- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Penyebab Korupsi Tak Bisa di Hentikan


TS
ayomembaca
Penyebab Korupsi Tak Bisa di Hentikan
Hingga kini Kasus korupsi di Indonesia tak juga berhenti. Dari tahun ketahun terus menerus terjadi. Yang terbaru, dugaan korupsi di lingkungan Pertamina yang saat ini tengah diusut oleh Kejaksaan Agung menjadi perhatian publik. Korupsi yang terjadi pada 2018-2023 itu disinyalir merugikan keuangan negara mencapai Rp 1 kuadriliun. Kejagung pun telah menetapkan sembilan tersangka dalam dugaan korupsi tersebut.
Sehubungan dengan ini saya akan coba membuat analisis sederhana tentang mengapa korupsi di Indonesia itu sulit untuk di hilangkan.
pertama dengan menggunakan analogi menghilangkan korupsi di Indonesia seperti menghadapi monster berkepala banyak! Sangat sulit mengatasinya karena korupsi sudah merambat luas dan tertanam dalam budaya politik yang berakar dalam.
yang kedua korupsi di Indonesia itu sulit di hilangkan sebab korupsi itu telah menjadi budaya.
yang ketiga para politikus tidak mau di sibukkan dengan permasalahan kompleks ini. yang tentu menyita banyak waktu
Dan yang ke empat ketika mereka di minta memberikan keterangan, ironisnya mereka secara tidak sadar juga bisa turut terlibat. karena masalah korupsi berawal dari sistem yang mereka ciptakan dan mereka kelola sendiri
Pembahasan lebih lanjut
1. Korupsi Sebagai Monster Berkepala Banyak"
Analoginya: Korupsi di Indonesia ibarat monster yang memiliki banyak kepala, artinya praktiknya telah menyebar ke berbagai sektor (politik, birokrasi, yudikatif, bisnis) dan melibatkan banyak aktor (pejabat, pengusaha, bahkan masyarakat biasa). Setiap kali satu "kepala" dipotong (misalnya, satu kasus korupsi ditangani), kepala lain tumbuh karena sistem yang korup tetap hidup.
Yang menjadi akar masalah dari hal ini ialah karena Sistem politik dan ekonomi yang oligarkis memungkinkan segelintir elit mengontrol sumber daya. Contoh: Dana APBD/APBN yang dikendalikan oleh kelompok tertentu. Korupsi juga terjadi di level atas (korupsi proyek nasional) hingga level bawah (uang "pelicin" untuk urusan administrasi). &yang terakhir karena ada keterkaitan dengan Kekuasaan: Banyak pejabat terpilih membiayai kampanye melalui cara ilegal, sehingga korupsi menjadi "cara balik modal"
2. Korupsi sebagai Budaya yang Terinstitusionalisasi
Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi telah menjadi norma sosial yang diterima secara pasif. Sebagai contoh Patronase dan Nepotisme Praktik "balas budi" dalam pengangkatan jabatan atau proyek.
Masyarakat Terbiasa dengan "Jalan Pintas": Misalnya, memberi uang tambahan untuk mempercepat proses perizinan.
Eufemisme Korupsi :Korupsi disebut sebagai "uang rokok", "uang transport", atau "hadiah", yang dinormalisasi dalam interaksi sehari-hari.
Ketika korupsi dianggap sebagai budaya, upaya pemberantasan dianggap mengganggu "keseimbangan" sistem yang sudah mapan.
3. Minimnya Political Will dari Para Politisi
Politikus seringkali enggan serius memberantas korupsi karena:
Terdapat Konflik Kepentingan
Banyak kebijakan anti-korupsi mengancam kepentingan pribadi atau kelompok mereka. Seperti Contoh Penolakan revisi UU KPK yang melemahkan lembaga tersebut (2019).
Prioritas Politik: Isu korupsi dianggap tidak "seksi" secara elektoral dibandingkan isu populisme atau agama.
- Ketergantungan pada Pendanaan Gelap. Partai politik mengandalkan dana koruptif untuk biaya kampanye, sehingga sulit mendorong transparansi.
4. Sistem yang Dibangun untuk Melanggengkan Korupsi
Ironisnya, korupsi justru dimungkinkan oleh sistem yang dirancang oleh para pemangku kekuasaan sendiri
Poin poinnya:
- Regulasi yang Disabotase, Contoh Aturan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara) yang tidak ditegakkan secara konsisten.
- Lemahnya Pengawasan: Lembaga pengawas seperti BPK atau Inspektorat seringkali tidak independen.
- Revolving Door: Mantan koruptor masih bisa mencalonkan diri sebagai pejabat atau memiliki akses ke kekuasaan.
Faktor Tambahan yang Memperparah
1. Ketimpangan Ekonomi
Masyarakat miskin cenderung menerima korupsi sebagai "solusi" untuk bertahan hidup.
2. Peran Media dan Masyarakat Sipil. Meski ada tekanan dari KPK dan aktivis, dukungan publik seringkali tidak konsisten.
3. Globalisasi Korupsi. Kasus korupsi lintas negara (seperti skandal pembelian alat kesehatan COVID-19) melibatkan jaringan internasional yang sulit dilacak.
Mengenai Solusi Potensial
1. Reformasi Sistemik
Dengan cara
- Memperkuat independensi lembaga anti-korupsi (KPK, pengadilan Tipikor).
- Menerapkan sistem elektronik untuk transparansi anggaran (e-budgeting, e-procurement).
-Pendidikan Anti-Korupsi. Membangun kesadaran sejak dini melalui kurikulum pendidikan.
-Sanksi Sosial. Menciptakan stigma bahwa koruptor adalah "musuh publik", bukan pahlawan. -desentralisasi yang Sehat. Memastikan otonomi daerah tidak disalahgunakan untuk korupsi lokal.
Sebagai kesimpulan
Korupsi di Indonesia adalah masalah kompleks yang membutuhkan pendekatan holistik, tidak hanya penindakan hukum, tetapi juga perubahan budaya, sistem politik, dan partisipasi aktif masyarakat. Selama elit politik masih diuntungkan dari sistem yang korup, "monster berkepala banyak" ini akan terus hidup.


amekachi memberi reputasi
1
244
15


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan