- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Nikel, Neraka, dan Raja Ampat: Kisah Gila di Negeri yang Dilego Murah


TS
jihadabdul28
Nikel, Neraka, dan Raja Ampat: Kisah Gila di Negeri yang Dilego Murah

Sumber Poto @Ragilsemar xtwitter
Di balik birunya laut dan legenda surga bawah air, Raja Ampat menyimpan luka yang dalam. Lima perusahaan tambang nikel mencabik-cabik gugusan pulau kecilnya, mengubah taman firdaus menjadi ladang besi dan lubang maut. Ini bukan fiksi, ini bukan dongeng pasca-kolonial. Ini berita gila dari negeri yang sedang dijual ke pemodal dalam dan luar negeri dengan harga promo.
Pulau Kawe:
PT Kawei Sejahtera Mining. Lima hektare wilayah tambang, IUP No. 290 Tahun 2013. Berdiri gagah di atas tanah yang seharusnya dilindungi oleh Pasal 35 UU Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Tapi siapa yang ingat pasal ketika uang bicara?
Pulau Batangpele:
PT Mulia Raymond Perkasa. IUP No. 153.A Tahun 2013. Nama perusahaan mengusung kata “mulia”, tetapi pekerjaan yang dilakukan justru berkebalikan: menggali, mengeruk, dan meninggalkan jejak kehancuran. Lokasinya? Lagi-lagi, pulau kecil—ilegal dalam diam.
Pulau Gag:
PT Gag Nikel, anak usaha PT Antam Tbk, menguasai 6.030 hektare. IUP No. 430.K/30/DJB/2017. Tambang ini dihentikan sementara oleh pemerintah per 5 Juni 2025. Sementara. Seolah ini hanya jeda dalam pesta panjang pemerkosaan alam. Pulau ini dulu tempat penyelam bertemu ikan pari. Kini, mesin bor lebih sering terdengar daripada suara lumba-lumba.
Pulau Manuran:
PT Anugerah Surya Pratama, perusahaan modal asing dari Wanxiang Group, Tiongkok. 756 hektare, IUP No. 75/1/IUP/PMA/2018. Ini bukan anugerah bagi rakyat. Ini ekspansi industrialisasi global yang mengebor sampai ke ujung nadi negeri.
Kampung Kalobo, Distrik Salawati Utara:
PT Waigeo Mineral Mining. IUP No. 30 Tahun 2010. Lokasi tambang berada di dalam kawasan Suaka Alam Perairan. Ya, kawasan yang secara resmi disahkan Menteri Kelautan untuk dilindungi. Tapi label “suaka” di sini hanya dekorasi dokumen—praktiknya, alat berat jalan terus.
Menurut Pasal 35 huruf k Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (jo. UU No. 1 Tahun 2014), setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan penambangan mineral di pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya. Hukum ini ditulis dengan tinta tebal dan penuh semangat konservasi. Tapi di lapangan, hukum itu seperti sisa kopi di cangkir para elite—tinggal ampas yang tak dibaca.
Yang berjalan justru alat berat. Ekskavator. Dump truck. Dan presentasi korporasi yang bersinar di layar proyektor, lengkap dengan janji pembangunan dan “keberlanjutan” yang terdengar seperti lelucon basi di ruang darurat.
Sementara tambang berdengung, kampung-kampung nelayan perlahan sepi. Ikan menyingkir. Karang berubah warna. Air keruh seperti sumpah janji politik yang basi. Anak-anak yang dulu berenang bebas kini bermain di samping tumpukan tailing. Beberapa desa mulai mengeluhkan air asin yang bercampur logam, tapi siapa peduli soal air kalau logam mulia terus mengalir ke luar negeri?
Raja Ampat kini menjadi monumen ironi: dijual demi nikel untuk baterai mobil listrik dunia, tapi listrik ke kampung sebelah masih byar-pet.
Ini bukan laporan. Ini otopsi. Bukan investigasi, ini necrologi alam.
Karena ketika hukum jadi formalitas, dan pulau kecil berubah jadi kas bon, siapa lagi yang berani bilang ini negeri berdaulat?
Selamat datang di Republik Nikel.
Di mana harta karun tidak digali oleh petualang, tapi dikeruk oleh korporasi,
dan rakyatnya... diam dalam suara mesin


freerain memberi reputasi
1
599
11


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan