Kaskus

Entertainment

ayomembacaAvatar border
TS
ayomembaca
Kontroversi, baru kemudian Klarifikasi
Sebenarnya tulisan ini pernah saya simpan di situs Qureta.Com akan tetapi semasa pemerintahan jokowi situs itu kemudian tak beroperasi. Mungkin karena jokowi takut dengan tulisan tulisan yang kritis di sana
***

tulisan ini akan menyoroti masalah penting dalam etika kepemimpinan dan akuntabilitas pejabat publik. Fenomena pejabat yang kerap mengeluarkan pernyataan kontroversial, lalu melakukan koreksi atau klarifikasi setelah mendapat kritik, adalah patut dikritisi. 

Kebiasaan para pejabat Indonesia itu mereka sering ngomong yang kontroversial. tetapi setelah omonganya dinilai negativ oleh rakyat, barulah kemudian mereka buru-buru melakukan koreksi, atau klarifikasi dan lain sebagainya. jelas itu tak mencerminkan perilaku pejabat publik yang baik. 

kalau cuma tindakan semacam itu seorang yang tak punya background pendidikan tinggi juga bisa melakukannya. itu tindakan yang "kaleng-kaleng" kalau kata anak zaman ini. 

bukankah mereka di pilih rakyat karena paling tidak telah memiliki keunggulan dalam berpikir matang sebelum bicara bukan..?



Di tengah dinamika demokrasi Indonesia, muncul fenomena yang kerap mengundang tanya: mengapa pejabat publik begitu mudah mengeluarkan pernyataan kontroversial, lalu buru-buru mengklarifikasi setelah mendapat kecaman? Kebiasaan ini bukan sekadar kesalahan komunikasi, melainkan cerminan dari krisis etika kepemimpinan yang menggerogoti kepercayaan publik. Pejabat yang seharusnya menjadi teladan justru terjebak dalam lingkaran kontroversi dan klarifikasi, sebuah pola yang oleh generasi muda disebut sebagai tindakan "kaleng-kaleng" --- istilah untuk aksi tidak bermutu dan penuh pencitraan. Lantas, mengapa hal ini terus terjadi, dan apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya?  

---

Akar Masalah: Dari Mentalitas Hingga Sistem yang Bobrok

Pertama, kurangnya kedewasaan berpikir menjadi masalah utama. Seorang pejabat publik seharusnya mampu menganalisis dampak setiap ucapan terhadap stabilitas sosial dan politik. Namun, banyak dari mereka justru berbicara tanpa pertimbangan matang, seolah lupa bahwa jabatan yang diemban adalah amanah, bukan panggung untuk unjuk sensasi. Ini menunjukkan ketidaksiapan mental-intelektual atau bahkan sikap tidak serius dalam menjalankan peran.  

Kedua, budaya reaktif yang mengutamakan popularitas jangka pendek. Banyak pejabat terjebak dalam pragmatisme politik: lebih memilih menjadi viral di media sosial ketimbang menyusun kebijakan yang substansial. Motif seperti ini lahir dari orientasi kekuasaan yang sempit, di mana pencitraan dianggap lebih penting daripada kerja nyata.  

Ketiga, sistem seleksi pejabat yang lemah. Proses rekrutmen seringkali mengutamakan loyalitas politik atau hubungan patronase, bukan kompetensi dan integritas. Akibatnya, muncul pejabat yang tidak memiliki kapasitas komunikasi publik memadai, sehingga mudah terpancing membuat pernyataan emosional atau provokatif.  

Terakhir, rendahnya kultur akuntabilitas. Ketika pejabat tidak pernah menghadapi konsekuensi nyata atas kesalahan verbal, klarifikasi menjadi "tameng" untuk menghindari tanggung jawab. Hal ini memperkuat mentalitas bahwa "asal minta maaf, selesai masalah," tanpa ada upaya perbaikan genuin.  

Praktik ini tidak hanya merusak reputasi individu, tetapi juga menggerogoti kepercayaan publik terhadap institusi negara. Masyarakat semakin skeptis, menganggap pejabat sebagai figur yang tidak bisa diandalkan. Di sisi lain, kontroversi verbal kerap mengalihkan perhatian dari isu substansial seperti kemiskinan, pendidikan, atau kesehatan. Energi publik yang seharusnya digunakan untuk mengawasi kebijakan strategis justru terkuras untuk membahas klarifikasi-komentar picisan.  

Lebih parah lagi, normalisasi kesalahan ini merendahkan standar etika kepemimpinan. Jika pejabat bisa seenaknya berbicara lalu "berkilah," bagaimana masyarakat bisa mengharapkan kebijakan yang adil dan terukur?  

---

Gelar Pendidikan Tinggi Tak Menjamin Etika

Meski banyak pejabat bergelar akademis mentereng, pendidikan formal tidak otomatis melahirkan pemimpin yang bijak. Kepemimpinan membutuhkan integritas dan empati, dua hal yang tidak diajarkan di bangku kuliah. Selain itu, tekanan politik seringkali memaksa pejabat mengikuti narasi kelompok tertentu, meski bertentangan dengan logika. Faktor lain adalah kurangnya pelatihan komunikasi strategis. Banyak pejabat tidak dilatih untuk menyampaikan pesan secara efektif, sehingga terkesan gegabah atau tidak profesional.  


---

Solusi: Membangun Sistem, Bukan Hanya Mengejar Pencitraan

   1. Rekrutmen harus berfokus pada rekam jejak integritas dan kemampuan analitis, bukan sekadar koneksi politik. Tes psikologis dan simulasi krisis bisa menjadi alat untuk mengukur kedewasaan berpikir calon pejabat.  

2. Pelatihan Kepemimpinan Holistik
   Pejabat perlu dibekali pelatihan komunikasi publik, manajemen konflik, dan etika birokrasi. Pelatihan ini harus berkelanjutan, bukan sekadar formalitas.  

3. Sanksi Tegas untuk Pelanggar Etika  
   Lembaga seperti KPK atau Ombudsman harus aktif memberikan sanksi administratif hingga pidana bagi pejabat yang sengaja menciptakan kontroversi tanpa dasar.  

4. Mendorong Partisipasi Publik yang Kritis
   Masyarakat harus diedukasi untuk menilai kinerja pejabat secara objektif dan menggunakan hak suara sebagai alat "penghukuman" bagi politisi yang tidak profesional.  Melalui pemilihan umum tentunya

---
Penutup: Dari Kontroversi ke Integritas  

Pernyataan kontroversial yang diikuti klarifikasi memang ibarat "nasi sudah menjadi bubur." Namun, bukan berarti kita harus menerimanya sebagai hal biasa. Pejabat yang baik harus mengedepankan kehati-hatian, ketepatan, dan rasa hormat kepada publik. Perubahan hanya akan terjadi jika ada tekanan sistemik untuk memperbaiki kualitas kepemimpinan, mulai dari rekrutmen hingga akuntabilitas. Jika tidak, Indonesia akan terus terjebak dalam siklus kontroversi-komentar-klarifikasi yang tak berujung --- sebuah ironi di tengah janji demokrasi yang semestinya mengutamakan kedaulatan rakyat.  

Maka, sudah saatnya pejabat publik belajar: kata-kata bukan hanya alat pencitraan, melainkan cerminan tanggung jawab. 


tiokyapcingAvatar border
si.matamalaikatAvatar border
ichan135Avatar border
ichan135 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
245
7
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan