- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Ide Legalisasi Kasino, Antara Potensi Cuan dan Masalah Sosial


TS
KangPri
Ide Legalisasi Kasino, Antara Potensi Cuan dan Masalah Sosial
Quote:
tirto.id - Wacana lama untuk melegalkan judi mencuat lagi di ruang rapat wakil rakyat di Senayan. Halusnya, menarik pajak lewat aktivitas bertaruh yang saat ini berada di ranah pidana. Kali ini, ide yang terlontar menarik pajak dari aktivitas permainan di kasino.

Adalah anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Galih Kartasasmita, yang meminta pemerintah berpikir out of the box dalam menggenjot penerimaaan negara bukan pajak. Misalnya, dengan cara melegalkan kasino, membebek Uni Emirat Arab yang meraup sumber penerimaan negara dari luar sektor minyak dan gas bumi. Hal ini disampaikan Galih saat rapat bersama Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan di DPR, Jakarta, Kamis (8/5/2025).
Belakangan, Galih meluruskan ucapannya bahwa ia tak bermaksud mendorong pemerintah untuk melegalkan kasino. Politisi Partai Golkar itu berdalih hanya mencontohkan saja bentuk kreatif untuk mencari sumber PNBP baru.

Apapun alasannya, wacana legalisasi atau lokalisasi perjudian atau lewat bungkus ‘menarik pajak’ dari aktivitas bertaruh, sudah beberapa kali terlontar di DPR. Pada 2023 misalnya, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) saat itu, Budi Arie Setiadi, menyatakan ada usulan kepadanya untuk menarik pajak dari aktivitas judi online (judol). Ini ia sampaikan saat rapat bersama Komisi I DPR RI, di Jakarta, Senin (4/9/2023) silam.
Tahun lalu, giliran Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu), Anggito Abimanyu, yang memiliki wacana mirip-mirip. Ia menyebut terdapat potensi pajak besar dari aktivitas ekonomi bawah tanah (underground economy). Anggito lantas mencontohkan: pajak dari gim daring dan judi online sebagai sektor yang potensial ditarik dalam bentuk pajak penghasilan (PPh).
Legalisasi perjudian di Indonesia memang muncul-tenggelam seiring zaman. Hal ini tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang perjudian di Indonesia yang ‘pernah’ berada di tempat yang terang alias dilegalkan. Bahkan, di era Orde Baru, pemerintah yang menjalankan permainan undian kupon dan angka buntut.
Potensi Masalah Sosial
Namun, wacana legalisasi perjudian tampaknya tak bisa ditelan mentah-mentah. Meski ada alasan hadirnya potensi gelontoran pendapatan bagi negara, hal paling utama yang perlu dipertimbangkan adalah masalah sosial masyarakat yang dibawa oleh praktik judi. Alasan moral religi tentu tak tergoyang, lebih dari itu, potensi patologi sosial yang lahir jika perjudian dilegalkan perlu ditilik seksama.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai, ide melegalkan kasino atau bentuk praktik judi lainnya akan berdampak pada rusaknya tatanan sosial dan ekonomi masyarakat. Dalam jangka pendek, negara memang dapat meraup untung apabila melegalkan perjudian. Namun, lama-kelamaan praktik ini akan menggerogoti rakyat, terutama masyarakat menengah ke bawah yang keranjingan judi, sehingga menimbulkan beban ekonomi baru.
“Negara tidak boleh membiayai diri dari kemiskinan warganya. Dalam visi keadilan sosial, pendapatan negara seharusnya datang dari optimalisasi sektor produktif, bukan dari menjual mimpi semu,”ucap Achmad kepada wartawan Tirto, Senin (19/5/2025).
Ia meneruskan, negara tetangga seperti Singapura, Kamboja, serta Malaysia, sering menjadi argumen pendukung contoh sukses legalisasi judi di kawasan Asia Tenggara. Ditambah, kini giliran Thailand yang juga merambah legalisasi kasino pada tahun ini demi mengerek jumlah wisatawan asing. Namun, kata Achmad, apa yang dilakukan negara lain tak serta-merta jadi alasan utama pengambilan kebijakan publik.
“Namun, akankah transplantasi kebijakan semacam itu cocok diterapkan di tanah air yang memiliki fondasi sosial, budaya, dan hukum yang sangat berbeda?” tanya Achmad retoris.
Menurut laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) teranyar pada 19 Mei 2025, lebih dari 71 persen pemain judi online di Indonesia merupakan masyarakat berpenghasilan di bawah Rp5 juta per bulan.
Secara usia, pemain judol terbanyak ada di rentang 20-30 tahun dengan jumlah 396 ribu orang. Disusul usia 31-40 tahun sebanyak 395 ribu orang, baru sisanya, pemain dengan rentang usia lainnya. Totalnya, dari Januari-Maret atau kuartal pertama 2025, ada sekitar 1 juta pemain judi online di Indonesia
PPATK menyatakan, deposit dana sebesar Rp6 triliun terkumpul pada kuartal pertama 2025 lewat aktivitas judi online di Indonesia. Jumlah deposit itu lebih sedikit dari periode yang sama tahun lalu, yakni sebesar Rp15 triliun.
“Artinya, uang yang dihasilkan dari perjudian legal pun pada akhirnya bersumber dari kantong rakyat kecil—dari gaji harian buruh, dari sisa belanja rumah tangga, dari pinjaman paylater yang menumpuk,” ungkap Achmad mengomentari temuan PPATK ini.
Semakin ironis, wacana legalisasi judi dibicarakan justru ketika negara berjanji bakal gencar menumpas judi online. Apabila legalisasi kasino atau bentuk judi lainnya diberlakukan, maka tak jauh beda dengan perjudian online yang kini dianggap ancaman negara.
Menurut Achmad, lokalisasi atau legalisasi judi bukan berarti judi terkendali. Banyak negara yang justru mengalami ledakan kasus kecanduan usai legalisasi atau liberalisasi perjudian dilakukan. Biaya sosialnya naik: produktivitas warga menurun, angka perceraian akan naik, utang rakyat membengkak, sampai potensi tekanan mental dan bunuh diri.
“Ketika negara menarik pajak dari judi, ia juga harus menyiapkan anggaran untuk kesehatan mental, layanan sosial, dan program rehabilitasi. Maka, bukankah negara sedang menggali sumur untuk menimba air dari laut yang asin,” tegas Achmad.
Potensi Cuan
Dari sisi keuntungan, memang penghasilan pajak dari bisnis perjudian cukup menggiurkan. Misalnya, sebagaimana dilaporkan The Economist, pajak pendapatan kasino menyumbang sekitar 2 persen dari total penerimaan pemerintah Filipina pada tahun 2023. Setengah dari jumlah tersebut digunakan untuk perawatan kesehatan.
Di Singapura, pajak atas taruhan, termasuk kasino dan bentuk perjudian lainnya, juga menyumbang 2 persen dari pendapatan pemerintah. Minimal, penghasilan resor-resor judi di Singapura dan Filipina pada 2023, bisa tembus 4 miliar dolar AS.
Sementara dalam sebuah kajian, potensi legalisasi kasino di Thailand disebut mampu menggenjot pengeluaran rata-rata para wisatawan sebesar 52 persen.Pengeluaran tambahan tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan PDB sebesar satu poin persen. Selain itu, diprediksi setiap kompleks kasino baru dapat menciptakan setidaknya 30.000 lapangan pekerjaan.
Di sisi lain, sebuah studi University of California San Diego Rady School of Management, mengungkap, legalisasi judi online (berjenis taruhan olahraga) di negara-negara bagian Amerika Serikat (AS) terpantau dapat mengerek pendapatan negara, namun meningkatkan perilaku perjudian tak bertanggung jawab, terutama pada kalangan berpenghasilan rendah.
Menapis jawaban 250.000 responden, para peneliti menemukan sebanyak 43 persen pejudi menghabiskan lebih dari 1 persen pendapatan mereka untuk bertaruh. Sebanyak 5,3 persen responden menghabiskan lebih dari 10 persen dari pendapatan mereka untuk perjudian dan 3,2 persen menghabiskan lebih dari 15 persen gaji bulanan mereka untuk berjudi.
Studi di atas, yang memotret perilaku pejudi di AS usai adanya legalisasi taruhan olahraga online pada 2018, setidaknya menggambarkan risiko serius dampak dari perjudian terhadap kondisi finansial masyarakat. Temuan itu setidaknya selaras dengan gambaran PPATK yang sudah dipaparkan sebelumnya terkait aktivitas judi online di Indonesia. Artinya, legal atau dilarang, mudarat perjudian tampak lebih serius menyengsarakan masyarakat.
Jangan Jadi Pengalihan Isu
Pengajar hukum pidana dari Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, menilai isu terkait legalisasi kasino dan perjudian yang mencuat kembali ini jangan menjadi pengalihan isu. Ia menyoroti temuan dugaan keterlibatan aktivitas pengamanan situs judi online yang diduga dilakukan oleh eks pejabat Kementerian Kominfo [saat ini Komdigi]. Terkait legalisasi judi, ia menilai tak seharusnya pemerintah Indonesia asal ikut-ikutan negara tetangga.
Ia memberikan saran, pemerintah sebaiknya berfokus menyelesaikan tugas di depan mata yang sampai saat ini belum maksimal, yakni pemberantasan judol. Libatkan PPATK dalam menelusuri aliran dana yang terpantau dalam aktivitas judi online. Seharusnya, tak sulit bagi negara memberantas judi online jika benar-benar punya niat seperti itu.
“Jadi gunakan cara-cara yang rasional dan cepat misalnya melibatkan PPATK dalam menelusuri aliran judi online itu ke mana dan tinggal ditindak tegas,” ujar Orin.
Salin Rupa Judi di Indonesia
Perjudian online memang dilarang di Indonesia lewat Pasal 27 Ayat (2) UU 1/2024 tentang perubahan kedua UU ITE (Informasi & Transaksi Elektronik). Selain itu, aktivitas judi sendiri dilarang pada Pasal 303 dan Pasal 303 bis KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).
Namun, sebetulnya undang-undang ini belum begitu tegas sebab dalam KUHP yang masuk dalam kategori ‘tindak pidana’ adalah perjudian ‘tanpa mendapat izin’. Sama halnya dalam peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 7/1974 tentang Penertiban Perjudian, yang menganggap "tindak pidana perjudian" sebagai kejahatan, bukan bentuk "perjudian" itu sendiri.
Sementara yang dimaksud tindak pidana perjudian, sebagaimana rumusan KUHP, ialah yang tanpa izin atau judi gelap.
Kegamangan ini pula yang pernah diungkap pakar hukum Erasmus Napitupulu kepada Tirto beberapa waktu silam. Menurutnya, Pasal 303 KUHP ayat 1 menyatakan bahwa perjudian dapat diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana denda paling banyak dua puluh lima juta rupiah, barangsiapa ‘tanpa mendapat izin’. Frasa di ekor kalimat itu seolah-olah menyatakan bahwa perjudian tidak dilarang total oleh negara.
Ia menilai, apabila status perjudian tidak diatur dengan jelas regulasinya oleh negara, maka justru berbahaya dan menimbulkan menjamurnya praktik ilegal.
“Prinsipnya satu, tidak mengatur itu sama bahayanya dengan melarang. Jadi makannya sekarang ada orang kena judi online ada banyak yang kena kerugian akhirnya ada yang bunuh diri segala macam, itu karena negara enggak bisa cuma melarang,” jelas Erasmus.
Meski demikian, tak berarti legalisasi judi di Indonesia akan menemui jalan mulus. Faktanya, penolakan perjudian secara sah–bahkan diadakan oleh negara–menimbulkan gelombang protes dari masyarakat. Selain bertentangan dengan ajaran agama dan nilai-nilai Pancasila, dampak sosial-ekonomi perjudian bagaikan wabah yang menjalar dari kota ke desa.
Di Indonesia, praktik judi yang dilegalkan negara lahir dalam bentuk kupon-kupon undian. Ini diperkuat dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1954 tentang Undian. Pada 1960-an permainan undian menjadi salah satu bentuk sumbangan sosial pembangunan lewat pengelolaan Yayasan Rehabilitasi Sosial yang dibentuk pemerintah. Selain undian, di desa-desa juga marak perjudian lotere buntut.
Barulah pada 1965, Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1965 yang menyatakan lotere buntut dan musik ngak-ngik-ngok sebagai kegiatan subversi.
Namun judi tak juga mati, justru semakin mekar di bawah naungan Orde Baru. Termasyhur, tentu legalisasi judi di Jakarta oleh Gubernur Ali Sadikin lewat Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Chusus Ibukota Djakarta No. 805/A/k/BKD/1967. Bang Ali, yang dicemooh sebagai ‘gubernur maksiat’, justru berhasil membangun Jakarta dari pendapatan judi.
Ali mengaku, pajak yang didapat dari judi tak kurang dari Rp20 miliar. Di akhir kepemimpinan Ali tahun 1977, APBD Jakarta sudah mencapai angka Rp122 miliar atau sekitar 1.800 kali dari sebelumnya. Kebijakan ini memang akhirnya tak diteruskan, tapi bukan karena protes masyarakat, melainkan keputusan dari pusat. Legalisasi judi di Jakarta tamat pada 1974 berkat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian.
Namun, pemerintah pusat Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto, justru membungkus perjudian menjadi program negara. Di bawah naungan Soeharto, judi buntut, hwa-hwe, dan semacamnya hanya kembali bersalin rupa menjadi kupon undian.
Yayasan Rehabilitasi Sosial pada 1978, berubah nama jadi Badan Usaha Undian Harapan dan mengeluarkan Lotere Dana Harapan. Di bawah aturan Kementerian Sosial Nomor B.A. 5-4-76/169, uang yang diperoleh dipakai untuk membereskan masalah sosial.
Tahun 1979, pemerintah mengeluarkan Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah (TSSB) yang dinakhodai Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS). Dasar hukumnya adalah UU nomor 2/1954 tentang Undian dan diperkuat dengan PP 9/1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian.
Kupon “sumbangan” dijual seharga Rp200. Pembelinya akan memilih nomor undian. Jika nomor yang dipilih tepat, “pemberi sumbangan” akan mendapat uang yang jauh lebih besar. Ada kemungkinan bisa menjadi puluhan juta
Selain TSSB, pemerintah turut mengeluarkan Kupon Berhadiah Porkas Sepakbola (KPBS) pada Desember 1985 lewat Surat Keputusan Menteri Sosial No. BSS-10-12/85. Seperti TSSB, pemerintah menegaskan tujuan penghimpunan dana adalah menunjang pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga. Mengelak disebut judi. Padahal, KPBS adalah judi karena yang ditebak adalah hasil pertandingan olahraga, utamanya 14 tim sepak bola Indonesia.
Selain itu, Porkas (Pekan Olahraga dan Ketangkasan) juga terealisasi setelah pemerintah melakukan studi banding ke Inggris yang punya program sama. Seperti yang sudah-sudah, Porkas dikritik. Tahun 1987, Porkas berganti nama menjadi Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah (KSOB) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Sosial Nomor 29/BSS 1987.
KSOB juga tak bertahan lama. Pada 1 Januari 1989 KSOB dan TSSB disetop dan diganti dengan Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB). Tapi akhirnya, SDSB diakhiri juga pada 1993. Itu diputuskan setelah ada aksi penolakan besar-besaran dari masyarakat, terutama mahasiswa.
Meski diusahakan terus dengan berganti nama, izin soal kupon berhadiah tak lagi pernah berhasil diloloskan. Pasalnya, keuntungan yang didapat negara dianggap tak sebanding dengan kerugian masyarakat. Tapi judi tak pernah hilang. Judi dilakukan diam-diam sampai sekarang.
Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai diskursus soal legalisasi kasino atau perjudian sejatinya hanya akan menguntungkan bandar judi atau para cukong. Masyarakat berpenghasilan pas-pasan akan mencoba peruntungan dengan bermain kasino sehingga uang terus mengalir ke bandar judi.
Ekonomi negara, kata Huda, akan jauh dirugikan ketimbang dari pendapatan negara atas judi dan kasino. Selain itu, legalisasi kasino juga bisa menjadi pintu masuk legalisasi judi online. Justru akan tambah berbahaya ketika judi online akan meminta status legalitas yang sama.
“Jika masih terdapat–dan banyak–pemasukan selain judi dan kasino, tentu harus optimalkan terlebih dahulu. Seperti contohnya dari SDA non-migas yang masih cukup banyak sumber PNBP yang tidak terserap dengan optimal,”kata Huda kepada wartawan Tirto, Senin (19/5/2025).
Sementara itu, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono, menilai tidak ada pemain judi yang menjadi kaya karena kebiasaannya itu. Pasalnya, bandar judi akan mengatur sedemikian rupa sehingga pemainnya akan menang di tahap awal. Hal demikian menjadi daya tarik pemain untuk meningkatkan nilai taruhannya.
Di tahap selanjutnya, para pemain akan terjebak pada rasa penasaran karena cenderung selalu kalah, setelah sebelumnya menang di tahap awal. Sebagai akibatnya, para pemain akan berusaha untuk mengembalikan hasil investasi judinya dengan bermain terus meski akan cenderung kalah.
“Berdasarkan penalaran logis di atas, warga yang terjebak judi (semisal legal) akan jauh lebih merugikan ekonomi negara karena aktivitas mereka tidak produktif lagi,” ucap dia kepada wartawan Tirto, Senin (19/5/2025).
Untuk menambah sumber pemasukan negara, kata Prianto, pemerintah telah membuat regulasi baru terkait perluasan objek PPh Pasal 21 berupa imbalan natura/kenikmatan. Selain itu, lapisan tarif progresifnya juga ditambah menjadi 35 persen untuk lapisan tertinggi.
Pemerintah masih bisa mengandalkan kebijakan PPh 21 ini ketimbang mencari sumber dari aktivitas perjudian. Hanya orang-orang malas dan tidak kreatif yang memilih judi sebagai jalan keluar persoalan.
https://tirto.id/ide-legalisasi-kasi...ah-sosial-hbXn
Adalah anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Galih Kartasasmita, yang meminta pemerintah berpikir out of the box dalam menggenjot penerimaaan negara bukan pajak. Misalnya, dengan cara melegalkan kasino, membebek Uni Emirat Arab yang meraup sumber penerimaan negara dari luar sektor minyak dan gas bumi. Hal ini disampaikan Galih saat rapat bersama Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan di DPR, Jakarta, Kamis (8/5/2025).
Belakangan, Galih meluruskan ucapannya bahwa ia tak bermaksud mendorong pemerintah untuk melegalkan kasino. Politisi Partai Golkar itu berdalih hanya mencontohkan saja bentuk kreatif untuk mencari sumber PNBP baru.
Apapun alasannya, wacana legalisasi atau lokalisasi perjudian atau lewat bungkus ‘menarik pajak’ dari aktivitas bertaruh, sudah beberapa kali terlontar di DPR. Pada 2023 misalnya, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) saat itu, Budi Arie Setiadi, menyatakan ada usulan kepadanya untuk menarik pajak dari aktivitas judi online (judol). Ini ia sampaikan saat rapat bersama Komisi I DPR RI, di Jakarta, Senin (4/9/2023) silam.
Tahun lalu, giliran Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu), Anggito Abimanyu, yang memiliki wacana mirip-mirip. Ia menyebut terdapat potensi pajak besar dari aktivitas ekonomi bawah tanah (underground economy). Anggito lantas mencontohkan: pajak dari gim daring dan judi online sebagai sektor yang potensial ditarik dalam bentuk pajak penghasilan (PPh).
Legalisasi perjudian di Indonesia memang muncul-tenggelam seiring zaman. Hal ini tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang perjudian di Indonesia yang ‘pernah’ berada di tempat yang terang alias dilegalkan. Bahkan, di era Orde Baru, pemerintah yang menjalankan permainan undian kupon dan angka buntut.
Potensi Masalah Sosial
Namun, wacana legalisasi perjudian tampaknya tak bisa ditelan mentah-mentah. Meski ada alasan hadirnya potensi gelontoran pendapatan bagi negara, hal paling utama yang perlu dipertimbangkan adalah masalah sosial masyarakat yang dibawa oleh praktik judi. Alasan moral religi tentu tak tergoyang, lebih dari itu, potensi patologi sosial yang lahir jika perjudian dilegalkan perlu ditilik seksama.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai, ide melegalkan kasino atau bentuk praktik judi lainnya akan berdampak pada rusaknya tatanan sosial dan ekonomi masyarakat. Dalam jangka pendek, negara memang dapat meraup untung apabila melegalkan perjudian. Namun, lama-kelamaan praktik ini akan menggerogoti rakyat, terutama masyarakat menengah ke bawah yang keranjingan judi, sehingga menimbulkan beban ekonomi baru.
“Negara tidak boleh membiayai diri dari kemiskinan warganya. Dalam visi keadilan sosial, pendapatan negara seharusnya datang dari optimalisasi sektor produktif, bukan dari menjual mimpi semu,”ucap Achmad kepada wartawan Tirto, Senin (19/5/2025).
Ia meneruskan, negara tetangga seperti Singapura, Kamboja, serta Malaysia, sering menjadi argumen pendukung contoh sukses legalisasi judi di kawasan Asia Tenggara. Ditambah, kini giliran Thailand yang juga merambah legalisasi kasino pada tahun ini demi mengerek jumlah wisatawan asing. Namun, kata Achmad, apa yang dilakukan negara lain tak serta-merta jadi alasan utama pengambilan kebijakan publik.
“Namun, akankah transplantasi kebijakan semacam itu cocok diterapkan di tanah air yang memiliki fondasi sosial, budaya, dan hukum yang sangat berbeda?” tanya Achmad retoris.
Menurut laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) teranyar pada 19 Mei 2025, lebih dari 71 persen pemain judi online di Indonesia merupakan masyarakat berpenghasilan di bawah Rp5 juta per bulan.
Secara usia, pemain judol terbanyak ada di rentang 20-30 tahun dengan jumlah 396 ribu orang. Disusul usia 31-40 tahun sebanyak 395 ribu orang, baru sisanya, pemain dengan rentang usia lainnya. Totalnya, dari Januari-Maret atau kuartal pertama 2025, ada sekitar 1 juta pemain judi online di Indonesia
PPATK menyatakan, deposit dana sebesar Rp6 triliun terkumpul pada kuartal pertama 2025 lewat aktivitas judi online di Indonesia. Jumlah deposit itu lebih sedikit dari periode yang sama tahun lalu, yakni sebesar Rp15 triliun.
“Artinya, uang yang dihasilkan dari perjudian legal pun pada akhirnya bersumber dari kantong rakyat kecil—dari gaji harian buruh, dari sisa belanja rumah tangga, dari pinjaman paylater yang menumpuk,” ungkap Achmad mengomentari temuan PPATK ini.
Semakin ironis, wacana legalisasi judi dibicarakan justru ketika negara berjanji bakal gencar menumpas judi online. Apabila legalisasi kasino atau bentuk judi lainnya diberlakukan, maka tak jauh beda dengan perjudian online yang kini dianggap ancaman negara.
Menurut Achmad, lokalisasi atau legalisasi judi bukan berarti judi terkendali. Banyak negara yang justru mengalami ledakan kasus kecanduan usai legalisasi atau liberalisasi perjudian dilakukan. Biaya sosialnya naik: produktivitas warga menurun, angka perceraian akan naik, utang rakyat membengkak, sampai potensi tekanan mental dan bunuh diri.
Menkomdigi Meutya Hafid (kiri) berdialog dengan pengemudi ojek daring saat diskusi pada acara Kampanye Judi Pasti Rugi di Kantor Gojek, Kemang, Jakarta, Senin (10/3/2025). Kementerian Komdigi bersama GoTo menggelar acara kampanye Judi Pasti Rugi untuk mengajak para pengemudi GoJek untuk menyosialisasikan bahaya judi daring kepada masyarakat. ANTARA FOTO/Fauzan/tom.
“Ketika negara menarik pajak dari judi, ia juga harus menyiapkan anggaran untuk kesehatan mental, layanan sosial, dan program rehabilitasi. Maka, bukankah negara sedang menggali sumur untuk menimba air dari laut yang asin,” tegas Achmad.
Potensi Cuan
Dari sisi keuntungan, memang penghasilan pajak dari bisnis perjudian cukup menggiurkan. Misalnya, sebagaimana dilaporkan The Economist, pajak pendapatan kasino menyumbang sekitar 2 persen dari total penerimaan pemerintah Filipina pada tahun 2023. Setengah dari jumlah tersebut digunakan untuk perawatan kesehatan.
Di Singapura, pajak atas taruhan, termasuk kasino dan bentuk perjudian lainnya, juga menyumbang 2 persen dari pendapatan pemerintah. Minimal, penghasilan resor-resor judi di Singapura dan Filipina pada 2023, bisa tembus 4 miliar dolar AS.
Sementara dalam sebuah kajian, potensi legalisasi kasino di Thailand disebut mampu menggenjot pengeluaran rata-rata para wisatawan sebesar 52 persen.Pengeluaran tambahan tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan PDB sebesar satu poin persen. Selain itu, diprediksi setiap kompleks kasino baru dapat menciptakan setidaknya 30.000 lapangan pekerjaan.
Di sisi lain, sebuah studi University of California San Diego Rady School of Management, mengungkap, legalisasi judi online (berjenis taruhan olahraga) di negara-negara bagian Amerika Serikat (AS) terpantau dapat mengerek pendapatan negara, namun meningkatkan perilaku perjudian tak bertanggung jawab, terutama pada kalangan berpenghasilan rendah.
Menapis jawaban 250.000 responden, para peneliti menemukan sebanyak 43 persen pejudi menghabiskan lebih dari 1 persen pendapatan mereka untuk bertaruh. Sebanyak 5,3 persen responden menghabiskan lebih dari 10 persen dari pendapatan mereka untuk perjudian dan 3,2 persen menghabiskan lebih dari 15 persen gaji bulanan mereka untuk berjudi.
Studi di atas, yang memotret perilaku pejudi di AS usai adanya legalisasi taruhan olahraga online pada 2018, setidaknya menggambarkan risiko serius dampak dari perjudian terhadap kondisi finansial masyarakat. Temuan itu setidaknya selaras dengan gambaran PPATK yang sudah dipaparkan sebelumnya terkait aktivitas judi online di Indonesia. Artinya, legal atau dilarang, mudarat perjudian tampak lebih serius menyengsarakan masyarakat.
Jangan Jadi Pengalihan Isu
Pengajar hukum pidana dari Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, menilai isu terkait legalisasi kasino dan perjudian yang mencuat kembali ini jangan menjadi pengalihan isu. Ia menyoroti temuan dugaan keterlibatan aktivitas pengamanan situs judi online yang diduga dilakukan oleh eks pejabat Kementerian Kominfo [saat ini Komdigi]. Terkait legalisasi judi, ia menilai tak seharusnya pemerintah Indonesia asal ikut-ikutan negara tetangga.
“Jadi harus ada kajian kebijakan dulu secara budaya, sosial, termasuk perangkat hukum. Jadi larangan judi itu tersebar di banyak aturan hukum di KUHP, di KUHP Baru, dan di UU ITE, jadi perangkat hukum kita tidak memungkinkan,” kata Orin kepada wartawan Tirto, Senin (19/5).
Ia memberikan saran, pemerintah sebaiknya berfokus menyelesaikan tugas di depan mata yang sampai saat ini belum maksimal, yakni pemberantasan judol. Libatkan PPATK dalam menelusuri aliran dana yang terpantau dalam aktivitas judi online. Seharusnya, tak sulit bagi negara memberantas judi online jika benar-benar punya niat seperti itu.
“Jadi gunakan cara-cara yang rasional dan cepat misalnya melibatkan PPATK dalam menelusuri aliran judi online itu ke mana dan tinggal ditindak tegas,” ujar Orin.
Salin Rupa Judi di Indonesia
Perjudian online memang dilarang di Indonesia lewat Pasal 27 Ayat (2) UU 1/2024 tentang perubahan kedua UU ITE (Informasi & Transaksi Elektronik). Selain itu, aktivitas judi sendiri dilarang pada Pasal 303 dan Pasal 303 bis KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).
Namun, sebetulnya undang-undang ini belum begitu tegas sebab dalam KUHP yang masuk dalam kategori ‘tindak pidana’ adalah perjudian ‘tanpa mendapat izin’. Sama halnya dalam peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 7/1974 tentang Penertiban Perjudian, yang menganggap "tindak pidana perjudian" sebagai kejahatan, bukan bentuk "perjudian" itu sendiri.
Sementara yang dimaksud tindak pidana perjudian, sebagaimana rumusan KUHP, ialah yang tanpa izin atau judi gelap.
Kegamangan ini pula yang pernah diungkap pakar hukum Erasmus Napitupulu kepada Tirto beberapa waktu silam. Menurutnya, Pasal 303 KUHP ayat 1 menyatakan bahwa perjudian dapat diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana denda paling banyak dua puluh lima juta rupiah, barangsiapa ‘tanpa mendapat izin’. Frasa di ekor kalimat itu seolah-olah menyatakan bahwa perjudian tidak dilarang total oleh negara.
Ia menilai, apabila status perjudian tidak diatur dengan jelas regulasinya oleh negara, maka justru berbahaya dan menimbulkan menjamurnya praktik ilegal.
“Prinsipnya satu, tidak mengatur itu sama bahayanya dengan melarang. Jadi makannya sekarang ada orang kena judi online ada banyak yang kena kerugian akhirnya ada yang bunuh diri segala macam, itu karena negara enggak bisa cuma melarang,” jelas Erasmus.
Meski demikian, tak berarti legalisasi judi di Indonesia akan menemui jalan mulus. Faktanya, penolakan perjudian secara sah–bahkan diadakan oleh negara–menimbulkan gelombang protes dari masyarakat. Selain bertentangan dengan ajaran agama dan nilai-nilai Pancasila, dampak sosial-ekonomi perjudian bagaikan wabah yang menjalar dari kota ke desa.
Di Indonesia, praktik judi yang dilegalkan negara lahir dalam bentuk kupon-kupon undian. Ini diperkuat dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1954 tentang Undian. Pada 1960-an permainan undian menjadi salah satu bentuk sumbangan sosial pembangunan lewat pengelolaan Yayasan Rehabilitasi Sosial yang dibentuk pemerintah. Selain undian, di desa-desa juga marak perjudian lotere buntut.
Barulah pada 1965, Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1965 yang menyatakan lotere buntut dan musik ngak-ngik-ngok sebagai kegiatan subversi.
Namun judi tak juga mati, justru semakin mekar di bawah naungan Orde Baru. Termasyhur, tentu legalisasi judi di Jakarta oleh Gubernur Ali Sadikin lewat Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Chusus Ibukota Djakarta No. 805/A/k/BKD/1967. Bang Ali, yang dicemooh sebagai ‘gubernur maksiat’, justru berhasil membangun Jakarta dari pendapatan judi.
Ali mengaku, pajak yang didapat dari judi tak kurang dari Rp20 miliar. Di akhir kepemimpinan Ali tahun 1977, APBD Jakarta sudah mencapai angka Rp122 miliar atau sekitar 1.800 kali dari sebelumnya. Kebijakan ini memang akhirnya tak diteruskan, tapi bukan karena protes masyarakat, melainkan keputusan dari pusat. Legalisasi judi di Jakarta tamat pada 1974 berkat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian.
Namun, pemerintah pusat Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto, justru membungkus perjudian menjadi program negara. Di bawah naungan Soeharto, judi buntut, hwa-hwe, dan semacamnya hanya kembali bersalin rupa menjadi kupon undian.
Yayasan Rehabilitasi Sosial pada 1978, berubah nama jadi Badan Usaha Undian Harapan dan mengeluarkan Lotere Dana Harapan. Di bawah aturan Kementerian Sosial Nomor B.A. 5-4-76/169, uang yang diperoleh dipakai untuk membereskan masalah sosial.
Tahun 1979, pemerintah mengeluarkan Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah (TSSB) yang dinakhodai Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS). Dasar hukumnya adalah UU nomor 2/1954 tentang Undian dan diperkuat dengan PP 9/1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian.
Kupon “sumbangan” dijual seharga Rp200. Pembelinya akan memilih nomor undian. Jika nomor yang dipilih tepat, “pemberi sumbangan” akan mendapat uang yang jauh lebih besar. Ada kemungkinan bisa menjadi puluhan juta
Selain TSSB, pemerintah turut mengeluarkan Kupon Berhadiah Porkas Sepakbola (KPBS) pada Desember 1985 lewat Surat Keputusan Menteri Sosial No. BSS-10-12/85. Seperti TSSB, pemerintah menegaskan tujuan penghimpunan dana adalah menunjang pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga. Mengelak disebut judi. Padahal, KPBS adalah judi karena yang ditebak adalah hasil pertandingan olahraga, utamanya 14 tim sepak bola Indonesia.
Selain itu, Porkas (Pekan Olahraga dan Ketangkasan) juga terealisasi setelah pemerintah melakukan studi banding ke Inggris yang punya program sama. Seperti yang sudah-sudah, Porkas dikritik. Tahun 1987, Porkas berganti nama menjadi Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah (KSOB) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Sosial Nomor 29/BSS 1987.
KSOB juga tak bertahan lama. Pada 1 Januari 1989 KSOB dan TSSB disetop dan diganti dengan Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB). Tapi akhirnya, SDSB diakhiri juga pada 1993. Itu diputuskan setelah ada aksi penolakan besar-besaran dari masyarakat, terutama mahasiswa.
Meski diusahakan terus dengan berganti nama, izin soal kupon berhadiah tak lagi pernah berhasil diloloskan. Pasalnya, keuntungan yang didapat negara dianggap tak sebanding dengan kerugian masyarakat. Tapi judi tak pernah hilang. Judi dilakukan diam-diam sampai sekarang.
Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai diskursus soal legalisasi kasino atau perjudian sejatinya hanya akan menguntungkan bandar judi atau para cukong. Masyarakat berpenghasilan pas-pasan akan mencoba peruntungan dengan bermain kasino sehingga uang terus mengalir ke bandar judi.
Ekonomi negara, kata Huda, akan jauh dirugikan ketimbang dari pendapatan negara atas judi dan kasino. Selain itu, legalisasi kasino juga bisa menjadi pintu masuk legalisasi judi online. Justru akan tambah berbahaya ketika judi online akan meminta status legalitas yang sama.
“Jika masih terdapat–dan banyak–pemasukan selain judi dan kasino, tentu harus optimalkan terlebih dahulu. Seperti contohnya dari SDA non-migas yang masih cukup banyak sumber PNBP yang tidak terserap dengan optimal,”kata Huda kepada wartawan Tirto, Senin (19/5/2025).
Sementara itu, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono, menilai tidak ada pemain judi yang menjadi kaya karena kebiasaannya itu. Pasalnya, bandar judi akan mengatur sedemikian rupa sehingga pemainnya akan menang di tahap awal. Hal demikian menjadi daya tarik pemain untuk meningkatkan nilai taruhannya.
Di tahap selanjutnya, para pemain akan terjebak pada rasa penasaran karena cenderung selalu kalah, setelah sebelumnya menang di tahap awal. Sebagai akibatnya, para pemain akan berusaha untuk mengembalikan hasil investasi judinya dengan bermain terus meski akan cenderung kalah.
“Berdasarkan penalaran logis di atas, warga yang terjebak judi (semisal legal) akan jauh lebih merugikan ekonomi negara karena aktivitas mereka tidak produktif lagi,” ucap dia kepada wartawan Tirto, Senin (19/5/2025).
Untuk menambah sumber pemasukan negara, kata Prianto, pemerintah telah membuat regulasi baru terkait perluasan objek PPh Pasal 21 berupa imbalan natura/kenikmatan. Selain itu, lapisan tarif progresifnya juga ditambah menjadi 35 persen untuk lapisan tertinggi.
Pemerintah masih bisa mengandalkan kebijakan PPh 21 ini ketimbang mencari sumber dari aktivitas perjudian. Hanya orang-orang malas dan tidak kreatif yang memilih judi sebagai jalan keluar persoalan.
https://tirto.id/ide-legalisasi-kasi...ah-sosial-hbXn
Duitnya bagus kakak
Para ahli yang komen cuma bisa kasih masukan formalitas.
Ane masih ama statemen ane, kalo dilegalkan, negara bisa duel melawan yang ilegal dengan cara menarik garis lurus mana hitam mana putih. Cuma repotnya, sapa yg bisa kenceng banget yak ngatur mana boleh mana kagak, nanti?







Jordan2010 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
374
Kutip
44
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan