- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Perjuangkan Upah Layak, Ini Kisah Pekerja Perempuan Indonesia Datangi Markas Nike


TS
InRealLife
Perjuangkan Upah Layak, Ini Kisah Pekerja Perempuan Indonesia Datangi Markas Nike
https://www.beautynesia.id/life/perj...di-as/b-305843

Link berita aslinya: https://www.oregonlive.com/business/...onditions.html

Quote:
Perjuangkan Upah Layak, Ini Kisah Pekerja Perempuan Indonesia Datangi Markas Nike di AS
Riswinanti Pawestri Permatasari | Beautynesia
Kamis, 12 Jun 2025 06:15 WIB
Kebanyakan orang mungkin sudah sering mendengar brand Nike, dengan produk footwear sebagai komoditas utama. Menariknya, walaupun berbasis di Oregon, AS, namun produk-produknya ternyata dibuat di berbagai negara. Melansir laman Infios, Indonesia adalah salah satu pemasok utama, di mana 20-25 persen alas kaki Nike dibuat di Kawasan Tangerang, Sukabumi, atau Jawa Tengah.
Namun, ternyata ada fakta kelam yang terungkap saat tiga pekerja Nike asal Indonesia jauh-jauh terbang ke Oregon, Amerika Serikat baru-baru ini. Melansir Oregon Live, mereka berusaha menyuarakan bahwa di balik label “Made in Indonesia” pada sepatu-sepatu Nike, ada kisah tentang keringat yang tak dihargai dan upah yang tak dibayar tuntas.
Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana pula perjuangan mereka menuntut keadilan?
Harga Produk Nike Ternyata Melampaui Gaji Bulanan Pekerja
Saat menginjakkan kaki di AS, para pekerja asal Indonesia sempat melakukan kunjungan ke gerai Nike. Sebuah fakta miris kemudian didapati oleh para pekerja Indonesia yang datang ke Oregon. Melansir Northwest Labor Press, harga yang dibanderol pada setiap unit produk Nike ternyata sangat timpang dengan kesejahteraan pegawai.
Dedhe Nurhasanah, salah satu dari tiga buruh perempuan yang berangkat ke AS, menyampaikan perasaan campur aduk saat melihat sepatu berlabel “made in Indonesia”, yang kemungkinan besar dijahit pekerja Indonesia, dijual di toko Nike di pusat kota Portland.
Harganya lebih mahal dari gaji bulanannya, yaitu $184 atau tiga juta rupiah (per kurs 11 Juni 2025). Ia bangga bisa melihat hasil kerjanya dipajang megah, tapi juga sedih karena tahu betul apa yang harus ia korbankan untuk bisa memproduksi ratusan pasang sepatu setiap harinya.
Rekan-rekannya, Leni Oktira Sari dan Dinar Swandini, juga membagikan cerita yang tak kalah menyentuh. Leni bisa mengenali potongan bahan untuk lidah sepatu yang ia potong setiap jamnya. Dinar menunjukkan logo swoosh khas Nike yang biasa ia jahit ke sepatu-sepatu yang dipamerkan di etalase. Tapi, di balik semua itu, mereka menuntut sesuatu yang lebih mendasar, yaitu hak untuk dibayar dengan layak.
Melansir Oregon Live, tiga perempuan asal Indonesia, Dedhe Nurhasanah, Leni Oktira Sari, dan Dinar Swandini, mendatangi kantor pusat Nike di Beaverton, Oregon pada 27 Mei 2025. Dengan spanduk di tangan, mereka menyuarakan tuntutan akan upah yang layak.
Para Perempuan ini adalah pekerja garmen dari pabrik sepatu Nike di Indonesia yang rela menempuh ribuan kilometer untuk berbicara langsung di depan pintu kantor Nike, yang dikenal sebagai perusahaan olahraga dengan pendapatan tahunan lebih dari $50 miliar.
Namun tidak sendirian, para pekerja itu juga ditemani oleh organisasi Asia Floor Wage Alliance dan Global Labor Justice. Mereka menggelar aksi damai tepat di depan markas besar Nike. Bukan hanya atas nama pribadi, aksi ini juga mewakili ribuan buruh perempuan di Asia yang mengalami hal serupa. Selama ini banyak pekerja yang bekerja keras selama bertahun-tahun namun tidak dibayar secara adil, terutama sejak pandemi COVID-19.
Tak berhenti di Beaverton, kampanye mereka berlanjut ke berbagai kota besar seperti New York, Philadelphia, hingga Washington D.C. Di setiap kota, mereka bercerita langsung kepada konsumen, media, dan publik luas tentang realitas yang mereka hadapi. Mereka juga sempat mengadakan seremoni simbolik di University of Oregon, yang terkenal memiliki hubungan erat dengan Nike, untuk “mengganti nama” Hayward Field menjadi tempat yang menghargai kerja keras para buruh yang mendanai renovasinya secara tak langsung.
Dukungan Komunitas dan Seruan Global
Gerakan ini bukan hanya perjuangan buruh Indonesia. Mereka membawa suara serikat pekerja dari berbagai negara Asia seperti Kamboja, Bangladesh, India, dan Sri Lanka. Mereka didampingi oleh Asia Floor Wage Alliance dan organisasi seperti Global Labor Justice yang selama ini menyuarakan keadilan dalam industri fesyen cepat (fast fashion).
Komunitas lokal pun menunjukkan solidaritas. Angela Bonilla dari Asosiasi Guru Portland, misalnya, menyatakan bahwa perjuangan para buruh ini sejajar dengan perjuangan di Amerika untuk pendanaan pendidikan dan upah layak. Baginya, korporasi seperti Nike harus bertanggung jawab, apalagi di tengah laporan keuntungan besar yang mereka kantongi, yakni lebih dari $51 miliar pada tahun 2024, sebagaimana dilaporkan Northwest Labor Press.
Yang membuat kisah ini begitu ironis adalah kenyataan bahwa Nike memiliki sekitar 45 pabrik rekanan di Indonesia. Melansir Northwest Labor Press, rekanan ini mempekerjakan lebih dari 270.000 orang, dan kebanyakan perempuan. Namun para pekerja ini tidak bekerja langsung untuk Nike, melainkan untuk pihak ketiga, sehingga sering kali hak-hak mereka jadi kabur dan tidak terlindungi sepenuhnya.
Upah rata-rata buruh di Indonesia yang memproduksi barang-barang Nike hanya sekitar satu dolar per jam (Rp16.265 per kurs 11 Juni 2025). Di Kamboja, sedikit lebih tinggi, yaitu sekitar $1.18 per jam. Sementara itu, produk-produk mereka dijual dengan harga ratusan dolar di pasar global. Kesenjangan inilah yang ingin mereka soroti dalam tur ini.
Lewat suara Dedhe, Leni, dan Dinar, kita diingatkan bahwa mode yang kita kenakan bukan hanya soal gaya, tapi juga soal nurani. Di balik setiap produk ada manusia yang bekerja keras, dan mereka ingin dihargai.
***
Riswinanti Pawestri Permatasari | Beautynesia
Kamis, 12 Jun 2025 06:15 WIB
Kebanyakan orang mungkin sudah sering mendengar brand Nike, dengan produk footwear sebagai komoditas utama. Menariknya, walaupun berbasis di Oregon, AS, namun produk-produknya ternyata dibuat di berbagai negara. Melansir laman Infios, Indonesia adalah salah satu pemasok utama, di mana 20-25 persen alas kaki Nike dibuat di Kawasan Tangerang, Sukabumi, atau Jawa Tengah.
Namun, ternyata ada fakta kelam yang terungkap saat tiga pekerja Nike asal Indonesia jauh-jauh terbang ke Oregon, Amerika Serikat baru-baru ini. Melansir Oregon Live, mereka berusaha menyuarakan bahwa di balik label “Made in Indonesia” pada sepatu-sepatu Nike, ada kisah tentang keringat yang tak dihargai dan upah yang tak dibayar tuntas.
Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana pula perjuangan mereka menuntut keadilan?
Harga Produk Nike Ternyata Melampaui Gaji Bulanan Pekerja
Saat menginjakkan kaki di AS, para pekerja asal Indonesia sempat melakukan kunjungan ke gerai Nike. Sebuah fakta miris kemudian didapati oleh para pekerja Indonesia yang datang ke Oregon. Melansir Northwest Labor Press, harga yang dibanderol pada setiap unit produk Nike ternyata sangat timpang dengan kesejahteraan pegawai.
Dedhe Nurhasanah, salah satu dari tiga buruh perempuan yang berangkat ke AS, menyampaikan perasaan campur aduk saat melihat sepatu berlabel “made in Indonesia”, yang kemungkinan besar dijahit pekerja Indonesia, dijual di toko Nike di pusat kota Portland.
Harganya lebih mahal dari gaji bulanannya, yaitu $184 atau tiga juta rupiah (per kurs 11 Juni 2025). Ia bangga bisa melihat hasil kerjanya dipajang megah, tapi juga sedih karena tahu betul apa yang harus ia korbankan untuk bisa memproduksi ratusan pasang sepatu setiap harinya.
Rekan-rekannya, Leni Oktira Sari dan Dinar Swandini, juga membagikan cerita yang tak kalah menyentuh. Leni bisa mengenali potongan bahan untuk lidah sepatu yang ia potong setiap jamnya. Dinar menunjukkan logo swoosh khas Nike yang biasa ia jahit ke sepatu-sepatu yang dipamerkan di etalase. Tapi, di balik semua itu, mereka menuntut sesuatu yang lebih mendasar, yaitu hak untuk dibayar dengan layak.
Melansir Oregon Live, tiga perempuan asal Indonesia, Dedhe Nurhasanah, Leni Oktira Sari, dan Dinar Swandini, mendatangi kantor pusat Nike di Beaverton, Oregon pada 27 Mei 2025. Dengan spanduk di tangan, mereka menyuarakan tuntutan akan upah yang layak.
Para Perempuan ini adalah pekerja garmen dari pabrik sepatu Nike di Indonesia yang rela menempuh ribuan kilometer untuk berbicara langsung di depan pintu kantor Nike, yang dikenal sebagai perusahaan olahraga dengan pendapatan tahunan lebih dari $50 miliar.
Namun tidak sendirian, para pekerja itu juga ditemani oleh organisasi Asia Floor Wage Alliance dan Global Labor Justice. Mereka menggelar aksi damai tepat di depan markas besar Nike. Bukan hanya atas nama pribadi, aksi ini juga mewakili ribuan buruh perempuan di Asia yang mengalami hal serupa. Selama ini banyak pekerja yang bekerja keras selama bertahun-tahun namun tidak dibayar secara adil, terutama sejak pandemi COVID-19.
Tak berhenti di Beaverton, kampanye mereka berlanjut ke berbagai kota besar seperti New York, Philadelphia, hingga Washington D.C. Di setiap kota, mereka bercerita langsung kepada konsumen, media, dan publik luas tentang realitas yang mereka hadapi. Mereka juga sempat mengadakan seremoni simbolik di University of Oregon, yang terkenal memiliki hubungan erat dengan Nike, untuk “mengganti nama” Hayward Field menjadi tempat yang menghargai kerja keras para buruh yang mendanai renovasinya secara tak langsung.
Dukungan Komunitas dan Seruan Global
Gerakan ini bukan hanya perjuangan buruh Indonesia. Mereka membawa suara serikat pekerja dari berbagai negara Asia seperti Kamboja, Bangladesh, India, dan Sri Lanka. Mereka didampingi oleh Asia Floor Wage Alliance dan organisasi seperti Global Labor Justice yang selama ini menyuarakan keadilan dalam industri fesyen cepat (fast fashion).
Komunitas lokal pun menunjukkan solidaritas. Angela Bonilla dari Asosiasi Guru Portland, misalnya, menyatakan bahwa perjuangan para buruh ini sejajar dengan perjuangan di Amerika untuk pendanaan pendidikan dan upah layak. Baginya, korporasi seperti Nike harus bertanggung jawab, apalagi di tengah laporan keuntungan besar yang mereka kantongi, yakni lebih dari $51 miliar pada tahun 2024, sebagaimana dilaporkan Northwest Labor Press.
Yang membuat kisah ini begitu ironis adalah kenyataan bahwa Nike memiliki sekitar 45 pabrik rekanan di Indonesia. Melansir Northwest Labor Press, rekanan ini mempekerjakan lebih dari 270.000 orang, dan kebanyakan perempuan. Namun para pekerja ini tidak bekerja langsung untuk Nike, melainkan untuk pihak ketiga, sehingga sering kali hak-hak mereka jadi kabur dan tidak terlindungi sepenuhnya.
Upah rata-rata buruh di Indonesia yang memproduksi barang-barang Nike hanya sekitar satu dolar per jam (Rp16.265 per kurs 11 Juni 2025). Di Kamboja, sedikit lebih tinggi, yaitu sekitar $1.18 per jam. Sementara itu, produk-produk mereka dijual dengan harga ratusan dolar di pasar global. Kesenjangan inilah yang ingin mereka soroti dalam tur ini.
Lewat suara Dedhe, Leni, dan Dinar, kita diingatkan bahwa mode yang kita kenakan bukan hanya soal gaya, tapi juga soal nurani. Di balik setiap produk ada manusia yang bekerja keras, dan mereka ingin dihargai.
***
Link berita aslinya: https://www.oregonlive.com/business/...onditions.html
Diubah oleh InRealLife 16-06-2025 19:56
0
367
Kutip
19
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan