- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Gerak Ekonomi Meredup di Lebaran, Pertumbuhan Konsumsi Semakin Menantang


TS
jaguarxj220
Gerak Ekonomi Meredup di Lebaran, Pertumbuhan Konsumsi Semakin Menantang
Konsumsi masyarakat yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional berada di titik nadir.
Lebaran di Indonesia umumnya menjadi momen pemerataan ekonomi secara nasional karena mobilitas masyarakat yang tinggi dan meningkatnya jumlah uang beredar. Namun, suasana itu sedikit berbeda di 2025 meski tanpa pandemi Covid-19 yang melenyapkan momen sakral silaturahmi Lebaran beberapa tahun lalu.
Lengangnya perjalanan mudik dalam masa cuti bersama setidaknya delapan hari justru menunjukkan sisi lain pelemahan mobilitas dan ekonomi masyarakat. Kementerian Perhubungan melaporkan, jumlah pergerakan selama periode Lebaran 2025 turun 4,69 persen dibandingkan dengan periode tahun lalu. Jumlah perjalanan intra dan antarprovinsi selama Lebaran 2025 tercatat 154,6 juta orang, lebih rendah daripada 162,2 juta orang yang melakukan perjalanan di 2024.
Penurunan tingkat perjalanan masyarakat juga berdampak ke konsumsi bahan bakar minyak (BBM). Data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mencatat, dibandingkan 2024, konsumsi BBM pada periode dua pekan sebelum dan setelah Lebaran 2025 tercatat menurun.
Konsumsi BBM jenis bensin menurun sebesar 6 persen, avtur untuk pesawat juga turun 4 persen, dan kerosin atau minyak tanah turun 9 persen. Sementara itu, untuk penyaluran BBM jenis solar untuk mesin diesel naik 11 persen.
Bukti itu menguatkan proyeksi penurunan perputaran uang selama masa Lebaran. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Pengembangan Otonomi Daerah Sarman Simanjorang sempat menyebut, jika asumsi perputaran uang selama Idul Fitri 2024 mencapai Rp 157,3 triliun, asumsi perputaran uang selama Idul Fitri 2025 diprediksi mencapai Rp 137,97 triliun. Prediksi tersebut dihitung jika jumlah pemudik tahun ini hanya 146,48 juta orang (Kompas, 18/3/2025).
Pola konsumsi berubah
Tim Peneliti Bank Mandiri belum lama ini juga membedah indikator-indikator konsumsi musiman ini dalam publikasi EconMark April 2025 yang berjudul ”Konsumen Indonesia: Mengatasi Tantangan”. Publikasi ini menguliti kebiasaan konsumsi masyarakat selama Ramadhan dan Lebaran, tingkat tabungan, hingga pola mobilitas selama masa libur panjang.
Tim peneliti yang antara lain terdiri dari Andry Asmoro, Andre Simangunsong, Bobby Hermanus, dan Nabila Cahyani Kusworo itu menyimpulkan bahwa tren konsumsi Ramadhan 2025 menunjukkan adanya perubahan perilaku, seperti penundaan belanja, peningkatan ketergantungan pada tunjangan hari raya (THR), dan peralihan ke barang yang lebih terjangkau.
Mandiri Spending Index (MSI), yang mengukur pola konsumsi masyarakat menggunakan kanal pembayaran Bank Mandiri di seluruh Indonesia, mencatat, belanja masyarakat lesu di dua minggu pertama Ramadhan, kemudian diikuti kenaikan tajam di paruh kedua, melampaui laju pertumbuhan yang terlihat di tahun 2024. Namun, momentum ini kembali melambat selama periode liburan Lebaran.
”Sementara belanja meningkat pada paruh kedua Ramadhan, pertumbuhan keseluruhan mencapai 11,2 persen, sedikit di bawah capaian 12,1 persen pada tahun lalu,” kata mereka.

Pola konsumsi dalam periode Lebaran, menurut laporan mereka tidak lepas dari ketergantungan pada THR. Sayangnya, Indeks Tabungan Bank Mandiri, yang mengukur neraca tabungan pengguna Mandiri, mencatat bahwa tingkat tabungan individu secara konsisten berada di bawah 2024 sejak sebelum Ramadhan. Kesenjangan antara tingkat tabungan masyarakat di tengah Ramdhan tahun ini dan tahun lalu mencapai 1,4 dan semakin melebar pasca-Idul Fitri hingga menjadi 2,3.
Mobilitas selama periode perayaan dan libur Lebaran juga tercatat bergeser. Laporan mereka menunjukkan, masyarakat yang berwisata lebih menyukai destinasi jarak pendek dan penggunaan transportasi umum, yang menguntungkan kota-kota seperti Bogor dan Bandung. Sementara itu, destinasi wisata jarak jauh seperti Bali tumbuh lebih lambat. ”Pola-pola ini menunjukkan konsumen yang lebih terukur dan sadar nilai,” kata tim peneliti.
Dampak dunia usaha
Tim Peneliti Bank Mandiri melanjutkan, temuan itu diperkirakan menekan pertumbuhan aktivitas ritel. Dengan penjualan yang stagnan, persaingan yang semakin ketat, pedagang juga berjuang untuk beradaptasi dengan permintaan yang berubah.
Pada saat yang sama, risiko yang muncul dari potensi tarif Trump dapat membebani ekspor, penyerapan tenaga kerja, dan akhirnya konsumsi, terutama di segmen menengah ke bawah. ”Tren belanja yang hati-hati dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi harus diantisipasi,” kata mereka.
Chief Economist & Head of Research Mirae Asset Sekuritas, Rully Arya Wisnubroto, ditemui di Jakarta, Kamis (17/4/2025), mengatakan, pelemahan konsumsi masyarakat di periode Ramadhan dan Lebaran akan paling terdampak pada usaha berbasis konsumen dan ritel.
Dampak itu, menurutnya, merupakan kelanjutan dari pelemahan ekonomi di sektor usaha penting, seperti pertambangan dan perkebunan berbasis ekspor. Menurunnya tren harga komoditas ekspor Indonesia, seperti nikel, batubara, hingga minyak kelapa sawit (CPO) beberapa waktu terakhir telah mengurangi pendapatan pelaku usaha pertambangan dan masyarakat.
Risiko pelemahan usaha, juga dapat disertai faktor perang dagang yang dicetuskan Presiden AS Donald Trump yang mulai berimbas ke perdagangan global. ”Kemudian, dampak pemerintah yang dari sisi spending-nya juga ada realokasi dan efisiensi,” imbuhnya.
Dengan ini, Rully menilai, pelemahan daya beli dan kegiatan usaha tidak hanya akan terbatas selama masa Ramadhan dan Lebaran yang terjadi di penghujung triwulan I-2025 menuju triwulan kedua tahun ini.
”Saya khawatir mungkin kalau di kuartal satu yang ada Lebaran-nya sudah jelek, bagaimana kuartal-kuartal berikutnya,” ujarnya.
Hal ini, menurut dia, setidaknya tergambar dari Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) Maret 2025. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) berada pada level optimistis (lebih dari 100) sebesar 121,1. Indeks ini ditopang oleh Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang masing-masing tercatat sebesar 110,6 dan 131,7, lebih rendah dibandingkan dengan indeks bulan sebelumnya yang masing-masing sebesar 114,2 dan 138,7.
Selain itu, juga ada penurunan ekspektasi konsumen terhadap kondisi ekonomi enam bulan ke depan, dari komponen Indeks Ekspektasi Penghasilan (IEP), Indeks Ekspektasi Kegiatan Usaha (IEKU), dan Indeks Ekspektasi Ketersediaan Lapangan Kerja (IEKLK) pada Maret 2025 masing-masing tercatat sebesar 137,0; 132,2; dan 125,9. Penilaian ini lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 143,3; 138,6; dan 134,2.
Kontribusi berkurang
Konsumsi rumah tangga sebagai pendorong utama pertumbuhan Indonesia pun diprediksi akan terus turun sepanjang 2025. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi konsumsi ini rata-rata 54,3 persenterhadap produk domestik bruto (PDB) sebelum pandemi. Namun, kini atau pascapandemi menjadi 52,7 persen. Penurunan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi ini konsisten terjadi sejak triwulan ketiga 2020 hingga 2024 lalu, bahkan turun secara signifikan di bawah pola historis yang menjadi batas potensi pertumbuhan 24 tahun terakhir.
Turunnya kontribusi pertumbuhan konsumsi juga terefleksi dari konsumsi rumah tangga yang terus di bawah angka pertumbuhan ekonomi nasional. Setidaknya sejak triwulan I-2023 hingga triwulan IV-2024, pertumbuhan konsumsi rumah tangga rata-rata di 4,88 persen, turun dari 5,05 persen di masa prapandemi (2018-2019).
Dalam kondisi ketidakpastian ekonomi global saat ini, Rully pun memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi tahun ini akan turun di bawah 5 persen. ”Kalau menurut saya, misalkan eskalasi (geopolitik) seperti di bidang ekonomi, itu (pertumbuhan ekonomi Indonesia) mungkin bisa mendekati 4,5 persen,” katanya.
Lembaga Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD) baru-baru ini juga memproyeksikan ekonomi Indonesia pada 2025 tumbuh 4,8 persen. Kendati berada di bawah rerata pertumbuhan 5 persen, ekonomi RI masih tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi kawasan Asia Tenggara yang diperkirakan 4,4 persen.
Untuk memitigasi proyeksi tersebut, Rully menilai, pemerintah perlu berfokus pada perluasan pembukaan lapangan pekerjaan dan meningkatkan daya beli masyarakat kalangan ekonomi bawah dengan bantuan sosial.
https://www.kompas.id/artikel/gerak-...akin-menantang
Sebenernya ada berita serupa dari media Tempo, tapi bahasanya lebih "kasar" dan sebagian netizen (terutama bajjer) mendiskreditkan media Tempo.
Artikel Kompas ini lebih detail dan bahasanya terasa lebih "edukatif".
Semoga bajjer bisa baca dan tobat..
Lebaran di Indonesia umumnya menjadi momen pemerataan ekonomi secara nasional karena mobilitas masyarakat yang tinggi dan meningkatnya jumlah uang beredar. Namun, suasana itu sedikit berbeda di 2025 meski tanpa pandemi Covid-19 yang melenyapkan momen sakral silaturahmi Lebaran beberapa tahun lalu.
Lengangnya perjalanan mudik dalam masa cuti bersama setidaknya delapan hari justru menunjukkan sisi lain pelemahan mobilitas dan ekonomi masyarakat. Kementerian Perhubungan melaporkan, jumlah pergerakan selama periode Lebaran 2025 turun 4,69 persen dibandingkan dengan periode tahun lalu. Jumlah perjalanan intra dan antarprovinsi selama Lebaran 2025 tercatat 154,6 juta orang, lebih rendah daripada 162,2 juta orang yang melakukan perjalanan di 2024.
Penurunan tingkat perjalanan masyarakat juga berdampak ke konsumsi bahan bakar minyak (BBM). Data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mencatat, dibandingkan 2024, konsumsi BBM pada periode dua pekan sebelum dan setelah Lebaran 2025 tercatat menurun.
Konsumsi BBM jenis bensin menurun sebesar 6 persen, avtur untuk pesawat juga turun 4 persen, dan kerosin atau minyak tanah turun 9 persen. Sementara itu, untuk penyaluran BBM jenis solar untuk mesin diesel naik 11 persen.
Bukti itu menguatkan proyeksi penurunan perputaran uang selama masa Lebaran. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Pengembangan Otonomi Daerah Sarman Simanjorang sempat menyebut, jika asumsi perputaran uang selama Idul Fitri 2024 mencapai Rp 157,3 triliun, asumsi perputaran uang selama Idul Fitri 2025 diprediksi mencapai Rp 137,97 triliun. Prediksi tersebut dihitung jika jumlah pemudik tahun ini hanya 146,48 juta orang (Kompas, 18/3/2025).
Pola konsumsi berubah
Tim Peneliti Bank Mandiri belum lama ini juga membedah indikator-indikator konsumsi musiman ini dalam publikasi EconMark April 2025 yang berjudul ”Konsumen Indonesia: Mengatasi Tantangan”. Publikasi ini menguliti kebiasaan konsumsi masyarakat selama Ramadhan dan Lebaran, tingkat tabungan, hingga pola mobilitas selama masa libur panjang.
Tim peneliti yang antara lain terdiri dari Andry Asmoro, Andre Simangunsong, Bobby Hermanus, dan Nabila Cahyani Kusworo itu menyimpulkan bahwa tren konsumsi Ramadhan 2025 menunjukkan adanya perubahan perilaku, seperti penundaan belanja, peningkatan ketergantungan pada tunjangan hari raya (THR), dan peralihan ke barang yang lebih terjangkau.
Mandiri Spending Index (MSI), yang mengukur pola konsumsi masyarakat menggunakan kanal pembayaran Bank Mandiri di seluruh Indonesia, mencatat, belanja masyarakat lesu di dua minggu pertama Ramadhan, kemudian diikuti kenaikan tajam di paruh kedua, melampaui laju pertumbuhan yang terlihat di tahun 2024. Namun, momentum ini kembali melambat selama periode liburan Lebaran.
”Sementara belanja meningkat pada paruh kedua Ramadhan, pertumbuhan keseluruhan mencapai 11,2 persen, sedikit di bawah capaian 12,1 persen pada tahun lalu,” kata mereka.

Grafik indeks tabungan pengguna Bank Mandiri selama periode Ramadhan dan Lebaran 2025 dibandingkan 2024. Data menunjukkan, tingkat tabungan masyarakat pada periode 2025 turun dibandingkan tahun sebelumnya.
Pola konsumsi dalam periode Lebaran, menurut laporan mereka tidak lepas dari ketergantungan pada THR. Sayangnya, Indeks Tabungan Bank Mandiri, yang mengukur neraca tabungan pengguna Mandiri, mencatat bahwa tingkat tabungan individu secara konsisten berada di bawah 2024 sejak sebelum Ramadhan. Kesenjangan antara tingkat tabungan masyarakat di tengah Ramdhan tahun ini dan tahun lalu mencapai 1,4 dan semakin melebar pasca-Idul Fitri hingga menjadi 2,3.
Mobilitas selama periode perayaan dan libur Lebaran juga tercatat bergeser. Laporan mereka menunjukkan, masyarakat yang berwisata lebih menyukai destinasi jarak pendek dan penggunaan transportasi umum, yang menguntungkan kota-kota seperti Bogor dan Bandung. Sementara itu, destinasi wisata jarak jauh seperti Bali tumbuh lebih lambat. ”Pola-pola ini menunjukkan konsumen yang lebih terukur dan sadar nilai,” kata tim peneliti.
Dampak dunia usaha
Tim Peneliti Bank Mandiri melanjutkan, temuan itu diperkirakan menekan pertumbuhan aktivitas ritel. Dengan penjualan yang stagnan, persaingan yang semakin ketat, pedagang juga berjuang untuk beradaptasi dengan permintaan yang berubah.
Pada saat yang sama, risiko yang muncul dari potensi tarif Trump dapat membebani ekspor, penyerapan tenaga kerja, dan akhirnya konsumsi, terutama di segmen menengah ke bawah. ”Tren belanja yang hati-hati dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi harus diantisipasi,” kata mereka.
Chief Economist & Head of Research Mirae Asset Sekuritas, Rully Arya Wisnubroto, ditemui di Jakarta, Kamis (17/4/2025), mengatakan, pelemahan konsumsi masyarakat di periode Ramadhan dan Lebaran akan paling terdampak pada usaha berbasis konsumen dan ritel.
Dampak itu, menurutnya, merupakan kelanjutan dari pelemahan ekonomi di sektor usaha penting, seperti pertambangan dan perkebunan berbasis ekspor. Menurunnya tren harga komoditas ekspor Indonesia, seperti nikel, batubara, hingga minyak kelapa sawit (CPO) beberapa waktu terakhir telah mengurangi pendapatan pelaku usaha pertambangan dan masyarakat.
Risiko pelemahan usaha, juga dapat disertai faktor perang dagang yang dicetuskan Presiden AS Donald Trump yang mulai berimbas ke perdagangan global. ”Kemudian, dampak pemerintah yang dari sisi spending-nya juga ada realokasi dan efisiensi,” imbuhnya.
Dengan ini, Rully menilai, pelemahan daya beli dan kegiatan usaha tidak hanya akan terbatas selama masa Ramadhan dan Lebaran yang terjadi di penghujung triwulan I-2025 menuju triwulan kedua tahun ini.
”Saya khawatir mungkin kalau di kuartal satu yang ada Lebaran-nya sudah jelek, bagaimana kuartal-kuartal berikutnya,” ujarnya.
Hal ini, menurut dia, setidaknya tergambar dari Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) Maret 2025. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) berada pada level optimistis (lebih dari 100) sebesar 121,1. Indeks ini ditopang oleh Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang masing-masing tercatat sebesar 110,6 dan 131,7, lebih rendah dibandingkan dengan indeks bulan sebelumnya yang masing-masing sebesar 114,2 dan 138,7.
Selain itu, juga ada penurunan ekspektasi konsumen terhadap kondisi ekonomi enam bulan ke depan, dari komponen Indeks Ekspektasi Penghasilan (IEP), Indeks Ekspektasi Kegiatan Usaha (IEKU), dan Indeks Ekspektasi Ketersediaan Lapangan Kerja (IEKLK) pada Maret 2025 masing-masing tercatat sebesar 137,0; 132,2; dan 125,9. Penilaian ini lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 143,3; 138,6; dan 134,2.
Kontribusi berkurang
Konsumsi rumah tangga sebagai pendorong utama pertumbuhan Indonesia pun diprediksi akan terus turun sepanjang 2025. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi konsumsi ini rata-rata 54,3 persenterhadap produk domestik bruto (PDB) sebelum pandemi. Namun, kini atau pascapandemi menjadi 52,7 persen. Penurunan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi ini konsisten terjadi sejak triwulan ketiga 2020 hingga 2024 lalu, bahkan turun secara signifikan di bawah pola historis yang menjadi batas potensi pertumbuhan 24 tahun terakhir.
Turunnya kontribusi pertumbuhan konsumsi juga terefleksi dari konsumsi rumah tangga yang terus di bawah angka pertumbuhan ekonomi nasional. Setidaknya sejak triwulan I-2023 hingga triwulan IV-2024, pertumbuhan konsumsi rumah tangga rata-rata di 4,88 persen, turun dari 5,05 persen di masa prapandemi (2018-2019).
Dalam kondisi ketidakpastian ekonomi global saat ini, Rully pun memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi tahun ini akan turun di bawah 5 persen. ”Kalau menurut saya, misalkan eskalasi (geopolitik) seperti di bidang ekonomi, itu (pertumbuhan ekonomi Indonesia) mungkin bisa mendekati 4,5 persen,” katanya.
Lembaga Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD) baru-baru ini juga memproyeksikan ekonomi Indonesia pada 2025 tumbuh 4,8 persen. Kendati berada di bawah rerata pertumbuhan 5 persen, ekonomi RI masih tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi kawasan Asia Tenggara yang diperkirakan 4,4 persen.
Untuk memitigasi proyeksi tersebut, Rully menilai, pemerintah perlu berfokus pada perluasan pembukaan lapangan pekerjaan dan meningkatkan daya beli masyarakat kalangan ekonomi bawah dengan bantuan sosial.
https://www.kompas.id/artikel/gerak-...akin-menantang
Sebenernya ada berita serupa dari media Tempo, tapi bahasanya lebih "kasar" dan sebagian netizen (terutama bajjer) mendiskreditkan media Tempo.
Artikel Kompas ini lebih detail dan bahasanya terasa lebih "edukatif".
Semoga bajjer bisa baca dan tobat..

Diubah oleh jaguarxj220 21-04-2025 02:32




soelojo4503 dan gmc.yukon memberi reputasi
2
365
7


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan