Kaskus

Story

djrahayuAvatar border
TS
djrahayu
Cerpen : Doa-Doa yang Tumbuh dari Liang Kubur
Angin malam berbisik melalui celah-celah pohon beringin yang sudah tua, membawa serta getar dingin yang menggelitik tulang. Siti tidak menangis. Matanya yang kering mentap kosong ke arah kerumunan orang-orang desa -- wajah - wajah yang dulu ia kenal, yang pernah tersenyum padanya kini memandangnya dengan penuh kebencian yang mengkristal. Tubuhnya sudah tidak dapat bergerak lagi, terkubur hingga dada, tanah lempung yang basah menekan tulang rusuknya dengan perlahan, seperti ingin mengingatkan, 'ini salahmu'. Suara adzan maghrib berkumandang dari jauh, tapi bagi Siti, itu bukan panggilan untuk sembahyang - melainkan lonceng kematian.
Ia berusaha bernafas. Tapi setiap tarikan napas terasa seperti menghirup lumpur. Paru-parunya berjuang melawan beban tanah yang semakin padat, jantungnya berdebar liar, tapi wajahnya tetap membeku. Ia mencoba mengingat wajah lelaki yang menghamilinya-apakah dia akan datang? Apakah dia juga mendenngar teriakan-teriakannya semalam ketika para tetua desa memutuskan hukumannya? Tapi yang terngiang justru suara ibunya sendiri, berbisik pelan sebelum mereka menyeretnya ke lapangan.

"Maafkan ibu, Nak. Ini demi kehormatan kita."

Kehormatan. Kata itu menggelinding di kepalanya, tajam seperti pisau.

Anak dalam kandungannya bergerak lemah, seakan ikut merasakan tanah yang mulai menyesakkan. Siti menutup mata. Dalam kegelapan, ia membayangkan dirinya berlari - melewati sawah, menyusuri sungai, jauh dari desa ini. Tapi kaki-kakinya sudah tertanam, terpenjara oleh bumi yang sama yang dulu ia injak dengan riang.

'Akankah aku mati dalam keadaan begini?'

Tiba-tiba, ia mendengar tawa anak-anak kecil di kejauhan, bermain tanpa dosa. Air matanya akhirnya jatuh. Bukan karena takut, tapi karena ia tahu: lima puluh tahun lagi, mungkin akan ada perempuan lain di tempatnya. Dan tidak seorang pun akan belajar dari kesalahan ini.

Kemudian, tanah perlahan merayap naik, seolah hidup - menjilat lehernya, mencekik dengan perlahan. Siti mencoba untuk menggelengkan kepala, debu dan kerikil masuk ke dalam mulutnya, tapi ia sudah tidak bisa lagi berteriak.

Suara orang-orang mulai memudar, berganti dengan suara dengungan aneh di telinganya, seperti nyanyian kematian yang dipersembahkan oleh mereka yang masih bernyawa.

Seorang anak kecil di barisan depan menatapnya dengan mata bulat, polos. 'Apakah dia akan ingat ini?' pikir Siti. 'Apakah suatu hari nanti, dia akan menyadari bahwa ini bukan keadilan, melainkan ketakutan yang dibungkus kebisuan?' Tapi yang keluar dari bibir bocah itu hanya bisikan pendek, ditelan oleh sang ibu yang cepat menutup telinganya, seakan Siti adalah hantu yang sudah mulai mengutuk.

Malam semakin pekat. Lilin-lilin di sekitar lapangan berkedip-kedip, bayangan orang-orang menari-nari di tanah seperti setan yang bersuka ria. Siti merasakan dingin yang bukan lagi dari angin, tapi dari dalam - darahnya sendiri mulai menyerah.

Di suatu tempat yang jauh, mungkin di rumah kepala desa, ada pesta kecil. Mereka minum tuak, tertawa, bersyukur bahwa "aib" telah dibersihkan.

Siti ingin marah, tapi lidahnya kelu. Ia malah teringat hari ketika pertama kali bertemu lelaki itu - di kebun singkong, dibawah matahari yang sama yang sekarang menolak menyaksikan kematiannya. Orang itu memaksanya, mengancamnya dan menjatuhkannya. Ia ingin lari, tapi tak bisa. Desa ini kecil dan dikelilingi hutan, dan hutan itu dipenuhi mata-mata yang setia pada tradisi. Ia juga takut untuk mati.

Dan, ketika langit mulai berwarna ungu tua, pertanda fajar masih lama, Siti menyadari: ini adalah akhir. Napasnya jadi pendek, tersendat. Ia memejamkan mata lagi, dan kali ini, ia tidak membayangkan pelarian. Ia membayangkan anaknya - bayi yang tak pernah ia gendong - berjalan di suatu masa depan, mengenakan pakaian adat, tersenyum. Tapi wajahnya ... wajahnya seperti siapa?
Tiba-tiba, tubuhnya kejang. Tanah yang basah merembes ke hidungnya, mulutnya. Di atas, seorang wanita tua berseloroh, "Lihat, setannya mau keluar!" Dan dalam kesakitan yang tak terucap, Siti berharap ia memang menjadi setan. Agar bisa kembali, membisikkan di telinga setiap generasi : "Yang kalian hukum bukan dosa, kalian hanya takut pada perempuan yang berani bernapas."
Detak jantung Siti semakin lambat, seperti gendang yang dipukul pelan untuk mengiringin ajalnya. Matanya yang kabur menangkap bayangan seorang perempuan tua di kerumunan - Mbok Darmi, dukun beranak yang dulu membantu melahirkan dirinya ke dunia. Perempuan itu memegang keris karat di dadanya, bibirnya komat-kamit membaca mantra.

'Apakah ini doa pengampunan, atau kutukan?'

Siti ingin tertawa, tapi yang keluar dari mulutnya hanya gelembung tanah bercampur ludah. Di tengah kesadarannya yang mengabur, ia tiba-tiba merasakan sesuatu - gerakan halus terakhir dari bayi dalam rahimnya. Sebuah tendangan kecil putus asa, sebelum akhirnya diam untuk selamanya.

'Maafkan Ibu, Nak. Kita dikubur dua kali - bahkan sebelum sempat untuk bernapas.'

Suara genderang tiba-tiba memecah kesunyian. Laki-laki bertopeng dari kelompok penjaga adat mulai berkeliling, menabuh ritme kuno yang dipercaya mengusir roh jaht. Tapi Siti tahu, roh yang paling jahat, justru berada di sekelilingnya, bersembunyi di balik wajah-wajah yang ia kenal sejak kecil. Pak Kades, yang selalu memandangnya terlalu lama dengan tatapan mesum saat ia menimba air. Bu RT, yang menyebarkan gosip setelah melihatnya muntah pagi itu. Bahkan Ramli, teman sepermainannya yang kini ikut melemparkan batu kecil ke arahnya, "untuk mengusir setan."

Siti merasakan batu menyentuh dahinya, tapi sakitnya tidak seberapa dengan luka di hatinya. 'Aku bukan setan,' bisiknya dalam hati. 'Aku hanya perempuan yang terjebak dalam kegelapan.'

Matahari mulai menunjukkan sinar pertama ketika nafas Siti tinggal hitungan. Di ujung kesadarannya, ia melihat pemandangan aneh - seorang gadis kecil berdiri di pinggir kerumunan, mengenakan kain merah yang sama persis seperti yang ia pakai saat masih kecil.

Gadis itu menatapnya langsung, tanpa takut, tanpa kebencian. 'Cucuku?' Siti tersentak, tapi tidak ada seorang pun yang memperhatikan gadis kecil itu. Perlahan, gadis itu mengangkat tangan, seakan memberi salam perpisahan. Dan ketika sinar matahari pertama menyentuh wajahnya, ia menghembuskan nafas terakhir - dengan senyuman tipis.

Ketika nafas terakhir Siti menguap ke udara pagi, seluruh desa terdiam sejenak. Sebuah keanehan terjadi - angin berhenti berhembus dan burung-burung di pohon beringin berhenti berkicau. Tanah di sekitar kuburan Siti tiba-tiba retak, mengeluarkan aroma melati yang kuat, meski tak ada bunga melati di sekitar mereka.

Orang-orang saling pandang dengan bisikan ketakutan. "Dia meninggal dengan kemarahan," bisik Mbok Darmi sambil menyentakkan tangannya dari tanah, seperti terbakar. Tapi saat mereka semua pergi meninggalkan mayat Siti yang masih setengah terkubur, tak seorang pun melihat tangan kanannya yang perlahan mengepal, menggenggam segenggam tanah-sebuah sumpah yang akan dituntaskan dalam lima puluh tahun ke depan.
---

Lima puluh tahun berlalu dengan sunyi. Desa itu kini makmur, dan dijadikan contoh desa adat yang lestari. Setiap tahun, mereka menggelar Upacara Bunga Kamboja, merayakan kisah 'perempuan suci' yang rela dikubur hidup-hidup demi kesuburan tanah. Tapi malam sebelum upacara, seorang gadis bernama Laras - cucu Siti yang tak pernah tahu asal-usulnya - terbangun dari mimpi aneh.
Di cermin, ia melihat bayangan lain di belakangnya. Seorang perempuan dengan mata berkabut dan bibir pecah-pecah, mengenakan pakaian lusuh yang sama persis dengan pakaian adat yang harus ia kenakan besok.

"Jangan takut," bisik bayangan itu sambil menyentuh bahu Laras melalui cermin. "Mereka menyebutnya tradisi, tapi kita berdua tahu, ini balas dendam yang tertunda."

---

Fajar menyingsing, Laras berdiri di tengah lapangan yang sama, dikelilingin wajah-wajah penuh harao. Tanah telah digali, tapi kali ini dihiasi bunga dan dupa.

Saat dukun adat mulai membaca mantra, Laras tiba-tiba merasakan sesuatu bergerak di bawah kakinya - akar-akar pohon beringin tua merayap naik, membelit tubuhnya dengan lembut. Orang-orang berteriak kagum, mengira itu pertanda restu dari dewa. Tapi Laras tahu lebih baik.

Di telinganya, terdengar suara Siti, "sekarang kau memegang kendali." dengan senyum yang membuat bulu kuduk penonton merinding.

Laras mengangkat tangan - dan seluruh tanah di lapangan itu bergetar. Hari ini, desa akan belajar kebenaran. Yang mereka kira pengorbanan suci sebenarnya adalah kesempatan bagi para perempuan terkutuk untuk menuntut balas. Dan Laras, dengan darah Siti yang mengalir di nadinya, akan memastikan bahwa penguburan kali ini adalah yang terakhir.

(TAMAT)
namakuveAvatar border
juliejumper2Avatar border
riodgarpAvatar border
riodgarp dan 2 lainnya memberi reputasi
3
155
3
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan