Kaskus

Entertainment

nzbAvatar border
TS
nzb
Asal Bacot di Kolom Komentar : Netizen +62 Emang Gak Ada Akhlak?
Oleh : Naufal Muhazzib

Asal Bacot di Kolom Komentar : Netizen +62 Emang Gak Ada Akhlak?

Hai gan-sis, balik lagi di thread yang (semoga) bikin lo mikir. Kali ini kita bahas fenomena yang makin hari makin brutal: komentar-komentar jahat, nyeleneh, bahkan melecehkan di media sosial. Lo pernah lihat atau ngalamin sendiri? Ya, kita semua pasti pernah. Tapi kenapa bisa separah ini ya?

[1] Kolom Komentar: Tempat Sampah Emosional Netizen?

Dulu, kolom komentar itu fungsinya buat diskusi. Ngasih masukan, kasih semangat, atau sekadar ngobrol santai. Tapi makin ke sini, kolom komentar berubah jadi kayak tong sampah digital. Semua orang bebas buang unek-unek, meskipun isinya toksik banget.

Liat aja, seleb entah apapun profesi dia upload foto biasa aja dan bahkan memakai busana biasa aja, bisa bisanya yang muncul malah komentar kayak:

“Fix abis ngelakuin sesuatu semalam.”

“Body-nya enak banget, cocok dijadiin istri simpanan.”

“Ih jijik, dasar plastik.”

Gila gak tuh? Bener-bener tanpa filter, tanpa rasa malu, dan tanpa empati. Parahnya lagi, yang komen kadang pake akun asli. Berarti mereka beneran ngerasa gak ada yang salah sama ucapan begituan.


[2] "Cuma Bercanda" = Racun Normalisasi Pelecehan

Salah satu kalimat sakti yang sering dipake buat ngebela diri adalah: "Lah, kan cuma bercanda."

Pertanyaannya, sejak kapan bercanda itu valid kalau bikin orang lain ngerasa gak nyaman?

Sering banget candaan-candaan seksual dibungkus humor receh, terus ketika dikritik, yang muncul malah serangan balik: “baperan banget sih,” atau “santai aja napa.”

Masalahnya bukan “gak bisa terima becandaan,” tapi lo becanda dengan cara yang nyakitin. Sama aja kayak nimpuk batu sambil senyum. Mau itu niatnya main-main atau gak, tetap aja bikin benjol.


[3] Bentuk-Bentuk Komentar yang Termasuk Pelecehan

Biar gak bingung, yuk kita bedah beberapa contoh nyata yang tergolong sebagai online harassment:

Sexual comments: komentar berbau seksual terhadap fisik seseorang, terutama perempuan. Contoh: “pinggang lo bikin nafsu.”

Body shaming: ngeledek bentuk tubuh. “Gendut banget lo, ogah deh!”

Objectification: memperlakukan orang seakan mereka cuma objek. “Boleh dong dipinjem semalem.”

Victim blaming: menyalahkan korban. “Pake baju gitu pantas aja digituin.”

Komentar ‘puitis’ cabul: nyamar jadi puisi tapi isinya cabul. “Mata lo kayak bulan sabit, bikin pingin buka baju.”

Ini semua termasuk bentuk pelecehan verbal. Dan lo gak harus jadi psikolog buat ngerti bahwa komentar kayak gitu bisa ngelukai mental seseorang.

[4] Efeknya Nyata, Luka Mental Gak Kelihatan

Banyak yang ngerasa karena ini “dunia maya,” jadi efeknya gak nyata. Padahal sebaliknya. Menurut Komnas Perempuan dan berbagai studi psikologi, komentar jahat itu bisa memicu:

1. Gangguan kecemasan

2. Rasa malu yang mendalam

3. Trauma sosial

4. Gangguan makan (terutama akibat body shaming)

5. Depresi bahkan pikiran untuk bunuh diri

Dan gak sedikit loh yang akhirnya breakdown dan vakum dari media sosial karena gak kuat ngadepin serangan netizen. Yang komen mungkin lupa setelah 5 menit, tapi yang dikomen bisa inget seumur hidup.


[5] Budaya Cancel dan Persekusi Massal

Lagi-lagi, netizen +62 terkenal dengan budaya “main rame-rame.” Begitu satu orang salah, langsung diserbu tanpa ampun. Tapi lucunya, ketika mereka sendiri toxic, malah pura-pura suci.

Ada banyak kasus di mana seorang influencer atau publik figur dihujat habis-habisan karena satu kesalahan kecil. Tapi di saat yang sama, komentar netizen terhadap orang itu malah lebih kejam dan gak manusiawi.

Bedain ya, kritik itu bisa membangun. Tapi hujatan itu destruktif.


[6] Faktor Penyebab Kenapa Netizen Gampang Bacot

Yuk kita bongkar beberapa alasan kenapa orang-orang bisa semudah itu ngetik komentar kejam:

Anonimitas: orang ngerasa bebas karena gak keliatan mukanya.

Kurangnya empati digital: kita lupa bahwa di balik akun itu ada manusia juga.

Rasa superior sementara: ngatain orang bisa bikin lo ngerasa lebih “hebat” walau cuma sesaat.

Normalisasi: karena banyak yang ngelakuin, kita pikir itu hal biasa.

Kurangnya edukasi etika digital: gak semua orang ngerti batasan di dunia maya.

[7] Kasus-Kasus Viral yang Jadi Bukti Nyata

Inget kasus Gita Savitri yang dihujat habis-habisan cuma karena opini pribadi? Atau artis-artis yang digosipin terus dikomentari secara seksual di tiap postingan?

Contoh paling nyata adalah para TikTokers perempuan yang gak ngapa-ngapain atau sedang buat konten daily vlog dll—tapi kolom komentarnya dipenuhi konten cabul.

Salah satu konten kreator pernah bilang, dia sampai harus matikan kolom komentar karena tiap hari dapet komen mesum. Dan ini bukan cuma satu dua orang, tapi RIBUAN komentar yang isinya hampir sama.

Ini pernah terjadi juga di Akun YouTube Channel hiburan anak-anak yaitu Kinderflix. Karena yang jadi talent nya seorang perempuan, dan isi komentarnya parah-parah banget ! Sampai mereka (pihak Kinderflix), vacum sementara dan merek akhirnya mematikan komentarnya.


[8] Dunia Nyata Kena Imbasnya

Yang bikin miris, pola pikir ini kebawa ke dunia nyata. Banyak laki-laki ngerasa jadi punya “hak” ngomentarin tubuh perempuan, atau bercanda cabul karena kebiasaan dari dunia online.

Dan ini bisa mengarah ke tindakan pelecehan langsung di kehidupan sehari-hari. Jadi, jangan salah: komentar jahat di internet bisa jadi pintu masuk ke pelecehan nyata.


[9] Apa Pemerintah dan Platform Udah Bertindak?

Udah, tapi belum cukup.

Platform kayak Instagram, TikTok, dan X udah punya fitur moderasi. Bisa hide comment, block, dan filter kata-kata tertentu. Tapi itu semua masih bergantung sama pengguna.

Kominfo juga punya program literasi digital. Tapi sayangnya, belum menjangkau semua kalangan. Terutama orang dewasa yang gak tumbuh dengan etika digital sejak kecil.


[10] Terus Kita Harus Gimana?

Lo gak harus jadi pahlawan yang nyelamatin semua orang. Tapi lo bisa banget jadi bagian dari solusi.

Pikir dulu sebelum komen: ini beneran perlu diketik gak?

Jangan like komentar jahat, karena itu sama aja mendukung.

Report akun-akun yang kelewat batas.

Kalo lo konten kreator, aktifin filter komentar.

Edukasi temen dan keluarga, terutama yang suka “bercanda gak lucu.”

Dan yang paling penting: jangan jadi bagian dari kerumunan jahat itu. Di balik layar, lo tetap manusia. Dan yang lo hadapin juga manusia.


[Penutup: Lo Gak Harus Jadi Toxic Biar Eksis]

Gue ngerti, kadang jadi “rame” di kolom komentar itu menggoda. Lo pengen dilihat, pengen lucu, pengen validasi. Tapi ingat: perhatian yang lo dapet dari jadi jahat itu cuma sebentar. Yang abadi adalah reputasi lo.

Lo gak harus ngatain orang buat keliatan keren. Lo gak perlu ngehina buat dapet likes. Justru sekarang, orang yang bisa jaga sikap dan elegan di dunia digital itu jauh lebih dihargai.

Karena apa? Karena yang punya akhlak itu makin langka.



Referensi & Sumber Data:

1. Komnas Perempuan (2023). Catatan Tahunan: Kekerasan Berbasis Gender di Ranah Digital

2. Tirto.id. (2022). Pelecehan Seksual di Media Sosial dan Budaya Patriarki Netizen

3. CNN Indonesia. (2023). Psikolog: Komentar Jahat di Medsos Bisa Picu Gangguan Mental

4. Tempo.co. (2023). Fenomena Cyberbullying dan Minimnya Literasi Digital di Indonesia

5. Kementerian Kominfo RI. (2022). Panduan Etika Digital untuk Warga Internet Indonesia

6. Data We Are Social (2024). Digital 2024: Indonesia Overview

7. Wawancara Kompas.com dengan influencer Tanah Air soal pelecehan komentar publik (2023)


Sudah saatnya medsos bukan cuma tempat nyampah, tapi tempat tumbuh.

Kalau lo setuju, bantu share thread ini, gan-sis. Biar makin banyak yang sadar bahwa komentar kita, sekecil apapun, bisa berdampak besar.

QivfukAvatar border
PathelaAvatar border
Pathela dan Qivfuk memberi reputasi
2
281
14
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan