- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Di Balik Perburuan Emas, Saham & Obligasi Ketika Daya Beli Lesu


TS
jaguarxj220
Di Balik Perburuan Emas, Saham & Obligasi Ketika Daya Beli Lesu
Bloomberg Technoz, Jakarta - Animo masyarakat investor di Tanah Air membiakkan dana mereka di berbagai aset, terlihat masih tinggi, di tengah tingkat keyakinan konsumen yang merosot ke level terendah dalam enam bulan, menandai penurunan dalam tiga bulan beruntun, juga di tengah kondisi penghasilan masyarakat serta daya beli yang melemah.
Bukan cuma emas batangan saja yang diborong di mana-mana seperti terlihat dari berbagai video amatir yang beredar di media sosial. Investasi yang memberikan pendapatan tetap seperti Surat Berharga Negara (SBN) juga laris manis diburu.
Hari ini, masa penawaran SBN ritel berjenis sukuk tabungan seri ST014 telah ditutup dengan nilai pemesanan masuk melampaui target alias oversubscribed. Pemerintah belum merilis angka resmi pemesanan dan penerbitan ST014.
Yang pasti, pemerintah semula menargetkan penjualan ST014 ini di kisaran Rp15 triliun. Namun, sampai jelang penutupan masa penawaran, nilai pemesanan yang masuk sudah di atas Rp20 triliun, seperti dilansir dari media lokal.
Laris manis sukuk tabungan, SBN ritel kedua yang dijual pemerintah tahun ini, memperpanjang catatan tentang tingginya minat masyarakat berinvestasi di surat berharga negara. Pada Februari lalu, penjualan ORI027, seri obligasi ritel juga memecahkan rekor penerbitan tertinggi SBN ritel, senilai Rp37,36 triliun.
Bukan cuma itu, indeks saham domestik juga terus melanjutkan reli kenaikan harga setelah sempat terguncang sentimen perang dagang pasca libur panjang Lebaran.
Reli IHSG juga terjadi meski investor asing terus melakukan penjualan dengan nilai net sell telah mencapai US$ 635,1 juta, sekitar Rp11 triliun pada bulan ini saja.
Sementara harga surat utang negara juga merangkak naik, ketika kepemilikan asing di SBN juga sudah turun Rp6,34 triliun dalam empat hari perdagangan terakhir.
Lelang rutin sukuk (SBSN) kemarin juga disambut animo yang besar dari pasar, terindikasi dari kenaikan incoming bids hingga lebih dari 60%, mencapai Rp36 triliun.
Fenomena ini menjadi semakin menarik karena terjadi di tengah keyakinan konsumen yang makin terpuruk selama tiga bulan berturut-turut. Indeks Keyakinan Konsumen pada Maret bahkan ambles ke level terendah sejak Oktober lalu.
Bank Indonesia dalam laporannya menyebut, rasio tabungan masyarakat pada bulan lalu tercatat makin rendah di 13,7%, lebih rendah bahkan dibanding masa pandemi Covid-19 lima tahun silam. Kondisi penghasilan masyarakat, yang tecermin dari Indeks Penghasilan Saat Ini, jatuh ke level terendah dalam enam bulan.
Kelas menengah juga terlihat mulai pesimistis utamanya terkait ketersediaan pekerjaan. Hal itu ditandai dengan penurunan Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja kelompok ini, pertama kali jatuh di zona pesimis di bawah 100.
Konsumen dengan pengeluaran antara Rp2,1 juta-Rp3 juta, terlempar ke zona pesimis lagi, setelah pernah terjadi pada Oktober lalu. Sementara kelas pengeluaran Rp3,1 juta-Rp5 juta per kepala per bulan, jatuh indeksnya di bawah 100, setelah terakhir terjadi pada April 2022 silam.
Dana Besar Masuk?
Reli indeks saham serta harga surat utang di tengah langkah investor asing yang terus melepas posisi di pasar domestik, kemungkinan terdorong oleh beberapa faktor.
Salah satunya adalah aksi buyback emiten memborong saham mereka yang telah jatuh cukup banyak. Lalu, sentimen dari pembagian dividen beberapa emiten besar dengan yield yang sangat menarik.
Faktor lain yang juga diduga signifikan memberi dorongan reli harga aset di dalam negeri adalah potensi aliran likuiditas segar dari 'dana besar', seperti pengelola dana pensiun terbesar di Indonesia saat ini BPJS Ketenagakerjaan.
Melansir Bahana Sekuritas, terdapat potensi limpahan dana segar dari instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang jatuh tempo senilai Rp403 triliun.
"Diskusi kami baru-baru ini dengan dana pensiun terbesar yaitu BPJS Ketenagakerjaan [Jamsostek] mengonfirmasi bahwa kepemilikan SRBI mereka yang jatuh tempo akan secara bertahap diinvestasikan lagi ke dalam ekuitas sebagai bagian dari dari komitmen jangka menengah mereka mendukung IHSG," kata Satria Sambijantoro, Head of Research Bahana Sekuritas.
Di sisi lain, ada juga dugaan beralihnya dana asing dari saham RI ke pasar obligasi yang sudah tinggi yield-nya belakangan. "Asing pindah dari ekuitas ke bond [obligasi]," kata Lionel Priyadi, Fixed Income and Macro Strategist Mega Capital Sekuritas.
Trauma 1998
Dua fenomena yang berlawanan itu: animo investasi yang meningkat ketika keyakinan konsumen melemah dan daya beli lesu, seolah memberikan gambaran tersendiri.
Bahwa pada sebagian kecil masyarakat, terutama kelas berpendapatan atas yang masih memiliki disposable income, mereka berupaya 'menyelamatkan' aset di instrumen yang lebih stabil seperti emas dan SBN di tengah ketidakpastian yang masih tinggi, mengantisipasi risiko ke depan yang dinilai akan lebih besar.
Indeks Ekspektasi Konsumen pada Maret jatuh ke level terendah sejak September 2023. Kejatuhan indeks itu berarti sebagian besar masyarakat RI memperkirakan kondisi ekonomi Indonesia dalam enam bulan ke depan akan lebih buruk dibanding saat survei dilakukan.
Penurunan ekspektasi terjadi di semua kelompok pengeluaran, terbesar di kelas pengeluaran Rp2,1 juta-Rp3 juta per bulan per kepala, hingga 12,1 poin. Kelas pengeluaran terbesar di atas Rp5 juta per bulan per kepala juga turun sampai 4,3 poin ke level terendah sejak Juli 2024.
Ada kekhawatiran akan terjadi krisis terutama ketika melihat pergerakan mata uang rupiah yang tak berdaya, meski Bank Indonesia telah menepis kekhawatiran semacam itu.
"Rupiah sudah mau Rp17.000/US$, saya khawatir seperti 1998," kata Midah Nursanti, bukan nama sebenarnya, seorang ibu rumah tangga yang berdomisili di Banten, yang mengaku membeli emas batangan sebagai upaya menyelamatkan aset. Emas menurutnya lebih stabil dan cukup likuid diuangkan lagi ketika suatu saat membutuhkan dana.
Bank Indonesia sempat memberi penjelasan, kondisi pelemahan rupiah belakangan tidak bisa disamakan dengan krisis moneter 1998 silam. Pelemahan rupiah saat ini terjadi bertahap, berbeda dengan era krisis 25 tahun lalu di mana mata uang terdepresiasi dengan tajam secara cepat.
"Jika kita simpulkan apakah kondisi saat ini sama dengan krisis moneter 1998? Saya berani afirmasi bahwa ini masih jauh," kata Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia Solikhin M. Juhro pada akhir Maret lalu.
Nilai cadangan devisa RI saat ini juga jauh lebih besar dibanding 1998. Bahkan pada akhir Maret, posisi cadev melambung ke level rekor terbesar sepanjang masa.
Rupiah sudah mencatat pelemahan lebih dari 4% sepanjang tahun ini, menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia bahkan ketika mayoritas mata uang di regional Asia menguat terhadap dolar AS.
Rupiah sempat menjebol level terlemah sepanjang masa di Rp16.957/US$ di tengah huru hara pasar dagang yang memanas pada perdagangan pekan pertama usai libur Lebaran lalu. Hari ini, ketika mayoritas mata uang Asia menguat, rupiah terpuruk di level Rp16.853/US$.
Bila suatu ketika terjadi guncangan, termasuk mislanya ketika tensi perang dagang kembali panas, rupiah dikhawatirkan menjebol level Rp17.000/US$. Ingatan akan krisis 1998 masih hangat di kepala banyak orang Indonesia. Demi antisipasi situasi lebih buruk, orang-orang berduit seperti Midah memilih mengamankan aset tersisa. "Untuk tabungan masa depan juga," katanya.
https://www.bloombergtechnoz.com/det...aya-beli-lesu/
Daya beli lemah ga selalu berarti masyarakat ga punya duit.
Daya beli lemah artinya ga mau belanja.
Beda loh ga mau belanja sama ga punya duit.
Masing2 cari selamat sendiri2, selamatkan aset masing2, berjaga2 dari kemungkinan krisis.
Bukan cuma emas batangan saja yang diborong di mana-mana seperti terlihat dari berbagai video amatir yang beredar di media sosial. Investasi yang memberikan pendapatan tetap seperti Surat Berharga Negara (SBN) juga laris manis diburu.
Hari ini, masa penawaran SBN ritel berjenis sukuk tabungan seri ST014 telah ditutup dengan nilai pemesanan masuk melampaui target alias oversubscribed. Pemerintah belum merilis angka resmi pemesanan dan penerbitan ST014.
Yang pasti, pemerintah semula menargetkan penjualan ST014 ini di kisaran Rp15 triliun. Namun, sampai jelang penutupan masa penawaran, nilai pemesanan yang masuk sudah di atas Rp20 triliun, seperti dilansir dari media lokal.
Laris manis sukuk tabungan, SBN ritel kedua yang dijual pemerintah tahun ini, memperpanjang catatan tentang tingginya minat masyarakat berinvestasi di surat berharga negara. Pada Februari lalu, penjualan ORI027, seri obligasi ritel juga memecahkan rekor penerbitan tertinggi SBN ritel, senilai Rp37,36 triliun.
Bukan cuma itu, indeks saham domestik juga terus melanjutkan reli kenaikan harga setelah sempat terguncang sentimen perang dagang pasca libur panjang Lebaran.
Reli IHSG juga terjadi meski investor asing terus melakukan penjualan dengan nilai net sell telah mencapai US$ 635,1 juta, sekitar Rp11 triliun pada bulan ini saja.
Sementara harga surat utang negara juga merangkak naik, ketika kepemilikan asing di SBN juga sudah turun Rp6,34 triliun dalam empat hari perdagangan terakhir.
Lelang rutin sukuk (SBSN) kemarin juga disambut animo yang besar dari pasar, terindikasi dari kenaikan incoming bids hingga lebih dari 60%, mencapai Rp36 triliun.
Fenomena ini menjadi semakin menarik karena terjadi di tengah keyakinan konsumen yang makin terpuruk selama tiga bulan berturut-turut. Indeks Keyakinan Konsumen pada Maret bahkan ambles ke level terendah sejak Oktober lalu.
Bank Indonesia dalam laporannya menyebut, rasio tabungan masyarakat pada bulan lalu tercatat makin rendah di 13,7%, lebih rendah bahkan dibanding masa pandemi Covid-19 lima tahun silam. Kondisi penghasilan masyarakat, yang tecermin dari Indeks Penghasilan Saat Ini, jatuh ke level terendah dalam enam bulan.
Kelas menengah juga terlihat mulai pesimistis utamanya terkait ketersediaan pekerjaan. Hal itu ditandai dengan penurunan Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja kelompok ini, pertama kali jatuh di zona pesimis di bawah 100.
Konsumen dengan pengeluaran antara Rp2,1 juta-Rp3 juta, terlempar ke zona pesimis lagi, setelah pernah terjadi pada Oktober lalu. Sementara kelas pengeluaran Rp3,1 juta-Rp5 juta per kepala per bulan, jatuh indeksnya di bawah 100, setelah terakhir terjadi pada April 2022 silam.
Dana Besar Masuk?
Reli indeks saham serta harga surat utang di tengah langkah investor asing yang terus melepas posisi di pasar domestik, kemungkinan terdorong oleh beberapa faktor.
Salah satunya adalah aksi buyback emiten memborong saham mereka yang telah jatuh cukup banyak. Lalu, sentimen dari pembagian dividen beberapa emiten besar dengan yield yang sangat menarik.
Faktor lain yang juga diduga signifikan memberi dorongan reli harga aset di dalam negeri adalah potensi aliran likuiditas segar dari 'dana besar', seperti pengelola dana pensiun terbesar di Indonesia saat ini BPJS Ketenagakerjaan.
Melansir Bahana Sekuritas, terdapat potensi limpahan dana segar dari instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang jatuh tempo senilai Rp403 triliun.
"Diskusi kami baru-baru ini dengan dana pensiun terbesar yaitu BPJS Ketenagakerjaan [Jamsostek] mengonfirmasi bahwa kepemilikan SRBI mereka yang jatuh tempo akan secara bertahap diinvestasikan lagi ke dalam ekuitas sebagai bagian dari dari komitmen jangka menengah mereka mendukung IHSG," kata Satria Sambijantoro, Head of Research Bahana Sekuritas.
Di sisi lain, ada juga dugaan beralihnya dana asing dari saham RI ke pasar obligasi yang sudah tinggi yield-nya belakangan. "Asing pindah dari ekuitas ke bond [obligasi]," kata Lionel Priyadi, Fixed Income and Macro Strategist Mega Capital Sekuritas.
Trauma 1998
Dua fenomena yang berlawanan itu: animo investasi yang meningkat ketika keyakinan konsumen melemah dan daya beli lesu, seolah memberikan gambaran tersendiri.
Bahwa pada sebagian kecil masyarakat, terutama kelas berpendapatan atas yang masih memiliki disposable income, mereka berupaya 'menyelamatkan' aset di instrumen yang lebih stabil seperti emas dan SBN di tengah ketidakpastian yang masih tinggi, mengantisipasi risiko ke depan yang dinilai akan lebih besar.
Indeks Ekspektasi Konsumen pada Maret jatuh ke level terendah sejak September 2023. Kejatuhan indeks itu berarti sebagian besar masyarakat RI memperkirakan kondisi ekonomi Indonesia dalam enam bulan ke depan akan lebih buruk dibanding saat survei dilakukan.
Penurunan ekspektasi terjadi di semua kelompok pengeluaran, terbesar di kelas pengeluaran Rp2,1 juta-Rp3 juta per bulan per kepala, hingga 12,1 poin. Kelas pengeluaran terbesar di atas Rp5 juta per bulan per kepala juga turun sampai 4,3 poin ke level terendah sejak Juli 2024.
Ada kekhawatiran akan terjadi krisis terutama ketika melihat pergerakan mata uang rupiah yang tak berdaya, meski Bank Indonesia telah menepis kekhawatiran semacam itu.
"Rupiah sudah mau Rp17.000/US$, saya khawatir seperti 1998," kata Midah Nursanti, bukan nama sebenarnya, seorang ibu rumah tangga yang berdomisili di Banten, yang mengaku membeli emas batangan sebagai upaya menyelamatkan aset. Emas menurutnya lebih stabil dan cukup likuid diuangkan lagi ketika suatu saat membutuhkan dana.
Bank Indonesia sempat memberi penjelasan, kondisi pelemahan rupiah belakangan tidak bisa disamakan dengan krisis moneter 1998 silam. Pelemahan rupiah saat ini terjadi bertahap, berbeda dengan era krisis 25 tahun lalu di mana mata uang terdepresiasi dengan tajam secara cepat.
"Jika kita simpulkan apakah kondisi saat ini sama dengan krisis moneter 1998? Saya berani afirmasi bahwa ini masih jauh," kata Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia Solikhin M. Juhro pada akhir Maret lalu.
Nilai cadangan devisa RI saat ini juga jauh lebih besar dibanding 1998. Bahkan pada akhir Maret, posisi cadev melambung ke level rekor terbesar sepanjang masa.
Rupiah sudah mencatat pelemahan lebih dari 4% sepanjang tahun ini, menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia bahkan ketika mayoritas mata uang di regional Asia menguat terhadap dolar AS.
Rupiah sempat menjebol level terlemah sepanjang masa di Rp16.957/US$ di tengah huru hara pasar dagang yang memanas pada perdagangan pekan pertama usai libur Lebaran lalu. Hari ini, ketika mayoritas mata uang Asia menguat, rupiah terpuruk di level Rp16.853/US$.
Bila suatu ketika terjadi guncangan, termasuk mislanya ketika tensi perang dagang kembali panas, rupiah dikhawatirkan menjebol level Rp17.000/US$. Ingatan akan krisis 1998 masih hangat di kepala banyak orang Indonesia. Demi antisipasi situasi lebih buruk, orang-orang berduit seperti Midah memilih mengamankan aset tersisa. "Untuk tabungan masa depan juga," katanya.
https://www.bloombergtechnoz.com/det...aya-beli-lesu/
Daya beli lemah ga selalu berarti masyarakat ga punya duit.
Daya beli lemah artinya ga mau belanja.
Beda loh ga mau belanja sama ga punya duit.
Masing2 cari selamat sendiri2, selamatkan aset masing2, berjaga2 dari kemungkinan krisis.






aldonistic dan 2 lainnya memberi reputasi
3
355
18


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan