- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Kekasih Bayangan


TS
Laditachuda
Kekasih Bayangan
"Apa ini?"
Sebuah kertas melayang jatuh ke atas meja. Aku terhenyak. Darimana Mama mendapatkan surat itu?
"Siapa dia? Jangan buat malu Mama, Anya! Ingat Kamu sudah bertunangan!"
Aku menelan ludah. Tak mampu menjawab serangan pertanyaannya. Apakah sudah ketahuan sekarang? Apa mereka tahu kalau aku selingkuh?

***
"Hei, tunggu! Anya tunggu dong!"
Langkahku melambat. Siapa sih yang teriak-teriak di siang bolong kayak gini? keluhku dalam hati. Tiba-tiba dia menikung jalanku. Ya, dia ... laki-laki pilihanku, yang selama seminggu ini aku hindari terus.
"Astaga! Ternyata beneran kamu, Beb!" Matanya menelitiku dari ujung kaki hingga kepala. "Pangling beneran kalo dandan kayak gini."
Cuih! Sebal sekali mendengarnya. Padahal minggu lalu jelas-jelas dia kepergok sedang ngobrol dengan serombongan mahasiswi baru di tangga belakang kampus. Yah, waktu itu Rian sama sekali tidak tahu kalau aku berinisiatif ke kampus biru. Niat memberikan surprise ternyata malah berbalik menikam diriku sendiri. Sebal rasanya melihat dia tertawa ceria dikelilingi oleh gadis-gadis cantik. Dan yang membuatku jadi mempertimbangkan kembali pertunangan kami adalah ketika saat aku meneleponnya. Waktu itu dengan entengnya dia menjawab kalau sedang sibuk rapat. Rapat? Astaga rapat apa 'rapat'.
"Tumben kamu ke sini," sapaku ketus sambil melewati badannya yang menghalangi jalanku. Kampus kami memang berjauhan. Dia di kabupaten sana, sedangkan aku sedang mengambil program diploma jurusan sekretaris di kota.
Rian tiba-tiba menangkap bahuku. Dengan gemas ia memutar tubuhku hingga menghadapnya. Dia membungkukkan badannya. "Kenapa jadi jutek gini?" tanyanya sembari memainkan rambut-rambut ikal di keningku.
Bah! Aku membuang muka. Rian tertawa geli melihatku cemberut. Dia memang paling senang menggodaku. Wajahku makin merah karena menahan kesal. Kenapa dia selalu kelihatan ganteng? Yah, playboy yang ganteng dan punya badan tinggi ini memang berhasil membuatku takluk. Si jutek Anya menyerah di bawah lutut playboy! Astaga malapetaka apa pula ini.
"Hei, hei. Ayolah. Kita beli es krim yuk!"
Aku menggeleng keras. Sebal sekali rasanya. Ingin rasanya berteriak di wajahnya yang senyum-senyum saja dari tadi. Tapi aku menahan diri. Bahaya kalau sampai perang pecah di wilayah ini. Sekelompok mahasiswa di seberang sana yang memperhatikan aku dari tadi mulai saling sikut satu sama lain. Kelihatannya mereka tahu kalau aku lagi marahan. Tanpa pikir panjang aku langsung berlari menuruni jalan. Pura-pura tak mendengar panggilan Rian yang kaget karena aku kabur begitu saja dari hadapannya.
Sejak hari itu chat dan telepon dari Rian aku pending. Ceritanya aku ingin memberinya pelajaran tentang arti setia. Masa aku di sini berusaha setia, mengabaikan semua cowo ganteng yang lalu lalang. Sedangkan dia di sana malah asyik tebar pesona sama semua mahasiswi baru. Biar Rian tahu rasa! Biarkan saja dia mengejar-ngejar aku terus.
***
Seminggu lebih mendiamkan Rian ternyata berujung bad mood berkepanjangan buatku. Bagaimana tidak? Dari pagi ke pagi semua aktivitasku pasti selalu ada kata Rian. Waktu sarapan kalau tidak disapa, yah, pasti menyapa Rian. Pergi kuliah pamit pertama kali pasti sama Rian. Istirahat siang pasti telponan sama Rian. Pulang kuliah apalagi pasti diawasi Rian. "Awas kalo nggak langsung pulang!" Begitu selalu ancamannya setiap hari. Dan kini kata Rian itu menghilang. Semenjak dirinya memutuskan untuk perang dingin dengan tunangannya itu.
Aku mengenyakkan badan di kursi chitose. Setelah beberapa saat aku baru sadar kalau meja belajar terlihat begitu rapi. Pasti Mama membersihkannya tadi pagi, pikirku. Duh, awas saja kalau barang-barangku diletakkan sesuai versi Mama. Aku mulai meneliti letak buku dan semua benda yang ada di meja belajar. Ternyata aman. Lalu mata ini terantuk sesuatu yang tidak biasa. Ada amplop warna biru muda tergeletak di sudut sana. Apa ini? Apa Rian mengirimiku surat? Reflek tanganku mengambil amplop itu. Samar tercium wangi parfum yang lembut ketika kubuka amplopnya. Aku terperangah ketika membaca tulisan di dalamnya. Mataku terpesona oleh kalimat demi kalimat yang ditulis begitu indah pada selembar kertas yang diselipkan di dalam sebuah kartu bergambar bunga lili biru.
Sebuah kertas melayang jatuh ke atas meja. Aku terhenyak. Darimana Mama mendapatkan surat itu?
"Siapa dia? Jangan buat malu Mama, Anya! Ingat Kamu sudah bertunangan!"
Aku menelan ludah. Tak mampu menjawab serangan pertanyaannya. Apakah sudah ketahuan sekarang? Apa mereka tahu kalau aku selingkuh?

pixabay
***
"Hei, tunggu! Anya tunggu dong!"
Langkahku melambat. Siapa sih yang teriak-teriak di siang bolong kayak gini? keluhku dalam hati. Tiba-tiba dia menikung jalanku. Ya, dia ... laki-laki pilihanku, yang selama seminggu ini aku hindari terus.
"Astaga! Ternyata beneran kamu, Beb!" Matanya menelitiku dari ujung kaki hingga kepala. "Pangling beneran kalo dandan kayak gini."
Cuih! Sebal sekali mendengarnya. Padahal minggu lalu jelas-jelas dia kepergok sedang ngobrol dengan serombongan mahasiswi baru di tangga belakang kampus. Yah, waktu itu Rian sama sekali tidak tahu kalau aku berinisiatif ke kampus biru. Niat memberikan surprise ternyata malah berbalik menikam diriku sendiri. Sebal rasanya melihat dia tertawa ceria dikelilingi oleh gadis-gadis cantik. Dan yang membuatku jadi mempertimbangkan kembali pertunangan kami adalah ketika saat aku meneleponnya. Waktu itu dengan entengnya dia menjawab kalau sedang sibuk rapat. Rapat? Astaga rapat apa 'rapat'.
"Tumben kamu ke sini," sapaku ketus sambil melewati badannya yang menghalangi jalanku. Kampus kami memang berjauhan. Dia di kabupaten sana, sedangkan aku sedang mengambil program diploma jurusan sekretaris di kota.
Rian tiba-tiba menangkap bahuku. Dengan gemas ia memutar tubuhku hingga menghadapnya. Dia membungkukkan badannya. "Kenapa jadi jutek gini?" tanyanya sembari memainkan rambut-rambut ikal di keningku.
Bah! Aku membuang muka. Rian tertawa geli melihatku cemberut. Dia memang paling senang menggodaku. Wajahku makin merah karena menahan kesal. Kenapa dia selalu kelihatan ganteng? Yah, playboy yang ganteng dan punya badan tinggi ini memang berhasil membuatku takluk. Si jutek Anya menyerah di bawah lutut playboy! Astaga malapetaka apa pula ini.
"Hei, hei. Ayolah. Kita beli es krim yuk!"
Aku menggeleng keras. Sebal sekali rasanya. Ingin rasanya berteriak di wajahnya yang senyum-senyum saja dari tadi. Tapi aku menahan diri. Bahaya kalau sampai perang pecah di wilayah ini. Sekelompok mahasiswa di seberang sana yang memperhatikan aku dari tadi mulai saling sikut satu sama lain. Kelihatannya mereka tahu kalau aku lagi marahan. Tanpa pikir panjang aku langsung berlari menuruni jalan. Pura-pura tak mendengar panggilan Rian yang kaget karena aku kabur begitu saja dari hadapannya.
Sejak hari itu chat dan telepon dari Rian aku pending. Ceritanya aku ingin memberinya pelajaran tentang arti setia. Masa aku di sini berusaha setia, mengabaikan semua cowo ganteng yang lalu lalang. Sedangkan dia di sana malah asyik tebar pesona sama semua mahasiswi baru. Biar Rian tahu rasa! Biarkan saja dia mengejar-ngejar aku terus.
***
Seminggu lebih mendiamkan Rian ternyata berujung bad mood berkepanjangan buatku. Bagaimana tidak? Dari pagi ke pagi semua aktivitasku pasti selalu ada kata Rian. Waktu sarapan kalau tidak disapa, yah, pasti menyapa Rian. Pergi kuliah pamit pertama kali pasti sama Rian. Istirahat siang pasti telponan sama Rian. Pulang kuliah apalagi pasti diawasi Rian. "Awas kalo nggak langsung pulang!" Begitu selalu ancamannya setiap hari. Dan kini kata Rian itu menghilang. Semenjak dirinya memutuskan untuk perang dingin dengan tunangannya itu.
Aku mengenyakkan badan di kursi chitose. Setelah beberapa saat aku baru sadar kalau meja belajar terlihat begitu rapi. Pasti Mama membersihkannya tadi pagi, pikirku. Duh, awas saja kalau barang-barangku diletakkan sesuai versi Mama. Aku mulai meneliti letak buku dan semua benda yang ada di meja belajar. Ternyata aman. Lalu mata ini terantuk sesuatu yang tidak biasa. Ada amplop warna biru muda tergeletak di sudut sana. Apa ini? Apa Rian mengirimiku surat? Reflek tanganku mengambil amplop itu. Samar tercium wangi parfum yang lembut ketika kubuka amplopnya. Aku terperangah ketika membaca tulisan di dalamnya. Mataku terpesona oleh kalimat demi kalimat yang ditulis begitu indah pada selembar kertas yang diselipkan di dalam sebuah kartu bergambar bunga lili biru.
Dear Anya,
Perkenalkan, aku adalah pengagum rahasiamu di kampus.
Dari hari pertama kuliah dimulai aku selalu memperhatikanmu dari seberang jalan. Kamu terlihat sangat cantik ketika sedang konsentrasi menyeberang.
Aku suka kamu yang terlihat mandiri. Kamu selalu sendiri, tak banyak teman, tapi kamu bahagia dan enjoy. Kamu juga selalu sibuk dengan buku. Padahal ada banyak mata yang memperhatikan dari seberang jalan. Termasuk aku.
Aku suka kamu, Anya. Aku tahu kamu telah bertunangan. Tapi kurasa menyatakan perasaan itu bukanlah sebuah kriminalitas. Aku suka kamu Anya. Kuharap kita bisa berteman.
Pengagum rahasiamu.
Andi
Aku berulang kali membaca surat itu. Siapa Andi? Astaga, jangan-jangan dia ada di antara mahasiswa yang selalu nongkrong di seberang jalan itu. Pikiranku pun mulai macam-macam. Bisa jadi dia orang jahat!
***
Aku kena marah Mama setelah dua hari membaca surat itu. Karena aku masih saja keras kepala untuk perang dingin dengan Rian. Sedangkan Rian sendiri bingung karena merasa tidak melakukan sesuatu hal yang salah. Jadinya calon menantu kesayangan itu pun mengadu sama Mama.
"Mama itu nggak pernah nggak nurut sama Papa ...."
Demikianlah awal ceramah panjang lebar yang memakan waktu hampir satu jam itu digelar. Aku hanya bisa mendengarkan sambil menahan kantuk. Dan ujung-ujungnya, Mama minta aku untuk pergi keluar dengan Rian.
"Sebentar lagi Rian jemput kamu, Anya. Kan, katanya libur semester mau mulai. Rian ingin ajak kamu jalan-jalan tuh."
Hhh. Aku hanya bisa mengeluh dalam hati. Pasti gini ujungnya. Gencatan senjata yang sia-sia. Kenapa harus selalu cewek yang mengalah? Ah, ini sih emang si Rian-nya aja yang curang. Pake ngadu ke Mama segala.
Tak lama kemudian Rian menelepon. Mau tak mau aku angkat. Karena Mama mulai melancarkan mata apinya. Percaya deh panas dari matanya bisa bikin tidur aku gelisah satu abad.
Ternyata Rian mengajak aku jalan keluar. Setengah jam kemudian dia sudah ada di depan pintu. Tersenyum sambil menyampirkan jaketnya di bahu. Yah, begitulah, seperti biasanya, ganteng maksimal.
Walaupun begitu, tetap saja dia butuh usaha ekstra untuk meluluhkan hati ini. Aku tetap bungkam setelah setengah jam keliling kota Bandung. Akhirnya Rian berhenti di samping trotoar di jalan Braga.
"Eh, ngapain berhenti di sini? Kan nggak boleh parkir di sini," protesku.
Rian nyengir ketika akhirnya aku bersuara juga. "Jadinya mau kemana kita ini? Tadi ditawari es krim diem. Ditawari bakso diem. Ditawari pulang aja malah makin cemberut. Hmm," godanya sembari membuka helm.
Perkenalkan, aku adalah pengagum rahasiamu di kampus.
Dari hari pertama kuliah dimulai aku selalu memperhatikanmu dari seberang jalan. Kamu terlihat sangat cantik ketika sedang konsentrasi menyeberang.
Aku suka kamu yang terlihat mandiri. Kamu selalu sendiri, tak banyak teman, tapi kamu bahagia dan enjoy. Kamu juga selalu sibuk dengan buku. Padahal ada banyak mata yang memperhatikan dari seberang jalan. Termasuk aku.
Aku suka kamu, Anya. Aku tahu kamu telah bertunangan. Tapi kurasa menyatakan perasaan itu bukanlah sebuah kriminalitas. Aku suka kamu Anya. Kuharap kita bisa berteman.
Pengagum rahasiamu.
Andi
Aku berulang kali membaca surat itu. Siapa Andi? Astaga, jangan-jangan dia ada di antara mahasiswa yang selalu nongkrong di seberang jalan itu. Pikiranku pun mulai macam-macam. Bisa jadi dia orang jahat!
***
Aku kena marah Mama setelah dua hari membaca surat itu. Karena aku masih saja keras kepala untuk perang dingin dengan Rian. Sedangkan Rian sendiri bingung karena merasa tidak melakukan sesuatu hal yang salah. Jadinya calon menantu kesayangan itu pun mengadu sama Mama.
"Mama itu nggak pernah nggak nurut sama Papa ...."
Demikianlah awal ceramah panjang lebar yang memakan waktu hampir satu jam itu digelar. Aku hanya bisa mendengarkan sambil menahan kantuk. Dan ujung-ujungnya, Mama minta aku untuk pergi keluar dengan Rian.
"Sebentar lagi Rian jemput kamu, Anya. Kan, katanya libur semester mau mulai. Rian ingin ajak kamu jalan-jalan tuh."
Hhh. Aku hanya bisa mengeluh dalam hati. Pasti gini ujungnya. Gencatan senjata yang sia-sia. Kenapa harus selalu cewek yang mengalah? Ah, ini sih emang si Rian-nya aja yang curang. Pake ngadu ke Mama segala.
Tak lama kemudian Rian menelepon. Mau tak mau aku angkat. Karena Mama mulai melancarkan mata apinya. Percaya deh panas dari matanya bisa bikin tidur aku gelisah satu abad.
Ternyata Rian mengajak aku jalan keluar. Setengah jam kemudian dia sudah ada di depan pintu. Tersenyum sambil menyampirkan jaketnya di bahu. Yah, begitulah, seperti biasanya, ganteng maksimal.
Walaupun begitu, tetap saja dia butuh usaha ekstra untuk meluluhkan hati ini. Aku tetap bungkam setelah setengah jam keliling kota Bandung. Akhirnya Rian berhenti di samping trotoar di jalan Braga.
"Eh, ngapain berhenti di sini? Kan nggak boleh parkir di sini," protesku.
Rian nyengir ketika akhirnya aku bersuara juga. "Jadinya mau kemana kita ini? Tadi ditawari es krim diem. Ditawari bakso diem. Ditawari pulang aja malah makin cemberut. Hmm," godanya sembari membuka helm.
"Kebun teh," celetukku samar.
"Apa?" Rian mencodongkan telinganya ke arahku.
Sebal. Kunaikkan oktaf suaraku. "Kebun teh!!"
"Okeh siap Nyonyahh!"
Rian menggas motornya. Meluncur nyaman ke daerah Lembang yang sejuk. Warna hijau sepanjang jalan mendinginkan hatiku. Dan yah ... begitulah ... Si Jutek Anya kembali bertekuk lutut oleh rayuan sang playboy. Dalam artian perang dingin telah usai dan dimenangkan oleh kubu musuh.
***
Andi sialan! Ternyata surat romantis itu telah merasuki jiwa ragaku. Walaupun marahan dengan Rian telah usai, bukan berarti kenangan akan surat itu ikut menghilang. Jujur saja aku jadi terobsesi mencari sosok Andi yang kuprediksi tak beda jauh perawakannya dari Rian. Alhasil setiap menyeberang jalan aku jadi semakin jaim. Diam-diam aku selalu meneliti dengan ekor mata para mahasiswa yang sedang nongkrong itu. Adakah Andi di antara mereka? Bukankah dia yang mengatakan selalu mengawasiku ketika sedang menyeberang? Tapi aku tak pernah berhasil menemukan Andi. Sama sekali tak ada yang gerak geriknya mencerminkan pernah mengirim surat padaku. Dan minggu kedua bulan ini hampir usai. Aku putuskan saja pengirim surat itu hanya iseng padaku.
***
Sesuatu terjadi di awal minggu ketiga. Aku sedang melamun sambil menikmati udara yang panas di depan meja belajar ketika Mama masuk ke dalam kamar.
"Ada surat nih." Mama menyodorkan amplop cantik berwarna biru langit. Matanya jelas sekali menyelidik wajahku.
Aku berhasil memasang wajah 'B' saja ketika menerima surat itu. Semoga Mama tak curiga, keluhku sambil membuka amplopnya. Jujur saja tanganku agak gemetaran. Apalagi ketika mataku membaca sebuah nama di pojok kiri bawah suratnya. Andi ....
Dear Anya,
Berhari-hari memperhatikanmu makin meyakinkan diriku. Jika kamu tidak keberatan aku ingin mengobrol lebih banyak lagi denganmu. Kamu bisa kontak aku di nomor yang ada di dalam surat ini.
Percayalah Anya, aku selalu menantikanmu setiap hari di kampus. Selalu mengawasimu, walaupun kamu belum berhasil menemukanku.
Brengsek! Lagi-lagi cowok misterius ini berhasil mengacaukan detak jantungku. Sebal rasanya ketika tanganku tak berhenti gemetar ketika menyalin nomor yang tertulis di dalam surat pada nomor kontak di ponselku. Ada apa denganmu Anya?
***
Kemudian aku pun bertingkah seperti ABG yang sedang kesengsemcinta di hari-hari berikutnya. Bolak balik kucoba menghubungi Andi. Awalnya ada nada dering terdengar, lalu tiba-tiba mati begitu saja. Hari berikutnya teleponku diangkat, tapi yang terdengar hanya suara gemerisik, seperti radio butut. Besoknya lagi diangkat, tapi tak ada suaranya. Begitu terus berulang sampai akhirnya aku kesal dan kembali menyimpulkan hanya dikerjai saja. Aku pun berhenti menelepon Andi. Berusaha melupakannya. Bahkan tidak berusaha juga mencarinya di kampus, di antara para mahasiswa yang selalu nongkrong sambil memperhatikan aku menyeberang itu.
Pokoknya aku bertekad akan melupakan Andi beserta semua suratnya.
***
Lagi-lagi sesuatu terjadi. Di minggu ketiga aku iseng menelepon Andi, tapi tidak diangkat. Kuhempaskan badan ke atas tempat tidur dengan kesal. Fix sudah, aku dikerjai! Kuputuskan untuk menghampus nomor Andi saja.
Tiba-tiba ada dering masuk. Aku terkejut ketika nama Andi tertera di layar ponsel. Sambil gemetar aku angkat telpon itu.
"Andi?" sapaku setengah tak percaya.
"Hai, Anya. Nice to meet you ...."
Suaranya begitu hangat dan ramah. Dan sejak hari itu Andi akan langsung balik menelepon ketika aku miscall. Tak pernah ada obrolan panjang. Hanya cerita singkatnya selalu mengawasi aku di kampus. Atau paling dia bertanya apa sudah pulang atau belum. Mengingatkan makan dan jaga kesehatan juga. Interaksi dengannya sangat mirip dengan TTM. Aku mulai kecanduan perhatiannya. Pasti berusaha mencari keberadaannya pula di kampus, tapi selalu nihil. Aku juga mulai kesal kalau dia telat membalas miscall. Dan rindu itu mulai tumbuh perlahan. Rindu yang terlarang.
***
Hari ini Rian mengirimiku dua buah buku bacaan. Libur panjang akan segera mulai. Katanya cara membungkam teror telponku padanya pada saat gabutkarena libur panjang adalah dengan buku. Hhh. Aku suka hadiah bukunya. Tapi sama sekali tidak terima dikatakan sering menerornya kalau lagi bosan. Aku pun langsung chat Rian, mengomelinya tentu saja. Ketika sedang asyik bersiteru dengannya, tiba-tiba Mama masuk ke dalam kamar.
"Apa ini?"
Sebuah kertas melayang jatuh ke atas meja. Aku terhenyak. Darimana Mama mendapatkan surat itu?
"Siapa dia? Jangan buat malu Mama, Anya! Ingat Kamu sudah bertunangan!"
Aku menelan ludah. Tak mampu menjawab serangan pertanyaannya. Apakah sudah ketahuan sekarang? Apa mereka tahu kalau aku selingkuh?
***
Sebuah kertas melayang jatuh ke atas meja. Aku terhenyak. Darimana Mama mendapatkan surat itu?
"Siapa dia? Jangan buat malu Mama, Anya! Ingat Kamu sudah bertunangan!"
Aku menelan ludah. Tak mampu menjawab serangan pertanyaannya. Apakah sudah ketahuan sekarang? Apa mereka tahu kalau aku selingkuh?
***
Ternyata ada surat baru yang datang ketika aku sedang asyik chating. Aku berusaha meyakinkan Mama kalau Andi itu hanya teman. Walaupun kesal, mau tak mau Mama berusaha percaya padaku. Lah, kan emang akunya udah tunangan. Masa iya selingkuh?
Sebenarnya aku meragukan pernyataanku sendiri setelah berhasil membuat Mama keluar dari kamar. Dan aku semakin ragu ketika membaca surat dari Andi.
Dear Anya,
Kamu tahu sebiru apa laut?
Seperti warna hatiku padamu,
Akankah ada temu?
Dua hati penuh rindu,
Maukah kamu pilih aku?
Pengagummu, Andi
Oh, Tuhan. Cowok sialan ini memang selalu romantis! Tapi mana mungkin aku menjawabnya. Walaupun rindu itu memang ada ....
***
Aku pun tahu diri. Apalagi Mama mulai mengawasi dengan ketat. Yah, aku tahu sudah bertunangan, Ma. Setelah berpikir panjang yang membutuhkan bantuan obat sakit kepala dalam prosesnya. Aku menyadarkan diri jika ini semua hanya godaan saja. Rian dan Andi memang bertolak belakang. Tapi masa iya aku membuang hal yang sudah dipelihara bertahun-tahun hanya untuk rumput liar yang tumbuh di musim kering?
Aku putuskan untuk membatasi diri. Tak ada lagi miscalluntuk Andi. Semua itu kujalani hampir satu bulan lamanya. Satu bulan yang menggelisahkan. Entah kenapa rasa bersalah itu semakin besar. Apalagi Andi benar-benar tidak berinisiatif untuk meneleponku duluan. Sampai kemudian hari itu tiba ....
***
"Hai, Anya. Masih ingat padaku?"
Aku tertegun memandangnya. Cowok itu berdiri di bawah kilauan matahari senja. Serbuk cahaya berjatuhan di wajah serta sekujur tubuhnya. Membaur bersama siluetnya yang berlatar belakang padang bunga. Wajahnya menengadah, menantang cahaya senja. Dia lalu menunduk. Menoleh, lalu menyapaku dengan ramah. Ah, Andi itukah kamu?
Aku berseru memanggilnya. "Andi!"
Terus memanggilnya berulang kali hingga cahaya senja meredup. Andi menjauh. Semakin kupanggil semakin menjauh. Aku sedih ....
"Andi!"
Suara benturan lumayan keras ke tembok membuatku tersadar. Duh! Mimpi ternyata! Aku mengeluh sambil mengusap-usap kening yang sakit. Tak lama kemudian aku pun berpikir. Menelaah mimpi tadi yang muncul di sore hari. Apakah ini pertanda aku harus meneleponnya lagi? Tiba-tiba saja aku merasa bersalah karena telah mendiamkannya begitu lama. Aku pun meraih ponsel.
***
Tiga hari tidak ada kemajuan. Andi tak membalas miscall. Sampai akhirnya aku kirim SMS. Sesuatu yang baru aku lakukan tentu saja. Sayangnya, tetap saja tak ada balasan.
Sampai hampir tiba di akhir minggu ketika keajaiban itu terjadi. Andi mengangkat teleponku. Mungkin dia risih dengan hujan SMS dariku.
"Halo, halo. Andi?"
Demikian sapaku berulang. Satu menit menunggu jawaban rasanya seperti satu tahun saja. "Halo, ini siapa?" Terdengar suara seorang wanita di seberang sana. Aku shock. Siapa dia?
"Halo. Saya Anya. Apa Andi ada?"
"Apa maksudmu? Anya siapa?" tanya wanita itu gusar. "Kamu siapa? Andi tidak ada!"
Suara klik keras terdengar. Wanita itu mematikan teleponku. Dan aku tercenung. Siapa dia? Di mana Andi?
***
Aku sangat gelisah dan merasa bersalah. Takut terjadi apa-apa sama Andi. Apa Andi sakit atau bagaimana? Akhirnya kuputuskan untuk mengirim surat pada Andi. Aku teringat di surat pertamanya ada alamat pengirim yang tertera.
Seminggu kemudian aku mulai menelepon Andi lagi setelah yakin suratnya sudah sampai. Kali ini pun aku harus bersabar lagi. Sangat sulit menghubunginya. Aku hampir menyerah ketika akhirnya teleponku diangkat juga.
"Kamu ini siapa sih?" tanya suara wanita itu lagi. Nadanya marah sekarang.
Dia makin marah ketika aku bertanya tentang Andi.
"Jangan main-main kamu, yah! Nggak mungkin kamu kenal Andi tiga bulan belakangan. Andi nggak ada! Kamu sengaja neror saya yah?"
Aku terkejut ketika menyadari wanita itu begitu marah. Padahal aku menelepon dengan keyakinan Andi akan memaafkanku setelah membaca isi surat yang kukirimkan. Ternyata kenyataannya tidak sesuai ekspektasiku. Wanita itu bicara panjang lebar, dan berhasil menutup mulutku hampir lima belas menit lamanya. Tak lama kemudian aku pun menutup telepon dengan lesu.
***
Sejak hari itu aku bertekad untuk melupakan Andi selamanya. Padahal sebenarnya aku sangat rindu padanya. Aku juga yakin Andi rindu padaku ....
Satu bulan berlalu dengan hampir baik-baik saja. Sampai suatu hari Rian datang ke rumah sambil membawa sesuatu.
"Hei. Ini ada surat loh di teras." Rian menyodorkan sebuah amplop berwarna biru muda padaku.
Aku shock. Warna biru itu sangat kukenal. Diam-diam aku membukanya ketika Rian sedang asyik mengobrol dengan Mama.
Aku hampir menangis ketika mencium wangi parfum yang sama dari suratnya. Tulisan Andi yang rapi tertera indah di atasnya.
Dear Anya,
Apa kamu rasakan rindu itu? Aku sudah membaca suratmu.
Pintaku hanya satu. Jika kamu rindu, hubungi saja aku.
Andi
Aku terpana membacanya. Ini benar kamu Andi? Ini nyata kamu kah? Hatiku bercampur aduk membacanya. Antara sedih, rindu, dan takut.
Tidak berpikir panjang aku kumpulkan semua surat dari Andi. Tanpa sepengetahuan Mama dan Rian aku ke teras depan. Surat-surat itu aku bakar semua di atas tanah.
"Aku juga rindu. Maafkan aku Andi ...."
***
"Kamu itu mau meneror saya yah?"
Wanita itu berteriak histeris di seberang telepon. Aku menangis. Menggeleng keras.
"Tidak tante. Maafkan saya."
"Bagaimana mungkin kalian berteman selama tiga bulan! Andi sudah meninggal satu tahun lalu! Kamu ini keterlaluan!"
Aku menangis dalam diam. Memperhatikan kertas yang menghitam. Api mulai membakar habis semua surat dari Andi. Perlahan asap dari sisa-sisa kertas pun hilang. Membias dalam senja yang kini menuju malam.
***
nb : sebuah cerita pada tahun 90 an


bukhorigan memberi reputasi
1
144
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan