- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Gundah saat Paskah usai rumah doa di Tangerang disegel


TS
LordFaries4.0
Gundah saat Paskah usai rumah doa di Tangerang disegel

Judul lengkap: Gundah saat Paskah usai rumah doa di Tangerang disegel – 'Ada ketakutan, apalagi rumah doa kami sudah ditempel tanda kuning'
Suasana khusyuk perayaan Paskah jemaat Persekutuan Oikumene Umat Kristen (POUK) Tesalonika di Teluknaga, Tangerang, Banten, mendadak berubah menjadi duka saat gedung tempat mereka biasa berdoa disegel aparat pemerintah daerah pada Sabtu (19/04).
Pemasangan segel ini bentuk provokasi yang bisa mengundang kelompok intoleran bertindak atas dasar penyegelan tersebut, kata pegiat.
Perayaan Paskah dalam dua tahun terakhir punya cerita yang bikin sesak Nirmala, salah satu jemaat Persekutuan Oikumene Umat Kristen (POUK) Tesalonika di Teluknaga, Tangerang, Banten.
Tahun lalu, sekelompok orang mengeruduk gedung yayasan yang dikira gereja—tempat mereka sedang bersiap untuk merayakan Paskah keesokan harinya.
Sekelompok orang tersebut melakukan apa yang disebut sebagai "intimidasi".
Di bawah bayang-bayang ketakutan, perayaan Paskah tetap berjalan di sebuah ruko yang mereka sewa untuk beribadah.
"Kami masih bisa merayakan Paskah sebagaimana jemaat yang lain semuanya," tutur Nirmala kepada wartawan Hilman Handoni yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (20/04).
"Kita bisa bersenda gurau, berlomba-lomba, ada kuis-kuis yang diadakan seperti gereja-gereja yang lain."
Tapi tahun ini, suasana khusyuk perayaan Paskah mendadak berubah menjadi duka saat gedung tempat mereka biasa berdoa disegel aparat pemerintah daerah pada Sabtu (19/04).
Imbasnya, rangkaian perayaan Paskah pada Minggu (20/04) terpaksa berhenti.
"Hanya untuk kami beribadah, dengar firman, [lalu] pulang," aku Nirmala.
Paskah, kenang Nirmala, selalu membawa kehangatan di antara jemaat Tesalonika. Perayaan Paskah selalu diikuti makan-makan.
"Kami dulu itu bersama-sama. Semuanya kami, anak-anaknya. Bersenda gurau."
Lalu mendadak Nirmala terisak.
"Sekarang enggak dapat lagi itu. [Sekarang] terus ada ketakutan, ketakutan itu terus. Apalagi sekarang lagi rumah doa kami itu sudah ditempel [tanda] 'kuning' lagi."
'Kuning' yang dimaksud Nirmala adalah penanda 'penyegelan' yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Tangerang yang dipasang pada Sabtu (19/04).
Penyegelan itu hanya terjadi sehari setelah jemaat melakukan prosesi Jumat Agung—salah satu rangkaian dalam tiga hari suci Paskah di Rumah Doa mereka.
Karena khawatir akan 'digeruduk' lagi seperti tahun sebelumnya, maka perwakilan jemaat—suami Nirmala adalah ketua majelis jemaat Tesalonika, bersama pendeta dan ketua yayasan—mengurus izin ke otoritas dan pihak berwenang setempat.
"Sampai jam 12 malam belum pulang dari Polsek Teluknaga untuk mendapatkan izin itu," kata Nirmala lagi.
Juru bicara jemaat POUK Tesalonika, Pendeta Michael Siahaan, mengungkap bahwa sebelumnya yayasan telah menyurati camat Teluknaga untuk meminjam aula kecamatan demi peringatan Jumat Agung.
Surat itu dikirim pada 15 April silam. Namun, kata Michael, tidak ada balasan. Oleh sebab itu, mereka akhirnya memutuskan beribadah di rumah doa berbekal surat rekomendasi dari Komnas HAM untuk kebebasan beribadah.
Sekitar lima puluhan jemaat gereja datang, menumpang mobil, motor, dan berjalan kaki, melangsungkan ibadat dengan hikmat di bawah kawalan aparat.
Apa akar masalah yang dihadapi jemaat POUK Tesalonika?
Sejak persekusi yang dialami POUK Tesalonika oleh sejumlah orang pada 30 Maret 2024—sehari menjelang Paskah—yayasan terus berjuang agar bisa beribadah di rumah doa mereka sendiri, yakni gedung Yayasan POUK Tesalonika.
Yayasan ini telah mengupayakan izin Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang memang dibutuhkan untuk bangunan rumah doa mereka.
Tapi izin ini, menurut pengurus Yayasan POUK Tesalonika, Pardede, tak kunjung diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Tangerang.
Dia menduga izin tak keluar karena khawatir bangunan akan digunakan sebagai gereja. Padahal katanya, bangunan hanya akan digunakan sebagai "rumah doa."
Aturan mendirikan gereja di Indonesia diatur oleh Surat Keputusan Bersama (SKB) Dua Menteri yang mensyaratkan minimal 90 jemaah yang memiliki KTP dan tinggal di sekitar gereja.
Selain itu, perlu dukungan dari minimal 60 warga sekitar yang disahkan lurah/kepala desa, rekomendasi tertulis dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan rekomendasi tertulis dari kantor departemen agama setempat.
Namun untuk pendirian rumah doa tak perlu izin khusus. Hanya dokumen Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) tadi.
"Prosesnya kami lewati semua," kata Pardede lagi.
Pendeta Michael Siahaan menganalogikan rumah doa sebagai semacam musala bagi umat Muslim.
"Musala dan masjid, kan beda. Jadi rumah doa itu termasuk dalam kapel, langgar, surau, musala. Itu termasuk jenis itu," jelas Michael.
Sama seperti Pardede, Michael berkukuh untuk jenis yang terakhir tak perlu IMB, melainkan PBG.
Lama menanti kepastian PBG untuk rumah doa mereka, yayasan akhirnya menggunakan bangunan baru untuk ibadah.
Namun, pemerintah Kabupaten Tangerang justru menyegel tempat itu. Sebagai gantinya, pemerintah menyediakan aula kecamatan untuk beribadah.
Mulai 21 April 2024, para jemaat beribadah di aula kecamatan. Sedangkan nasib rumah doa mereka menggantung, hingga kini.
'Kami tidak boleh banyak minum, biar tak perlu ke toilet'
Aula kecamatan yang digunakan sebagai lokasi peribadatan sementara berjarak sekitar 2 kilometer dari lokasi kebanyakan para jemaat tinggal.
Lokasinya berseberangan dengan masjid, tapi kata para pengurus dan jemaat gereja, fasilitas di gedung ini tidak memadai.
Penerangan di dalam gedung diklaim sangat minim.
Sementara sirkulasi udara di dalam ruangan hanya mengandalkan kipas angin dan lubang angin di dinding bagian atas.
Aula itu pun tak memiliki fasilitas toilet.

"Jadi kami dari rumah, diingat-ingatkan jangan banyak minum. Biar jangan nanti, maaf, buang-buang air kecil di sana. Begitu kami semua dimbau," jelas Nirmala.
Bila cuaca sedang terik, maka suasana panas di dalam aula hampir tidak bisa dielakkan.
"Tapi kita punya iman, memang niat ibadah, panas itu kadang-kadang enggak kita lagi rasakan."
'Surat sebelum ibadat'
Yang jadi perkara adalah, kata Pendeta Michael Siahaan, aula kecamatan ini tidak bisa sembarangan dipakai.
Untuk kegiatan hari-hari besar keagamaan, jemaat mesti mengajukan surat terlebih dahulu kepada camat Teluknaga.
Dicontohkan Michael, pada 9 Mei tahun lalu, ketika Hari Kenaikan Yesus Kristus, mereka tidak bisa menggunakan gedung tersebut. Demikian juga pada perayaan malam Natal dan Natal tahun yang sama.
"Setelah kami bersurat, surat kami juga tidak dibalas dan tidak diberikan tempat."
Ini juga yang jadi pokok soal pada ibadah Paskah tahun ini.
Kata Michael, pihak gereja telah mengajukan surat untuk memperingati Jumat Agung yang jatuh pada 18 April 2025.
"Kami bersurat ke camat tanggal 15 April untuk menggunakan gedung aula kecamatan."
Karena tak kunjung berbalas, dan berbekal dengan surat rekomendasi dari Komnas HAM, jemaat memutuskan untuk memindahkan ibadah ke gedung yayasan mereka sendiri.
Izin diurus hingga Jumat (18/04) dini hari dan ibadat digelar pada Jumat pagi dengan pengawalan aparat.
Pada Sabtu (19/04), pihak gereja mengeklaim surat jawaban dari camat datang dibawa empat orang polisi berpakaian dinas dan dua orang berpakaian sipil.
Isinya imbauan agar jemaat menggunakan aula untuk kegiatan Paskah.
Pada sore itu pula, pintu masuk bangunan ditempel spanduk kuning milik pemerintah kabupaten Tangerang yang berbunyi "Bangunan ini Distop."
'Kami sudah memfasilitasi'
Sementara itu Camat Teluknaga, Zamzam Manohara, membantah pihaknya yang melakukan "penyegelan".
"Kita enggak punya kewenangan untuk melakukan penyegelan. Bukan kami yang menyegelnya, tapi dari Dinas Kabupaten," dalih Zamzam.
Dia menegaskan pihak kecamatan tidak menghalang-halangi kegiatan peribadatan.
"Sebenarnya kami sudah memberikan ruang untuk saudara kita itu beribadah di aula kecamatan. Bahkan bukan hanya untuk Paskah saja, tetapi juga kemarin-kemarin itu untuk peribadatan Minggu."
"Jadi bukannya berarti pemerintah belum ada langkah-langkah untuk memfasilitasi ya. Kami sudah lakukan, kami sudah fasilitasi," tegas Zamzam.
Dia juga membantah adanya larangan untuk menggunakan aula pada Jumat, untuk kepentingan rangkaian ibadah Paskah, yaitu Jumat Agung.
Zamzam bilang yang terjadi adalah persoalan pengaturan jadwal saja.
"Jadi kami menyampaikan, saya luruskan ya. Hari Jumat itu kami persilakan. Cuma dalam kondisi di hari Jumat itu kebetulan aula kami itu berhadap-hadapan langsung dengan Masjid Raya."
"Jadi kami kasi opsi, silakan dipergunakan, kalau enggak pagi, pagi sekalian. Atau siang habis salat Jumat. Kan kita enggak memungkinkan kalau misalkan ada dua peribadatan langsung bersamaan di waktu yang sama ya."
Zamzam mengaku tidak mengetahui kenapa perizinan yang diurus Yayasan Tesalonika Tangerang jadi seret, karena semua urusan itu ada di bagian Dinas Tata Kota Kabupaten Tangerang.
"Kami akan membantu memfasilitasi sesuai dengan batas kewenangan kami di kecamatan, supaya ke depannya warga kami dapat melaksanakan peribadatan dengan nyaman di tempat yang layak dan sesuai."
Penyegelan sebagai 'bentuk provokasi'
Manajer Advokasi Serikat Jurnalis untuk Keberagamaan atau Sejuk, Thowik, mengatakan seharusnya surat rekomendasi dari Komnas HAM sudah cukup menjadi dasar bagi pemerintah untuk melindungi para jemaat Tesalonika.
"Surat rekomendasi Komnas HAM yang diarahkan kepada Pemkab, dalam hal ini Bupati, Kabupaten Tangerang, dan Kapolres atau Polres Metro Kota Tangerang untuk memfasilitasi," ujar Thowik.
Alih-alih memfasilitasi, aksi 'penyegelan' terbaru menurut Thowik malah bisa dianggap sebagai bentuk provokasi.
"Pemasangan segel yang sekarang ini itu bentuk provokasi yang bisa mengundang kelompok-kelompok yang tidak bertanggung jawab, yang tidak toleran itu untuk melakukan sesuatu karena dasarnya [penyegelan] ini."

Proses izin, yang jadi biang kerok perkara ini juga menurut Thowik juga terkesan dipaksakan.
Misalkan, yayasan mesti melengkapi permohonan izin dengan persyaratan "peil banjir"—ketinggian air banjir yang digunakan sebagai acuan dalam perencanaan dan pembangunan untuk mencegah kerusakan akibat banjir.
Ini juga mengacu pada ketinggian minimal lantai bangunan yang harus dipastikan agar tidak terendam oleh air banjir.
"Normalnya itu, dengan model bangunan Yayasan Tesalonika, dua minggu atau satu bulan itu sudah sangat lama. Apalagi lebih dari dua bulan. Proses PBG itu sangat mengada-ada,"
'Bau tak sedap' ini bukannya tidak dicium dari luar.
Kata Thowik, tekanan kepada pemerintah kabupaten juga datang dari lembaga nasional dan provinsi.
"[Sudah] dapat tekanan dari Ombudsman, baik Ombudsman RI yang di pusat maupun Ombudsman Banten,"
Tapi Nirmala, tetap resah ketika beribadah saat Paskah.
Gundah saat perayaan Paskah tak hanya terjadi di Kabupaten Tangerang saja.
Pada Kamis (17/04) sekelompok orang yang berasal dari Forum Komunikasi Warga Arcamanik Berbhineka melakukan aksi unjuk rasa menentang penggunaan GSG Arcamanik untuk kegiatan ibadah umat Katolik di kawasan Arcamanik, Bandung.
Polemik penolakan warga terus berlarut kendati gedung GSG Arcamanik berada di tanah milik gereja.
https://www.bbc.com/indonesia/articl...s/c87plnq34nqo
Hem...


itkgid memberi reputasi
1
350
17


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan