- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita Luar Negeri
Cuma Satu Telepon, Perang Iran vs Israel Bisa Tamat? Ini Fakta Mengejutkannya!


TS
KrisnaIP
Cuma Satu Telepon, Perang Iran vs Israel Bisa Tamat? Ini Fakta Mengejutkannya!

Menlu Iran "abbas araghchi"
Pernyataan Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, baru-baru ini menciptakan gelombang baru dalam dinamika geopolitik Timur Tengah. Dalam sebuah wawancara yang dikutip media internasional, Araghchi menyatakan bahwa perang antara Iran dan Israel sebenarnya bisa dihentikan dengan "satu panggilan telepon saja"—mengacu pada potensi pengaruh Amerika Serikat, khususnya Presiden Donald Trump, untuk menekan Israel agar menghentikan agresi militer mereka. Ini bukan sekadar retorika, melainkan cerminan dari kenyataan betapa besarnya pengaruh AS dalam percaturan politik dan keamanan kawasan tersebut.
Iran menekankan bahwa segala bentuk negosiasi atau upaya diplomasi tidak akan terjadi selama Israel masih melakukan serangan. Menurut beberapa sumber diplomatik, telah terjadi komunikasi intensif antara perwakilan Iran dan mediator dari negara Teluk seperti Oman dan Qatar, yang mencoba menjembatani dialog. Bahkan dikabarkan bahwa Iran terbuka terhadap gagasan pembentukan konsorsium nuklir regional jika agresi Israel dihentikan. Ini artinya, Iran tidak menutup pintu sepenuhnya terhadap perdamaian, namun tetap menegaskan bahwa penghentian kekerasan adalah syarat mutlak.
Dari perspektif pribadi, pernyataan "satu panggilan telepon" ini terasa ironis sekaligus realistis. Ironis karena menggambarkan bahwa konflik ribuan nyawa dan kehancuran bisa dihentikan oleh satu tindakan politik. Namun juga realistis karena dalam sistem global yang tidak seimbang, negara besar seperti AS memang memiliki kendali yang sangat signifikan. Dalam hal ini, Iran melempar bola panas ke pangkuan Washington, seolah berkata, "Kalau kalian benar-benar ingin perdamaian, tekan Israel sekarang."
Secara strategis, ini adalah langkah yang cerdas dari Iran. Mereka menempatkan diri sebagai pihak yang ingin de-eskalasi, sementara menyerahkan inisiatif damai ke pihak lawan. Ini memperkuat posisi diplomatik Iran di mata publik internasional. Tapi tentu saja, bukan berarti Iran sepenuhnya tanpa agenda. Tawaran perdamaian itu datang dengan syarat, dan syarat itu bukan main-main: Israel harus menghentikan bombardir, dan AS harus mengambil sikap.
Opini saya, langkah ini menunjukkan bahwa diplomasi Timur Tengah sering kali bukan soal negosiasi antara dua pihak, tapi tentang siapa yang bisa mengatur narasi dan tekanan di forum global. Iran mencoba mengubah posisinya dari "agresor" menjadi "korban yang ingin damai". Sebuah strategi narasi yang biasa digunakan dalam konflik panjang. Tapi apakah dunia akan percaya? Itu persoalan lain.
Satu hal yang patut diwaspadai adalah, jika pernyataan ini hanyalah manuver politik belaka, maka potensi gencatan senjata akan menjadi ilusi. Namun, bila Amerika benar-benar mengambil langkah proaktif dan Israel merespons positif, ini bisa jadi momentum penting untuk meredakan konflik. Tentu, semua itu sangat tergantung pada niat politik para pemimpin, bukan sekadar kata-kata dalam wawancara.
Buat saya pribadi, konflik Iran-Israel sudah terlalu lama menjadi ajang demonstrasi kekuatan, bukan lagi pertarungan nilai atau ideologi. Kematian warga sipil, kehancuran infrastruktur, dan trauma jangka panjang tak lagi jadi fokus utama. Dan ketika penyelesaian damai disebut bisa hadir hanya lewat satu panggilan, kita dipaksa menyadari betapa kejam dan absurdnya dunia diplomasi modern. Satu panggilan bisa menyelamatkan ribuan nyawa—tapi juga bisa tak pernah dilakukan hanya karena ego politik dan kepentingan.
Dalam konteks ini, kita sebagai publik juga sepatutnya kritis dan tidak larut dalam narasi tunggal. Apakah benar Iran sungguh menginginkan damai? Atau mereka sedang memainkan kartu propaganda untuk mendulang simpati? Apakah AS akan benar-benar menekan Israel, atau justru memanfaatkan kondisi ini untuk kepentingannya sendiri di kawasan? Semua itu adalah pertanyaan terbuka yang belum punya jawaban pasti.
Akhir kata, pernyataan "satu panggilan telepon" bukan hanya kutipan menarik untuk berita utama. Ia adalah simbol bahwa dunia bisa berubah drastis jika ada kemauan politik. Tapi seperti biasa, yang menjadi korban dari keragu-raguan para elite dunia tetaplah rakyat sipil. Kita berharap, semoga kali ini, panggilan itu benar-benar terjadi. Bukan sekadar retorika yang hilang dalam gema peperangan.






McTravish dan 2 lainnya memberi reputasi
-1
707
19


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan