Kaskus

News

mabdulkarimAvatar border
TS
mabdulkarim
WPAA apresiasi negara-negara kepulauan Pasifik yang terus dukung isu West Papua
WPAA apresiasi negara-negara kepulauan Pasifik yang terus dukung isu West Papua
WPAA apresiasi negara-negara kepulauan Pasifik yang terus dukung isu West Papua
Anggota Festival Kepulauan Pasifik di Eropa menunjukkan dukungan mereka terhadap kampanye Papua Barat Merdeka. – Jubi/RNZ Pasifik
SHARE
Jayapura, Jubi – Sebuah kelompok hak asasi manusia di Selandia Baru, West Papua Action Aotearoa, menyambut baik dukungan dari beberapa negara kepulauan Pasifik untuk West Papua, sebuah wilayah yang berada di bawah pendudukan militer Indonesia sejak tahun 1960-an.
Papua Barat adalah sebuah provinsi di ujung timur Indonesia, yang ada di Pulau Nugini. Setengah dari sisi timur Nugini adalah Papua Nugini, demikian dikutip jubi.id dari situs RNZ Pasifik, Senin (24/3/2025).

West Papua Action Aotearoa mengklaim pendudukan Indonesia atas West Papua telah mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia yang serius, termasuk kurangnya kebebasan pers.

Catherine Delahunty, juru bicara kelompok tersebut, mengatakan banyak warga West Papua telah mengungsi akibat aktivitas militer Indonesia.

Dalam wawancara dengan William Terite di Pacific Mornings, aktivis lingkungan dan mantan anggota parlemen Selandia Baru itu mengatakan, sebagian besar orang tidak tahu banyak tentang West Papua, “karena hampir tidak ada liputan media di negara ini. Jaraknya hanya satu jam dari Darwin [Australia], namun, sebagian besar orang tidak tahu apa yang telah terjadi di sana sejak tahun 1960-an. Ini adalah situasi yang sangat serius dan tragis, yang menjadi tanggung jawab kita semua sebagai tetangga,” katanya.

Mereka [orang West Papua] menganggap diri mereka sepenuhnya sebagai anggota masyarakat Pasifik, tetapi diperlakukan oleh Indonesia sebagai perpanjangan dari kekuasaan negaranya karena tanah Papua memiliki semua sumber daya alam, yang diekstraksi dengan cepat oleh Indonesia, dengan menggunakan kekerasan untuk mempertahankan negara.,” tambahnya.

Delahunty mengatakan situasi ini “sangat mengganggu”, dan menyebutkan perlunya dukungan dan perubahan bersama rakyat Westb Papua.”

Dalam pernyataan bersama baru-baru ini kepada Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, para pemimpin Vanuatu, Mikronesia, Kepulauan Marshall, Nauru, dan Sāmoa menyerukan kepada masyarakat global untuk mendukung masyarakat tertindas di West Papua.

Delahunty mengatakan negara-negara kepulauan Pasifik mendesak Dewan PBB untuk mengadvokasi hak asasi manusia di West Papua. Ia juga mengatakan West Papua Action Aotearoa ingin Indonesia mengizinkan kunjungan komisaris hak asasi manusia PBB, sebuah permintaan yang secara konsisten ditolak Indonesia.

Ia mengatakan Sāmoa adalah negara terakhir yang mendukung West Papua, membandingkannya dengan “kurangnya tindakan dari negara tetangga yang lebih besar seperti Selandia Baru dan Australia”.

Delahunty mengatakan bahwa sementara negara-negara kepulauan yang lebih kecil dan beberapa kelompok Afrika mendukung West Papua, negara-negara yang lebih kuat hanya memberikan sedikit bantuan.

“Luar biasa negara-negara kepulauan ini tetap mengangkat isu West Papua di Perserikatan Bangsa-Bangsa, tetapi kami secara khusus ingin memuji Sāmoa karena ini merupakan hal yang baru,” ungkapnya kepada Terite.

“Mereka, sebagai pemerintah, tidak pernah membuat pernyataan publik. Ada banyak orang Samoa yang mendukung West Papua, dan saya bekerja dengan mereka. Namun, sungguh luar biasa melihat pemerintah mereka melangkah maju dan membuat pernyataan tersebut,”katanya.

Secara historis, satu-satunya pernyataan publik yang mendukung West Papua datang dari anggota kongres Samoa Amerika Eni Faleomavaega, yang sangat mendukung kemerdekaan Papua hingga ia meninggal pada 2017.

Delahunty memuji dukungan Samoa terhadap pernyataan bersama tersebut tetapi menyuarakan kekecewaannya terhadap Selandia Baru dan Australia. “Yang tidak menggembirakan adalah kegagalan Australia dan Selandia Baru untuk benar-benar mendukung pernyataan bersama semacam ini dan untuk secara aktif membela West Papua karena mereka memiliki banyak kekuatan di wilayah tersebut. Mereka adalah negara-negara besar, tetapi kepemimpinan negara-negara kecillah yang kita lihat saat ini,” katanya.

Pada September 2024, Phillip Mehrtens, seorang pilot dari Selandia Baru, dibebaskan oleh pemberontak West Papua setelah ditawan selama 19 bulan.

Mehrtens, 39, diculik oleh pejuang Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat pada Februari 2023 dan dibebaskan setelah negosiasi panjang dan upaya diplomatik “kritis” oleh pihak berwenang di Wellington dan Jakarta.

Perdana Menteri Selandia Baru Christopher Luxon dan Menteri Luar Negeri Vaovasamanaia Winston Peters menyambut baik pembebasannya.

Mengapa ada konflik di Papua Barat?

Dulunya merupakan koloni Belanda, wilayah ini terbagi menjadi dua provinsi: Papua dan Papua Barat. Kini telah dibagi menjadi lima provinsi pada 2024 lalu di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Wilayah ini terpisah dari PNG, yang memperoleh kemerdekaan dari Australia pada 16 September 1975.

Pemberontak Papua yang ingin merdeka dari Indonesia telah mengeluarkan ancaman dan menyerang pesawat yang mereka yakini membawa personel dan mengirimkan pasokan untuk Jakarta.

Wilayah yang kaya sumber daya mineral tambang, migas ini telah berupaya merdeka sejak 1969, saat wilayah tersebut berada di bawah kendali Indonesia setelah pemungutan suara yang diawasi PBB disengketakan.

Konflik antara penduduk asli Papua dan penguasa Indonesia kerap terjadi, sementara pejuang pro-kemerdekaan meningkatkan serangan mereka sejak 2018.

Gerakan Papua Merdeka telah melancarkan perang gerilya intensitas rendah terhadap Indonesia, dengan sasaran personel militer dan polisi, beserta warga sipil Indonesia biasa.

Kelompok hak asasi manusia memperkirakan bahwa pasukan keamanan Indonesia telah membunuh lebih dari 300.000 orang Papua Barat sejak konflik dimulai.

Namun pemerintah Indonesia membantah melakukan kesalahan apa pun, dan mengklaim bahwa Papua Barat adalah bagian dari Indonesia dan diintegrasikan setelah “Tindakan Pilihan Bebas” yang kontroversial pada Penentuan Pendapat Rakya (Pepera) 1969 melalui 1026 anggota Dewan Musyawarah Pepera (DM) yang mewakili sebanyak 800.000 penduduk Papua Barat kala itu.

“Tindakan Pemilihan Bebas” telah banyak dikritik sebagai proses yang dimanipulasi, dengan pengamat dan jurnalis internasional menyuarakan kekhawatiran tentang keadilan dan legitimasi plebisit tersebut

Meskipun adanya kritik, Amerika Serikat dan sekutunya di kawasan itu, Selandia Baru dan Australia, telah mendukung upaya Indonesia untuk mendapatkan penerimaan di PBB dalam pemungutan suara pro-integrasi.

Kelompok hak asasi manusia, seperti West Papua Action Aotearoa milik Delahunty, telah menyuarakan “kekhawatiran serius” tentang memburuknya situasi hak asasi manusia di Papua dan Papua Barat.

Mereka mengutip pelanggaran yang mengkhawatirkan terhadap penduduk asli Papua, termasuk pembunuhan anak-anak, penghilangan paksa, penyiksaan, dan pemindahan massal.

Delahunty yakin harapan untuk perubahan terletak pada bangsa Te Moana Nui a Kiwa. Ia mengatakan harapan itu juga datang dari generasi muda Indonesia saat ini.

“Ini adalah masalah kolonisasi, dan ini mirip dengan Aotearoa, dalam arti bahwa ketika orang-orang yang menjadi bagian dari kolonisasi mulai menangani masalah ini, Anda akan mendapatkan perubahan. Namun, perubahan itu terlalu lambat. Jadi kami sangat kecewa,” katanya. (*)
https://jubi.id/pasifik/2025/wpaa-ap...su-west-papua/
Solidaritas dari pasifik
0
194
7
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan