Kaskus

News

mabdulkarimAvatar border
TS
mabdulkarim
Setara Institute Desak Fadli Zon Batalkan Proyek Penulisan Ulang Sejarah

Setara Institute Desak Fadli Zon Batalkan Proyek Penulisan Ulang Sejarah
Setara menilai proyek penulisan ulang sejarah yang digagas Fadli Zon berupaya membelokan fakta sejarah sesuai dengan selera kekuasaan.
16 Juni 2025 | 15.27 WIB

Hendardi. TEMPO/Amston Probel
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Nasional Setara Institute Hendardi, mendesak Menteri Kebudayaan Fadli Zon untuk membatalkan proyek penulisan ulang sejarah yang ditargetkan rampung pada Agustus mendatang.

Menurut dia, penulisan ulang sejarah semestinya dilakukan oleh kementerian yang mengurusi pendidikan, bukan oleh Kementerian Kebudayaan. Apalagi, proyek ini dinilai manipulatif karena berupaya membengkokan narasi di masa lalu.

"Pemerintah sebaiknya mengurungkan ambisi untuk merekayasa sejarah perjalanan bangsa secara insinuatif dan tergesa-gesa," kata Hendardi dalam keterangan tertulis, Senin, 16 Juni 2025.

Hendardi mengatakan, penulisan ulang sejarah memerlukan dialog yang panjang, matang, mendalam, dan inklusif terhadap fakta yang mesti diakomodasi dalam buku pembelajaran.

Agar lebih baik, kata dia, proyek ini juga harus diiringi dengan i'tikad baik pemerintah dalam mengungkap keberanan di balik kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalu, alih-alih menulis ulang sejarah secara instan dan represif sesuai selera rezim.

Tanpa diiringi dengan penuntasan kasus HAM, Hendardi melanjutkan, penulisan ulang sejarah amat potensial digunakan kekuasaan untuk merekayasa peristiwa yang terjadi di masa lalu.

Tindakan ini, dia menjelaskan, juga sempat diupayakan oleh rezim otoriter Orde Baru untuk mendelegitimasi fakta pada tragedi pembantaian 1965.

"Apalagi, narasi yang sejauh ini disampaikan oleh Fadli Zon, semuanya cenderung manipulatif, sarat sensasi, dan muslihat," ujar Hendardi.

Manipulatif yang dimaksud, salah satunya adalah terkait dengan penyangkalan kasus pemerkosaan massal di kerusuhan Mei 1998. Fadli menilai, kasus tersebut hanya sekadar rumor lantaran tak memiliki cukup bukti.

Padahal, kata dia, mantan Presiden Baharuddin Jusuf Habibie telah mengeluarkan pernyataan resmi terkait dengan kasus pemerkosaan massal di 1998. Ditambah dengan pelbagai laporan yang disampaikan TGFP Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 yang dipimpin Marzuki Darusman.

Lalu, kata Hendardi, Investigasi dan Temuan Komnas HAM dan Komnas Perempuan serta berbagai studi ilmiah yang dilakukan oleh para intektual serta laporan pendampingan yang dilakukan oleh masyarakat sipil telah membuat jelas adanya kasus pemerkosaan massal yang disangkal politikus Partai Gerindra itu.

"Fadli Zon harus menarik pelbagai ucapannya yang menyangkal, dan segera meminta maaf kepada publik, terutama kepada para korban dan keluarga korban," ucap dia.

Selain menyangkal kasus pemerkosaan massal pada kerusuhan Mei 1998, proyek penulisan ulang sejarah yang digodok Kementerian Kebudayaan ini juga berupaya menghilangkan sejumlah peristiwa pelanggaran HAM masa lalu.

Laporan Tempo berujudul "Amputasi Gerakan Reformasi dalam Buku Sejarah Indonesia" yang terbit pada 21, Mei 2025 menyebutkan, buku godokan itu menghilangkan banyak peristiwa sejarah penting.

Pada jilid 9 misalnya yang berjudul "Orde Baru" tak menjamah peristiwa 27 Juli 1996, Tragedi Trisakti, dan Kerusuhan Mei. Padahal, peristiwa itu menjadi peristiwa penting yang menjadi sejarah perjuangan bangsa.

Mantan aktivis 98 Masinton Pasaribu menilai, upaya menghilangkan sejumlah kasus pelanggaran HAM dalam penulisan sejarah ulang ini tak lebih dari suatu upaya membodohi generasi mendatang.

"Ini adalah suatu pengkhianatan terhadap perjuangan bangsa dalam memperoleh kebebasan dan demokrasi," kata Masinton melalui pesan singkat, Senin, 16 Juni 2025.

Adapun, melalui keterangan tertulis Fadli Zon mengatakan, bahwa ia tak bermaksud untuk menyangkal keberadaan kasus pemerkosaan massal di 1998.

Dia menjelaskan, fakta sejarah harus bersandar pada fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik dan legal. Sementara penyebutan kata "massal", menurut dia, masih menjadi perdebatan di kalangan akademik selama dua dekade terakhir.

"Apalagi masalah angka dan istilah yang problematik," ujar Fadli, Senin, 16 Juni 2025.
https://www.tempo.co/politik/setara-...ejarah-1715427


Fadli Zon Sebut Tak Maksud Menyangkal Kekerasan Seksual pada Tragedi Mei 98: Bukti Harus Teruji Hukum dan Akademik
Setara Institute Desak Fadli Zon Batalkan Proyek Penulisan Ulang Sejarah
Renatha Swasty • 16 Juni 2025 16:24
ADVERTISEMENT


Jakarta: Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, buka suara terkait kecaman sejumlah pihak soal ucapannya yang menyebut rudapaksaan massal dalam tragedi Mei 1998 cuma rumor. Dia mengatakan peristiwa 13-14 Mei 1998 menimbulkan sejumlah silang pendapat dan beragam perspektif termasuk ada atau tidak adanya rudapaksaan massal.

Bahkan, liputan investigatif sebuah majalah terkemuka tak dapat mengungkap fakta-fakta kuat soal 'massal' ini. Fadli menyebut laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) ketika itu hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian atau pelaku.

Di sinilah, kata dia, perlu kehati-hatian dan ketelitian karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa. Fadli mengingatkan jangan sampai ini mempermalukan nama bangsa sendiri.

“Saya tentu mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini. Apa yang saya sampaikan tidak menegasikan berbagai kerugian atau pun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru hara 13-14 Mei 1998.” kata Fadli Zon melalui siaran pers, Senin, 16 Juni 2025.

“Sebaliknya, segala bentuk kekerasan dan perundungan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan paling mendasar, dan harus menjadi perhatian serius setiap pemangku kepentingan,” tegas Fadli.

Fadli dalam sebuah wawancara publik menyoroti perlunya ketelitian dan kerangka kehati-hatian akademik dalam penggunaan istilah 'rudapaksaan massal'. Dia mengatakan ini dapat memiliki implikasi serius terhadap karakter kolektif bangsa dan membutuhkan verifikasi berbasis fakta yang kuat.

Pernyataan tersebut bukan untuk menyangkal keberadaan kekerasan seksual. Melainkan, menekankan sejarah perlu bersandar pada fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik dan legal.

“Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang
masih problematik," kata dia.


Fadli menilai istilah ‘massal telah menjadi pokok perdebatan di kalangan akademik dan masyarakat selama lebih dari dua dekade. Sehingga, sensitivitas seputar terminologi tersebut harus dikelola dengan bijak dan empatik.

“Berbagai tindak kejahatan terjadi di tengah kerusuhan 13-14 Mei 1998, termasuk kekerasan seksual. Namun terkait ‘rudapaksaan massal’ perlu kehatihatian karena data peristiwa itu tak pernah konklusif,” kata dia.

Dia juga menanggapi kekhawatiran terkait penghilangan narasi perempuan dalam buku Sejarah Indonesia. Dia menekankan tuduhan tersebut tidak benar. Sebaliknya, salah satu semangat utama penulisan buku ini adalah memperkuat dan menegaskan pengakuan terhadap peran dan kontribusi perempuan dalam sejarah perjuangan bangsa.

Fadli menyebut dalam perkembangan penulisan hingga Mei 2025, pembahasan mengenai gerakan, kontribusi, peran, dan isu-isu perempuan telah diakomodasi secara substansial dalam struktur narasi sejarah. Tema-tema yang dibahas mencakup antara lain: kemunculan organisasi-organisasi perempuan pada masa kebangkitan nasional, termasuk Kongres Perempuan 1928 serta peran organisasi perempuan sebagai ormas; kontribusi perempuan dalam perjuangan diplomasi dan militer; dinamika perempuan dari masa ke masa; penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, hingga pemberdayaan dan kesetaraan gender dalam kerangka pembangunan berkelanjutan (SDGs).

Dia mengajak masyarakat terlibat dalam dialog secara sehat dan konstruktif, sebagai bagian dari upaya bersama membangun narasi sejarah Indonesia yang berkeadaban, berkeadilan, reflektif, dan terus berkembang. Fadli siap berdialog langsung dengan berbagai kelompok masyarakat untuk mendengarkan aspirasi dan masukan lebih lanjut.

Fadli menyebut prinsip keterbukaan, partisipasi publik, profesionalisme dan akuntabilitas tetap menjadi dasar penyusunan sejarah. Pihaknya akan melakukan diskusi publik yang terbuka untuk menerima masukan dari berbagai kalangan, termasuk para tokoh dan komunitas perempuan, akademisi, dan masyarakat sipil.

“Sejarah bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang tanggung jawab kita di masa kini dan masa depan. Karena itu, mari kita menjadikannya ruang bersama untuk membangun pembelajaran, empati, dan kekuatan pemersatu,” ujar Fadli.

https://www.medcom.id/pendidikan/new...m-dan-akademik


Istana soal Pernyataan Fadli Zon: Biarkan Sejarawan Ini Menulis, Jangan Divonis Dulu
https://asset.kompas.com/crops/8kUKw...fbf2e37ce8.jpg

Kompas.com - 16/06/2025, 15:07 WIB Fika Nurul Ulya, Robertus Belarminus Tim Redaksi Lihat Foto Kepala Komunikasi Kepresidenan/PCO Hasan Nasbi menjelaskan sejumlah isu nasional di Gedung Kwartir Nasional, Jakarta Pusat, Senin (16/6/2025). (KOMPAS.com/FIKA NURUL ULYA)

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Komunikasi Kepresidenan/PCO Hasan Nasbi meminta semua pihak menunggu para sejarawan menulis terlebih dahulu penulisan sejarah ulang yang diwacanakan pemerintah. Hal ini menyusul pernyataan kontroversial Menteri Kebudayaan (Membud) Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut bahwa tidak ada pemerkosaan massal di tahun 1998.

Pernyataan tersebut menimbulkan terlalu banyak spekulasi yang beredar di masyarakat. Padahal, penulisan sejarah masih berlangsung. Baca juga: Fadli Zon Angkat Bicara Setelah Dikritik soal Pernyataan Terkait Pemerkosaan Mei 1998

"Ini kan sekarang semua dalam proses dan dalam proses ini terlalu banyak spekulasi-spekulasi yang menyatakan ini tidak ada, ini ada. Coba kita biarkan para sejarawan ini menuliskan ini, dan untuk nanti kita pantau, kita pelototi, kita periksa bareng-bareng," kata Hasan, saat ditemui di Gedung Kwartir Nasional, Jakarta Pusat, Senin (16/6/2025).

Ia meminta masyarakat tidak memvonis terlebih dahulu penulisan ulang sejarah yang kini masih berlangsung. Dirinya juga memastikan, para sejarawan yang dilibatkan adalah sejarawan yang kredibel. Mereka, kata Hasan, tidak akan mengorbankan kredibilitas untuk hal-hal yang tidak perlu. Baca juga: Fadli Zon Didesak Minta Maaf dan Cabut Ucapannya soal Pemerkosaan Mei 1998

"Jadi, kekhawatiran-kekhawatiran semacam ini mungkin bisa jadi diskusi. Tapi, jangan divonis macam-macam dulu. Lihat saja dulu ya, pekerjaan yang sedang dilakukan oleh para ahli sejarah dalam menulis sejarah Indonesia," ujar dia.

Hasan menyatakan, penulisan sejarah ini bukan penulisan ulang, melainkan melanjutkan penulisan yang belum tercantum dalam sejarah.

"Karena mungkin terakhir sejarah Indonesia ditulis tahun berapa? Tahun 98, tahun 97-98, dan dari 98 ke sini tidak ditulis lagi. Jadi kita lihat dulu mereka menulis apa, sudah kita punya draft resminya, nanti baru kita koreksi bareng-bareng," ujar Hasan.

Sebelumnya diberitakan, Fadli Zon menyebut tidak ada peristiwa pemerkosaan massal pada tahun 1998, saat kementerian yang dipimpinnya bakal melakukan penulisan sejarah. Pernyataan ini dikritik banyak pihak, termasuk oleh aktivis perempuan yang terjun langsung menangani korban pada tahun kelam itu. Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas mengecam keras pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang mempertanyakan kebenaran kekerasan seksual dalam Peristiwa Mei 1998 dan menyebutnya sebagai “rumor”.

Koalisi mendesak Fadli Zon segera mencabut ucapannya secara terbuka dan meminta maaf kepada para korban dan keluarga korban.

"Menuntut Fadli Zon untuk mencabut pernyataannya secara terbuka, memberikan klarifikasi, dan menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada korban dan keluarga korban pelanggaran berat HAM, khususnya kekerasan seksual dalam Peristiwa Mei 1998 dan seluruh perempuan Indonesia yang berjuang membersamai korban untuk menegakkan keadilan," tulis Koalisi Sipil, dikutip dari laman resmi Kontras, Senin (16/6/2025)

. Dalam pernyataan resminya, Koalisi menyebut pernyataan Fadli yang disampaikan dalam wawancara video berjudul “Real Talk: Debat Panas!! Fadli Zon vs Uni Lubis Soal Revisi Buku Sejarah” di kanal YouTube IDN Times pada 10 Juni sebagai bentuk manipulasi sejarah dan pelecehan terhadap perjuangan korban kekerasan seksual Mei 1998. “Pernyataan ini mencederai upaya pengungkapan kebenaran dan keadilan bagi korban serta berpotensi melanggengkan budaya impunitas," ungkap Koalisi.

https://nasional.kompas.com/read/202...enulis-jangan.

semoga lancar penulisannya


bangsutankerenAvatar border
bangsutankeren memberi reputasi
1
227
11
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan