Kaskus

Entertainment

yantosauAvatar border
TS
yantosau
HUJAN DI TENGAH HARI
HUJAN DI TENGAH HARI

Langit siang itu mendung seperti menahan beban yang terlalu lama dipikul. Angin berhembus pelan namun membawa hawa dingin yang menyusup sampai ke tulang. Di sebuah kota kecil di pinggir pesisir, hiduplah seorang pemuda bernama Arga. Ia bekerja di sebuah toko kelontong milik pamannya, sejak ia lulus sekolah dua tahun lalu.

Arga tidak pernah benar-benar merasa cocok tinggal di kota kecil ini. Setiap malam, ia bermimpi tentang dunia di luar sana — kota besar dengan lampu-lampu terang, gedung menjulang, dan orang-orang sibuk dengan tujuan masing-masing. Tapi hidup bukan soal mimpi, begitu kata orang-orang tua di kampungnya. Hidup adalah soal bertahan.

Hari itu, seperti biasa, Arga membuka toko pukul tujuh pagi. Ia menyusun rak, membersihkan lantai, dan mencatat barang-barang yang habis. Pukul dua belas siang, kota yang tadinya terik mulai gelap. Orang-orang mulai menutup jendela, menurunkan jemuran, dan berlarian mencari tempat berteduh.

Hujan turun tiba-tiba. Deras. Seperti tumpahan air dari langit. Atap seng toko kelontong itu berbunyi nyaring, menandai hujan yang tidak biasa. Arga berdiri di depan toko, memandangi jalanan yang mulai kosong.

Lalu, seseorang muncul di seberang jalan. Seorang perempuan dengan jaket abu-abu dan ransel hitam. Ia tampak kebingungan, seperti tak tahu harus ke mana. Arga memperhatikannya sebentar, lalu tanpa sadar melangkah ke luar dan memanggil, “Mbak, mau berteduh di sini dulu?”

Perempuan itu menoleh. Ragu-ragu. Tapi akhirnya ia berlari kecil melintasi jalan yang tergenang, lalu berdiri di depan toko Arga sambil tersenyum canggung.

“Terima kasih, Mas. Saya nggak bawa payung.”

“Gak apa-apa. Hujannya deras banget, ya.”

“Iya, padahal tadi panas banget.”

Perempuan itu memperkenalkan dirinya sebagai Lira. Ia baru datang dari kota dan sedang mencari alamat kos-kosan yang tidak ia temukan karena sinyal HP-nya hilang sejak hujan turun. Arga menawarkan teh hangat dari termos kecil yang selalu ia bawa.

Mereka duduk berdua di kursi plastik, di antara rak-rak berisi mi instan dan minyak goreng. Hujan terus turun, tapi waktu berjalan pelan. Lira bercerita sedikit tentang dirinya. Ia akan mulai bekerja sebagai guru honorer di SD dekat terminal. Arga hanya tersenyum, mendengarkan dengan sungguh-sungguh.

“Mas Arga nggak pernah kepikiran pergi dari sini?” tanya Lira tiba-tiba.

Arga mengangkat bahu. “Pernah. Tapi belum berani.”

“Takut?”

“Lebih ke... gak punya alasan buat pergi.”

Lira tertawa kecil. “Mungkin sekarang udah ada alasannya.”

Arga menoleh. Mereka bertatapan beberapa detik sebelum akhirnya keduanya tertawa, kikuk namun hangat. Hujan akhirnya reda, menyisakan aroma tanah basah yang memenuhi udara. Lira berpamitan melanjutkan pencarian kos-kosannya. Sebelum pergi, ia berkata, “Kalau saya udah settle, saya balik ke sini, ya. Mau beli teh hangatnya lagi.”

Arga mengangguk, masih dengan senyum yang tertahan. Untuk pertama kalinya, ia merasa siang yang mendung tidak selalu kelabu. Kadang, hujan bisa membawa sesuatu yang tidak kita sangka—seperti pertemuan, atau mungkin, sebuah awal yang baru.

---
intanasaraAvatar border
intanasara memberi reputasi
1
71
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan