Kaskus

News

w.valkyrieAvatar border
TS
w.valkyrie
Tajikistan Larang Hijab: Sekularisme Ketat di Negara Mayoritas Muslim
Tajikistan, negara kecil di Asia Tengah dengan lebih dari 90% penduduk beragama Islam, telah menarik perhatian dunia dengan kebijakan sekulernya yang semakin ketat, terutama terkait larangan pemakaian hijab dan niqab di ruang publik. Meskipun secara demografis merupakan negara Muslim, pemerintah Tajikistan menerapkan pendekatan sekularisme yang menonjol, dengan alasan menjaga stabilitas nasional dan mencegah radikalisme agama.

Larangan terhadap simbol-simbol keagamaan, khususnya yang berhubungan dengan Islam, sudah berlangsung sejak tahun 2007. Saat itu, Kementerian Pendidikan Tajikistan melarang penggunaan pakaian keagamaan, termasuk hijab dan niqab, di sekolah-sekolah sekuler. Seiring waktu, kebijakan ini diperluas ke berbagai institusi publik, termasuk kantor pemerintahan dan rumah sakit, meskipun belum disertai undang-undang formal pada awalnya.

Perkembangan paling signifikan terjadi pada Juni 2024, ketika parlemen Tajikistan mengesahkan amandemen terhadap Undang-Undang “Pengaturan Hari Libur dan Upacara,” yang secara eksplisit melarang penggunaan pakaian yang dianggap “asing dari budaya nasional.” Larangan ini mencakup hijab, niqab, serta gaya berpakaian lain yang dianggap sebagai simbol pengaruh luar yang tidak sesuai dengan nilai budaya Tajik. Pelanggaran terhadap aturan ini dapat dikenakan denda besar, mulai dari 7.920 somoni (sekitar $747) untuk individu, hingga 57.600 somoni (sekitar $5.000) bagi pejabat atau tokoh masyarakat.

Pemerintah menyatakan bahwa larangan ini merupakan bagian dari upaya menjaga identitas budaya nasional dan mencegah infiltrasi ideologi radikal. Presiden Emomali Rahmon, yang telah memimpin sejak 1994, secara konsisten menekankan pentingnya sekularisme dan kontrol negara terhadap pengaruh agama di ruang publik. Menurutnya, praktik keagamaan seharusnya bersifat pribadi, bukan ditampilkan secara mencolok di ranah sosial atau politik.

Selain larangan hijab, undang-undang tersebut juga menargetkan tradisi keagamaan seperti “iydgardak,” kebiasaan anak-anak mengunjungi rumah-rumah untuk mendapatkan hadiah saat Idulfitri. Pemerintah menyebutnya sebagai praktik “takhyul” yang berpotensi mendorong ekstremisme dan konsumsi berlebihan.

Namun, kebijakan ini tidak lepas dari kontroversi dan kritik internasional. Beberapa organisasi hak asasi manusia, termasuk Komisi AS untuk Kebebasan Beragama Internasional (USCIRF), telah menempatkan Tajikistan sebagai “negara yang menjadi perhatian khusus” sejak 2023 karena pembatasan kebebasan beragama. Kelompok seperti Council on American-Islamic Relations (CAIR) juga mengecam larangan ini sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak dasar umat Islam untuk menjalankan keyakinan mereka.

Di dalam negeri, reaksi masyarakat pun beragam. Sebagian warga mendukung pendekatan sekuler pemerintah, menganggapnya sebagai upaya melindungi negara dari instabilitas dan konflik sektarian. Namun, tidak sedikit pula yang merasa kebijakan ini menghambat kebebasan berekspresi dan beragama, terutama bagi perempuan Muslimah yang merasa haknya untuk menjalankan syariat Islam dibatasi oleh negara.

Bagi banyak perempuan, larangan ini menimbulkan dilema yang nyata: memilih antara mengikuti keyakinan agama atau mempertahankan akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan layanan publik. Beberapa memilih menyesuaikan diri dengan mengenakan kerudung ala Tajik yang direkomendasikan pemerintah, sementara yang lain memilih meninggalkan ruang publik demi mempertahankan prinsip keagamaan mereka.

Pemerintah Tajikistan membela kebijakannya dengan menunjukkan kekhawatiran atas ancaman radikalisme, terutama setelah insiden seperti serangan teroris di Crocus City Hall, Moskow, pada Maret 2024, yang pelakunya diduga memiliki paspor Tajik. Namun, para analis memperingatkan bahwa penindasan terhadap ekspresi keagamaan yang damai justru berpotensi menciptakan rasa keterasingan dan meningkatkan kerentanan terhadap ideologi ekstrem.

Warisan sekuler Tajikistan sebagian besar berasal dari masa Soviet, ketika agama ditekan secara sistematis. Meski demikian, Islam tetap menjadi bagian penting dari identitas masyarakat Tajik, bahkan selama masa represi. Saat ini, ketegangan antara identitas agama dan proyek sekularisme negara menciptakan ruang debat yang terus berkembang.

Larangan hijab dan niqab di Tajikistan mencerminkan konflik yang lebih luas antara otoritas negara dan kebebasan individu dalam masyarakat Muslim modern. Apakah langkah ini akan benar-benar mencegah radikalisme, atau justru memperburuk ketegangan sosial, masih menjadi pertanyaan terbuka di tengah tantangan geopolitik dan sosial yang dihadapi kawasan Asia Tengah.
{thread_title}
mnotorious19150Avatar border
danismu78110Avatar border
danismu78110 dan mnotorious19150 memberi reputasi
0
287
11
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan