- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
LBH Jakarta soal Sosok Diduga Intel Todongkan Senjata ke Massa Penolak UU TNI: Bahaya


TS
mabdulkarim
LBH Jakarta soal Sosok Diduga Intel Todongkan Senjata ke Massa Penolak UU TNI: Bahaya
LBH Jakarta soal Sosok Diduga Intel Todongkan Senjata ke Massa Penolak UU TNI: Bahaya

Seseorang yang diduga intel menodongkan senjata api ke massa yang menolak UU TNI. Aksi terekam dan viral di media sosial.
30 Maret 2025 | 06.12 WIB
Bagikan
Aksi demonstrasi mahasiswa bersama koalisi sipil mendesak pencabutan UU TNI dan menolak RUU Polri berakhir ricuh dengan petugas kepolisian di depan Gedung DPR RI, Jakarta, 27 Maret 2025. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Perbesar
Aksi demonstrasi mahasiswa bersama koalisi sipil mendesak pencabutan UU TNI dan menolak RUU Polri berakhir ricuh dengan petugas kepolisian di depan Gedung DPR RI, Jakarta, 27 Maret 2025. Tempo/Martin Yogi Pardamean
TEMPO.CO, Jakarta - Sosok diduga intel kepolisian terlihat menodongkan senjata api ke arah massa aksi pada aksi demonstrasi tolak Undang-Undang TNI di Jakarta pada Kamis, 27 Maret 2025. Peristiwa itu terekam dalam sebuah video yang beredar luas di media sosial, setelah diunggah oleh akun @eva***** di platform X.
Dalam video itu, terlihat massa aksi tolak UU TNI mengeroyok seseorang berbaju hitam yang diduga adalah intel kepolisian. Namun mereka tiba-tiba kabur sambil berteriak “Pistol! Pistol!” Sosok yang diduga intel itu pun terlihat memegang senjata api pistol sebelum akhirnya berlari menjauhi massa aksi.
Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Fadhil Alfathan, penggunaan senjata api oleh sosok yang diduga intel kepolisian merupakan penggunaan kekuatan yang tidak proporsional. “Kalau kemarin ada intel yang disisipkan ke dalam massa aksi dan memegang senjata, itu bahaya sekali,” kata Fadhil saat dihubungi pada Sabtu, 29 Maret 2025.
Fadhil mengatakan, senjata api memang sah digunakan oleh kepolisian, tapi harus tetap sesuai prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009, Pasal 43 menyebutkan bahwa dalam upaya mengatasi kerusuhan massal, setiap anggota Polri wajib menerapkan urutan tindakan mulai dari penggunaan kekuatan yang paling lunak atau pendekatan persuasif, sebelum melakukan penindakan represif atau penegakan hukum berdasarkan prinsip legalitas, nesesitas dan proporsionalitas.
Kemudian dalam Pasal 47, tertulis bahwa senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan dalam hal menghadapi keadaan luar biasa; membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat; membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat; mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang; menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa; dan menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.
Fadil mengatakan, selama ini polisi cenderung mengambil pendekatan yang represif ketika menangani massa aksi. Selama sepekan kemarin, LBH Jakarta menerima beberapa laporan akan kekerasan yang dilakukan ke kepolisian.
Dalam aksi demonstrasi pada Kamis, 20 Maret 2025, Fadhil mengatakan terdapatiga mahasiswa dirawat di rumah sakit akibat kekerasan itu. Kemudian pada aksi Kamis, 27 Maret 2025, terdapat beberapa laporan kekerasan yang dialami massa aksi ketika dipukul mundur oleh aparat ke sekitar Senayan Park.
Sejak kekeraan aparat terjadi pada aksi Reformasi Dikorupsi pada 2019, LBH Jakarta telah berupaya melaporkan kekerasan yang dilakukan oleh aparat terhadap massa demonstran. Tapi, menurut Fadhil, laporan itu tidak pernah ditindaklanjuti oleh kepolisian. “Kami jadi curiga, ini memang tidak dihukum atau memang sudah didesain sejak awal bahwa pendekatan represif seperti ini sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kepolisian,” ujar dia.
Tempo telah berupaya menghubungi Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi dan Kapolres Metro Jakarta Pusat Komsiaris Besar Susatyo Purnomo Condro. Tapi sampai berita ini ditulis, keduanya belum memberi tanggapan.
https://www.tempo.co/hukum/lbh-jakar...bahaya-1225828
LBH Jakarta: Mahasiswa Korban Kekerasan Aparat saat Demo Tolak UU TNI Tuntut Pertanggungjawaban Polisi

LBH Jakarta menyatakan para mahasiswa korban kekerasan aparat saat demo tolak UU TNI akan menuntut pertanggungjawaban polisi.
30 Maret 2025 | 06.30 WIB
Polisi memukul mundur massa aksi yang menuntut pencabutan UU TNI dari gerbang utama DPR hingga depan Senayan Park, pada Kamis malam, 27 Maret 2025. Tempo/Hammam Izzuddin
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Fadhil Alfathan mengatakan sejumlah mahasiswa yang menjadi korban kekerasan aparat pada saat demonstrasi tolak Undang-Undang TNI selama sepekan kemarin meminta bantuan hukum. “Rencana habis Lebaran kami mau kumpulkan semua mahasiswa (yang mengalami kekerasan) pada aksi 20 Maret kemarin dan 27 Maret untuk mendiskusikan langkah ke depan,” kata Fadhil kepada Tempo pada Sabtu, 29 Maret 2025.
Fadhil mengatakan, mereka ingin menuntut pertanggungjawaban polisi atas kekerasan yang dialami pada saat aksi demonstrasi menolak UU TNI. Usai aksi 20 Maret 2025, LBH Jakarta mengunjungi Rumah Sakit Pelni untuk memastikan ada atau tidaknya korban. Dari kunjungan itu, mereka mendapati ada tiga mahasiswa yang dirawat karena mengalami kekerasan oleh polisi.
Kemudian, LBH Jakarta juga menerima beberapa pengaduan akan pengunaan kekerasan oleh polisi saat aksi pada 27 Maret 2025. Menurut Fadhil, massa aksi mengalami kekerasan saat dipukul mundur oleh aparat ke Senayan Park. “Bentuk kekerasan rata-rata kekerasan fisik dengan tangan kosong maupun benda tumpul,” kata dia.
Fadhil mengakui, membuat laporan ke polisi perihal kekerasan yang dilakukan oleh anggotanya sendiri belum tentu membuahkan hasil. Sejak kekerasan aparat terjadi pada aksi Reformasi Dikorupsi pada 2019, LBH Jakarta telah berupaya melaporkan kekerasan yang dilakukan oleh aparat terhadap massa aksi. Tapi, menurut Fadhil, laporan itu tidak pernah ditindaklanjuti oleh kepolisian.
Masalahnya, kata Fadhil, polisi dinilai tidak pernah serius melakukan evaluasi terhadap kekerasan yang dilakukan anggotanya terhadap massa aksi. Dia pun menyebut Ombudsman seharusnya bisa mengambil langkah tegas. “Harusnya penanganan masa aksi yang tidak proporsional kemarin harusnya dinyatakan juga oleh Ombudsman sebagai maladministrasi,” kata dia.
Tak hanya mahasiswa, seorang pengemudi ojek onlone juga dihajar oleh sekelompok anggota polisi pada aksi 20 Maret 2025. Peristiwa itu terjadi di kolong jembatan layang JCC, tidak jauh dari lokasi aksi di depan Gedung DPR/MPR. “Tendangan, pentungan, yang paling parah kena kepala," kata Raka, pengemudi ojol yang menjadi korban.
Raka bercerita, saat itu dirinya sedang menepi di pinggir jalan untuk mengisi daya baterai gawai miliknya. Tidak lama kemudian datang segerombolan polisi yang menuduhnya sebagai mahasiswa yang terlibat demonstrasi. Menurut Raka, dia sudah mengatakan bahwa dirinya bukan mahasiswa, melainkan ojol. Namun belum sempat memberikan banyak penjelasan, Raka langsung dipukul dan ditendang bertubi-tubi.
Tempo telah berupaya menghubungi Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi dan Kapolres Metro Jakarta Pusat Komsiaris Besar Susatyo Purnomo Condro. Tapi sampai berita ini ditulis, keduanya belum memberi tanggapan.
https://www.tempo.co/hukum/lbh-jakar...polisi-1225831
perkembangan demo beberapa hari lalu

Seseorang yang diduga intel menodongkan senjata api ke massa yang menolak UU TNI. Aksi terekam dan viral di media sosial.
30 Maret 2025 | 06.12 WIB
Bagikan
Aksi demonstrasi mahasiswa bersama koalisi sipil mendesak pencabutan UU TNI dan menolak RUU Polri berakhir ricuh dengan petugas kepolisian di depan Gedung DPR RI, Jakarta, 27 Maret 2025. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Perbesar
Aksi demonstrasi mahasiswa bersama koalisi sipil mendesak pencabutan UU TNI dan menolak RUU Polri berakhir ricuh dengan petugas kepolisian di depan Gedung DPR RI, Jakarta, 27 Maret 2025. Tempo/Martin Yogi Pardamean
TEMPO.CO, Jakarta - Sosok diduga intel kepolisian terlihat menodongkan senjata api ke arah massa aksi pada aksi demonstrasi tolak Undang-Undang TNI di Jakarta pada Kamis, 27 Maret 2025. Peristiwa itu terekam dalam sebuah video yang beredar luas di media sosial, setelah diunggah oleh akun @eva***** di platform X.
Dalam video itu, terlihat massa aksi tolak UU TNI mengeroyok seseorang berbaju hitam yang diduga adalah intel kepolisian. Namun mereka tiba-tiba kabur sambil berteriak “Pistol! Pistol!” Sosok yang diduga intel itu pun terlihat memegang senjata api pistol sebelum akhirnya berlari menjauhi massa aksi.
Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Fadhil Alfathan, penggunaan senjata api oleh sosok yang diduga intel kepolisian merupakan penggunaan kekuatan yang tidak proporsional. “Kalau kemarin ada intel yang disisipkan ke dalam massa aksi dan memegang senjata, itu bahaya sekali,” kata Fadhil saat dihubungi pada Sabtu, 29 Maret 2025.
Fadhil mengatakan, senjata api memang sah digunakan oleh kepolisian, tapi harus tetap sesuai prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009, Pasal 43 menyebutkan bahwa dalam upaya mengatasi kerusuhan massal, setiap anggota Polri wajib menerapkan urutan tindakan mulai dari penggunaan kekuatan yang paling lunak atau pendekatan persuasif, sebelum melakukan penindakan represif atau penegakan hukum berdasarkan prinsip legalitas, nesesitas dan proporsionalitas.
Kemudian dalam Pasal 47, tertulis bahwa senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan dalam hal menghadapi keadaan luar biasa; membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat; membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat; mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang; menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa; dan menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.
Fadil mengatakan, selama ini polisi cenderung mengambil pendekatan yang represif ketika menangani massa aksi. Selama sepekan kemarin, LBH Jakarta menerima beberapa laporan akan kekerasan yang dilakukan ke kepolisian.
Dalam aksi demonstrasi pada Kamis, 20 Maret 2025, Fadhil mengatakan terdapatiga mahasiswa dirawat di rumah sakit akibat kekerasan itu. Kemudian pada aksi Kamis, 27 Maret 2025, terdapat beberapa laporan kekerasan yang dialami massa aksi ketika dipukul mundur oleh aparat ke sekitar Senayan Park.
Sejak kekeraan aparat terjadi pada aksi Reformasi Dikorupsi pada 2019, LBH Jakarta telah berupaya melaporkan kekerasan yang dilakukan oleh aparat terhadap massa demonstran. Tapi, menurut Fadhil, laporan itu tidak pernah ditindaklanjuti oleh kepolisian. “Kami jadi curiga, ini memang tidak dihukum atau memang sudah didesain sejak awal bahwa pendekatan represif seperti ini sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kepolisian,” ujar dia.
Tempo telah berupaya menghubungi Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi dan Kapolres Metro Jakarta Pusat Komsiaris Besar Susatyo Purnomo Condro. Tapi sampai berita ini ditulis, keduanya belum memberi tanggapan.
https://www.tempo.co/hukum/lbh-jakar...bahaya-1225828
LBH Jakarta: Mahasiswa Korban Kekerasan Aparat saat Demo Tolak UU TNI Tuntut Pertanggungjawaban Polisi

LBH Jakarta menyatakan para mahasiswa korban kekerasan aparat saat demo tolak UU TNI akan menuntut pertanggungjawaban polisi.
30 Maret 2025 | 06.30 WIB
Polisi memukul mundur massa aksi yang menuntut pencabutan UU TNI dari gerbang utama DPR hingga depan Senayan Park, pada Kamis malam, 27 Maret 2025. Tempo/Hammam Izzuddin
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Fadhil Alfathan mengatakan sejumlah mahasiswa yang menjadi korban kekerasan aparat pada saat demonstrasi tolak Undang-Undang TNI selama sepekan kemarin meminta bantuan hukum. “Rencana habis Lebaran kami mau kumpulkan semua mahasiswa (yang mengalami kekerasan) pada aksi 20 Maret kemarin dan 27 Maret untuk mendiskusikan langkah ke depan,” kata Fadhil kepada Tempo pada Sabtu, 29 Maret 2025.
Fadhil mengatakan, mereka ingin menuntut pertanggungjawaban polisi atas kekerasan yang dialami pada saat aksi demonstrasi menolak UU TNI. Usai aksi 20 Maret 2025, LBH Jakarta mengunjungi Rumah Sakit Pelni untuk memastikan ada atau tidaknya korban. Dari kunjungan itu, mereka mendapati ada tiga mahasiswa yang dirawat karena mengalami kekerasan oleh polisi.
Kemudian, LBH Jakarta juga menerima beberapa pengaduan akan pengunaan kekerasan oleh polisi saat aksi pada 27 Maret 2025. Menurut Fadhil, massa aksi mengalami kekerasan saat dipukul mundur oleh aparat ke Senayan Park. “Bentuk kekerasan rata-rata kekerasan fisik dengan tangan kosong maupun benda tumpul,” kata dia.
Fadhil mengakui, membuat laporan ke polisi perihal kekerasan yang dilakukan oleh anggotanya sendiri belum tentu membuahkan hasil. Sejak kekerasan aparat terjadi pada aksi Reformasi Dikorupsi pada 2019, LBH Jakarta telah berupaya melaporkan kekerasan yang dilakukan oleh aparat terhadap massa aksi. Tapi, menurut Fadhil, laporan itu tidak pernah ditindaklanjuti oleh kepolisian.
Masalahnya, kata Fadhil, polisi dinilai tidak pernah serius melakukan evaluasi terhadap kekerasan yang dilakukan anggotanya terhadap massa aksi. Dia pun menyebut Ombudsman seharusnya bisa mengambil langkah tegas. “Harusnya penanganan masa aksi yang tidak proporsional kemarin harusnya dinyatakan juga oleh Ombudsman sebagai maladministrasi,” kata dia.
Tak hanya mahasiswa, seorang pengemudi ojek onlone juga dihajar oleh sekelompok anggota polisi pada aksi 20 Maret 2025. Peristiwa itu terjadi di kolong jembatan layang JCC, tidak jauh dari lokasi aksi di depan Gedung DPR/MPR. “Tendangan, pentungan, yang paling parah kena kepala," kata Raka, pengemudi ojol yang menjadi korban.
Raka bercerita, saat itu dirinya sedang menepi di pinggir jalan untuk mengisi daya baterai gawai miliknya. Tidak lama kemudian datang segerombolan polisi yang menuduhnya sebagai mahasiswa yang terlibat demonstrasi. Menurut Raka, dia sudah mengatakan bahwa dirinya bukan mahasiswa, melainkan ojol. Namun belum sempat memberikan banyak penjelasan, Raka langsung dipukul dan ditendang bertubi-tubi.
Tempo telah berupaya menghubungi Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi dan Kapolres Metro Jakarta Pusat Komsiaris Besar Susatyo Purnomo Condro. Tapi sampai berita ini ditulis, keduanya belum memberi tanggapan.
https://www.tempo.co/hukum/lbh-jakar...polisi-1225831
perkembangan demo beberapa hari lalu
0
271
11


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan