- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Daya Beli Merosot, Kurban Idul Adha Tahun Ini Terendah Sejak 2018


TS
jaguarxj220
Daya Beli Merosot, Kurban Idul Adha Tahun Ini Terendah Sejak 2018
Bloomberg Technoz, Jakarta - Kelesuan daya beli masyarakat Indonesia terlihat makin jelas bila melihat perayaan Idul Adha tahun ini. Jumlah orang yang berkurban tahun ini diperkirakan menyentuh angka terkecil dalam lima tahun terakhir, yang mempertegas gambar penurunan kekuatan konsumsi masyarakat.
Di tengah minimnya stimulus yang dapat memberikan dorongan lebih kuat pada laju konsumsi masyarakat, ditambah lagi ada banyak pengeluaran ekstra yang harus ditanggung warga seiring dengan kebijakan kenaikan pajak dan berbagai iuran lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini makin sulit diharapkan bangkit.
Ekonomi RI tahun ini terancam hanya tumbuh sebesar 4,7%, seperti proyeksi terbaru yang dilansir oleh organisasi negara-negara kaya OECD, juga proyeksi yang lebih dulu dipublikasikan dari Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Bila prediksi itu terealisasi, maka akan menjadi pertumbuhan ekonomi RI terendah sejak 2009 silam, mengeluarkan periode pandemi ketika terjadi force majeur pagebluk yang mematikan perekonomian.
Hasil riset yang dilansir oleh IDEAS beberapa waktu lalu mengungkapkan, potensi ekonomi kurban tahun ini menurun. Jumlah pekurban alias shahibul qurban diperkirakan hanya sebanyak 1,92 juta pekurban atau rumah tangga.
Angka itu turun 11,1% dibanding tahun lalu sebanyak 2,16 juta rumah tangga. Jumlah pekurban tahun ini juga menjadi yang terkecil dalam lima tahun terakhir, bahkan lebih kecil dibanding masa pandemi.
Pada Idul Adha 2020 ketika perekonomian masih dibekap pagebluk, jumlah pekurban masih mencapai 2,3 juta. Terakhir kali jumlah pekurban diestimasikan lebih rendah dari tahun ini adalah pada 2018, yaitu sebanyak 1,5 juta pekurban.

Kelesuan daya beli yang tecermin dari penurunan jumlah pekurban tahun ini, memperpanjang daftar kemerosotan konsumsi masyarakat di Indonesia sepanjang tahun ini. Jumlah penjualan mobil dan sepeda motor, misalnya, pada bulan Mei juga turun dibanding tahun sebelumnya.
Pada Mei juga terjadi deflasi -0,37% month-to-month, di mana inflasi tahunan juga jauh lebih rendah di bawah perkiraan pasar sebesar 1,60%. Pada saat yang sama, inflasi inti yang menjadi salah satu indikator permintaan dalam ekonomi, juga turun dari 2,50% pada April menjadi 2,40% pada Mei.
Menurut analis, penurunan sedikit inflasi inti tersebut menjadi salah satu faktor mengapa inflasi IHK pada Mei secara tahunan lebih rendah di bawah konsensus pasar, yaitu cuma 1,60%.
"Deflasi bulan Mei jadi pertanda daya beli sedang lesu, bukan hanya faktor pasca Lebaran. Ini sudah lampu kuning ada gejala pertumbuhan ekonomi melambat pada kuartal II-2025," kata Bhima Yudistira, Ekonom Centre of Law and Economic Studies.
Menurut ekonom, apabila kondisi permintaan dalam ekonomi terus melemah, gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bisa makin masif pada separuh kedua tahun ini.
Bhima menilai, terjadi deflasi di tengah perekonomian yang didukung 153 juta angkatan kerja, adalah sebuah anomali. "Ini bukan kesuksesan mengendalikan inflasi, tetapi demand pull inflation tidak bergerak naik. Artinya, penduduk besar tapi sebagian besar menahan belanja," kata ekonom.
Konsumsi rumah tangga yang terus melambat berarti ekonomi ke depan akan lebih menantang mengingat belanja rumah tangga adalah motor utama Produk Domestik Bruto (PDB). "Pengusaha membaca itu dan bersiap melakukan efisiensi seperti pengurangan jumlah karyawan," kata Bhima.
Data Kementerian Tenaga Kerja mencatat, terjadi 26.455 kasus PHK sampai 20 Mei lalu. Sementara versi pengusaha dan serikat buruh, jumlah PHK dalam tiga bulan pertama tahun ini saja sudah melampaui 70 ribu kasus.
Ekonom menilai, pemerintah sebaiknya lebih fokus pada penciptaan lapangan kerja untuk membangkitkan lagi konsumsi domestik. Juga, perlu mendorong serapan belanja pemerintah pusat dan daerah.
Di tengah minimnya stimulus yang dapat memberikan dorongan lebih kuat pada laju konsumsi masyarakat, ditambah lagi ada banyak pengeluaran ekstra yang harus ditanggung warga seiring dengan kebijakan kenaikan pajak dan berbagai iuran lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini makin sulit diharapkan bangkit.
Ekonomi RI tahun ini terancam hanya tumbuh sebesar 4,7%, seperti proyeksi terbaru yang dilansir oleh organisasi negara-negara kaya OECD, juga proyeksi yang lebih dulu dipublikasikan dari Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Bila prediksi itu terealisasi, maka akan menjadi pertumbuhan ekonomi RI terendah sejak 2009 silam, mengeluarkan periode pandemi ketika terjadi force majeur pagebluk yang mematikan perekonomian.
Hasil riset yang dilansir oleh IDEAS beberapa waktu lalu mengungkapkan, potensi ekonomi kurban tahun ini menurun. Jumlah pekurban alias shahibul qurban diperkirakan hanya sebanyak 1,92 juta pekurban atau rumah tangga.
Angka itu turun 11,1% dibanding tahun lalu sebanyak 2,16 juta rumah tangga. Jumlah pekurban tahun ini juga menjadi yang terkecil dalam lima tahun terakhir, bahkan lebih kecil dibanding masa pandemi.
Pada Idul Adha 2020 ketika perekonomian masih dibekap pagebluk, jumlah pekurban masih mencapai 2,3 juta. Terakhir kali jumlah pekurban diestimasikan lebih rendah dari tahun ini adalah pada 2018, yaitu sebanyak 1,5 juta pekurban.

Daya Beli Lesu, Belanja Hewan Kurban pada 2025 Ikut Melemah (Bloomberg Technoz)
Riset mendapati, lebih dari 10% masyarakat yang mampu berkurban pada tahun sebelumnya, diperkirakan memutuskan untuk tidak berkurban lagi pada tahun ini, terdampak kelesuan ekonomi domestik yang telah menggerus kekuatan daya beli konsumen.
"Terdapat penurunan sekitar 233 ribu pekurban. Angka ini lebih rendah daripada saat kurban di masa pandemi pada 2021-2023. Hal ini menunjukkan penurunan daya beli masyarakat di semua kelas ekonomi yang menjadi indikator pelemahan ekonomi," kata peneliti Institute for Demographic and Affluence Studies, IDEAS, di antaranya Haryo Mojopahit, Agung Pardini, Tira Mutiara, M. Anwar dan Sri Mulyani, dikutip Selasa (10/6/2025).
Nilai ekonomi kurban tahun ini akhirnya juga diperkirakan menyusut jadi Rp27,1 triliun dari sebesar Rp28,3 triliun pada 2024. Jumlah sapi dengan bobot besar antara 250 kilogram hingga 750 kilogram per ekor, yang rata-rata berasal dari pekurban kelas menengah atas dan kelas terkaya, mengalami penurunan sebanyak 84 ribu ekor.
Sedangkan jumlah domba dan kambing dengan bobot 20-80 kilogram per ekor, turun hingga 108 ribu ekor. "Penurunan ini berbanding lurus dengan kejatuhan jumlah kelas sejahtera yang biasa berada pada kelompok kelas atas [di atas 15 kali garis kemiskinan/GK] dan kelas menengah atas [di atas 5 GK]," jelas riset ini.
"Terdapat penurunan sekitar 233 ribu pekurban. Angka ini lebih rendah daripada saat kurban di masa pandemi pada 2021-2023. Hal ini menunjukkan penurunan daya beli masyarakat di semua kelas ekonomi yang menjadi indikator pelemahan ekonomi," kata peneliti Institute for Demographic and Affluence Studies, IDEAS, di antaranya Haryo Mojopahit, Agung Pardini, Tira Mutiara, M. Anwar dan Sri Mulyani, dikutip Selasa (10/6/2025).
Nilai ekonomi kurban tahun ini akhirnya juga diperkirakan menyusut jadi Rp27,1 triliun dari sebesar Rp28,3 triliun pada 2024. Jumlah sapi dengan bobot besar antara 250 kilogram hingga 750 kilogram per ekor, yang rata-rata berasal dari pekurban kelas menengah atas dan kelas terkaya, mengalami penurunan sebanyak 84 ribu ekor.
Sedangkan jumlah domba dan kambing dengan bobot 20-80 kilogram per ekor, turun hingga 108 ribu ekor. "Penurunan ini berbanding lurus dengan kejatuhan jumlah kelas sejahtera yang biasa berada pada kelompok kelas atas [di atas 15 kali garis kemiskinan/GK] dan kelas menengah atas [di atas 5 GK]," jelas riset ini.
Hal tersebut juga sejalan dengan penurunan Indeks Tabungan untuk semua kelas penghasilan sepanjang 2025, sebagaimana data yang dilansir oleh Mandiri Institute untuk semua kelas penghasilan sepanjang 2025.
Kelas bawah, dengan saldo tabungan di bawah Rp1 juta, mencatat penurunan indeks tabungan terdalam, hingga 6,3 poin pada Mei lalu. Sedangkan kelas menengah dengan saldo tabungan antara Rp1 juta-Rp10 juta, indeks tabungan turun tipis 0,3 poin. Sedangkan kelas atas dengan saldo di atas Rp10 juta, turun cukup dalam juga dari 96,7 poin pada Mei 2024 menjadi 93,3 poin pada Mei 2025.
Kelas bawah, dengan saldo tabungan di bawah Rp1 juta, mencatat penurunan indeks tabungan terdalam, hingga 6,3 poin pada Mei lalu. Sedangkan kelas menengah dengan saldo tabungan antara Rp1 juta-Rp10 juta, indeks tabungan turun tipis 0,3 poin. Sedangkan kelas atas dengan saldo di atas Rp10 juta, turun cukup dalam juga dari 96,7 poin pada Mei 2024 menjadi 93,3 poin pada Mei 2025.
Badai PHK
Kelesuan daya beli yang tecermin dari penurunan jumlah pekurban tahun ini, memperpanjang daftar kemerosotan konsumsi masyarakat di Indonesia sepanjang tahun ini. Jumlah penjualan mobil dan sepeda motor, misalnya, pada bulan Mei juga turun dibanding tahun sebelumnya.
Pada Mei juga terjadi deflasi -0,37% month-to-month, di mana inflasi tahunan juga jauh lebih rendah di bawah perkiraan pasar sebesar 1,60%. Pada saat yang sama, inflasi inti yang menjadi salah satu indikator permintaan dalam ekonomi, juga turun dari 2,50% pada April menjadi 2,40% pada Mei.
Menurut analis, penurunan sedikit inflasi inti tersebut menjadi salah satu faktor mengapa inflasi IHK pada Mei secara tahunan lebih rendah di bawah konsensus pasar, yaitu cuma 1,60%.
"Deflasi bulan Mei jadi pertanda daya beli sedang lesu, bukan hanya faktor pasca Lebaran. Ini sudah lampu kuning ada gejala pertumbuhan ekonomi melambat pada kuartal II-2025," kata Bhima Yudistira, Ekonom Centre of Law and Economic Studies.
Menurut ekonom, apabila kondisi permintaan dalam ekonomi terus melemah, gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bisa makin masif pada separuh kedua tahun ini.
Bhima menilai, terjadi deflasi di tengah perekonomian yang didukung 153 juta angkatan kerja, adalah sebuah anomali. "Ini bukan kesuksesan mengendalikan inflasi, tetapi demand pull inflation tidak bergerak naik. Artinya, penduduk besar tapi sebagian besar menahan belanja," kata ekonom.
Konsumsi rumah tangga yang terus melambat berarti ekonomi ke depan akan lebih menantang mengingat belanja rumah tangga adalah motor utama Produk Domestik Bruto (PDB). "Pengusaha membaca itu dan bersiap melakukan efisiensi seperti pengurangan jumlah karyawan," kata Bhima.
Data Kementerian Tenaga Kerja mencatat, terjadi 26.455 kasus PHK sampai 20 Mei lalu. Sementara versi pengusaha dan serikat buruh, jumlah PHK dalam tiga bulan pertama tahun ini saja sudah melampaui 70 ribu kasus.
Ekonom menilai, pemerintah sebaiknya lebih fokus pada penciptaan lapangan kerja untuk membangkitkan lagi konsumsi domestik. Juga, perlu mendorong serapan belanja pemerintah pusat dan daerah.
Belanja pemerintah yang kembali digeber bisa membantu pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja di sektor-sektor yang sebelumnya terdampak seperti konstruksi, perhotelan dan perdagangan.
Insentif yang disiapkan oleh pemerintah untuk mendorong daya beli senilai Rp24,4 triliun, termasuk di antaranya adalah subsidi upah untuk pekerja bergaji maksimal Rp3,5 juta, dinilai belum memadai dalam mendorong pemulihan daya beli yang kian terseok.
Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Fakhrul Fulvian berpendapat, yang lebih membutuhkan sokongan penguatan adalah kelas menengah. Pasalnya, kelas menengah adalah pendorong utama konsumsi masyarakat. Alhasil, apabila ingin mendongkrak konsumsi, kelas menengahlah yang perlu dibidik.
"Bila mau broadband recovery yang muncul bukan hanya subsidi upah. Kita butuh hal langsung support kelas menengah seperti subsidi listrik. Semoga penurunan harga listrik bisa dilakukan pada proses penganggaran APBN selanjutnya," kata Fakhrul.
Insentif yang disiapkan oleh pemerintah untuk mendorong daya beli senilai Rp24,4 triliun, termasuk di antaranya adalah subsidi upah untuk pekerja bergaji maksimal Rp3,5 juta, dinilai belum memadai dalam mendorong pemulihan daya beli yang kian terseok.
Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Fakhrul Fulvian berpendapat, yang lebih membutuhkan sokongan penguatan adalah kelas menengah. Pasalnya, kelas menengah adalah pendorong utama konsumsi masyarakat. Alhasil, apabila ingin mendongkrak konsumsi, kelas menengahlah yang perlu dibidik.
"Bila mau broadband recovery yang muncul bukan hanya subsidi upah. Kita butuh hal langsung support kelas menengah seperti subsidi listrik. Semoga penurunan harga listrik bisa dilakukan pada proses penganggaran APBN selanjutnya," kata Fakhrul.
https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/73625/daya-beli-merosot-kurban-idul-adha-tahun-ini-terendah-sejak-2018/
Ngirit semua gaes.. Frugal living.. 







dominatoraks926 dan 8 lainnya memberi reputasi
9
632
47


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan