsi yang merugikan negara hingga Rp 1,2 triliun tersebut.
Bisa dibilang, penggunaan uang rakyat untuk pembelian jet pribadi mencerminkan keserakahan yang memilukan. Keserakahan itu terjadi di tengah ketimpangan yang masih dirasakan oleh warga Papua, mulai dari pembangunan infrastruktur, ekonomi, serta fasilitas pelayanan dasar.
Situasi ini seperti dialami Dilues Kogoya (53), warga asal Kabupaten Tolikara. Ia sudah lebih dari 20 tahun bermukim di daerah Abepura, Kota Jayapura. Dia bekerja sebagai buruh kasar untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, yakni istri dan tiga anaknya.
:quality(80)/https://cdn-dam.kompas.id/images/2025/06/16/eb290254757a503dfead026dc619e787-IMG_20250612_WA0002.jpg)
Pesawat jet pribadi yang diduga dibeli dari korupsi dana operasional Gubernur Papua.
Kebutuhan sehari-hari coba dicukupkan dari pekerjaan istrinya sebagai penjual pinang di penggir jalan dekat rumah mereka. Pendapatan bersih Dilues kadang kurang dari Rp 100.000 per hari, hanya cukup untuk makan dan kebutuhan harian lainnya.
Dengan begitu, Dilues tidak lagi berpikir untuk rutin pulang ke kampung halaman saat hari raya, seperti Natal. Seingatnya, dia terakhir balik ke kampungnya sekitar delapan tahun lalu.
“Saya terakhir pulang itu delapan tahun lalu dan itu pulang sendiri. Uang tiket mahal apalagi kalau mau pulang ajak istri dan anak-anak,” ujar Dilues, Kamis (19/6/2025).
Hanya berjarak sekitar dua kilometer dari rumah Dilues, Fredik Wakum (64), juga menggantungkan nasibnya dengan berjualan pinang di pinggir jalan sekitar daerah Tanah Hitam, Distrik Abepura. Sudah lima tahun, Fredik menggeluti pekerjaan ini untuk mencukupi kebutuhan istri dan 1 dari 6 anak yang masih tinggal bersamanya.
Dalam sehari, Fredik bisa mengumpulkan pendapatan sekitar Rp 100.000 per hari. Sejatinya uang tersebut masih terhitung kurang apalagi ia harus membayar indekosnya seharga Rp 1 juta per bulan.
https://assetd.kompas.id/pFPmsqyQlcV...cf1c5_jpeg.jpg
Fredik Wakum (64), warga Papua yang bekerja sebagai penjual pinang di kawasan Tanah Hitam, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Papua, Kamis (19/6/2025.
Beruntung, uang sewa indekos sering dibantu oleh salah seorang tetangganya. “Ada tetangga punya kios, tiap hari saya bantu di sana untuk angkat-angkat barang atau pekerjaan rumah lain. Kos dibantu bayar sama dia,” ucap lansia asal Kabupaten Biak Numfor ini.
Bantuan tersebut sangat bermakna, mengingat Fredik hanya bekerja seorang diri. Istrinya sejak lima tahun lalu tidak bisa lagi berjalan normal karena sebuh kecelakaan. Begitu pun dengan putra bungsunya yang berusia 20 tahun belum bekerja setelah menyelesaikan sekolah menengah atas.
“Tidak kuliah karena tidak ada uang hanya, jadi dia hanya di rumah. Istri juga hanya di rumah saja, tidak bisa jalan. Lima tahun lalu kecelakaan di motor, lututnya bergeser. Dulu pernah berobat di sini, tapi ada alat yang hanya ada di Jawa. Uangnya tidak ada,” kata Fredik.
Sementara itu, Agustina Demetouw (60) atau Mama Tina, petani sekaligus penjual sayur dan buah di Pasar Youtefa, Kota Jayapura, terus meniti usahanya sembari membantu anaknya untuk menyelesaikan studi di Universitas Cenderawasih.
Mama Tina merupakan pedagang yang berasal dari Kampung Lereh, Distrik Kaureh, Kabupaten Jayapura. Untuk sampai di Pasar Youtefa Abepura, Mama Tina harus naik bus Damri selama delapan jam.
:quality(80)/https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2025/02/11/c70726ee-bf89-4d32-abc7-6da1cdc546e2_png.png)
Infografik IPM Wilayah Papua 2024-Riset Pendidikan
Oleh karena itu, Mama Tina lebih sering menginap di indekos milik anaknya. “Kalau jualan belum habis, menginap di kamar anak. Harus banyak berhemat, apalagi ini biaya kuliah anak tanggung sendiri,” ujarnya.
Dilues, Fredik, dan Mama Tina sejatinya tidak tahu ada dana triliunan rupiah yang digunakan oleh oknum pejabat untuk membeli jet pribadi. Padahal, dana-dana ini seharusnya bisa mereka rasakan secara tepat untuk perbaikan ekonomi dan kehidupan lainnya.
Ketimpangan tiada akhir
Jika melihat data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2013, persentase penduk miskin di Papua sebesar 31,13 persen. Pada 2022, angkanya turun menjadi 26,801 persen, jauh di bawah rata-rata nasional sebesar 9,53 persen.
Begitu pun, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), selama 2013-2022, angkanya tidak naik siginifikan. Pada 2013, IPM Papua sebesar 56,25 persen. Adapun pada 2022, IPM Papua sebesar 61,39 persen, masih berada di bawah rata-rata nasional 73,77 persen.
Artinya, penurunan kemiskinan dan kenaikan IPM di Papua selama era Lukas Enembe tidak begitu siginfikan. Bahkan, jika dilihat lagi, IPM Papua pada 2022 masih tertinggal dengan IPM di kawasan barat Indonesia pada 2013, misalnya Jawa Barat (68,25 persen).
Guru Besar sekaligus Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Cenderawasih Mesak Iek turut menyoroti korupsi di Papua kian menghambat perbaikan kehidupan masyarakat. Padahal, selama ini berbagai dana dari pusat sudah begitu banyak yang digelontorkan untuk Papua.
“Persentase penduduk miskin kita tertinggi di Indonesia, IPM kita terendah. Dari situ kita bisa lihat masalanya di mana. Dananya besar, tapi efeknya yang menetes ke bawah, kepada masyarakat tidak terlalu signifikan,” katanya.
:quality(80):watermark(<a target=_blank href=https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https://cdn-dam.kompas.id/photo/ori/2023/01/14/0017f1be-c20e-43b2-a0f9-c4c2f73fec91.jpg rel=ugc onclick=dataLayer.push({'event': 'trackEvent','eventDetails.category': 'outbond', 'eventDetails.action': 'click', 'eventDetails.label': 'https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https://cdn-dam.kompas.id/photo/ori/2023/01/14/0017f1be-c20e-43b2-a0f9-c4c2f73fec91.jpg'});>https://cdn-content.kompas.id/umum/k...c2f73fec91.jpg</a>)
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Gubernur Papua Lukas Enembe duduk di kursi roda saat dimunculkan dalam ekspos penangkapan dan penahanan dirinya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, Rabu (11/1/2023). Lukas Enembe ditangkap KPK pada Selasa (10/1/2023) sebagai tersangka kasus tindak pidana korupsi dugaan suap dan gratifikasi sejumlah proyek pembangunan infrastruktur di Papua.
Selama ini, lanjut Mesak, pengeloaan anggaran di tingkat pemerintah daerah begitu amburadul. Di sisi lain, pengawasan dari pemerintah pusat juga tidak begitu baik. Pada akhirnya, dampak dana besar itu hanya dinikmati oleh segelintir orang.
Mesak mencontohkan, kasus korupsi yang dilakukan pada era Lukas Enembe seharusnya bisa dimaksimalkan untuk pembangunan manusia, baik dari kesehatan, pendidikan, infrastruktur, hingga ekonomi kerakyatan.
Persentase penduduk miskin kita tertinggi di Indonesia, IPM kita terendah. Dari situ kita bisa lihat masalanya di mana. Dananya besar, tapi efeknya yang menetes ke bawah, kepada masyarakat tidak terlalu signifikan.
Di bidang pendidikan, misalnya, Mesak masih menyoroti masih tingginya angka putus sekolah anak Papua. Sementara itu, di bidang kesehatan, masih banyak daerah di Papua yang belum menikmati akses dan fasilitas yang memadai.
“Kemudian di bidang transportasi, ada subsidi penerbangan, tapi kalau mau dilihat lagi hal itu justru lebihh dinikmati dan digunakan oleh pejabatnya. Di sisi lain, subsidi untuk transportasi darat dan laut masih minim,” ujar Mesak.
Mesak menekankan, tindakan korupsi yang merugikan dan merampas hak masyarakat harus ditindak dengan tegas. Dia meyakini, dana-dana yang telah dikorupsi jika dimanfaatkan dengan tepat seharusnya bisa menjadi jalan pembangunan yang dinikmati oleh segenap masyarakat.
Selama ini, kata Mesak, masyarakat di Papua lebih banyak diam saat hak mereka dirampas. Seperti Dilues, Fredik, Mama Tina, mereka hanya bersyukur bisa makan hari ini. Padahal ada “kue-kue” juga yang harusnya mereka nikmati dalam jangka panjang, tetapi dirampas dan hanya dinikmati oleh segelintir orang.
https://www.kompas.id/artikel/ironi-...k-naik-pesawat
keadaan di Papua di mana dana besar tapi realisasinya ?
KNPB dan AMP teriak-teriak minta referendum dan desak Tarik militer, tapi nggak demo pejabat. Mengapa? Padahal pembangunan adalah hal penting untuk pemajuan sebuah daerah tapi malah dikotomi kolonialisme oleh kelompok seperatis.
Banyak warga Papua belum merasakan dampak dana melimpah yang mengalir di daerahnya. Justru, banyak dana triliuan rupiah digunakan untuk pribadi para pejabat.
Fakta baru dalam korupsi di lingkaran bekas Gubernur Papua Lukas Enembe kembali menyita perhatian publik. Terbaru, terungkap dana puluhan miliar rupiah dibawa dengan 19 koper dari Papua lalu dibelanjakan jet pribadi ke luar negeri. Sebuah ironi, ketika masih banyak warga Papua yang bahkan harus menjual pinang dahulu untuk bisa menikmati transportasi udara.
Pertengahan Juni 2025 ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap, fakta terkait dugaan korupsi dana operasional Provinsi Papua 2020-2022. Dalam kasus ini, terungkap bekas Gubernur Papua Lukas Enembe (2013-2023) dan bendaharanya, Dius Enumbi, diduga menggunakan uang korupsinya untuk membeli jet pribadi.
Lukas Enembe telah meninggal pada Desember 2023. Namun, saat ini, KPK masih terus menelusuri kasus korupsi yang merugikan negara hingga Rp 1,2 triliun tersebut.
Bisa dibilang, penggunaan uang rakyat untuk pembelian jet pribadi mencerminkan keserakahan yang memilukan. Keserakahan itu terjadi di tengah ketimpangan yang masih dirasakan oleh warga Papua, mulai dari pembangunan infrastruktur, ekonomi, serta fasilitas pelayanan dasar.
Situasi ini seperti dialami Dilues Kogoya (53), warga asal Kabupaten Tolikara. Ia sudah lebih dari 20 tahun bermukim di daerah Abepura, Kota Jayapura. Dia bekerja sebagai buruh kasar untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, yakni istri dan tiga anaknya.
:quality(80)/https://cdn-dam.kompas.id/images/2025/06/16/eb290254757a503dfead026dc619e787-IMG_20250612_WA0002.jpg)
Pesawat jet pribadi yang diduga dibeli dari korupsi dana operasional Gubernur Papua.
Kebutuhan sehari-hari coba dicukupkan dari pekerjaan istrinya sebagai penjual pinang di penggir jalan dekat rumah mereka. Pendapatan bersih Dilues kadang kurang dari Rp 100.000 per hari, hanya cukup untuk makan dan kebutuhan harian lainnya.
Dengan begitu, Dilues tidak lagi berpikir untuk rutin pulang ke kampung halaman saat hari raya, seperti Natal. Seingatnya, dia terakhir balik ke kampungnya sekitar delapan tahun lalu.
“Saya terakhir pulang itu delapan tahun lalu dan itu pulang sendiri. Uang tiket mahal apalagi kalau mau pulang ajak istri dan anak-anak,” ujar Dilues, Kamis (19/6/2025).
Hanya berjarak sekitar dua kilometer dari rumah Dilues, Fredik Wakum (64), juga menggantungkan nasibnya dengan berjualan pinang di pinggir jalan sekitar daerah Tanah Hitam, Distrik Abepura. Sudah lima tahun, Fredik menggeluti pekerjaan ini untuk mencukupi kebutuhan istri dan 1 dari 6 anak yang masih tinggal bersamanya.
Dalam sehari, Fredik bisa mengumpulkan pendapatan sekitar Rp 100.000 per hari. Sejatinya uang tersebut masih terhitung kurang apalagi ia harus membayar indekosnya seharga Rp 1 juta per bulan.
https://assetd.kompas.id/pFPmsqyQlcV...cf1c5_jpeg.jpg
Fredik Wakum (64), warga Papua yang bekerja sebagai penjual pinang di kawasan Tanah Hitam, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Papua, Kamis (19/6/2025.
Beruntung, uang sewa indekos sering dibantu oleh salah seorang tetangganya. “Ada tetangga punya kios, tiap hari saya bantu di sana untuk angkat-angkat barang atau pekerjaan rumah lain. Kos dibantu bayar sama dia,” ucap lansia asal Kabupaten Biak Numfor ini.
Bantuan tersebut sangat bermakna, mengingat Fredik hanya bekerja seorang diri. Istrinya sejak lima tahun lalu tidak bisa lagi berjalan normal karena sebuh kecelakaan. Begitu pun dengan putra bungsunya yang berusia 20 tahun belum bekerja setelah menyelesaikan sekolah menengah atas.
“Tidak kuliah karena tidak ada uang hanya, jadi dia hanya di rumah. Istri juga hanya di rumah saja, tidak bisa jalan. Lima tahun lalu kecelakaan di motor, lututnya bergeser. Dulu pernah berobat di sini, tapi ada alat yang hanya ada di Jawa. Uangnya tidak ada,” kata Fredik.
Sementara itu, Agustina Demetouw (60) atau Mama Tina, petani sekaligus penjual sayur dan buah di Pasar Youtefa, Kota Jayapura, terus meniti usahanya sembari membantu anaknya untuk menyelesaikan studi di Universitas Cenderawasih.
Mama Tina merupakan pedagang yang berasal dari Kampung Lereh, Distrik Kaureh, Kabupaten Jayapura. Untuk sampai di Pasar Youtefa Abepura, Mama Tina harus naik bus Damri selama delapan jam.
:quality(80)/https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2025/02/11/c70726ee-bf89-4d32-abc7-6da1cdc546e2_png.png)
Infografik IPM Wilayah Papua 2024-Riset Pendidikan
Oleh karena itu, Mama Tina lebih sering menginap di indekos milik anaknya. “Kalau jualan belum habis, menginap di kamar anak. Harus banyak berhemat, apalagi ini biaya kuliah anak tanggung sendiri,” ujarnya.
Dilues, Fredik, dan Mama Tina sejatinya tidak tahu ada dana triliunan rupiah yang digunakan oleh oknum pejabat untuk membeli jet pribadi. Padahal, dana-dana ini seharusnya bisa mereka rasakan secara tepat untuk perbaikan ekonomi dan kehidupan lainnya.
Ketimpangan tiada akhir
Jika melihat data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2013, persentase penduk miskin di Papua sebesar 31,13 persen. Pada 2022, angkanya turun menjadi 26,801 persen, jauh di bawah rata-rata nasional sebesar 9,53 persen.
Begitu pun, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), selama 2013-2022, angkanya tidak naik siginifikan. Pada 2013, IPM Papua sebesar 56,25 persen. Adapun pada 2022, IPM Papua sebesar 61,39 persen, masih berada di bawah rata-rata nasional 73,77 persen.
Artinya, penurunan kemiskinan dan kenaikan IPM di Papua selama era Lukas Enembe tidak begitu siginfikan. Bahkan, jika dilihat lagi, IPM Papua pada 2022 masih tertinggal dengan IPM di kawasan barat Indonesia pada 2013, misalnya Jawa Barat (68,25 persen).
Guru Besar sekaligus Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Cenderawasih Mesak Iek turut menyoroti korupsi di Papua kian menghambat perbaikan kehidupan masyarakat. Padahal, selama ini berbagai dana dari pusat sudah begitu banyak yang digelontorkan untuk Papua.
“Persentase penduduk miskin kita tertinggi di Indonesia, IPM kita terendah. Dari situ kita bisa lihat masalanya di mana. Dananya besar, tapi efeknya yang menetes ke bawah, kepada masyarakat tidak terlalu signifikan,” katanya.
:quality(80):watermark(<a target=_blank href=https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https://cdn-dam.kompas.id/photo/ori/2023/01/14/0017f1be-c20e-43b2-a0f9-c4c2f73fec91.jpg rel=ugc onclick=dataLayer.push({'event': 'trackEvent','eventDetails.category': 'outbond', 'eventDetails.action': 'click', 'eventDetails.label': 'https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https://cdn-dam.kompas.id/photo/ori/2023/01/14/0017f1be-c20e-43b2-a0f9-c4c2f73fec91.jpg'});>https://cdn-content.kompas.id/umum/k...c2f73fec91.jpg</a>)
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Gubernur Papua Lukas Enembe duduk di kursi roda saat dimunculkan dalam ekspos penangkapan dan penahanan dirinya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, Rabu (11/1/2023). Lukas Enembe ditangkap KPK pada Selasa (10/1/2023) sebagai tersangka kasus tindak pidana korupsi dugaan suap dan gratifikasi sejumlah proyek pembangunan infrastruktur di Papua.
Selama ini, lanjut Mesak, pengeloaan anggaran di tingkat pemerintah daerah begitu amburadul. Di sisi lain, pengawasan dari pemerintah pusat juga tidak begitu baik. Pada akhirnya, dampak dana besar itu hanya dinikmati oleh segelintir orang.
Mesak mencontohkan, kasus korupsi yang dilakukan pada era Lukas Enembe seharusnya bisa dimaksimalkan untuk pembangunan manusia, baik dari kesehatan, pendidikan, infrastruktur, hingga ekonomi kerakyatan.
Persentase penduduk miskin kita tertinggi di Indonesia, IPM kita terendah. Dari situ kita bisa lihat masalanya di mana. Dananya besar, tapi efeknya yang menetes ke bawah, kepada masyarakat tidak terlalu signifikan.
Di bidang pendidikan, misalnya, Mesak masih menyoroti masih tingginya angka putus sekolah anak Papua. Sementara itu, di bidang kesehatan, masih banyak daerah di Papua yang belum menikmati akses dan fasilitas yang memadai.
“Kemudian di bidang transportasi, ada subsidi penerbangan, tapi kalau mau dilihat lagi hal itu justru lebihh dinikmati dan digunakan oleh pejabatnya. Di sisi lain, subsidi untuk transportasi darat dan laut masih minim,” ujar Mesak.
Mesak menekankan, tindakan korupsi yang merugikan dan merampas hak masyarakat harus ditindak dengan tegas. Dia meyakini, dana-dana yang telah dikorupsi jika dimanfaatkan dengan tepat seharusnya bisa menjadi jalan pembangunan yang dinikmati oleh segenap masyarakat.
Selama ini, kata Mesak, masyarakat di Papua lebih banyak diam saat hak mereka dirampas. Seperti Dilues, Fredik, Mama Tina, mereka hanya bersyukur bisa makan hari ini. Padahal ada “kue-kue” juga yang harusnya mereka nikmati dalam jangka panjang, tetapi dirampas dan hanya dinikmati oleh segelintir orang.
https://www.kompas.id/artikel/ironi-...k-naik-pesawat
keadaan di Papua di mana dana besar tapi realisasinya ?
KNPB dan AMP teriak-teriak minta referendum dan desak Tarik militer, tapi nggak demo pejabat. Mengapa? Padahal pembangunan adalah hal penting untuk pemajuan sebuah daerah tapi malah dikotomi kolonialisme oleh kelompok seperatis.






siloh dan 2 lainnya memberi reputasi
3
356
11


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan