- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Jika Perdamaian Dikhianati, Siapkah Kaum Muda Angkat Senjata Kembali?


TS
medievalist
Jika Perdamaian Dikhianati, Siapkah Kaum Muda Angkat Senjata Kembali?
Jika Perdamaian Dikhianati, Siapkah Kaum Muda Angkat Senjata Kembali?
Redaksi
15 Juni 2025

Habanusantara.net – Ketegangan akibat polemik empat pulau di perbatasan Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, memasuki babak baru.
Setelah kritik tajam dari kalangan intelektual dan keturunan Sultan Aceh, kini suara keras muncul dari kalangan akar rumput perjuangan.
Juru Bicara Laskar Panglima Nanggroe, Muhammad Kahli Gibran, mengingatkan bahwa keputusan sepihak pemerintah pusat melalui SK Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi pengkhianatan terang-terangan terhadap fondasi perdamaian Aceh yang dibangun melalui darah dan diplomasi panjang.
“Kalau perdamaian ini dikhianati, pertanyaannya: apakah kaum muda Aceh siap kembali bergrilya? Apakah kita sudah siap referendum? Atau kita hanya akan diam saat tanah leluhur dicabik?” seru Kahli Gibran, Minggu (15/06/2025), dengan nada penuh amarah dan keteguhan.
Pernyataan ini mencuat di tengah kecemasan publik Aceh atas alih status Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang ke wilayah administrasi Sumatera Utara.
Gibran menyebut, kondisi ini menunjukkan betapa rapuhnya komitmen pusat terhadap kesepakatan damai Aceh.
“Aceh ini bukan anak kecil yang bisa digertak dengan SK. Kita punya dasar hukum, kita punya sejarah, dan kita punya hak untuk menentukan masa depan jika pusat lupa diri,” ujarnya tajam.
Ia menegaskan, Nota Kesepahaman Helsinki (MoU Helsinki) 2005 yang menjadi pilar perdamaian Aceh tidak hanya bersifat simbolik.
MoU itu telah diikat dalam konstitusi nasional melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
“Pasal 1.1 MoU menyebutkan bahwa Aceh akan menjalankan pemerintahan sendiri secara demokratis dan adil. Lalu Pasal 1.3 menegaskan wilayah Aceh meliputi wilayah yang ada dalam peta tahun 1956. Ini bukan tafsir, ini teks hukum,” tegasnya.
Lebih lanjut, Gibran menuding pusat bermain-main dengan bara api. Ia menyebut pengabaian terhadap ketentuan wilayah sebagaimana dimandatkan MoU Helsinki sama saja menampar wajah rakyat Aceh yang telah menanggalkan senjata demi perdamaian.
“Jangan paksa rakyat Aceh untuk kembali ke jalan lama. Jangan kira generasi hari ini tak punya nyali seperti generasi Gerakan Aceh Merdeka dulu,” katanya, mengacu pada sejarah perlawanan GAM sejak 1976.
Menurutnya, generasi muda Aceh kini perlu berefleksi: apakah mereka hanya akan menjadi konsumen kebijakan pusat yang timpang, atau menjadi penjaga martabat tanah kelahiran.
“Kalau MoU dijadikan lelucon, jika UUPA diinjak-injak, referendum bisa menjadi keniscayaan. Ini bukan ancaman, ini seruan moral,” tegas Gibran, yang juga aktif dalam jaringan mahasiswa eks kombatan.
Ia menilai Presiden Prabowo Subianto harus cermat sebelum mengambil keputusan akhir terkait status empat pulau tersebut.
Jika Presiden salah langkah, kata Gibran, yang pecah bukan hanya hubungan antarprovinsi, melainkan retakan kepercayaan Aceh terhadap Republik Indonesia.
“Jangan mengira semua bisa diselesaikan dengan instruksi dari Jakarta. Di Aceh, tanah adalah harga diri. Kami tidak akan tunduk pada birokrasi yang korup dan pongah,” pungkasnya.
https://habanusantara.net/2025/06/ji...a-kembali.html
Redaksi
15 Juni 2025

Habanusantara.net – Ketegangan akibat polemik empat pulau di perbatasan Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, memasuki babak baru.
Setelah kritik tajam dari kalangan intelektual dan keturunan Sultan Aceh, kini suara keras muncul dari kalangan akar rumput perjuangan.
Juru Bicara Laskar Panglima Nanggroe, Muhammad Kahli Gibran, mengingatkan bahwa keputusan sepihak pemerintah pusat melalui SK Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi pengkhianatan terang-terangan terhadap fondasi perdamaian Aceh yang dibangun melalui darah dan diplomasi panjang.
“Kalau perdamaian ini dikhianati, pertanyaannya: apakah kaum muda Aceh siap kembali bergrilya? Apakah kita sudah siap referendum? Atau kita hanya akan diam saat tanah leluhur dicabik?” seru Kahli Gibran, Minggu (15/06/2025), dengan nada penuh amarah dan keteguhan.
Pernyataan ini mencuat di tengah kecemasan publik Aceh atas alih status Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang ke wilayah administrasi Sumatera Utara.
Gibran menyebut, kondisi ini menunjukkan betapa rapuhnya komitmen pusat terhadap kesepakatan damai Aceh.
“Aceh ini bukan anak kecil yang bisa digertak dengan SK. Kita punya dasar hukum, kita punya sejarah, dan kita punya hak untuk menentukan masa depan jika pusat lupa diri,” ujarnya tajam.
Ia menegaskan, Nota Kesepahaman Helsinki (MoU Helsinki) 2005 yang menjadi pilar perdamaian Aceh tidak hanya bersifat simbolik.
MoU itu telah diikat dalam konstitusi nasional melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
“Pasal 1.1 MoU menyebutkan bahwa Aceh akan menjalankan pemerintahan sendiri secara demokratis dan adil. Lalu Pasal 1.3 menegaskan wilayah Aceh meliputi wilayah yang ada dalam peta tahun 1956. Ini bukan tafsir, ini teks hukum,” tegasnya.
Lebih lanjut, Gibran menuding pusat bermain-main dengan bara api. Ia menyebut pengabaian terhadap ketentuan wilayah sebagaimana dimandatkan MoU Helsinki sama saja menampar wajah rakyat Aceh yang telah menanggalkan senjata demi perdamaian.
“Jangan paksa rakyat Aceh untuk kembali ke jalan lama. Jangan kira generasi hari ini tak punya nyali seperti generasi Gerakan Aceh Merdeka dulu,” katanya, mengacu pada sejarah perlawanan GAM sejak 1976.
Menurutnya, generasi muda Aceh kini perlu berefleksi: apakah mereka hanya akan menjadi konsumen kebijakan pusat yang timpang, atau menjadi penjaga martabat tanah kelahiran.
“Kalau MoU dijadikan lelucon, jika UUPA diinjak-injak, referendum bisa menjadi keniscayaan. Ini bukan ancaman, ini seruan moral,” tegas Gibran, yang juga aktif dalam jaringan mahasiswa eks kombatan.
Ia menilai Presiden Prabowo Subianto harus cermat sebelum mengambil keputusan akhir terkait status empat pulau tersebut.
Jika Presiden salah langkah, kata Gibran, yang pecah bukan hanya hubungan antarprovinsi, melainkan retakan kepercayaan Aceh terhadap Republik Indonesia.
“Jangan mengira semua bisa diselesaikan dengan instruksi dari Jakarta. Di Aceh, tanah adalah harga diri. Kami tidak akan tunduk pada birokrasi yang korup dan pongah,” pungkasnya.
https://habanusantara.net/2025/06/ji...a-kembali.html
Diubah oleh medievalist 15-06-2025 17:50




BALI999 dan 4l3x4ndr4 memberi reputasi
2
795
39


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan