- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
5 Ancaman Penjara untuk 5 Orang yang Dilaporkan Jokowi


TS
mbappe007
5 Ancaman Penjara untuk 5 Orang yang Dilaporkan Jokowi
5 Ancaman Penjara untuk 5 Orang yang Dilaporkan Jokowi, Eks Menpora Bisa Dikurung selama 12 Tahun
TRIBUNNEWS.COM - Lima pasal berlapis dijeratkan dalam pelaporan Presiden RI ke-7 Joko Widodo atau Jokowi untuk melaporkan lima orang dalam kasus tudingan ijazah palsu yaitu RS, RS, T, ES dan K
Kelima pasal tersebut adalah Pasal 27A, 32, dan 35 UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Pasal 310 dan 311 KUHP
Dari seluruh pasal yang diusung tersebut, satu di antaranya bisa menjerat terlapor dengan pidana maksimal 12 tahun penjara.
Berikut uraian jerat hukum penjara berdasarkan pasal-pasal yang dibawa Jokowi untuk melaporkan lima terlapor dirangkum dari berbagai sumber pada KUHP dan UU ITE terbaru, yaitu UU Nomor 1 Tahun 2024 (perubahan kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008).
1. Pasal 27A UU ITE (UU No. 1 Tahun 2024):
Pasal ini mengatur tentang penyerangan kehormatan atau nama baik seseorang dengan cara menuduhkan sesuatu secara sengaja melalui informasi elektronik, dengan maksud agar hal tersebut diketahui umum. Hukuman maksimal adalah pidana penjara 2 tahun dan/atau denda Rp400 juta.
2. Pasal 32 UU ITE:
Pasal 32 ayat (1) mengatur tentang perbuatan sengaja dan tanpa hak mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, merekayasa, atau menyembunyikan informasi elektronik milik orang lain atau publik. Hukuman maksimal adalah pidana penjara 8 tahun dan/atau denda Rp2 miliar.
3. Pasal 35 UU ITE:
Pasal ini mengatur tentang manipulasi, rekayasa, penciptaan, perubahan, penghilangan, atau perusakan informasi elektronik milik orang lain atau publik dengan tujuan agar dianggap otentik, hukuman maksimal adalah pidana penjara 12 tahun dan/atau denda Rp12 miliar.
4. Pasal 310 KUHP:
Ayat (1): Mengatur pencemaran nama baik secara lisan (smaad), dengan ancaman pidana penjara maksimal 9 bulan atau denda Rp4.500 (sesuai penyesuaian Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012, denda dapat dilipatgandakan 1.000 kali). Unsur-unsurnya meliputi sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu agar diketahui umum.
Ayat (2): Mengatur pencemaran nama baik secara tertulis (smaadschrift), seperti melalui tulisan atau gambar atau video yang disebarkan di muka umum, dengan ancaman pidana penjara maksimal 1 tahun 4 bulan atau denda Rp4.500.
Ayat (3): Mengecualikan perbuatan dari pencemaran jika dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Pasal ini sering digunakan untuk kasus penghinaan atau pencemaran nama baik, terutama di media sosial, dan terkait dengan UU ITE (Pasal 27 ayat (3)).
5. Pasal 311 KUHP:
Mengatur tindak pidana fitnah, yaitu menuduh seseorang melakukan perbuatan tertentu yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya dan diketahui pelaku sebagai tuduhan palsu. Ancaman pidana maksimal 4 tahun penjara.
Pasal ini merupakan kelanjutan dari Pasal 310, di mana pelaku gagal membuktikan tuduhan yang dibuat untuk kepentingan umum atau pembelaan diri, dan tuduhan tersebut terbukti tidak benar.
Diketahui Kuasa hukum Jokowi, Rivai Kusuma Negara mengatakan Roy Suryo dan empat terlapor lainnya dilaporkan sejumlah pasal. Yakni Pasal 310 dan 311 KUHP, serta Pasal 35, 32, 27A Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Kasus Pasal 310 dan 311 itu adalah tindak pidana fitnah dan atau pencemaran nama baik. Sedangkan Pasal 35, 32, dan 27a sama juga pencemaran nama baik. Tapi yang dilakukan dengan rekayasa teknologi. Baik mengurang menambah menggunakan rekayasa teknologi itu kita jadikan juncto?" kata Rivai di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Rabu, 30 April 2025.
"Tapi bagaimana ini dilakukan di UU ITE ada di Pasal 32 dan 35, di mana kalau dia melakukan itu dengan merekayasa teknologi, maka akan ada pemberatan," ungkap Rivai.
Meski UU ITE, Rivai memastikan laporannya ditangani Ditreskrimum yakni Subdit Kamneg. Namun, ia menyerahkan sepenuhnya kepada penyidik Polda Metro Jaya untuk mendalami secara digital atas tudingan oleh sejumlah pihak di media sosial.
"Apakah memang pelakunya yang tadi disebut dalam inisial atau juga ada pelaku lainnya karena dalam ITE ini ada yang menyiarkan dan menyebarkan, itu juga harus bertanggung jawab. Jadi biarkan dulu ini dikembangkan oleh penyidik agar penyidikan ini berjalan dengan objektif. Dan kami juga memohon dukungan dari rekan media," katanya.
Terakhir, ia meminta semua pihak menghargai tindakan pelaporan oleh Jokowi terhadap sejumlah pihak. Menurutnya, pelaporan yang merupakan hak warga negara itu untuk mengembalikan kehormatan dan martabat atas tudingan ijazah palsu.
"Dan biarlah penyidik bekerja secara objektif dan transparan," pungkasnya.
Kuasa Hukum Jokowi, Yakub Hasibuan menyampaikan tudingan tersebut berdampak bagi nama baik Jokowi dan juga rakyat Indonesia.
"Bahwa fitnah, dugaan fitnah dan tuduhan tersebut sangat kejam, karena sangat merusak nama baik dan martabat Pak Jokowi. Berdampak bagi nama baik keluarga. Dan yang tidak kalah penting ini juga merusak nama baik rakyat Indonesia," kata Yakub di Polda Metro Jaya.
Yakub mengatakan Jokowi yang telah menjabat sebagai presiden selama 10 tahun dituduh memiliki ijazah palsu. Dia menyebut tuduhan itu dikaitkan mulai dari pencalonan Jokowi sebagai Wali Kota Solo, Gubernur Jakarta hingga Presiden.
"Kenapa saya bilang rakyat Indonesia, coba anda bayangkan, bayangkan kalau Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat sudah menjabat selama 10 tahun dituduh seakan-akan memiliki ijazah palsu. Jadi yang dituduh seakan-akan dari dia pencalonan, kemudian jadi Wali Kota, Gubernur hingga presiden, seakan-akan itu menggunakan ijazah palsu. Kalau kata orang apa kata dunia," ujarnya.
Baca juga: Jokowi Serahkan Barang Bukti 24 Video dalam Laporan Tudingan Ijazah Palsu ke Polda Metro Jaya
Yakub menuturkan tudingan ijazah palsu ini menyangkut martabat masyarakat Indonesia. Bahkan, kata Yakub, pihaknya sudah menyampaikan statment terkait ijazah Jokowi namun tudingan masih terus bergulir.
"Jadi ini kan martabat masyarakat Indonesia yang dipertaruhkan, nama baik rakyat Indonesia, nama baik pemerintah Indonesia dan nama baik bangsa Indonesia juga," ucapnya.
"Selama ini mungkin Pak Jokowi diam, selama ini khususnya etika beliau menjabat. Beberapa bulan terakhir juga kami ikuti terus perkembangannya beberapa kali juga sudah kami beri imbauan, secara resmi perss conference beberapa statment di tempat umum juga sudah kam berikan. Tapi terus dilakukan oleh beberapa pihak," imbuhnya.
Adapun terlapor dalam kasus dugaan pencemaran nama baik ini berinisial RS, RS, T, ES, dan K. Dari kelima terlapor, tim hukum Jokowi baru mengonfirmasi salah satunya ialah mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Roy Suryo.
https://m.tribunnews.com/amp/nasiona...elama-12-tahun


Roy kerap tampil di layar kaca dengan analisisnya --- yang tak jarang dipertanyakan oleh pakar sebenarnya.
Puncaknya, ketika ia mengomentari keaslian ijazah Jokowi. Sejak beberapa tahun lalu, Roy dengan penuh percaya diri menyebut bahwa ijazah Jokowi adalah palsu. Ia berargumen dari sisi foto, jenis kertas, hingga kejanggalan tanda tangan. Foto ijazah yang ia unggah atau komentari menjadi pusat dari tuduhannya. Tak hanya itu, ia aktif menjadi narasumber di berbagai media dan bahkan debat publik untuk memperkuat narasi ini.
Namun, dalam debat televisi terbaru yang disiarkan pada April 2025, publik dikejutkan oleh pernyataan barunya: bahwa foto yang selama ini ia komentari bukanlah hasil unggahannya, dan ternyata berbeda dengan ijazah asli yang ditunjukkan Jokowi di hadapan publik dan diserahkan langsung ke Bareskrim Polri.
Manuver Retoris yang Terlambat
Pernyataan ini menimbulkan tanda tanya besar. Mengapa baru sekarang Roy mempertanyakan keaslian foto yang ia komentari selama bertahun-tahun? Jika memang bukan ia yang mengunggah foto itu, mengapa tidak pernah disampaikan sejak awal? Mengapa menggunakan foto tersebut sebagai dasar tuduhan selama ini?
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Heru Nugroho, menyebut sikap Roy ini sebagai bentuk "retraction under pressure" --- menarik pernyataan secara perlahan setelah tekanan hukum dirasa nyata. "Seolah ingin mencuci tangan ketika konsekuensi hukum sudah di depan mata," ujarnya.
Presiden Jokowi, yang selama ini dikenal tak reaktif terhadap serangan pribadi, kali ini bertindak tegas. Ia melaporkan penyebar fitnah terkait ijazah palsu ke Bareskrim Mabes Polri secara pribadi, membawa ijazah aslinya dari Universitas Gadjah Mada dan mempersilakan pemeriksaan forensik oleh pihak kepolisian dan lembaga independen.
Dalam konteks hukum, pernyataan Roy bahwa ia "tidak mengunggah" foto bisa menjadi upaya untuk menghindari jerat pidana. Namun menurut ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia, Prof. Erna Ratnaningsih, hal ini tidak otomatis menghapus tanggung jawab.
"Jika ia terbukti secara aktif menyebarluaskan, bahkan merekayasa digital, memberikan tafsir menyesatkan, dan memprovokasi opini publik berdasarkan dokumen yang tidak sahih, maka unsur menyebarkan informasi bohong sudah terpenuhi," katanya. Ia menambahkan bahwa Pasal 28 ayat (2) UU ITE serta Pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana bisa digunakan untuk menjerat pelaku penyebar hoaks, apalagi jika motifnya menyerang kehormatan pribadi.
Apalagi, Roy Suryo secara konsisten menyampaikan pandangan soal keaslian ijazah Jokowi dalam berbagai forum publik, yang memperkuat indikasi bahwa ia memiliki niat membentuk opini yang keliru.
Apa yang bisa kita pelajari dari kisah ini?
Pertama, publik figur sekelas Roy Suryo seharusnya menunjukkan tanggung jawab intelektual. Jika memang mengklaim sebagai "ahli," maka setiap analisis harus didasarkan pada data yang valid, metode yang dapat diuji, dan sikap terbuka terhadap klarifikasi. Bukan justru membentuk narasi liar dengan dokumen yang tidak diverifikasi.
Kedua, kasus ini menunjukkan bahwa di era digital, jejak digital bisa menjadi bukti hukum yang kuat. Argumen bahwa "saya hanya menyampaikan" tidak cukup jika disertai dengan niat membentuk opini palsu atau menyerang pribadi.
Ketiga, ini menjadi pelajaran bagi publik: jangan gampang percaya pada "ahli dadakan." Klarifikasi, verifikasi, dan skeptisisme kritis adalah kunci menghadapi era pasca-kebenaran yang penuh disinformasi.
Epilog: Roy dan Panggung Terakhir?
Apakah ini panggung terakhir Roy Suryo dalam pusaran kontroversi nasional? Mungkin belum. Tapi satu hal pasti, publik kini makin cerdas dalam memilah mana kritik objektif, mana tuduhan palsu. Dalam demokrasi, kebebasan berbicara penting. Tapi tanggung jawab atas ucapan, apalagi yang disampaikan di ruang publik, tidak bisa dihindari.
Jurus ngeles mungkin berhasil sesaat, tapi tidak bisa melawan waktu, bukti, dan nalar publik yang jernih. Dan dalam hal ini, tampaknya Roy Suryo sedang memetik hasil dari kata-katanya sendiri.***MG
TRIBUNNEWS.COM - Lima pasal berlapis dijeratkan dalam pelaporan Presiden RI ke-7 Joko Widodo atau Jokowi untuk melaporkan lima orang dalam kasus tudingan ijazah palsu yaitu RS, RS, T, ES dan K
Kelima pasal tersebut adalah Pasal 27A, 32, dan 35 UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Pasal 310 dan 311 KUHP
Dari seluruh pasal yang diusung tersebut, satu di antaranya bisa menjerat terlapor dengan pidana maksimal 12 tahun penjara.
Berikut uraian jerat hukum penjara berdasarkan pasal-pasal yang dibawa Jokowi untuk melaporkan lima terlapor dirangkum dari berbagai sumber pada KUHP dan UU ITE terbaru, yaitu UU Nomor 1 Tahun 2024 (perubahan kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008).
1. Pasal 27A UU ITE (UU No. 1 Tahun 2024):
Pasal ini mengatur tentang penyerangan kehormatan atau nama baik seseorang dengan cara menuduhkan sesuatu secara sengaja melalui informasi elektronik, dengan maksud agar hal tersebut diketahui umum. Hukuman maksimal adalah pidana penjara 2 tahun dan/atau denda Rp400 juta.
2. Pasal 32 UU ITE:
Pasal 32 ayat (1) mengatur tentang perbuatan sengaja dan tanpa hak mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, merekayasa, atau menyembunyikan informasi elektronik milik orang lain atau publik. Hukuman maksimal adalah pidana penjara 8 tahun dan/atau denda Rp2 miliar.
3. Pasal 35 UU ITE:
Pasal ini mengatur tentang manipulasi, rekayasa, penciptaan, perubahan, penghilangan, atau perusakan informasi elektronik milik orang lain atau publik dengan tujuan agar dianggap otentik, hukuman maksimal adalah pidana penjara 12 tahun dan/atau denda Rp12 miliar.
4. Pasal 310 KUHP:
Ayat (1): Mengatur pencemaran nama baik secara lisan (smaad), dengan ancaman pidana penjara maksimal 9 bulan atau denda Rp4.500 (sesuai penyesuaian Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012, denda dapat dilipatgandakan 1.000 kali). Unsur-unsurnya meliputi sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu agar diketahui umum.
Ayat (2): Mengatur pencemaran nama baik secara tertulis (smaadschrift), seperti melalui tulisan atau gambar atau video yang disebarkan di muka umum, dengan ancaman pidana penjara maksimal 1 tahun 4 bulan atau denda Rp4.500.
Ayat (3): Mengecualikan perbuatan dari pencemaran jika dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Pasal ini sering digunakan untuk kasus penghinaan atau pencemaran nama baik, terutama di media sosial, dan terkait dengan UU ITE (Pasal 27 ayat (3)).
5. Pasal 311 KUHP:
Mengatur tindak pidana fitnah, yaitu menuduh seseorang melakukan perbuatan tertentu yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya dan diketahui pelaku sebagai tuduhan palsu. Ancaman pidana maksimal 4 tahun penjara.
Pasal ini merupakan kelanjutan dari Pasal 310, di mana pelaku gagal membuktikan tuduhan yang dibuat untuk kepentingan umum atau pembelaan diri, dan tuduhan tersebut terbukti tidak benar.
Diketahui Kuasa hukum Jokowi, Rivai Kusuma Negara mengatakan Roy Suryo dan empat terlapor lainnya dilaporkan sejumlah pasal. Yakni Pasal 310 dan 311 KUHP, serta Pasal 35, 32, 27A Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Kasus Pasal 310 dan 311 itu adalah tindak pidana fitnah dan atau pencemaran nama baik. Sedangkan Pasal 35, 32, dan 27a sama juga pencemaran nama baik. Tapi yang dilakukan dengan rekayasa teknologi. Baik mengurang menambah menggunakan rekayasa teknologi itu kita jadikan juncto?" kata Rivai di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Rabu, 30 April 2025.
"Tapi bagaimana ini dilakukan di UU ITE ada di Pasal 32 dan 35, di mana kalau dia melakukan itu dengan merekayasa teknologi, maka akan ada pemberatan," ungkap Rivai.
Meski UU ITE, Rivai memastikan laporannya ditangani Ditreskrimum yakni Subdit Kamneg. Namun, ia menyerahkan sepenuhnya kepada penyidik Polda Metro Jaya untuk mendalami secara digital atas tudingan oleh sejumlah pihak di media sosial.
"Apakah memang pelakunya yang tadi disebut dalam inisial atau juga ada pelaku lainnya karena dalam ITE ini ada yang menyiarkan dan menyebarkan, itu juga harus bertanggung jawab. Jadi biarkan dulu ini dikembangkan oleh penyidik agar penyidikan ini berjalan dengan objektif. Dan kami juga memohon dukungan dari rekan media," katanya.
Terakhir, ia meminta semua pihak menghargai tindakan pelaporan oleh Jokowi terhadap sejumlah pihak. Menurutnya, pelaporan yang merupakan hak warga negara itu untuk mengembalikan kehormatan dan martabat atas tudingan ijazah palsu.
"Dan biarlah penyidik bekerja secara objektif dan transparan," pungkasnya.
Kuasa Hukum Jokowi, Yakub Hasibuan menyampaikan tudingan tersebut berdampak bagi nama baik Jokowi dan juga rakyat Indonesia.
"Bahwa fitnah, dugaan fitnah dan tuduhan tersebut sangat kejam, karena sangat merusak nama baik dan martabat Pak Jokowi. Berdampak bagi nama baik keluarga. Dan yang tidak kalah penting ini juga merusak nama baik rakyat Indonesia," kata Yakub di Polda Metro Jaya.
Yakub mengatakan Jokowi yang telah menjabat sebagai presiden selama 10 tahun dituduh memiliki ijazah palsu. Dia menyebut tuduhan itu dikaitkan mulai dari pencalonan Jokowi sebagai Wali Kota Solo, Gubernur Jakarta hingga Presiden.
"Kenapa saya bilang rakyat Indonesia, coba anda bayangkan, bayangkan kalau Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat sudah menjabat selama 10 tahun dituduh seakan-akan memiliki ijazah palsu. Jadi yang dituduh seakan-akan dari dia pencalonan, kemudian jadi Wali Kota, Gubernur hingga presiden, seakan-akan itu menggunakan ijazah palsu. Kalau kata orang apa kata dunia," ujarnya.
Baca juga: Jokowi Serahkan Barang Bukti 24 Video dalam Laporan Tudingan Ijazah Palsu ke Polda Metro Jaya
Yakub menuturkan tudingan ijazah palsu ini menyangkut martabat masyarakat Indonesia. Bahkan, kata Yakub, pihaknya sudah menyampaikan statment terkait ijazah Jokowi namun tudingan masih terus bergulir.
"Jadi ini kan martabat masyarakat Indonesia yang dipertaruhkan, nama baik rakyat Indonesia, nama baik pemerintah Indonesia dan nama baik bangsa Indonesia juga," ucapnya.
"Selama ini mungkin Pak Jokowi diam, selama ini khususnya etika beliau menjabat. Beberapa bulan terakhir juga kami ikuti terus perkembangannya beberapa kali juga sudah kami beri imbauan, secara resmi perss conference beberapa statment di tempat umum juga sudah kam berikan. Tapi terus dilakukan oleh beberapa pihak," imbuhnya.
Adapun terlapor dalam kasus dugaan pencemaran nama baik ini berinisial RS, RS, T, ES, dan K. Dari kelima terlapor, tim hukum Jokowi baru mengonfirmasi salah satunya ialah mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Roy Suryo.
https://m.tribunnews.com/amp/nasiona...elama-12-tahun


Roy kerap tampil di layar kaca dengan analisisnya --- yang tak jarang dipertanyakan oleh pakar sebenarnya.
Puncaknya, ketika ia mengomentari keaslian ijazah Jokowi. Sejak beberapa tahun lalu, Roy dengan penuh percaya diri menyebut bahwa ijazah Jokowi adalah palsu. Ia berargumen dari sisi foto, jenis kertas, hingga kejanggalan tanda tangan. Foto ijazah yang ia unggah atau komentari menjadi pusat dari tuduhannya. Tak hanya itu, ia aktif menjadi narasumber di berbagai media dan bahkan debat publik untuk memperkuat narasi ini.
Namun, dalam debat televisi terbaru yang disiarkan pada April 2025, publik dikejutkan oleh pernyataan barunya: bahwa foto yang selama ini ia komentari bukanlah hasil unggahannya, dan ternyata berbeda dengan ijazah asli yang ditunjukkan Jokowi di hadapan publik dan diserahkan langsung ke Bareskrim Polri.
Manuver Retoris yang Terlambat
Pernyataan ini menimbulkan tanda tanya besar. Mengapa baru sekarang Roy mempertanyakan keaslian foto yang ia komentari selama bertahun-tahun? Jika memang bukan ia yang mengunggah foto itu, mengapa tidak pernah disampaikan sejak awal? Mengapa menggunakan foto tersebut sebagai dasar tuduhan selama ini?
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Heru Nugroho, menyebut sikap Roy ini sebagai bentuk "retraction under pressure" --- menarik pernyataan secara perlahan setelah tekanan hukum dirasa nyata. "Seolah ingin mencuci tangan ketika konsekuensi hukum sudah di depan mata," ujarnya.
Presiden Jokowi, yang selama ini dikenal tak reaktif terhadap serangan pribadi, kali ini bertindak tegas. Ia melaporkan penyebar fitnah terkait ijazah palsu ke Bareskrim Mabes Polri secara pribadi, membawa ijazah aslinya dari Universitas Gadjah Mada dan mempersilakan pemeriksaan forensik oleh pihak kepolisian dan lembaga independen.
Dalam konteks hukum, pernyataan Roy bahwa ia "tidak mengunggah" foto bisa menjadi upaya untuk menghindari jerat pidana. Namun menurut ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia, Prof. Erna Ratnaningsih, hal ini tidak otomatis menghapus tanggung jawab.
"Jika ia terbukti secara aktif menyebarluaskan, bahkan merekayasa digital, memberikan tafsir menyesatkan, dan memprovokasi opini publik berdasarkan dokumen yang tidak sahih, maka unsur menyebarkan informasi bohong sudah terpenuhi," katanya. Ia menambahkan bahwa Pasal 28 ayat (2) UU ITE serta Pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana bisa digunakan untuk menjerat pelaku penyebar hoaks, apalagi jika motifnya menyerang kehormatan pribadi.
Apalagi, Roy Suryo secara konsisten menyampaikan pandangan soal keaslian ijazah Jokowi dalam berbagai forum publik, yang memperkuat indikasi bahwa ia memiliki niat membentuk opini yang keliru.
Apa yang bisa kita pelajari dari kisah ini?
Pertama, publik figur sekelas Roy Suryo seharusnya menunjukkan tanggung jawab intelektual. Jika memang mengklaim sebagai "ahli," maka setiap analisis harus didasarkan pada data yang valid, metode yang dapat diuji, dan sikap terbuka terhadap klarifikasi. Bukan justru membentuk narasi liar dengan dokumen yang tidak diverifikasi.
Kedua, kasus ini menunjukkan bahwa di era digital, jejak digital bisa menjadi bukti hukum yang kuat. Argumen bahwa "saya hanya menyampaikan" tidak cukup jika disertai dengan niat membentuk opini palsu atau menyerang pribadi.
Ketiga, ini menjadi pelajaran bagi publik: jangan gampang percaya pada "ahli dadakan." Klarifikasi, verifikasi, dan skeptisisme kritis adalah kunci menghadapi era pasca-kebenaran yang penuh disinformasi.
Epilog: Roy dan Panggung Terakhir?
Apakah ini panggung terakhir Roy Suryo dalam pusaran kontroversi nasional? Mungkin belum. Tapi satu hal pasti, publik kini makin cerdas dalam memilah mana kritik objektif, mana tuduhan palsu. Dalam demokrasi, kebebasan berbicara penting. Tapi tanggung jawab atas ucapan, apalagi yang disampaikan di ruang publik, tidak bisa dihindari.
Jurus ngeles mungkin berhasil sesaat, tapi tidak bisa melawan waktu, bukti, dan nalar publik yang jernih. Dan dalam hal ini, tampaknya Roy Suryo sedang memetik hasil dari kata-katanya sendiri.***MG
Diubah oleh mbappe007 Kemarin 08:21






servesiwi dan 3 lainnya memberi reputasi
4
1.6K
27


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan