- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Kadangkala Manusia Membutuhkan Guncangan


TS
ayomembaca
Kadangkala Manusia Membutuhkan Guncangan
Berbicara tentang filosofi lagi, kadang kala manusia membutuhkan guncangan, menurut ku ini agak menggelikan. Yang mana guncangan berarti goyah, tidak tetap, bergerak-gerak, atau berubah-ubah. Pendek kata, Guncangan adalah kondisi ketidaknyamanan, bahkan menyebabkan masalah fisik jika di alami secara terus menerus.
Namun tidak demikian dengan wahana permainan. Justru ia berbeda dalam mengartikan sebuah guncangan. wahana roller coaster misalnya , dimana roller coaster yang bagus adalah yang memberikan kengerian/ketegangan. Ini valid

Hanya saja perlu di catat bahwa tak dapat di sangkal guncangan yang di butuhkan roller coaster pasti bersifat sementara.
saya mengandaikan, sekiranya mereka (para penikmat adrenalin) membutuhkan guncangan, mengapa tidak ikut naik kapal nelayan saja ?? ,toh di kapal nelayan akan ada guncangan nyaris seharian. tetapi kembali lagi soal makna guncangan. di sini guncangan yang di ciptakan roller coaster sejatinya hanyalah produk dari kapitalisme yang bermetamorfosis dengan cara mengeksplorasi adrenalin manusia, menurut saya sih...
Lalu bagaimana dengan anda ?
Pandangan saya mungkin agak Lain dengan anda, Memang, ada paradoks dalam cara manusia mencari "guncangan"—entah melalui wahana permainan, olahraga ekstrem, atau bahkan pergolakan emosional dalam cerita/drama. dan di sini aku ingin bahas beberapa poin yang perlu
Yang pertama Guncangan sebagai "Kebutuhan Terkendali"
Manusia seringkali mencari sensasi "guncangan" dalam konteks yang aman dan sementara yang mana guncangan ini sengaja di ciptakan (roller coaster, film horor, dll.) justru karena mereka tahu risiko sesungguhnya minimal. Ini seperti simulasi ketakutan yang memberi kepuasan adrenalin namun tanpa konsekuensi nyata. Sedang Naik kapal nelayan? Itu "real danger"—bukan lagi hiburan, melainkan pekerjaan dengan risiko nyata (cuaca, kelelahan, dll.). Di sini, kapitalisme memang memanfaatkan hasrat manusia akan sensasi dengan mengemasnya sebagai produk "hiburan".
Yang kedua Guncangan vs. Kebosanan
Psikologi evolusi menyebut bahwa manusia butuh stimulasi baru untuk menghindari kebosanan (sensation-seeking behavior). Tapi, seperti kata saya, ini harus sementara. Guncangan terus-menerus (seperti di kapal nelayan) justru jadi beban. Roller coaster populer karena ada ending-nya: setelah 2 menit, kamu kembali aman dan justru merasa "hidup".
Yang ketiga Kapitalisme dan Komodifikasi Adrenalin. Benar bahwa industri mengkapitalisasi kebutuhan ini. Tapi apakah itu buruk? Jawaban nya Tergantung. Di satu sisi, ia memenuhi kebutuhan psikologis; di sisi lain, bisa jadi alat pelarian dari masalah nyata (misal: orang mencari thrill, untuk menghindari refleksi diri). Ini mirip dengan cara kita mengonsumsi kopi untuk "guncangan energi" alih-alih tidur cukup.
Bagaimana dengan Saya?
Saya setuju bahwa guncangan dalam wahana permainan adalah metafora menarik untuk kehidupan: kita ingin tantangan, tapi yang bisa dikontrol dan diakhiri sesuka hati. Mungkin ini juga kritik halus terhadap modernitas—kita merindukan intensitas, tapi hanya yang instan dan "disposable"
Kalau mau ekstrem, kita bisa bertanya: "Apakah roller coaster adalah pengganti dari petualangan nyata yang hilang di dunia yang terlalu teratur? 😄
dari sini kiranya tepat jika saya mengatakan "manusia di satu sisi menghindari kepalsuan, di sisi yang lain menginginkan kepalsuan dalam bentuk kesenangan "
Ada ironi mendalam dalam cara kita menyikapi "kepalsuan"—kita membencinya dalam konteks moral (misalnya: kepura-puraan sosial, manipulasi), tapi justru mengejarnya dalam konteks hedonisme atau pelarian. Saya akan coba uraikan
Yang pertama: Menolak Kepalsuan, Tapi Menciptakan "Kesenangan Palsu"
Poin nya ada pada Penolakan terhadap kepalsuan. Kita marah saat dihadapkan pada kemunafikan, hubungan sosial yang transaksional, atau budaya virtue signaling. Kita ingin keaslian (authenticity). Tapi... Di saat yang sama, kita membayar mahal untuk pengalaman virtual (VR, game) yang menggantikan interaksi nyata. Bahkan kopi "rasa alam" yang dibuat dari sirup sintetis.
Ini bukan sekadar hipokrisi, melainkan kebutuhan akan kontrol. Kepalsuan dalam kesenangan memberi kita kenyamanan karena kita yang menentukan batasnya.
Lalu Kenapa Kita Mencari "Kepalsuan yang Nyaman"? Dua kemungkinan jawaban nya:
- Eskapisme. Kesenangan palsu seringkali adalah pelarian dari kompleksitas hidup. Roller coaster seperti yang telah saya singgung, memberi sensasi bahaya tanpa konsekuensi; drama cinta romantis memberi ilusi hubungan ideal tanpa konflik nyata.
- Kapitalisme Memperkuat Ini: Industri menjual produk yang terasa otentik tapi sebenarnya terstandarisasi (contoh: "wisata alam" yang dipoles untuk foto, bukan untuk pengalaman). Kita membeli feeling keaslian, bukan keaslian itu sendiri.
***
Selamat merenung
Namun tidak demikian dengan wahana permainan. Justru ia berbeda dalam mengartikan sebuah guncangan. wahana roller coaster misalnya , dimana roller coaster yang bagus adalah yang memberikan kengerian/ketegangan. Ini valid

Wikipedia
Hanya saja perlu di catat bahwa tak dapat di sangkal guncangan yang di butuhkan roller coaster pasti bersifat sementara.
saya mengandaikan, sekiranya mereka (para penikmat adrenalin) membutuhkan guncangan, mengapa tidak ikut naik kapal nelayan saja ?? ,toh di kapal nelayan akan ada guncangan nyaris seharian. tetapi kembali lagi soal makna guncangan. di sini guncangan yang di ciptakan roller coaster sejatinya hanyalah produk dari kapitalisme yang bermetamorfosis dengan cara mengeksplorasi adrenalin manusia, menurut saya sih...
Lalu bagaimana dengan anda ?
Pandangan saya mungkin agak Lain dengan anda, Memang, ada paradoks dalam cara manusia mencari "guncangan"—entah melalui wahana permainan, olahraga ekstrem, atau bahkan pergolakan emosional dalam cerita/drama. dan di sini aku ingin bahas beberapa poin yang perlu
Yang pertama Guncangan sebagai "Kebutuhan Terkendali"
Manusia seringkali mencari sensasi "guncangan" dalam konteks yang aman dan sementara yang mana guncangan ini sengaja di ciptakan (roller coaster, film horor, dll.) justru karena mereka tahu risiko sesungguhnya minimal. Ini seperti simulasi ketakutan yang memberi kepuasan adrenalin namun tanpa konsekuensi nyata. Sedang Naik kapal nelayan? Itu "real danger"—bukan lagi hiburan, melainkan pekerjaan dengan risiko nyata (cuaca, kelelahan, dll.). Di sini, kapitalisme memang memanfaatkan hasrat manusia akan sensasi dengan mengemasnya sebagai produk "hiburan".
Yang kedua Guncangan vs. Kebosanan
Psikologi evolusi menyebut bahwa manusia butuh stimulasi baru untuk menghindari kebosanan (sensation-seeking behavior). Tapi, seperti kata saya, ini harus sementara. Guncangan terus-menerus (seperti di kapal nelayan) justru jadi beban. Roller coaster populer karena ada ending-nya: setelah 2 menit, kamu kembali aman dan justru merasa "hidup".
Yang ketiga Kapitalisme dan Komodifikasi Adrenalin. Benar bahwa industri mengkapitalisasi kebutuhan ini. Tapi apakah itu buruk? Jawaban nya Tergantung. Di satu sisi, ia memenuhi kebutuhan psikologis; di sisi lain, bisa jadi alat pelarian dari masalah nyata (misal: orang mencari thrill, untuk menghindari refleksi diri). Ini mirip dengan cara kita mengonsumsi kopi untuk "guncangan energi" alih-alih tidur cukup.
Bagaimana dengan Saya?
Saya setuju bahwa guncangan dalam wahana permainan adalah metafora menarik untuk kehidupan: kita ingin tantangan, tapi yang bisa dikontrol dan diakhiri sesuka hati. Mungkin ini juga kritik halus terhadap modernitas—kita merindukan intensitas, tapi hanya yang instan dan "disposable"
Kalau mau ekstrem, kita bisa bertanya: "Apakah roller coaster adalah pengganti dari petualangan nyata yang hilang di dunia yang terlalu teratur? 😄
dari sini kiranya tepat jika saya mengatakan "manusia di satu sisi menghindari kepalsuan, di sisi yang lain menginginkan kepalsuan dalam bentuk kesenangan "
Ada ironi mendalam dalam cara kita menyikapi "kepalsuan"—kita membencinya dalam konteks moral (misalnya: kepura-puraan sosial, manipulasi), tapi justru mengejarnya dalam konteks hedonisme atau pelarian. Saya akan coba uraikan
Yang pertama: Menolak Kepalsuan, Tapi Menciptakan "Kesenangan Palsu"
Poin nya ada pada Penolakan terhadap kepalsuan. Kita marah saat dihadapkan pada kemunafikan, hubungan sosial yang transaksional, atau budaya virtue signaling. Kita ingin keaslian (authenticity). Tapi... Di saat yang sama, kita membayar mahal untuk pengalaman virtual (VR, game) yang menggantikan interaksi nyata. Bahkan kopi "rasa alam" yang dibuat dari sirup sintetis.
Ini bukan sekadar hipokrisi, melainkan kebutuhan akan kontrol. Kepalsuan dalam kesenangan memberi kita kenyamanan karena kita yang menentukan batasnya.
Lalu Kenapa Kita Mencari "Kepalsuan yang Nyaman"? Dua kemungkinan jawaban nya:
- Eskapisme. Kesenangan palsu seringkali adalah pelarian dari kompleksitas hidup. Roller coaster seperti yang telah saya singgung, memberi sensasi bahaya tanpa konsekuensi; drama cinta romantis memberi ilusi hubungan ideal tanpa konflik nyata.
- Kapitalisme Memperkuat Ini: Industri menjual produk yang terasa otentik tapi sebenarnya terstandarisasi (contoh: "wisata alam" yang dipoles untuk foto, bukan untuk pengalaman). Kita membeli feeling keaslian, bukan keaslian itu sendiri.
***
Selamat merenung


Kev7z memberi reputasi
1
160
3


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan