Kaskus

News

vanlorAvatar border
TS
vanlor
Susah cari kerja, lulusan sarjana mengadu nasib jadi pembantu, sopir, dan pramukantor
Judul lengkap kepanjangan: 'Kalau milih-milih kerja, bisa enggak makan' – Susah cari kerja, lulusan sarjana mengadu nasib jadi pembantu, sopir, dan pramukantor

Susah cari kerja, lulusan sarjana mengadu nasib jadi pembantu, sopir, dan pramukantor

Tenaga kerja lulusan pendidikan tinggi seperti diploma dan sarjana terpaksa banting setir menjadi pembantu rumah tangga, pengasuh anak, sopir, bahkan office boy (pramukantor). Ini dilakukan demi bertahan hidup di tengah minimnya lapangan pekerjaan di sektor formal dan badai pemutusan hubungan kerja dalam beberapa tahun terakhir.

Fenomena ini dialami Heru Kurniawan, Sarjana Teknik Mesin lulusan 2023, yang sekarang jadi sopir mobil rental.

"Keluarga tidak masalah saya jadi sopir, tapi saya pribadi merasa sayang, karena perjuangan menempuh pendidikan sarjana susah, menghabiskan waktu dan biaya," tuturnya lirih.

Hal senada diutarakan Ihlazul Amal, Sarjana Manajemen lulusan 2023, yang sudah hampir dua tahun bekerja sebagai pramukantor.

"Karena sudah kebutuhan dan sekarang ini cari pekerjaan sulit, jadi mau enggak mau ya harus disyukuri," ucap Amal di sela-sela jam istirahat kerja.

Sejumlah pengamat menyebut situasi ini mengkhawatirkan dan harus menjadi "alarm" bagi pemerintah untuk tak lagi berleha-leha dan mengeklaim kondisi ekonomi Indonesia dalam keadaan baik-baik saja, namun kenyataannya tak demikian.

Lantas, apa strategi yang akan dijalankan pemerintah?
'Saya sarjana ilmu komputer, tapi jadi satpam'

Reza Fahlevi bergegas mengganti baju yang dikenakannya dengan seragam berwarna krem dan bawahan coklat tua.

Pemuda kelahiran 1995 ini lantas bergegas melakoni tugasnya sebagai satuan pengamanan alias satpam di sebuah kantor di Bandung Tengah, Jawa Barat.

Ia sudah menjalankan profesi ini sejak 2018, setelah disarankan oleh kawan ayahnya setelah melihat postur tubuhnya yang tinggi dan dianggap memenuhi syarat menjadi sekuriti.

Kala itu, pria berkepala plontos ini baru lulus SMA dan masih kerja sebagai buruh pabrik. Ia menerima ajakan itu dan dinyatakan lolos seleksi.

Tapi tujuh tahun kerja sebagai satpam, tak juga mengubur cita-citanya untuk menjadi tentara.

Demi mewujudkan impian itu Reza mendaftar ke sebuah universitas swasta di Bandung dan mengambil jurusan Ilmu Komputer. Sembari bekerja, dia sisihkan upahnya yang tidak seberapa untuk biaya kuliah.

Pada 2024, ketika menginjak usia 29 tahun, ia resmi bergelar Sarjana Komputer (S.Kom) dan langsung mendaftar masuk TNI.

Hanya saja, sulung dari dua bersaudara ini harus menerima kenyataan pahit: ia tak lolos gara-gara terganjal syarat umur.

Sebelumnya batas usia masuk perwira prajurit karir TNI untuk lulusan D4 dan S1 maksimal 30 tahun. Tapi pada 2024, persyaratannya diubah menjadi maksimal 28 tahun.

"Pas lulus kuliah, saya sudah siapkan berkas-berkasnya, karena masih menyangka batas umurnya 30 tahun."

"Ternyata November kemarin, ada pengumuman dari Panglima TNI untuk batas usia maksimal lulusan sarjana jadi 28 tahun. Sementara umur 30 tahun untuk lulusan S2," tutur Reza kepada BBC News Indonesia pertengahan April lalu.

Kenyataan itu bikin dia kecewa, bahkan hampir depresi.

"Kecewa sama diri sendiri harusnya lulus 2023, tapi karena kuliah sambil kerja, enggak bisa mengatur waktu dengan baik, jadi agak telat lulusnya."

Tapi Reza tak mau berlama-lama terpuruk, dia mulai melamar pekerjaan sesuai latar pendidikannya.

Setiap hari, selepas menuntaskan pekerjaan sebagai satpam, dia mengirim lamaran untuk posisi software engineer ke setidaknya sepuluh perusahaan.

Namun belum ada yang membuahkan hasil, lagi-lagi karena kepentok batas usia.

Reza berkali-kali bilang profesi ini bukan untuknya. Tetapi, dia sadar tak punya pilihan lain ketimbang menganggur.

Gaji sebesar Rp4,5 juta per bulan yang diterimanya juga tak cukup memenuhi kebutuhan hidup yang terus naik, bahkan untuk dirinya yang masih lajang.

Karenanya dia masih akan terus berusaha mencari pekerjaan yang sesuai gelarnya, plus mendapatkan gaji lebih besar sesuai harapan orang tuanya.

"Orang tua bilang kalau bisa jangan keenakan jadi sekuriti. Kan saya punya titel, punya ilmu dari kuliah. Alangkah baiknya bisa mencari yang lebih baik dari ini..."

"Maksudnya, sayang juga kuliah empat tahun, tapi dengan profesi yang sekarang, takutnya ilmu yang didapat dari sekolah enggak terpakai."
'Saya sarjana teknik mesin, tapi jadi sopir mobil rental'

Pengalaman susahnya cari kerja juga dirasakan Heru Kurniawan, alumni Fakultas Teknik Mesin di Universitas Wahid Hasyim, Semarang, Jawa Tengah.

Pria 27 tahun ini bilang setelah lulus kuliah pada 2023 lalu, sudah beberapa kali melamar ke sejumlah perusahaan namun hasilnya masih nihil.

Padahal dia sangat berharap bisa bekerja di perusahaan pertambangan atau BUMN dengan gaji di atas upah minimum.

"Mungkin belum rezeki," ungkap Heru pertengahan April lalu.

Kini perantau asal Sumatra Selatan tersebut terpaksa bekerja sebagai sopir mobil sewaan dan kadang "bantu-bantu" di sekolah sebagai pekerjaan sampingan.

Apa pun, katanya, bakal dilakukan demi dapat uang.

"Kalau milih-milih kerja, bisa enggak makan," ucapnya singkat.

Selama menjadi sopir mobil rental, penghasilannya tak menentu. Tergantung dari seberapa banyak orang yang menyewa ke pemilik mobil.

Ada waktu-waktu tertentu, upahnya besar. Tapi pernah juga tak ada pemasukan sama sekali.

Heru mengaku cukup beruntung karena orang tuanya tak mempersoalkan pekerjaannya sebagai sopir asalkan dapat uang.

"Kata orang tua, pendidikan enggak harus jadi tumpuan utama atau linier dengan pekerjaan."

"Tapi saya pribadi merasa sayang, karena perjuangan menempuh pendidikan tinggi ini susah, menghabiskan waktu dan biaya," keluhnya.

Meskipun begitu, Heru mengatakan tidak kecewa dengan gelar sarjana yang dimilikinya. Sebab pendidikan yang dipelajari selama bertahun-tahun itu sudah menambah wawasan serta pengalaman hidupnya.

Cuma satu hal yang bikin frustasi, lapangan kerja yang minim.

"Kalau kita itu dicetak menjadi pekerja ya harusnya bisa bekerja. Kita sebagai lulusan universitas, terbelenggu dengan sistem... dianjurkan berpendidikan S1 untuk menopang jenjang karier tapi dunia kerja penuh diskriminasi dan tak sebanyak jumlah lulusannya."
'Saya sarjana manajemen, tapi jadi pramukantor'

Ihlazul Amal, lulusan Fakultas Manajemen di Universitas Madura pada 2023, juga tak kalah ngenes.

Pemuda 24 tahun ini sudah hampir dua tahun kerja sebagai pramukantor di Plasa Telkom Pamekasan, Jawa Timur.

Izul, sapaan akrabnya, bercerita tak punya pilihan saking sulitnya mencari kerja yang sesuai dengan latar pendidikannya. Apalagi, dia tulang punggung keluarga di rumah.

"Ya karena sudah kebutuhan dan sekarang ini cari pekerjaan susah banget. Jadi mau enggak mau harus disyukuri," ujarnya saat ditemui di sela-sela jam istirahat kerja, pertengahan April silam.

Dua tahun bekerja sebagai pramukantor, Izul bilang sudah bisa menerima dan mulai terbiasa.

Ini karena upah yang didapatnya sesuai aturan ketenagakerjaan yaitu Rp2,3 juta per bulan, meskipun statusnya masih tenaga kontrak.

Keluarganya pun, klaimnya, tidak mempermasalahkan saat dia memutuskan bekerja di sana.

Namun, bukan berarti Izul menyerah menggapai keinginannya. Ia bercerita sudah empat kali mencoba tes CPNS di daerahnya, tapi belum berhasil. Begitu pula kala melamar ke perusahaan lain.

"Betul, sulit banget [mencari kerja], karena pemerintahan Prabowo ini ada kebijakan efisiensi, jadi perusahaan mengurangi karyawan seperti PHK," ujarnya.

Apa penyebab lulusan sarjana sulit dapat kerja formal?

Pengamat ekonomi dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, menyebut sukarnya mencari kerja seperti yang dirasakan Reza, Heru, dan Izul tak bisa dilepaskan dari imbas perlambatan ekonomi Indonesia yang dimulai sejak 2020.

Gara-gara pandemi Covid-19, jutaan usaha kecil dan menengah harus gulung tikar. Bahkan kalau merujuk pada hasil survei Kementerian Ketenagakerjaan, sekitar 88% perusahaan terdampak langsung oleh pagebluk.

Pascapandemi, sejumlah industri di dalam negeri rupanya tak sepenuhnya pulih, terutama tekstil. Sektor ini masih dihantam oleh penurunan permintaan dalam negeri maupun luar negeri.

Belum lagi barang-barang impor ilegal maupun legal dari China membanjiri pasar Indonesia.

Itu semua, lagi-lagi berujung pada badai pemutusan hubungan kerja (PHK).

Gelombang PHK ini sudah kelihatan pada 2022. Kala itu angka pemutusan hubungan kerja sudah lebih dari 25.000, menurut data Kementerian Ketenagakerjaan.

Kemudian pada 2023, angka itu naik dua kali lipat menjadi 64.855 dan setahun setelahnya melonjak hingga tiga kali lipat yaitu 77.965.

Direktur Riset Bright Institute ini mengatakan goyahnya industri manufaktur seperti tekstil-garmen sudah pasti merembet ke sektor-sektor lain, seperti teknologi dan jasa.

Dengan kata lain, tidak ada usaha yang benar-benar aman, menurut Andri.

"Menurunnya sektor manufaktur berimbas ke sektor tersier atau turunannya seperti jasa pengiriman logistik, jasa desain, jasa pencetakan," jelas Andri.

"Karena permintaan sepi, pasar fisik maupun e-commerce ikut sepi yang mana pekerjanya ada lulusan sarjana."

"Jadi ketika perekonomian secara keseluruhan turun, maka hampir bisa dilihat seluruhnya turun semua. Tidak bisa per sektor penurunan lapangan pekerjaan tersebut."

Badan Pusat Statistik (BPS) juga merekam badai PHK itu.

Meskipun tercatat tingkat pengangguran terbuka untuk lulusan SD, SMP, SMA, dan SMK mengalami penurunan dalam tiga hingga empat tahun terakhir.

Berkebalikan dengan lulusan diploma dan sarjana.

Tertera di situ, pada 2022, tingkat pengangguran terbuka lulusan diploma I/II/III sebesar 4,59% dan tercatat mengalami kenaikan di tahun 2023 yang mencapai 4,79%. Pada 2024, jumlahnya terus melonjak di angka 4,83%.

Sementara, tingkat pengangguran terbuka untuk lulusan sarjana pada 2022 berada di 4,80%. Setahun setelahnya atau 2023 sebesar 5,15% dan pada 2024 kembali naik hingga 5,25%.

Tapi Andri Perdana bilang jangan senang dulu dengan penurunan angka pengangguran terbuka di tingkat pendidikan SD, SMP, SMA, dan SMK.

Pengamatannya mereka ini bukan berarti mendapatkan pekerjaan baru yang layak atau lebih baik.

Mereka semua, perkiraannya, turun kelas: bekerja di sektor pertanian alias jadi buruh tani.

"Yang sebelumnya buruh pabrik, mereka banyak ke sektor pertanian sekarang," jelasnya.

Begitu pula dengan para lulusan diploma dan sarjana, sebut Andri.

"Sedangkan yang lulusan sarjana juga sama turun kelas, bergeser mencari pekerjaan informal seperti berdagang atau buka usaha kecil dan menengah (UMKM) karena lapangan pekerjaan di sektor formal semakin minim."

Bicara soal pembukaan lapangan kerja di sektor formal, data BPS menunjukkan selama periode 2019-2024 hanya tercipta 2,01 juta lapangan kerja.

Jumlah ini anjlok tajam dari periode 2014-2019 yang bisa menciptakan 8,55 juta lapangan kerja baru.

Sementara angka pekerja sektor informal di Indonesia terus meningkat setiap tahun, sejak 2019.

BPS mencatat dari 144,64 juta penduduk bekerja pada Agustus 2024, sebanyak 57,95% di antaranya, atau setara dengan 83,83 juta orang, bekerja pada kegiatan informal.

Hanya sekitar 60,82 juta jiwa atau 42,05% adalah pekerja formal.

Pakar hukum perburuhan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Nabiyla Risfa Izzati, mengatakan situasi yang terjadi di Indonesia saat ini bisa dibilang anomali.

Sebab jika dibandingkan negara-negara lain, seharusnya pekerjaan sektor informal menjadi penopang tambahan.

Namun di tengah minimnya lapangan pekerjaan sektor formal dan desakan bertahan hidup, menurut Nabiyla, banyak dari para lulusan pendidikan tinggi yang menjajal jenis pekerjaan informal apa pun yang tersedia—yang selama ini merupakan lahannya lulusan SD hingga SMA.

Entah menjadi asisten rumah tangga, pengasuh anak, sopir, pekerja pabrik, atau pramukantor.

Tidak lagi berbondong-bondong bekerja sebagai ojek daring seperti dulu.

"Tren gig economy masa keemasannya sudah mulai turun jauh dibandingkan sepuluh tahun lalu. Dulu bahkan orang yang punya pekerjaan rela keluar untuk jadi ojol, karena penghasilannya sangat tinggi," papar Nabiyla.

"Sekarang, kita sudah melihat itu enggak sustainable, ada penurunan pendapatan yang signifikan."

"Orang jadi tidak lagi tertarik masuk ke sini [ojek online], karena sudah terlalu banyak pengemudinya, sementara konsumennya mungkin sudah mentok jumlahnya."

"Artinya orang jadi berpikir ulang, sekarang masuk kemana? Akhirnya ke sektor informal."

Fenomena tersebut sudah kelihatan di media sosial X—dulu bernama Twitter—lewat cuitan pengguna atas nama @andianisharfina: "sedih banget... buka loker buat PRT untuk rumah yang di BSD, semua yang melamar S1 rata-rata karena kemarin kena layoff, habis kontrak.

Usai cuitan itu viral, beberapa akun di X juga melontarkan cerita tentang kolega mereka yang berlatar pendidikan sarjana tapi bekerja sebagai sopir atau pramukantor.

Sialnya, kata Nabiyla, peluang mereka diterima sebagai pekerja informal juga kecil lantaran keahlian yang mereka punya tidak sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.

"Misalnya lulusan universitas gitu ya, tapi yang dibutuhkan cuma asisten rumah tangga atau pengasuh anak, kan artinya yang dibutuhkan orang yang cekatan mengurus rumah tangga."

"Jadi belum tentu mudah bagi mereka [lulusan sarjana] masuk ke sektor informal. Karena yang dicari kemampuan spesifik, bukan kualifikasi pendidikan tertentu."
Sarjana melamar jadi pembantu dan pengasuh anak

Apa yang diungkapkan Nabiyla, klop dengan pengakuan para penyalur pembantu rumah tangga dan pengasuh anak.

Salah satu penanggung jawab perusahaan penyalur dari Mami Berliana Agency, Hendy Allan, mengakui ada peningkatan jumlah pelamar ke agensinya.

"Mendekati bulan Ramadan naik dua kali lipat," katanya kepada BBC News Indonesia via telepon.

Para pelamar itu, sambungnya, didominasi oleh mantan buruh pabrik yang kena PHK, ada juga lulusan diploma maupun sarjana.

Mami Berliana Agency berlokasi di Surabaya, Jawa Timur. Perusahaan penyalur ini sudah beroperasi sejak 2023. Mereka menyalurkan asisten rumah tangga dan pengasuh bayi ke seluruh wilayah di Indonesia.

Hendy bercerita, para lulusan diploma dan sarjana ini mulanya tak menyebutkan pendidikan terakhir mereka saat mendaftar. Tapi ketika proses wawancara berlangsung, baru mengungkapkan yang sebenarnya.

"Waktu wawancara dengan tim rekrutmen, biasanya mereka bilang, 'Saya sebenarnya sudah sarjana mbak'."

"Tapi saat mendaftar, mereka cuma menyerahkan fotokopi ijazah SMA biasanya."

Agensinya, sambung Hendy, memang mensyaratkan lulusan SD hingga SMP untuk menjadi asisten rumah tangga dan pengasuh anak.

Sebab keahlian yang dibutuhkan terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah tangga serta mengasuh bocah. Untuk syarat usia, dalam rentang 18-45 tahun.

Adapun gajinya antara Rp2,5 juta sampai Rp3,5 juta.

Itu kenapa ketika ada lulusan diploma atau sarjana melamar, Hendy bisa memahami mengapa mereka menyembunyikan latar pendidikannya.

Hanya saja yang dikhawatirkannya, adalah mental mereka yang belum siap.

"Kami tidak ada penolakan meskipun mereka sarjana, asalkan niat kerja kasar kan ibaratnya."

"Karena ada dari [lulusan sarjana] yang dulu, dia sempat gagal menyelesaikan kontrak gara-gara enggak mau disuruh-suruh. Mungkin merasa dia sarjana."

"Jadi kami juga agak memastikan lagi kalau ada [lulusan sarjana] yang melamar, beneran niat kerja apa enggak."

Kendati begitu, Hendy menyebut sudah ada beberapa lulusan sarjana yang betah bekerja sebagai asisten rumah tangga dan pengasuh anak.

Direktur Lembaga Pelatihan Kerja sekaligus penyalur CV Sugesti Mandiri, Verry Maical Susanto, juga mengatakan ada peningkatan pelamar hampir 50% di awal tahun 2025.

Situasi begini, katanya, tak pernah terjadi sebelumnya kecuali saat pandemi Covid-19 lalu.

Sama seperti di Mami Berliana, pelamar yang masuk rata-rata mantan buruh pabrik yang habis diputus kontrak dan dari latar pendidikan diploma hingga sarjana.

"Yang menghubungi kami lewat telepon kemarin itu banyak sekali. Mungkin mereka masih tanya-tanya, pengen tahu," ujar Verry.

"Terus setelah dijelaskan bahwa harus tinggal dalam [rumah majikan], kayaknya mereka keberatan di situ."

Berdasarkan pengalaman mitra mereka, katanya, hasil kerja dari lulusan diploma dan sarjana ini kurang memuaskan sehingga kerap tak kelar kontrak.

Masalahnya kebanyakan karena tidak terbiasa bekerja bersama majikan dengan jam kerja yang bisa dibilang tak menentu.

"Asisten rumah tangga dan pengasuh bayi ini kan kerjanya menyesuaikan, otomatis istirahatnya jadi fleksibel. Dan itu banyak yang gagal waktu pandemi Covid. Baru satu bulan, sudah enggak betah, padahal kontrak awal enam bulan."

"Makanya yang sekarang daftar, kami lebih ekstra untuk menerangkan ke mereka karena pekerjaan informal ini berbeda sekali."

Pada tahun ini, sambung Verry, ada empat pelamar dengan latar belakang pendidikan diploma dan sarjana yang mendaftar.

Tapi cuma dua yang lolos seleksi jadi pembantu dan pengasuh anak.

"Dari empat yang melamar, hanya dua berminat setelah kami jelaskan teknis kerjanya," ungkapnya.

"Ketika saya tanya kenapa mau bekerja seperti ini, jawabannya karena cari kerjaan susah," tambah Verry.

CV Sugesti Mandiri berkantor di Pondok Aren, Tangerang Selatan dan beroperasi sejak 2004.

Mereka menyalurkan asisten rumah tangga, pengasuh anak dan lansia ke wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Meski ada pula yang sampai keluar Jawa.

Seperti kebanyakan penyalur, CV Sugesti Mandiri juga mensyaratkan pekerjanya maksimal berpendidikan SMP-SMA dengan rentang usia 20 hingga 40 tahun.

Begitu lolos tes wawancara dan psikologi, mereka akan dilatih selama dua hari untuk pengenalan alat kerja dengan gaji antara Rp2,5 juta-Rp5 juta.
Pengamat: Pemerintah tak bisa berleha-leha lagi

Para pengamat menilai timpangnya lapangan pekerjaan di sektor formal di Indonesia saat ini sudah mengkhawatirkan dan harus jadi alarm bagi pemerintah. Apalagi Indonesia akan menghadapi bonus demografi pada 2030 mendatang.

Itu artinya, jumlah penduduk usia produktif atau tenaga kerja akan lebih besar dibandingkan penduduk usia non-produktif.

Problemnya hingga sekarang belum ada tanda-tanda perubahan kebijakan Presiden Prabowo yang mempercepat pertumbuhan ekonomi dan mendukung bangkitnya industri manufaktur di Indonesia.

Malahan, gara-gara perang tarif dengan Amerika Serikat, pemerintah justru ingin membuka keran impor sebesar-besarnya dan merelaksasi kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN)—yang sebelumnya dibikin untuk mendorong investasi asing menciptakan lapangan kerja baru di dalam negeri.

Belum lagi persoalan lesunya daya beli masyarakat di dalam negeri yang disebut Andri Perdana sebagai penyakit kronis lantaran telah berlangsung cukup lama.

"Tapi andaikata nanti kita sampai pada tahun 2030 dan masih berhadapan dengan perang tarif, maka kondisinya semakin sulit dan sangat mengkhawatirkan," jelas pengamat ekonomi Andri Perdana.

"Kelas pekerja dan menengah ini akan jauh lebih sulit masa depannya."

Pakar hukum perburuhan dari UGM, Nabiyla Risfa Izzati, juga mencemaskan hal yang sama.

Ketika para tenaga kerja dan pekerja lulusan sarjana ini terpaksa mencari pekerjaan informal, artinya mereka yang mayoritas dari kelas menengah ini tidak akan bisa mendapatkan penghidupan yang layak.

Page 1 of 2. Lanjut di pertamax karena mau nyentuh word limit

sumber: https://www.bbc.com/indonesia/articl...s/ckge4pv4xgzo

0
318
14
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan