Kaskus

Story

djrahayuAvatar border
TS
djrahayu
Cerpen : Ibu Terbakar Di Album Kami (1)
"Kalau kau cerai ibu akan mati!"

Ibu yang melihat sang Nenek menekan pisau ke lehernya langsung terduduk lemas. Ia tak mengerti kenapa. Nenek adalah orang yang melahirkannya dulu. Seharusnya melihat putri satu-satunya dipukuli suami, bukankah harusnya Nenek membela.

"Apa nama baik sepenting itu?" tanyanya lirih.


Namun pada akhirnya ia menyerah. Memilih langkah terakhir berbakti pada Nenek dan berusaha mempertahankan rumah tangganya. Meski ia tersiksa.

"Baiklah, aku tidak akan bicara lagi. Istirahatlah, bu."


Ia segera bangkit dan pergi meninggalkan rumah orang tuanya dan kembali menghadapi amukan sang suami. Awalnya,  Ibu mencoba bertahan dengan suami tukang selingkuh dan penghasilan yang kadang sampai ke rumah hanya sepersepuluhnya saja. Hal ini, memaksanya untuk memutar otak dan diam-diam menitipkan jajanan pasar ke warung-warung.

Ibu menarik napas perlahan dan memasuki rumah, namun tubuhnya langsung diterjang. Ia terjatuh ke lantai kayu yang penuh goresan benda tajam. Kekerasan itu berlangsung sejak Samudra dipecat dari tempat kerja karena tertuduh korupsi. Suaminya itu mungkin masih memegang beberapa bukti, sehingga tidak dijebloskan ke penjara dan hanya sekedar pemecatan.

"Kau benar-benar benalu tak berguna! Lihat apa yang kau buat itu?! Semuanya cuma buang-buang duit! Itu yang kau tau hah?!"

'Plak!'

Ibu melihat ke arah meja makan. Ia sengaja menumpang membeli sepotong paha ayam. Namun bukan untuk dirinya, tapi untuk Ayah. Sedangkan untuk putrinya Berlian dan dirinya, hanya sekedar sayur bening dengan nasi sisa kemarin.

Meja makan itu kini berantakan. Semua piring dan gelas pecah. Meja pun terbalik. Ia benar-benar tak mengerti. Kemarin ia mencoba berhemat dan hanya menggunakan sayur bening tanpa lauk. Suaminya mengamuk. Untung saja jatahnya dan Berlian selalu disimpan dalam rantang dibawah tempat cuci piring.

Ayah menarik napas. Ia mengambil botol bir baru dan menegaknya. Kemudian pergi dari sana.

"Bu?" Seorang anak berusia lima tahun berjalan mendekat.

"Tidak apa-apa. Ukh!"

"Ibu berdarah?!" teriaknya.

Ibu hampir lupa bahwa ia sedang mengandung sepuluh bulan saat ini.

"Panggilkan para bibi dan paman untuk membantu!"

Berlian mengangguk dan segera melangkah ke rumah tetangga sekitar.

Ibu memegang perutnya. Berharap sang bayi tetap bertahan. Meski sang ayah tidak menginginkannya dan beberapakali mencoba menyakiti dan mencekokinya dengan alkohol.

---

Dua tahun berlalu.

Uang tabungan dari hasil menitipkan jajanan diwarung sudah habis. Semenjak sang suami dipecat, Ibu tak bisa lagi membuat jajanan pasar dan menitipkannya. Kalau tidak dia akan mengamuk karena menurutnya apa yang dilakukan sang istri hanya mencoreng nama dan membuat malu.

Untungnya sang sahabat Lili menawarkan pekerjaan. Tepatnya kerja sama bisnis. Ia tahu Ibu sangat cerdas dan cepat beradaptasi,

"Makasih ya, Li."

"Ck! Seperti sama siapa aja. Sudah! Lusa kujemput!"

"Bu?"

"Berlian?"

"Apa ibu akan pergi?"

"Iya, tapi ibu pasti kembali. Ibu hanya bekerja. Seperti ayahmu dulu."

Berlian terdiam. Di satu sisi ia bahagia bahwa sang ibu tidak meninggalkannya dan sang adik. Di sisi lain, ia ingin sang ibu bebas. Ia tak ingin melihat ibu dipukuli dan diremehkan lagi. Apalagi dirinya sering melihat ayah merayu janda yang ada di kompleks sebelah saat pulang jalan kaki.

Awalnya dia tak mengerti. Tapi para bibi tetangga yang suka bergosip memberitahunya. Bahwa ayah selingkuh. Bahkan banyak yang mencerca ibu.

Sebenarnya saat nenek mengancam untuk mati. Ia ada di sana dan mengintip. Bersembunyi dan menyaksikan bagaimana ibu tak berdaya dibawah ancaman nenek. 

"Ibu masih ingin menyaksikan Berlian dan Tiara tumbuh besar dan menjadi perempuan dewasa yang mandiri. Ibu tak ingin apa yang dialami ibu saat ini, dialami oleh Berlian. Ibu akan menjadi pendukung terbesar untuk kalian berdua."

"Makasih, Bu."

---

Sore itu, setelah Diana membicarakan tentang itu. Ayah mengamuk. Ia membanting meja makan dan menumpahkan lauk dan sayur. Untung saja semua gelas, piring dan mangkuk sudah diganti dengan plastik yang tampak seperti keramik dan kaca.

"Jadi kau pikir bisa seenaknya pergi? Tinggalkan aku? Tinggalkan anak-anak?!" teriaknya dengan wajah memerah. Tangannya mencengkram botol kosong dan siap menghatam.

Berlian yang saat itu berusia tujuh tahun, hanya bisa memeluk dan menutupi mata adiknya yang masih belita. "Jangan lihat, Rara," bisiknya, suaranya terdengar getir. Namun Rina melihat. Ia melihat sang ayah - yang biasa memanjakannya dengan permen, cerita sebelum tidur dan jalan-jalan (ke rumah janda untuk menarik perhatian) - berubah menjadi monster yang melolong.

Ayah melempar botol itu ke sembarang arah. Ia mendekat ke arah Berlian yang ketakutan, begitu pula sang ibu. Untungnya sang ayah hanya menarik Tiara. Mereka tau, bahwa sang Ayah tidak akan pernah menyakiti atau melukai si bungsu.

"Kita dikhianati, Nak," erang Ayah sambil memeluk Tiara. Bau alkohol dan keringat merasuk hidung. "Ibumu lebih memilih orang lain daripada kita!"

Ibu hanya diam. Matanya kering, namun Berlian melihat kepalan tangan putih dan kuku yang mencengkup daging di telapak. "Aku tidak punya pilihan," ucap ibu pelan. "Kita butuh makan. Anak butuh pendidikan."

Esok paginya, Ibu pergi sebelum matahari terbit. Ia menyempatkan diri ke kamar kedua putrinya untuk mengecup kening mereka. 

Tiara segera terbangun, saat mendengar bunyi koper digeser dari balik tirai. Ia melihat ibu mengenakan blezer biru - benda asing yang tak pernah tampak ada di rumah di antara sari dan daster lusuh yang biasa dipakai sang ibu.

Tiara segera bergegas mendekat dan menarik sudut daster ibu. "Ibu pergi?" tanyanya dengan suara kecil.

Ibu membungkuk dan mencium keningnya. "Ibu pulang cepat."

Tiara hanya diam sambil teringat kata-kata Samudra. "Dia akan meninggalkan kita," bisiknya saat menyuapi Tiara makan malam di rumah Janda. "Perempuan yang baik tidak akan keluar rumah tanpa suami."

Di kali ketiga ibu kembali berangkat bekerja, Ayah memecahkan vas hadiah pernikahan saat sang ayah masih bekerja. Di minggu kedua, Tiara mulai bangun lebih pagi untuk menyiapkan kopi ayah - seperti yang diajarkan sang janda, tentang anak soleha yang menyayangi ayahnya.

Sedangkan, Berlian diam-diam menyimpan pecahan kaca dan keramik yang pernah melukai ibu. Sebagai bukti bagaimana ibu berjuang.

---

Beberapa tahun kemudian, di pagi hari, aroma kopi pahit dan susu menguar memenuhi dapur. Kondisi rumah mereka sekarang berjalan baik. Bahkan mereka sudah pindah ke rumah yang lebih besar. Berlian dan Tiara pun sudah mulai beranjak remaja.

"Lagi-lagi ibu membuat ayah sedih," bisik Tiara pelan pada Berlian yang tengah memotong sayur. "Tadi malam aku dengar ayah nangis di kamar mandi."

Berlian tidak menoleh. Tangannya tetap stabil memotong sayur seperti diajarkan sang Ibu dulu. "Bukannya selalu begitu, setiap ibu berangkat dinas," ujarnya datar.

Di atas meja di sudut dapur, ada secarik kertas - surat pemutusan kontrak ART yang ketiga tahun ini. Kata Ayah, si Mbak mencuri perhiasan. Tapi Berlian tahu yang sebenarnya; kemarin sore ia melihat sendiri. Sang Ayah pergi mengejar ART sampai kamar mandi, tertawa kasar sambil memeluk pinggangnnya.

"Ayah bilang mereka takut sama ibu." Tiara melanjutkan sambil meniru nada victim Ayah dengan sempurna. "Katanya ibu galak dan pelit."

Berlian menatap adiknya. Di balik kaca mata minusnya, Tiara masih terlihat seperti bayi yang dulu ia gendong untuk menghindari lemparan piring. Tapi sekarang matanya sudah berbeda - ada kepuasan kecil setiap kali ia bisa menyakiti Ibu dengan kata-kata Ayah.

"Kamu benar-benar percaya sama semua ucapan Ayah?" tanya Berlian sambil menyodorkan susu hangat. Ia benar-benar lelah untuk menasihati sang adik.

Tiara mengernyit. "Ibu memang jarang di rumah. Kamu tidak ingat waktu kita kecil dulu, Ayah yang selalu ...."

Terdengar suara pintu di depan terbanting. Tampak ibu masuk dengan sepatu boots berdebu dan tas laptop yang sudah kusam. Bau hujan dan asap knalpot menyerbu ruangan.

"Aku harus ke Singapura besok," Ibu meletakkan dokumen di meja. "Meeting dengan buyer tekstil.'

Dari ruang tamu, botol miras dilempar ke dinding. "Dasar jablay!" teriak Samudra. "Kerjaannya cuma keluar kota sama laki-laki!"

Tiara langsung berlari ke Ayah. Berlian hanya bisa diam sambil melihat sang ibu yang menarik nafas panjang, lalu mengambil koper kecil dari bawah tangga. Koper itu penuh stiker bandara - Bangkok, Tokyo, Dubai - seperti lencana keberanian yang tak pernah diakui keluarga ini.

Pecahan botol berkilauan di lantai ketika ibu melewatinya tanpa ragu. Darah mengalir dari kakinya yang hanya berkaki sandal rumahan nan tipis, tapi wajahnya tidak berubah dan tetap tenang.

"Awas, Ra," bisik Berlian sambil membersihkan luka di telapak tangan adiknya yang gemetar. "Kaca."

Tapi Tiara malah mendekatkan diri ke pelukan Samudra, matanya membelalak menatap Diana penuh tuduhan. "Lihat apa yang ibu buat?!"

Ibu hanya mengangguk, lalu menutup pintu kamarnya. Berlian tahu - di balik pintu itu, ibu sedang merogoh lemari rahasia yang berisi emas dan paspor. Persiapan untuk pertempuran yang tak akan pernah ia pahami di usianya sekarang.

Ayah segera keluar bersama Tiara entah ke mana. Mungkin bertemu seseorang yang juga disapa ibu oleh adiknya akibat bujukan sang Ayah. Sedangkan dirinya ditinggal sendiri di sini.

Ia mengambil langkah untuk mengobati kaki ibu terlebih dahulu. Namun, sebelum masuk ia mendapati ibu tengah merogoh kolong lemari. Terdengar suara robekan lakban di dalamnya. Kemudian tampaklah kantung plastik bening berisi buku tabungan, beberapa perhiasan kecil sederhana yang tampak mahal, beserta kertas-kertas kecil yang terlipat dan mungkin itu adalah kwitansi pembelian serta surat kepemilikan.

"Lili, aku benar-benar ingin kamu menyimpan semua simpananku ini," bisik ibu melalui telepon, suaranya terdengar parau. "Kalau sesuatu terjadi padaku ...."

Berlian menahan napas dengan kepala tertenduk. Ia ingin maju, ingin juga membela ibu saat ayah emosi. Namun kakinya tak bisa bergerak, bahkan tubuhnya gemetar ketakutan.

"Ini untuk biaya sekolah anak-anak nanti. Tolong jangan kasih tahu siapa-siapa."

Kantung itu sedikit bergemerincing ketika berpindah ke tangan Tante Lili keesokan harinya. Di sudut gang yang cukup terpencil dan jauh dari rumah, Berlian menguping percakan mereka.

"Kamu yakin nggak mau cerai?" tanya Tante Lili, matanya merah. "Aku melihatnya memukul Berlian minggu lalu. Mungkin dia mengira putrimu yang melaporkan perselingkuhan itu."

Ibu mengusap lengan kirinya yang masih berbekas lebam. Entah apa lagi yang dilakukan Ayah setelah pulang. "Ibuku masih hidup. Aku nggak mau jadi penyebab kematiannya." Suaranya pecah. "Dia pernah dilarikan ke rumah sakit karena menyayat pergelangan tangannya setelah aku bicara soal perceraian."

Di hari yang sama, Berlian tak sengaja menemukan nota pembelian sepatu, tas dan beberapa perlengkapan sekolah miliknya dan Tiara di antara tagihan listirik. Nilainya membuatnya tercekat - cukup untuk membayar DP mobil baru seperti yang ada diiklan-iklan, tapi Tiara merasa miliknya sudah ketinggalan zaman. Padahal belum ada satu tahun barang-barang itu sampai ke tangan mereka.

Dan malam itu, Ayah kembali mabuk. Botol bir kosong berguling di lantai ketika ia menyeret Tiara ke kamar. "Lihat, Nak!" Ia membuka laci dengan kasar. "Ibumu menyembunyikan uang! Dasar perempuan serakah!"

Berlian mengintip dari balik pintu. Ayah tengah mengobrak-abrik seluruh kamar, tapi tak menemukan apa-apa. Ia tak tahu Ibu sudah memindahkan semuanya - sejak kejadian ART pertama dipecat, sejak ia menemukan kamar mandi berbau parfum murah dan lipstik di kerah baju Ayah.

Berlian menghela napas dan kembali ke kamarnya sendiri. Ia merogoh bawah tempat tidur. Di sana terselip kertas alamat dan nomor Tante Lili yang bisa dihubungi. Siapa tahu, jika ia tak lagi bisa bertahan di sini, dirinya bisa kabur ke sana.

----

Di sebuah restoran mewah, seluruh keluarga sedang berkumpul merayakan ulang tahun Tiara yang ke - 25, tempat di mana sang suami yang bekerja sebagai pegawai kementrian biasa menjamu atasan. Lampu kristal memantulkan kilauan cincin berlian di jarinya - hadiah dari Ayah, yang dibeli dengan uang Ibu dengan ancaman.

"Ayah bilang Ibu hina," ujar Tiara, menyela obrolan para tamu. Dagunya menunjuk ke arah Ibu yang sibuk membuat perhitungan dengan Ipadnya. "Ayah bilang perempuan baik tidak perlu sok mandiri seperti Ibu."

Hendra sang suami hanya tersenyum kecut sambil menyulut rokok. "Tapi kita harus akui. Bu ... tanpa jaringan Ibu di kementrian, proyekku tidak akan lolos." Asap rokoknya membentuk lingkaran di atas kepala Ibu. "Cuma sayang, cara Ibu dapatkan proyek itu agak ...."

Berlian menumpahkan anggur yang diberikan oleh pria hidung belang, teman Hendra ke pangkuan suami sang adik kesayangannya itu. "Maaf, tangan saya licin." Ia tidak bisa benar-benar membuat keributan di sini. Sang ibu selalu menekankan untuk melindungi Tiara.

Di ujung meja, Ibu tidak bereaksi. Tangannya yang sudah berkeriput sibuk menyesuaikan data di Ipad. "Besok ada pengiriman di Rotterdam," bisiknya pada Tante Lili yang duduk disebelahnya. "Aku harus pastikan kontainer tidak delay."

Tiara meraup kue ulang tahun dengan garpu perak. "Ibu bahkan tidak lihat aku tiup lilin tadi," keluhnya pada Hendra. Suaranya sengaja dikeraskan. "Dari kecil memang begitu, Ayah yang selalu ...."

Ibu berdiri tiba-tiba. Tas kerjanya yang sudah usang terbuka, memperlihatkan dokumen kontrak dan sebotol obat maag. Ia melirik ke arah Berlian sebagai tanda ajakan. "Permisi, saya ada konferensi video dengan buyer dari Jerman."

Ketika pintu restoran tertutup, Hendra tertawa. "Lihat, Ra? Ibumu lebih memilih orang asing daripada anak sendiri."

Berlian melihat jam tangan mewah dipergelangan Hendra - persis seperti yang sering Ayah pakai dulu. Di balik kaca jendela, Ibu terlihat sedang menelpon sambil mengelus punggungnya yang sakit.

"Aku juga harus kembali."

"Tapi, Kak ...."

"Aku harus menjemput anak-anak dari rumah mertua besok."

Ya, Berlian sudah menikah dan suaminya meninggal karena kecelakaan. Jadi terkadang, saat mereka rindu dengan cucu. Ia sendiri mengantar anak-anak ke luar kota.

"Baiklah. Hati-hati."

Berlian segera keluar dan menyusul Ibunya. Sejujurnya ia masih ingin menasihati sang adik. Bagaimana pun saat Ayah mulai emosi saat ibu pergi, Tiara lah yang maju ke depan dan membujuk. Sehingga tak ada pukulan yang diterimanya. Namun sang adik telah termakan omongan Ayah sejak dulu. Jadi tak ada lagi yang bisa dikatakan dan dilakukan olehnya.

Pada akhirnya, Ibu dan Berlian meninggalkan pesta itu. Di mana tak ada satu pun makan yang halal untuk cucu dan keponakan mereka itu.

---

Kabar duka terdengar, tapi bagi Ibu itu seperti kebebasan dan surga dunia.

Di umurnya yang ke 97 tahun, nenek wafat pada suatu Senin pagi ketika hujan gerimis membasahi kaca jendela. Upacara pemakamannya sederhana, dihadiri oleh tetangga yang selama ini hanya berbisik-bisik di belakang keluarga mereka.

Tiga hari setelah pemakaman, Ibu mengajak Berlian makan siang di warung bakso dekat kantor ekspornya. Tempat itu biasa ia datangi ketika butuh berpikir jernih, jauh dari teriakan Ayah dan rengekan adiknya, Tiara.

"Bagaimana mertuamu?"

"Baik, Bu. Mereka juga bertanya, kapan Ibu bisa mampir."

"Dalam bulan ini, jadwal ibu penuh. Mungkin ibu akan meluangkan waktu bulan depan. Bagaimana keadaan Faiz dan Khadijah?"

"Masih nakal dan susah dikasih tau." Berlian memberengut kesal. "Tapi mereka rindu ibu dan ingin bertemu ibu."

"Bawa aja sesekali ke sini." Ibu memasukkan sepotong daging rendang ke piring Berlian. "Ibu akan bercerai."

Berlian tidak lagi terkejut. Ia sudah melihat tanda-tandanya saat berkunjung ke rumah susun kumuh sewaan Ibu yang tak jauh dari kantor. Semenjak Berlian menikah dan keluar dari rumah mengerikan itu, Ibu pindah ke tempat kecil, agar Ayah tidak punya keinginan untuk tinggal di sana.

"Ibu tahu, kamu akan mengerti," lanjut Ibu, matanya menatap langsung ke wajah Berlian untuk pertama kalinya sejak ia berusia tujuh tahun.

Tiba-tiba Tiara datang dengan wajah merah dan mata berkaca-kaca, menyerbu restoran padang itu seperti badai.

"Ayah bisa mati sendirian!" teriaknya, suaranya melengking hingga para pelanggan lain menoleh. "Setelah semua yang Ayah lakukan untuk kita ...."

"Bukankah kau ada?" potong Ibu dengan suara datar. Kali ini, tak ada air mata yang menggenang, tak ada ragu di matanya.

Tiara terkesiap, "Tapi ... tapi keluarga ....."

"Keluarga?" Ibu mengeluarkan amplop coklat dari tasnya. Di dalamnya ada foto Ayah dengan ART terbaru, rekaman percakapan mesra dengan wanita lain, dan laporan bank yang menunjukkan bagaimana uang hasil kerjanya selama ini dipakai untuk membeli hadiah-hadiah tak berarti. "Ini keluargamu sendiri. Pilihlah!"

Udara di sana tiba-tiba terasa pengap. Tiara menggenggam erat foto itu, mulutnya bergertar seperti anak kecil yang baru sadar kalau ia ditinggalkan sendirian di pasar.

"Itu salahmu! Kalau kau tak sibuk dengan duniamu sendiri, Ayah tak akan kesepian!"

"Lalu, membiarkan kita mati kelaparan dan dipukuli olehnya?"

Berlian terdiam. "Kau tega," ucapnya lirih.

Ibu memanggil pelayan dan membayar tagihan. Setelah pelayan itu pergi, ibu berkata, "tega itu membiarkan anak-anakku tumbuh dengan mengira kekerasan adalah cinta."

Di luar, langit mendung mulai berubah cerah. Sebuah taksi berhenti di depan warung. Ibu segera pergi tanpa menoleh, ketika Tiara menjatuhkan diri di lantai dan menangis histeris.

namakuveAvatar border
jiyanqAvatar border
pulaukapokAvatar border
pulaukapok dan 2 lainnya memberi reputasi
3
167
3
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan