- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Susanto Zuhdi: Tidak Semua Peristiwa Sejarah Bisa Kami Tulis


TS
mabdulkarim
Susanto Zuhdi: Tidak Semua Peristiwa Sejarah Bisa Kami Tulis

Ketua Tim Penulisan Ulang Sejarah Indonesia Susanto Zuhdi menjawab kritik masyarakat soal sejarah resmi versi pemerintah.
15 Juni 2025 | 12.00 WIB
Dengarkan Berita
Susanto Zuhdi: Tidak Semua Sejarah Bisa Kami Tulis
PROYEK penulisan ulang sejarah Indonesia yang dipimpin guru besar sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Susanto Zuhdi, menarik perhatian banyak kalangan. Tak cuma menuai kontroversi karena dianggap meniadakan sejumlah peristiwa penting pada masa lalu, hajatan ini juga memantik sejumlah organisasi dan komunitas yang ingin melengkapi sejarah perjalanan bangsa.
Pada awal Juni 2025, misalnya, Susanto dihubungi oleh pengurus Jamiat Kheir—organisasi sosial keagamaan yang didirikan keturunan Arab di Jakarta pada 1901.Mereka memberikan data sejarah mengenai peran warga keturunan Arab pada masa perjuangan kemerdekaan. Ada juga komunitas masyarakat Batak yang menanyakan soal "porsi" cerita perjuangan melawan penjajah dari Sumatera Utara. "Mereka semua ingin berkontribusi," kata Susanto.
Menerima perwakilan organisasi dan komunitas ini menjadi kesibukan baru Susanto sejak menjalankan proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang secara resmi dimulai pada Januari 2025. Banyaknya komunitas yang ingin berkontribusi, menurut dia, sangat membantu pekerjaannya menyusun naskah yang rencananya terbagi ke dalam 10 jilid itu. "Ini juga menunjukkan gairah masyarakat terhadap sejarah begitu tinggi."
Di luar itu, Susanto bersama dua koleganya, Singgih Tri Sulistiyono dari Universitas Diponegoro dan Jajat Burhanuddin dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, harus mengawal tim penulis yang terdiri atas 100 akademikus dari berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Setiap pekan mereka bertemu secara daring untuk membahas perkembangan naskah yang ditargetkan rampung dan diluncurkan pada 17 Agustus 2025 itu.
Belakangan, tugas ahli sejarah maritim ini juga bertambah karena harus melayani permintaan wawancara dari banyak wartawan. Sejak Mei 2025, berbagai kalangan menyoroti proyek ini. Anggota Komisi X DPR, Bonnie Triyana, misalnya. Dalam rapat kerja bersama Kementerian Kebudayaan pada 26 Mei 2025, ia menyoroti munculnya pelabelan terhadap kelompok masyarakat yang mengkritik proyek penulisan ulang sejarah nasional itu.
Arkeolog Harry Truman Simanjuntak—yang mengundurkan diri dari tim penulisan ulang sejarah pada 22 Januari 2025—juga mengkritik istilah "sejarah resmi" dalam proyek ini. Profesor dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Badan Riset dan Inovasi Nasional ini khawatir naskah yang disusun sesuai dengan keinginan pemerintah, bukan murni fakta.
Adapun Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan penggunaan label "sejarah resmi" dalam proyek penulisan ulang sejarah Indonesia akan menutup pintu bagi interpretasi yang beragam dan dinamis di masyarakat. Dia berpendapat bahwa penulisan ulang sejarah oleh negara merupakan upaya rekonstruksi dengan tujuan kultus individu dan glorifikasi masa lalu yang berlebihan. Proyek ini juga berisiko menghilangkan peristiwa dan ketokohan yang dinilai tidak cocok dengan kepentingan kekuasaan.
Berbagai kritik itu melahirkan petisi dari akademikus, ahli, aktivis, dan koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI). Mereka menolak penulisan ulang sejarah secara tunggal yang sedang digarap pemerintah. Mereka menilai penulisan ulang sejarah itu bisa membungkam kebenaran, termasuk tak dicantumkannya sejumlah peristiwa pelanggaran hak asasi manusia pada masa lalu. AKSI juga menilai sejarah seharusnya memberi ruang setara bagi mereka yang dimarginalkan di masyarakat.
Kritik makin kencang karena Menteri Kebudayaan Fadli Zon, yang turut menginisiasi proyek ini, melontarkan sejumlah pernyataan kontroversial. Pada 1 Juni 2025, kepada wartawan, ia mengatakan, dalam proyek ini, sejarah Indonesia akan ditulis dalam tone yang lebih positif. Belakangan, Fadli menjelaskan, nada positif yang dimaksudkan adalah proyek ini bukan untuk mencari kesalahan masa lalu. Fadli kembali memicu kontroversi ketika ia menyebutkan pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 hanya rumor karena tidak ada bukti.
Dalam wawancara dengan Praga Utama dan Yosea Arga dari Tempo, Senin, 9 Juni 2025, Susanto menjawab berbagai kritik dan sorotan itu. Ihwal penulisan sejarah bernada positif, misalnya, yang diperlukan karena proyek senilai Rp 9 miliar ini bertujuan memperkuat identitas dan karakter bangsa, sekaligus mendorong agar masyarakat berdamai dengan sejarah. “Masa lalu bukan hanya mengenai capaian yang disanjung dan diglorifikasi. Sebab, ada juga yang berupa tragedi nasional seperti pada 1965,” tutur Susanto.
Adapun mengenai kritik soal tak dicantumkannya peristiwa pelanggaran hak asasi manusia pada masa lalu, Susanto menjawab diplomatis: "Kan nanti bisa membuat buku khusus sejarah hak asasi manusia." Menurut dia, tak mungkin semua peristiwa pada masa lalu dimasukkan ke dalam buku ini karena jumlah halaman yang terbatas. "Tidak semua sejarah lokal juga bisa masuk."
Meski begitu, akademikus yang purnatugas sejak 2023 itu mengakui ada beberapa kekurangan dalam draf pembabakan proyek ini yang beredar di masyarakat. Hal ini, menurut dia, karena draf itu merupakan konsep awal yang belum dibahas secara detail. "Tidak ada upaya pengaburan sejarah dalam proyek ini." Ia juga memastikan, setelah rampung, naskah tersebut akan disosialisasi untuk mendapat masukan dari akademikus dan masyarakat.
Tempo kembali menghubungi Susanto pada Sabtu, 14 Juni 2025 untuk mengkonfirmasi sejumlah informasi tambahan. Berikut petikan wawancaranya.

Ketua Tim Penulis Ulang Sejarah Indonesia Susanto Zuhdi di Gedung FIB Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 9 Juni 2025. Tempo/Ilham Balindra
Bagaimana awal mula proyek penulisan ulang sejarah Indonesia ini?
Mulanya para sejarawan yang tergabung dalam Masyarakat Sejarah Indonesia (MSI) berpikir bahwa kami perlu menulis ulang sejarah Indonesia untuk memutakhirkan. Sebelumnya, pada 2007, kami menerbitkan buku Indonesia dalam Arus Sejarah sebanyak delapan jilid dan terbit pada 2012.
Bukankah sudah banyak buku "babon" sejarah yang ditulis sejarawan Indonesia?
Salah satunya adalah Sejarah Nasional Indonesia yang penyusunannya dipimpin Nugroho Notosusanto dan terbit pertama kali pada 1976. Buku ini juga terus dimutakhirkan, terakhir pada 2009. Tapi sifatnya hanya menambahkan peristiwa, tanpa mengubah konsepnya. Padahal perspektif sejarah terus berkembang.
Bagaimana konsep pemutakhiran itu seharusnya?
Karena makin banyak temuan baru dari hasil riset yang dihasilkan para sejarawan muda. Sumbernya bermacam-macam, ada disertasi maupun tesis dari dalam dan luar negeri. Selain itu, sejak buku Sejarah Nasional Indonesia dimutakhirkan pada 2009, banyak peristiwa terjadi sampai tahun ini. Makanya perlu ada penulisan ulang karena banyak hal baru.
Apa bedanya proyek penulisan ulang sejarah dengan buku yang disusun MSI?
Berbeda dalam model penulisannya. Indonesia dalam Arus Sejarah konsepnya tematis. Sedangkan dalam penulisan ulang sejarah ini sifatnya kronologis.
Mengapa jadi proyek pemerintah?
Ini semacam gayung bersambut karena Kementerian Kebudayaan rupanya punya program penulisan ulang sejarah. Kebetulan, menterinya ini, kan, sejarawan juga.
Bisa dibilang ini proyek pesanan?
Saya menyebutnya ini proyek yang disponsori pemerintah. Karena kami di MSI kan enggak punya uang. Proyek semacam ini mahal.
Apa perlunya negara menyusun "sejarah resmi" semacam ini?
Pemerintah punya misi memajukan kebudayaan nasional, sesuai dengan konstitusi. Ini tercantum pada ayat 1 Pasal 32 UUD 1945. Salah satu program dalam misi itu berkaitan dengan sejarah. Menteri Kebudayaan juga berkali-kali mengatakan soal perlunya menemukan identitas Indonesia. Karena itu, mari kita melacak kembali sejarah pembentukan bangsa ini.
Apakah ada arahan khusus dari Menteri Kebudayaan dalam penulisan ulang sejarah ini?
Tidak ada. Ini memang tugas kami sebagai sejarawan.
Baca Juga:
Bolong-bolong Penulisan Ulang Sejarah Indonesia
Tapi di media massa Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebutkan penulisan sejarah ini dilakukan dalam nada positif...
Kembali pada tujuan proyek ini, untuk memperkuat rasa nasionalisme, identitas, dan karakter bangsa. Dalam arti yang luas, proyek ini sebagai bentuk pendidikan politik bangsa juga. Sejarah ini jadi salah satu sarananya.
Bagaimana bentuknya?
Lebih ke teknis penulisannya. Misalnya peristiwa penculikan tokoh atau pemberhentian seseorang dari jabatannya. Soal pilihan diksi saja.
Bukankah hal itu malah akan menuai polemik?
Kami menghindari polemik. Ini lebih ke soal kekhawatiran sebagian masyarakat. Kalau diidentifikasi, setidaknya ada dua-tiga hal yang dikhawatirkan publik. Ini baik buat kami karena jadi ada koreksi. Kami menjalankan proyek ini secara dialogis, tidak ada pendapat yang kami abaikan.

Buku-buku sejarah Indonesia di Perpustakaan Umum Kota Tangerang, Banten. Dok. Tempo/Marifka Wahyu Hidayat
Ada adagium yang menyebutkan sejarah ditulis oleh pemenang atau pihak yang berkuasa. Dan saat ini penguasanya adalah pemerintahan Prabowo Subianto...
Kecurigaan itu muncul karena proyek ini dibiayai negara, dan saat ini negara dipimpin oleh Pak Prabowo yang berkaitan dengan beberapa peristiwa pada masa lalu. Tapi kami harus menulis secara berimbang. Ini soal konteksnya, bagaimana kita belajar dari pengalaman pada masa lalu. Kami tidak diminta untuk menutup atau membuka sebuah peristiwa pada masa lalu.
Karena disponsori pemerintah, banyak orang khawatir sejumlah peristiwa pada masa lalu "dihilangkan" atau porsinya berkurang. Bagaimana Anda menjawab kekhawatiran ini?
Jawaban singkat saya, proyek ini masih berjalan. Jadi yang diketahui publik itu draf yang paling awal sekali, kami sampaikan pada 16 Januari 2025. Karena itu, tentu masih banyak bolongnya. Sedangkan sekarang sudah enam bulan berlalu, teman-teman penulis sudah maju sekian langkah dari konsep awal itu. Kami bekerja benar-benar berdasarkan metode akademis.
Tapi apakah benar, beberapa peristiwa pelanggaran hak asasi manusia tak masuk dalam buku ini?
Ini soal representasi, proporsi, dan dalam konteks apa kita bercerita. Mau berapa banyak porsi soal hak asasi manusia? Tidak mungkin dalam satu buku. Kan bisa nanti buat buku tersendiri mengenai sejarah HAM. Sama saja dengan sejarah lokal, tidak semua bisa kami masukkan.
Menteri Kebudayaan bilang pemerkosaan massal pada peristiwa kerusuhan Mei 1998 hanya rumor karena tidak ada bukti dan tidak ada di buku sejarah. Apakah sejarah soal kejadian ini tidak masuk dalam naskah?
Itu ada dalam topik seputar kerusuhan 1998.
Bagaimana Anda memastikan keberimbangan dalam penulisan sejarah ini?
Tentu penggunaan data dan fakta. Kami bersandar pada fakta kerasnya dulu. Misalnya proklamasi kemerdekaan, ini fakta, ada teksnya. Siapa yang bisa menolak fakta itu? Baru kemudian kami interpretasikan sesuai dengan tujuan proyek ini.
Tim ini berisi para akademikus. Apakah mereka memiliki independensi dalam menulis?
Kembali kepada kaidah sejarah sebagai ilmu pengetahuan. Sebagian besar anggota tim adalah dosen yang terikat pada Tri Dharma Perguruan Tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Anggota tim ini bukan bekerja untuk menteri dan presiden, melainkan buat negara.
Quote:
Salah satu bab dalam proyek ini adalah sejarah kontemporer. Apa saja cakupannya?
Lebih ke peristiwa-peristiwa baru. Bahannya banyak, tapi belum ada yang menulis. Misalnya periode pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Apa yang akan ditulis dari periode itu?
Tentu sejarah juga memilih, tidak semua bisa masuk. Kalau masuk semua, namanya "campursari". Sesuai dengan kesepakatan, kami memilih soal perjalanan pemerintahnya saja. Ada periode pemerintahan Jokowi bersama Jusuf Kalla yang pertama. Lalu bersama Ma’ruf Amin untuk yang kedua.
Peristiwa apa saja yang akan ditulis, termasuk program-programnya juga?
Iya, dong. Misalnya soal visi Indonesia menjadi negara poros maritim dunia, lalu Nawacita. Itu kan fakta.
Secara umum, kira-kira bagaimana gambarannya?
Program-programnya kami tuliskan. Misalnya pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Meskipun ada muatan politik, tapi kan ini tetap sejarah.
Beberapa kebijakan dan program di era Jokowi menuai banyak kritik. Bagaimana menempatkan itu dalam peristiwa sejarah?
Balik lagi ke soal keberimbangan. Pembangunan IKN adalah fakta, masak kita hapus sebagai produk sejarah dari periode Jokowi? Anda boleh tidak setuju dengan proyeknya, tapi sebagai fakta sejarah, ini tidak boleh ditutupi. Justru kami yang membuka.
Bagaimana dengan peristiwa penting, seperti revisi Undang-Undang KPK hingga perubahan konstitusi untuk memuluskan jalan bagi Gibran Rakabuming Raka maju menjadi wakil presiden?
Itu fakta. Termasuk juga bagaimana pemerintah membentuk sejumlah komisi dan pencapaian-pencapaian reformasi.

Ketua Tim Penulis Ulang Sejarah Indonesia Susanto Zuhdi dalam sesi wawancara dengan Tempo di Gedung FIB Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 9 Juni 2025. Tempo/Ilham Balindra
Untuk siapa sebetulnya penulisan ulang sejarah ini?
Ini sejarah publik, dan publik bisa terlibat di dalamnya. Dulu kami keliru, seolah-olah yang boleh menulis sejarah hanya kami. Sekarang, dengan kemajuan teknologi informasi, masyarakat juga seolah-olah punya hak untuk ikut menulis sejarah. Tapi sampai mana batasnya dan untuk apa tujuannya. Kalau kami, menulis ini kan untuk menjadi referensi pendidikan, mengenai sejarah bangsa.
Naskah ini nantinya jadi buku pelajaran di sekolah?
Kami harapkan begitu. Bisa bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah serta Kementerian Pendidikan Tinggi. Saya kira buku ini masih bisa untuk mahasiswa tingkat I dan II. Setidaknya, lewat buku ini, kami memberitahukan kepada masyarakat bahwa sejarah kita itu demikian kaya, sangat dinamis. Dan yang terpenting, kita adalah bangsa yang sejak dulu punya peran di tingkat global.
Sekarang makin banyak orang yang membuat konten sejarah di media sosial. Apa komentar Anda?
Kami sebagai sejarawan tentu senang. Artinya ada lahan baru, namanya sejarah publik. Masyarakat punya hak untuk mengapresiasi dan memunculkan sejarahnya. Itu luar biasa dan kita harusnya senang atas munculnya fenomena ini.
Menurut Anda, apakah penulisan sejarah harus dilakukan secara netral?
Secara intuitif, tentu sejarawan harus bekerja berdasarkan kaidah keilmuannya. Jika tidak, bisa disebut malapraktik. Malah membuat orang bingung atau membuat sesuatu yang tidak kontekstual. Biar bagaimanapun, sejarawan punya kode etik yang harus dipelihara.
Bagaimana dengan pandangan bahwa penulisan sejarah juga merupakan tindakan politis?
Kalau soal politik kan ujungnya pada siapa yang diuntungkan. Bagi kami, karya ini diharapkan bisa dimanfaatkan siapa pun dari sudut pandang mana pun. Keuntungan yang ingin kami capai adalah semua anak bangsa menjadi cerdas. Sejarah kan untuk mengetahui siapa diri kita. Sejarah, barangkali cermin kehidupan.
Dengan rentang waktu pengerjaan yang tak terlalu panjang, apakah cukup merangkum sejarah Indonesia?
Sebagian besar penulis sudah merancang bagian yang akan ditulis Mereka yang terlibat sudah punya karya, riset, tesis, dan disertasi. Mereka tinggal memindahkan hasil kajian mereka ke dalam naskah.
Sudah sampai mana progres proyek ini?
Sekarang sudah 70-80 persen. Targetnya, awal Juli 2025 nanti kami melakukan uji publik di perguruan tinggi besar di Indonesia, dari barat ke timur. Nanti silakan para akademikus dan masyarakat menyampaikan catatan jika ada yang masih perlu ditambahkan. Ini proses yang biasa dalam penulisan.
Tim ini berisi ratusan orang, bagaimana dinamika di dalamnya?
Seru, karena setiap orang punya pandangan yang berbeda. Ketika ada ketidakcocokan, kami tidak bisa memaksakan. Bagi kami, sejarawan itu sudah biasa berbeda sudut pandang, termasuk juga dalam pemilihan teori. Ada yang lebih suka teori integrasi, ada juga yang senangnya pakai teori konflik.
Bagaimana Anda mengkoordinasi para penulis?
Kami setiap minggu rapat. Lalu setiap akhir bulan ada rapat dengan para editor. Sekarang kan enaknya bisa dilakukan secara daring. Perlu diketahui juga bahwa tim ini anggotanya sangat beragam, orang Aceh sampai Papua ada. Bukan hanya sejarawan, kami juga melibatkan ahli arkeologi, geologi, dan geografi. Kebanyakan dari bidang ilmu sosial.
Anda ke luar negeri juga untuk memeriksa data dan arsip?
Tidak. Anggota tim kami juga banyak yang sedang studi di luar negeri, ada yang di Belanda, Portugal, dan Amerika Serikat. Jadi mereka yang membantu.
Seberapa sibuk Anda akhir-akhir ini?
Kata orang, saya seperti dikeroyok banyak orang, ha-ha-ha. Selain yang protes, banyak juga yang ingin berkontribusi. Tapi saya senang karena artinya masyarakat sekarang gandrung akan sejarah. Kalau ada yang bilang sejarah tidak penting, itu salah. Buktinya keterlibatan masyarakat begitu tinggi.
Berapa banyak orang yang protes kepada Anda?
Setiap hari ada saja, apalagi kalau saya sedang wawancara di radio, ha-ha-ha. ●
https://www.tempo.co/wawancara/penul...onesia-1700101
semoga lancar




kakekane.cell dan wendless613514 memberi reputasi
2
612
71


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan