Kaskus

News

mabdulkarimAvatar border
TS
mabdulkarim
Blak-blakan Guru Besar UI Susanto Zuhdi soal Tulis Ulang Sejarah RI
CNN Indonesia
Rabu, 21 Mei 2025 10:36 WIB
Bagikan:


Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan tengah mengerjakan proyek penulisan ulang sejarah. Menteri Kebudayaan Fadli Zon menunjuk sejarawan senior dari Universitas Indonesia (UI), Susanto Zuhdi, sebagai ketua tim pelaksana proyek tersebut.
Tim yang dipimpin Susanto Zuhdi beranggotakan lebih dari 100 orang, terdiri dari sejarawan, arkeolog, dan pakar lainnya. Tim ini akan mengerjakan sekitar 10 jilid buku sejarah yang diperbarui atau ditulis ulang dan ditargetkan selesai pada Agustus tahun ini, sebagai kado perayaan kemerdekaan ke-80 RI.

CNNIndonesia.com mewawancara Susanto Zuhdi di tengah kesibukan proyek penulisan ulang sejarah RI. Dia bicara soal urgensi penulisan ulang sejarah RI, arti penting sejarah resmi (official history), hingga tema sensitif mengenai bagaimana buku yang sedang digarap ini menuliskan pelanggaran HAM berat di masa lalu. Berikut wawancara lengkap dengan Susanto Zuhdi.

Bisa ceritakan latar belakang sampai akhirnya Anda ditunjuk memimpin proyek penulisan ulang sejarah resmi ini?

Sebetulnya keinginan untuk menulis ulang, menulis kembali atau memutakhirkan perjalanan sejarah nasional kita ini sudah cukup lama. Kami sebagai anggota Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI), teman-teman itu sudah istilahnya, berkeinginan, sudah lama kita punya perkembangan [sejarah], penelitian baru. Sejarawan yang selesai dari S2, S3, baik dari dalam maupun luar negeri, itu kan sudah menambah banyak pengetahuan kita tentang sejarah kita.

Kalau kita kilas balik, buku sejarah yang terakhir kita terbitkan itu namanya IDAS, Indonesia Dalam Arus Sejarah, itu delapan jilid. Itu buku kedua sesudah Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang tahun 1976. Itu masih berjalan, masih dipakai itu dan masih ada pemutakhiran, tapi tidak di dalam kerangka konseptual yang baru, hanya nambah lagi, nambah lagi. Jadi kalau Anda perhatikan, Anda ikuti jilid 6 dari SNI itu tambah tebal saja, padahal itu berapa periode, berapa zaman dijadikan satu. Tanpa konsep, hanya menambah, jadi memang pemutakhiran. Sedangkan yang kita mau tulis ini dengan kerangka baru konsep, tetapi lebih akan kita tekankan peran utama bangsa Indonesia itu mengambil porsi yang lebih dalam perjalanan bangsa menentukan atau membentuk identitasnya.

Jadi akhirnya sejalan, makanya, begitu ada Kementerian Kebudayaan kemudian ada Direktorat Sejarah lagi. Nah sekarang Ketua MSI ini adalah seorang Direktur [Jenderal Sejarah], yang sekaligus dikasih tugas oleh Menteri 'sudah, kamu yang punya ide,'. Jadi, disambutlah.

Sejarawan memerlukan tempat ekspresi untuk menulis kembali, karena dengan banyaknya temuan-temuan itu, singkatnya kemudian saya dihubungi, barangkali saya satu di antara sejarawan senior lah, kalau boleh dibilang begitu. Itu akhir tahun lalu, Oktober, November. Ya, seperti gayung bersambut aja, terus bersedia, lah. Ini kan tugas dari pemerintah, dalam hal ini negara memanggil untuk menulis sejarah bangsa kita sendiri...

Bagaimana arahan Menteri Fadli terkait ini? Apakah ada pembicaraan mendalam yang juga melibatkan Presiden Prabowo dalam rencana penulisan ulang sejarah ini?

Enggak ada arahan, hanya bagaimana tema reinventing Indonesian identity itu dibuktikan. Jadi, kita mau melihat kebanggaan bangsa dalam sejarah ini apa sih? Ya, 50 ribu tahun yang lalu itu, nenek moyang kita itu bisa membuktikan memang mereka orang pelaut. Jadi, kebanggaan-kebanggaannya. Itu memang sudah kita rencanakan lama. Jadi penyelenggaraan dari pemerintah, ide itu sama sekali kita yang merumuskan. Masa harus didikte. Sejarawan dengan metodologinya, dengan metodenya, akan menulis sebagaimana yang akan kami lakukan.

Pak Fadli bilang penulisan sejarah ulang ini mulai dari prasejarah, kemerdekaan, sampai dengan sejarah kontemporer. Kok bisa sejarah ditulis ulang? Bagaimana metode penyusunannya, Prof?

Jadi sederhananya, bahan kita bertambah, maka konstruksinya juga berubah. Berubah ke arah mana? Ya, sejarah yang akan menjelaskan. Perjalanan kita berdemokrasi, misalnya. Cuma ke arah mana nih demokrasi kita? Kita pelajari. Nanti ahli politik menunjukkan. Jadi pengertiannya itu ya dengan bertambahnya waktu, bertambahnya pengalaman, bertambah pula sejarah suatu bangsa. Nah, sejarawan mencatat, menuliskannya dalam bentuk tesis, disertasi. Banyak gitu, kita tinggal pakai aja. Mereka yang pulang dari Belanda, Amerika, ada yang baru pulang dari Inggris. Empat penulis ini masih di luar negeri. Jadi ya kita upayakan, lah, sebaik mungkin, selengkap mungkin.

Tentu enggak semua sejarah, karena kalau semua masuk ya mau berapa jilid itu. Nanti kita bikin tema-tema baru lagi selain ini. Harusnya sih tidak pemerintah lagi, harusnya lembaga-lembaga yang lain, perguruan tinggi dan sebagainya. Jadi tanpa buku ini, sebenarnya buku sejarah itu sudah banyak. Bahan-bahan itu mau kita himpun ke dalam suatu katakanlah tema yang lebih komprehensif, namanya Sejarah Nasional Indonesia.

Semua bangsa itu punya, punya sejarah nasionalnya. jadi memang harus terus baru, karena ada temuan baru, ada perspektif baru, Ada penggalian-penggalian baru para arkeolog. Kita kan tuh berdasarkan riset, kita sampaikan pada masyarakat, pada publik. Begini, loh, yang sudah kita punya pengalaman masa lalu yang kita tuliskan.

Kita bekerja dari data, data dari mana, dari sumber-sumber. Sejarawan itu kritis banget seputar sumber-sumber. Dia punya pengertian sumber primer itu apa, sumber sekunder itu apa. Kita akan cari sumber primer. Ilmu sosial itu beda dengan kami, untuk menafsirkan sumber primer sumber sekunder apa, kadang beda. Kalau kami, yang namanya otentik ya mana arsipnya? Tidak bisa kata orang, kata itu. Kalau enggak lihat arsipnya, kita enggak berani tulis. Nanti mungkin ada hal yang kok belum berani detail ditulis ya? Nanti, di periode kontemporer, itu sejarah masih pembentukan, history in the making namanya. Enggak bisa, belum ada data yang mapan ya, kita belum bisa. Jadi, sejarawan itu cukup sabar untuk menulis sesuatu sampai data fakta itu lengkap. Tapi kalau diminta menulis juga, barangkali berupa kronik, data, namanya itu hard fact, data keras saja.

Jadi bukan menulis sejarah Indonesia dari nol?

Kira-kira begini, ya. Data kami itu, kami usahakan baru. Jadi ada komparasi. Kan, enggak mungkin sama sekali baru juga. Justru yang lama seperti apa, yang baru seperti apa, supaya kesinambungan sejarah juga berlangsung. Ini emang terminologi-terminologi agak teknis. Kalau bukan sejarawan repot. Memahaminya saja beda. Merevisi lah, meluruskan lah. Enggak, enggak meluruskan. Nanti ada yang merasa bengkok. Kita mau dudukkan. Kita mau lengkapi. Kita mau sambung-sambungkan. Nah itu kan teori nanti. Yang dulu ada tapi belum kuat, pakai teori apa? Jembatannya apa? Merajut Indonesia ini dengan narasi sejarah itu seperti apa?

Kalau anatomi tubuh kira-kira ototnya, tulang-tulang, kerangka itu kita perkuat lagi. Mesti sudah ada dong, tubuh Indonesia ini secara struktur. Cuma, 'ah di sana belum masuk tuh. Ini belum kuat. Masa Indonesia timpang. Kok Indonesia hanya berat ke Jawa aja. Ke bagian barat aja. Timur bagaimana? Kan Indonesia juga'.

Jadi sebetulnya kami ini Ditantang sekali itu. Untuk menggambarkan konstruksi Indonesia melalui sejarah, melalui narasi itu. Itu cara kerjanya begitu.

Bagaimana proses pengumpulan tim sejarawannya dan struktur tim penulisan ulang sejarah ini? Menteri Kebudayaan apakah masuk struktur?

Kita kan punya jaringan, jadi enggak susah-susah. Kan, punya MSI tadi, Masyarakat Sejarawan Indonesia yang jaringannya sampai daerah. Bahkan itu tadi, banyak yang terpaksa enggak bisa diajak karena pertama keahliannya, periodenya itu sudah kumpul, kecuali kalau periode yang masih jarang biasanya kita rekrut lagi, mungkin kita akan tambah, barangkali, sesuai kebutuhan.

Menteri Kebudayaan mengeluarkan SK aja. Fadli menulis SK, menunjuk panitia, ada pengarah Taufiq Abdullah, Mukhlis Paeini, Nina Lubis, Bambang Purwanto, lalu turun ke kami, kami turun lagi ke editor jilid. Editor jilid merekrut teman-temannya dari biasanya pertemanan.

Pengarah itu sejarawan senior, Taufik Abdullah, Mukhlis Paeni. Editor Umum ada saya Susanto Zudi, Guru Besar Undip Profesor Singgih Tri Sulistiyono, Profesor dari UIN Jajat Burhanuddin. Nanti dari 10 jilid itu, ada 2 orang editor jilid [tiap jilid]. Jadi ada 20 orang, 23 berarti dengan kami. masing-masing jilid itu mungkin sekitar 10-12 orang, kalau dikali 10 ada 120-an penulisnya, itu menyebar mulai dari dosen Unsyiah Aceh sampai dosen Universitas Cenderawasih di Papua, mulai dari utara Universitas Sam Ratulangi sampai Universitas Udayana.

Menteri Fadli menargetkan rampung sebelum di 17 Agustus sebagai hadiah ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke-80. Apa bisa memenuhi target karena 10 jilid ini cukup banyak?

Targetnya 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia itu mau dicanangkan sebagai hadiah. Memang, mula-mula kami terus terang keberatan dalam waktu setengah tahun lebih lah ya, kurang lebih, tapi ya kita lalu sampaikan kepada teman-teman, 'gimana ini strategi untuk bisa menulis'. 'Oh begini'. ini kan sebetulnya buat teman-teman yang sudah nulis itu bukan baru, dia udah punya stok. Kemarin ada yang bikin disertasinya, ini contoh aja, ada yang menulis itu tentang sejarah Iptek, jadi mulai Mipi menjadi LIPI, jadi LAPAN, macam-macam, itu baru aja doktor dia, ya udah pindahin aja itu chapternya kan begitu. Siapa lagi nih yang baru pulang dari Belanda, nulis apa, itu begitu caranya.

Jadi kenapa kita berani dari nekat ke tekad itu karena kita tulis yang kita sudah punya. Dan tim itu ya, kalau kita lagi kerja, ada tim pencari data di setiap jilid itu, anak-anak S1 yang baru fresh graduate itu kita tugasin ada yang cari di perpustakaan nasional di Arsip. Kami juga baru dapat arsip baru, surat-surat Sukarno pada Ratna Sari Dewi, seputar 65, akan kita buka. Tapi jangan dikasih tahu sekarang, jadi enggak surprise.

Apa rampung 10 jilid? Insya Allah, doakan saja.

Pak Fadli sempat menyebut bahwa Indonesia membutuhkan official history atau sejarah resmi. Apa arti official history? Apakah penulisan ulang sejarah ini akan dianggap sebagai official history?

Ada beberapa pengertian. Official history itu pekerjaan yang diselenggarakan oleh pemerintah, anggarannya dari pemerintah, tapi kan uang rakyat juga. Dua buku (SNI dan IDAS) sebelumnya juga dari pemerintah. Kita belum punya kemampuan. Suatu saat, seharusnya yang menulis sejarah ini lembaga-lembaga di luar pemerintah, mungkin lebih baik. Tapi kan untuk tujuan pendidikan, pemerintah masih turun tangan, tapi dalam pekerjaannya ya kita pakai metodologi ilmu kita.

Dan bahwa sejarah itu nanti ada interpretasi, itu biasa aja, nanti perbaiki lagi, revisi lagi, tulis ulang lagi. Jadi kami ini akan ditulis ulang lagi pada generasi berikut. Menulis sejarah itu memang berulang, ditambah lagi, dilihat lagi sana-sini.

Apa pentingnya sejarah resmi untuk sebuah negara?

Intinya untuk kebijakan. Dia membuat program-program dalam kebudayaan, dalam karakter bangsa, dalam civic education. Bangsa Amerika juga bikin. Jepang juga. Jepang mana diajarin dia menjajah kita? Tapi Korea pernah protes. Jadi, pelajaran di Jepang itu enggak diajarin ketika Jepang menjajah Korea. Apa dia menggelapkan fakta sejarah? Untuk tujuan itu, ya dia bilang enggak. Dia kan mau ngajarin anak-anak mereka.

Blak-blakan Guru Besar UI Susanto Zuhdi soal Tulis Ulang Sejarah RI

Buku ini akan menjadi bahan edukasi di sekolah?
Buku yang saya sebut terdahulu, itu bukan berarti enggak boleh dipakai atau dilarang dipakai. Yang namanya historiografi itu punya kedudukannya sendiri-sendiri. Justru dengan begitu kita lihat, buku yang sebelumnya sampai di mana? Buku yang ini sampai di mana? Jadi bukan itu enggak harus dipakai. Buku sejarah banyak. Saya juga menulis buku sendiri, loh. Itu dipakai, cuma dalam konteks yang civic education ini, jadi formatnya itu yang dibedakan dari karya-karya sejarawan yang lepas-lepas tadi itu.

Ada namanya uji petik ya. Kalau di pemerintahan itu mungkin FGD atau apa. Dan sekarang pun ini kan sebenarnya sudah terbuka juga. Memang karena waktunya, kita tulis dulu, dong. Kalau belum tulis, nanti repot. Jadi ada dulu. Sembari jalan ke sana kita terus dengar. Dari YouTube, dari apa, itu kita dengar semua. Sampai nanti, silakan dibaca. Kalau keluar mau direvisi, revisi aja. Biasa aja itu.

Buku SNI yang digarap Pak Nugroho Notosusanto pernah memicu polemik di kalangan sejarawan juga. Bagaimana jika proyek ini nantinya juga memicu polemik?

Itu biasa. Polemik itu akan muncul dari data, dari sumber. Nanti kritik sumbernya udah bener belum dilakukan. Makanya, fakta keras itu mesti sama. Lalu nanti oh ini ada yang kurang. Lengkapi lagi, lengkapi lagi.

Tapi saya tahu lah kira-kira itu nanti yang agak krusial misalnya PKI, G30S itu. Ya, kita tulis berdasarkan fakta. Kalau ada fakta, ada data ya kita tulis. Ya sejauh kita tadi, untuk kebanggaan bangsa enggak nih? Lebih untuk memecah belah apa enggak, misalnya. Frame kita ya ideologi yang sudah kita pegang bersama. Jangan pecah. Kalau dengan sejarah kita pecah, enggak usah aja. Jadi sejarah untuk persatuan, untuk integrasi bangsa, untuk kebanggaan bangsa.

Bukan menafikan bahwa bangsa ini pernah mengalami goncangan, gejolak, ancaman perpecahan. Itu tetap kita gambarkan. Justru dari pengalaman itulah betapa mahalnya sejarah sebuah bangsa di dalam menatap masa depan.

Sebagai sejarah resmi, apakah ke depan buku ini akan menjadi kebenaran versi negara atau kekhawatiran jadi alat propaganda untuk kepentingan tertentu seperti pada masa Orde Baru?

[b[Ya, itu urusan negara. Sejarawan tidak lakukan. Kan, datanya data ilmiah. Kecuali ada yang dihapus sana sini untuk kepentingan tertentu. Tapi saya lihat bukan dalam pengertian itu. Ini dalam pengertian kebijakan yang nanti digunakan untuk civic education, untuk pendidikan dan sebagainya[/b]. Sejarah itu, siapa pun bisa menggunakan. Tidak hanya pemerintah, loh. Nanti kalau sudah jadi ini siapa saja [bisa gunakan]. Dilihat celahnya menguntungkan, dia pakai. Ya, kan?

Beberapa pakar atau sejarawan menyebut sejarah Indonesia selama ini terkesan lebih berat ke sudut pandang militer, menurut Profesor sendiri?

Begini, sejarah itu akhirnya harus diterima bersama. itu yang disebut accepted history, bangsa manapun juga begitu. Kalau enggak, berkelahi terus. Kebenaran itu enggak harus yang sesungguhnya benar. Yang nampak benar lalu kita terima bersama sebagai ada manfaat apa yang kita bisa petik.

Periode 45-49, kita sudah selesai untuk tidak, dan ini Presiden [Prabowo] yang ngomong terakhir, Angkatan 45 itu tidak heavy militer. Kurang apa? Pamannya umur 17-18 sudah ditembak Jepang, di Tangerang itu. Tapi, jangan lupa, ada yang namanya Sjahrir, ada yang namanya Soedjatmoko, tokoh-tokoh sosialis itu, ini diplomat-diplomat muda yang sudah berperan besar di PBB waktu kita berjuang Jogja dikuasai Belanda, tapi kita tetap TNI-nya bergerilya. Jadi kerja sama TNI dan masyarakat itu seperti ikan dan air. Cuma ya, masalahnya, semua itu melupakan, baik militer maupun sipilnya. Itu kita ingatkan lagi.

Militer semakin dominan ya karena ada Orde Baru. Padahal kalau enggak ada rakyat, bagaimana dia [militer] selamat dikejar-kejar Belanda? Gerilya itu kan kekuatan rakyat. Jadi jangan dipisah-pisah. Itu sudah selesai. Bahkan kalau kita mau letter lecht faktanya, selesainya diplomasi, lho, bukan militer. KMB siapa? Nah, tapi di unsur itu ada yang namanya Simatupang. Delegasi kita yang komisi militer itu namanya Simatupang. Jadi sebenarnya enggak usah khawatir, harusnya, kalau kita belajar dari sejarah. Tinggal ya sipilnya juga memperkuat diri, dong.

Di jilid tujuh kita menyebut perang kemerdekaan itu tidak hanya fisik, dan itu sudah diakui, sudah accepted. Jadi, suatu zaman itu kan menentukan. Nah, kita kan sudah di masa reformasi sekarang. Sudah enggak ada lagi pengaruh-pengaruh yang seolah-olah mendikte.

Ada beberapa peristiwa sensitif di masa lalu, terutama kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Presiden Jokowi juga sudah mengakui sekitar 12 pelanggaran HAM berat di masa lalu. Bagaimana buku ini menulis peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat tersebut?

Iya, kalau ada data, fakta kerasnya, mungkin masih berupa kronik, ya, karena kita belum bisa terlalu dalam. Karena ini history in the making namanya.

Sebenarnya di antara sejarawan sendiri ada yang menghindari, enggak mau menulis kontemporer. [Alasannya] Itu belum jadi sejarah. Tapi kalau dituntut juga seperti Anda atau saya atau masyarakat masih menunggu, ditulis dulu lah. Masa enggak ditulis sejarah kontemporernya. Tapi harus penuh kehati-hatian. Jadi, adagium kita 'menulis sejarah untuk bersatu' harus diperhatikan juga. Ya, sorry to say, jadinya. Karena kalau mau ini nanti berantakan lagi. Nah, jadi ada wisdom di balik ini semua.

Jadi, pasti ada diksi, tapi misinya sampai. Bahwa pesan kita dengan sejarah ini kita menjadi lebih kuat, lebih bangga, lebih maju ke depan. Semua kita perhatikan, kita akan tulis sejauh, sebenarnya kalau kita boleh menghindari, kontemporernya itu jangan ditulis dulu. Ini kalau pakai ilmu sejarahnya, ya. Tapi kalau itu ditulis, ya kita harus ada kesepakatan. Jangan sampai kira-kira itu tadi, tujuan kita bernegara, berbangsa. Jadi, ini sejarahnya harus secara lebih bijak untuk ditangani.

Dengan kata lain, untuk pengakuan negara dan 12 kasus pelanggaran HAM berat itu belum ada kesepakatan dari sejarawan yang terlibat untuk kemudian dimasukkan ke dalam buku?

Oh, enggak. Ini kan masih berjalan, bahkan sudah saya cek di editor jilid yang akan menulis HAM, sudah siap dia. Selagi bahan itu ada dan yang namanya official history juga, artinya hard fact sudah ada dan itu sudah terpublikasi, enggak ada yang rahasia sebetulnya. Jadi mungkin masih berupa kronik, berupa data keras, ada ini, ada itu.

Jadi itulah risiko memang kalau sampai sejarah kontemporer ditulis dengan maksud apa kita mau menulis ini? Antara objektivitas dan subjektivitas, antara cara kita menyampaikan itu juga seni tersendiri, how to write-nya, how to explain-nya, itu sejarawan dihadapkan pada itu. Kita tahu faktornya begini, tapi bagaimana ditulisnya dan interpretasi seperti apa, apalagi yang baca awam seperti kalau publik melihat sejarah itu lebih karena kepentingan. Kalau sejarah lebih dari metodologi teori bagaimana dia disampaikan.

Singkatnya, kekhawatiran-kekhawatiran yang ada, kami berterima kasih karena itu justru menjadi bekal kami untuk sedapat mungkin, selengkap mungkin, seakurat mungkin, dan seterusnya.

(mab/wis)
https://www.cnnindonesia.com/nasiona...-sejarah-ri/2.




semoga lancer penulisannya


pilotesemka315Avatar border
bang.toyipAvatar border
bang.toyip dan pilotesemka315 memberi reputasi
2
382
14
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan