- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
[Cerita Bersambung] From Bestie To Lover


TS
aurora..
[Cerita Bersambung] From Bestie To Lover
![[Cerita Bersambung] From Bestie To Lover](https://s.kaskus.id/images/2025/02/19/9481769_20250219062021.jpg)
Sumber Gambar:AI
Quote:
Lagu Soundtrack:
1. Sahabat Jadi Cinta (Zigaz)
2. Masih (ADA Band)
1. Sahabat Jadi Cinta (Zigaz)
2. Masih (ADA Band)
Quote:
Bab 1: Bestie Sejak Kecil
Agatha Yulianti duduk di kursi kayu kecil di teras rumah Adziel Indrayana. Tangannya menopang dagu, sementara matanya menatap halaman yang dipenuhi bunga bougenville berwarna ungu. Angin sore yang sejuk berembus pelan, membuat helaian rambut pendeknya sedikit berantakan.
"Agatha, kamu mau teh manis atau susu cokelat?" ucap seorang wanita, suara lembutnya membuat Agatha menoleh
Tante Indah, ibu Adziel, berdiri di ambang pintu dengan senyum ramah. Agatha sangat menyukai wanita itu. Lembut, sabar, dan selalu menyambutnya dengan hangat setiap kali ia bermain ke rumah Adziel.
"Susu cokelat saja, Tante," jawab Agatha riang
Tante Indah mengangguk dan masuk kembali ke dalam rumah, meninggalkan Agatha yang kembali melamun. Sejak beberapa bulan terakhir, ia dan Adziel semakin akrab. Padahal, dulu Adziel adalah anak yang cukup pendiam, hanya berbicara seperlunya. Agatha-lah yang selalu memulai percakapan, bertanya ini itu, dan menarik Adziel keluar dari dunianya sendiri.
Tak lama kemudian, Tante Indah kembali dengan dua gelas susu cokelat. Ia duduk di kursi di sebelah Agatha dan menyerahkan satu gelas kepadanya.
"Adziel masih mandi. Bentar lagi dia keluar."
Agatha mengangguk sambil menyeruput susunya. Setelah menelan tegukan pertama, ia menatap Tante Indah dengan rasa penasaran yang sejak tadi mengganggunya.
"Tante..." panggil Agatha ragu
"Ya?"
"Aku boleh nanya sesuatu?"
Tante Indah tersenyum.
"Tentu saja. Mau nanya apa?"
Agatha menggigit bibirnya sebelum akhirnya bertanya,
"Sebenarnya, Adziel itu anaknya Tante beneran, kan?" tanya Agatha polos
Tante Indah tampak terkejut, tapi ia segera tersenyum.
"Tentu saja. Kenapa kamu bertanya begitu, Sayang?"
Agatha menatap gelasnya, ragu-ragu untuk melanjutkan.
"Soalnya, aku dan Adziel punya banyak kesamaan. Kami sama-sama pintar sains, sama-sama pengen jadi dokter, dan bibir kami juga mirip. Merah banget, kayak abis makan cabai," ucapnya polos
Tante Indah terkekeh pelan, matanya penuh kelembutan.
"Jadi, karena bibir kalian mirip, kamu curiga Adziel bukan anak Tante?"
Agatha mengangguk, pipinya sedikit memerah.
"Iya, soalnya aku denger dari teman-teman kalau anak kandung itu biasanya mirip sama orang tuanya. Tapi Adziel beda banget sama Tante dan Om."
Tante Indah tersenyum lembut. Ia meletakkan gelasnya di atas meja dan menatap Agatha dengan penuh kasih sayang.
"Agatha, kamu tahu? Kadang, seseorang tidak harus terlihat mirip secara fisik untuk menjadi bagian dari keluarga. Adziel memang tidak banyak mengambil fitur wajah dari kami, tapi dia tetap anak kami, dengan segala keunikannya."
Agatha mengangguk pelan, mencoba mencerna kata-kata itu.
"Tapi, kenapa dia bisa mirip aku?" tanyanya lagi
Tante Indah tersenyum penuh arti.
"Mungkin karena kalian memang ditakdirkan untuk bertemu dan menjadi sahabat. Tuhan punya cara-Nya sendiri untuk membuat orang-orang yang istimewa saling menemukan." jawab Tante Indah
Agatha terdiam, merenungi jawaban itu. Perlahan, ia tersenyum.
"Berarti aku dan Adziel benar-benar cocok, ya?"
"Tentu saja," jawab Tante Indah sambil mengusap kepala Agatha
"Dan siapa tahu, mungkin persahabatan kalian akan bertahan selamanya." lanjutnya
Agatha menatap langit sore yang mulai berwarna jingga. Di dalam hatinya yang masih polos, ia merasa hangat mendengar kata-kata itu. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi satu hal yang pasti, ia menyukai persahabatan ini dan berharap bisa terus bersama Adziel selamanya.
Agatha Yulianti duduk di kursi kayu kecil di teras rumah Adziel Indrayana. Tangannya menopang dagu, sementara matanya menatap halaman yang dipenuhi bunga bougenville berwarna ungu. Angin sore yang sejuk berembus pelan, membuat helaian rambut pendeknya sedikit berantakan.
"Agatha, kamu mau teh manis atau susu cokelat?" ucap seorang wanita, suara lembutnya membuat Agatha menoleh
Tante Indah, ibu Adziel, berdiri di ambang pintu dengan senyum ramah. Agatha sangat menyukai wanita itu. Lembut, sabar, dan selalu menyambutnya dengan hangat setiap kali ia bermain ke rumah Adziel.
"Susu cokelat saja, Tante," jawab Agatha riang
Tante Indah mengangguk dan masuk kembali ke dalam rumah, meninggalkan Agatha yang kembali melamun. Sejak beberapa bulan terakhir, ia dan Adziel semakin akrab. Padahal, dulu Adziel adalah anak yang cukup pendiam, hanya berbicara seperlunya. Agatha-lah yang selalu memulai percakapan, bertanya ini itu, dan menarik Adziel keluar dari dunianya sendiri.
Tak lama kemudian, Tante Indah kembali dengan dua gelas susu cokelat. Ia duduk di kursi di sebelah Agatha dan menyerahkan satu gelas kepadanya.
"Adziel masih mandi. Bentar lagi dia keluar."
Agatha mengangguk sambil menyeruput susunya. Setelah menelan tegukan pertama, ia menatap Tante Indah dengan rasa penasaran yang sejak tadi mengganggunya.
"Tante..." panggil Agatha ragu
"Ya?"
"Aku boleh nanya sesuatu?"
Tante Indah tersenyum.
"Tentu saja. Mau nanya apa?"
Agatha menggigit bibirnya sebelum akhirnya bertanya,
"Sebenarnya, Adziel itu anaknya Tante beneran, kan?" tanya Agatha polos
Tante Indah tampak terkejut, tapi ia segera tersenyum.
"Tentu saja. Kenapa kamu bertanya begitu, Sayang?"
Agatha menatap gelasnya, ragu-ragu untuk melanjutkan.
"Soalnya, aku dan Adziel punya banyak kesamaan. Kami sama-sama pintar sains, sama-sama pengen jadi dokter, dan bibir kami juga mirip. Merah banget, kayak abis makan cabai," ucapnya polos
Tante Indah terkekeh pelan, matanya penuh kelembutan.
"Jadi, karena bibir kalian mirip, kamu curiga Adziel bukan anak Tante?"
Agatha mengangguk, pipinya sedikit memerah.
"Iya, soalnya aku denger dari teman-teman kalau anak kandung itu biasanya mirip sama orang tuanya. Tapi Adziel beda banget sama Tante dan Om."
Tante Indah tersenyum lembut. Ia meletakkan gelasnya di atas meja dan menatap Agatha dengan penuh kasih sayang.
"Agatha, kamu tahu? Kadang, seseorang tidak harus terlihat mirip secara fisik untuk menjadi bagian dari keluarga. Adziel memang tidak banyak mengambil fitur wajah dari kami, tapi dia tetap anak kami, dengan segala keunikannya."
Agatha mengangguk pelan, mencoba mencerna kata-kata itu.
"Tapi, kenapa dia bisa mirip aku?" tanyanya lagi
Tante Indah tersenyum penuh arti.
"Mungkin karena kalian memang ditakdirkan untuk bertemu dan menjadi sahabat. Tuhan punya cara-Nya sendiri untuk membuat orang-orang yang istimewa saling menemukan." jawab Tante Indah
Agatha terdiam, merenungi jawaban itu. Perlahan, ia tersenyum.
"Berarti aku dan Adziel benar-benar cocok, ya?"
"Tentu saja," jawab Tante Indah sambil mengusap kepala Agatha
"Dan siapa tahu, mungkin persahabatan kalian akan bertahan selamanya." lanjutnya
Agatha menatap langit sore yang mulai berwarna jingga. Di dalam hatinya yang masih polos, ia merasa hangat mendengar kata-kata itu. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi satu hal yang pasti, ia menyukai persahabatan ini dan berharap bisa terus bersama Adziel selamanya.
Quote:
Bab 2: Kamar Adziel
Agatha berdiri di ambang pintu kamar Adziel, matanya berbinar penuh kekaguman. Sudah beberapa kali ia masuk ke sini, tapi perasaan takjubnya selalu sama.
Kamar Adziel tidak seperti kamar anak laki-laki kebanyakan yang penuh poster superhero atau mobil balap. Sebaliknya, dindingnya dipenuhi gambar-gambar planet, bintang, dan diagram anatomi tubuh manusia. Ada juga rak buku besar yang penuh dengan ensiklopedia sains, dari arkeologi, biologi, astronomi, hingga fisika dan matematika.
"Wah, kamar kamu makin keren!" seru Agatha sambil berjalan masuk
"Kayak perpustakaan mini! Eh, lebih tepatnya, kayak laboratorium penelitian!" lanjut Agatha
Adziel, yang sedang duduk di lantai sambil membuka buku pelajaran, menoleh sekilas dan tersenyum tipis.
"Biasa aja, tuh. Cuma nambah beberapa poster aja."
Agatha mendekati meja belajar Adziel dan melihat ada model tata surya dari bola-bola kecil yang menggantung di atas meja. Ia meraih bola berwarna biru yang mewakili Bumi dan memutarnya pelan.
"Serius, ini keren banget! Aku pengen punya kamar kayak gini juga!" ucap Agatha
"Kamu bisa mulai dengan beli poster tata surya dulu," saran Adziel santai, sambil merapikan bukunya
Agatha tertawa.
"Iya, tapi nanti kalau udah gede, aku mau buat kamar yang kayak observatorium. Aku mau ada teleskop gede di tengah kamar, biar bisa lihat bintang setiap malam!"
Adziel mengangkat alis.
"Bukannya kamu lebih suka biologi? Kenapa jadi suka astronomi juga?"
Agatha mengedikkan bahu.
"Gara-gara kamu, sih. Tiap hari ngomongin planet, galaksi, lubang hitam. Aku jadi ikut tertarik. Lagian, dokter juga butuh pengetahuan sains luas, kan?"
Adziel tersenyum kecil. Ia senang mendengar Agatha tertarik pada hal-hal yang ia sukai.
"Bagus, berarti nanti kita bisa jadi dokter yang juga ngerti tentang bintang."
Agatha mengangguk mantap.
"Dokter yang bisa menjelaskan hubungan antara tubuh manusia dan alam semesta! Kayak, kenapa gravitasi berpengaruh ke tulang kita atau kenapa matahari bisa ngaruh ke mood manusia!"
Adziel tertawa kecil.
"Itu konsep yang menarik. Mungkin kita bisa meneliti itu nanti."
Agatha menatap Adziel penuh semangat.
"Kita?" tanya Agatha
Adziel mengangguk.
"Iya, kan kita mau jadi dokter bareng. Jadi nanti kita bisa kerja sama buat penelitian juga." ucap Adziel
Agatha tersenyum lebar. Ia suka sekali mendengar kata "kita" keluar dari mulut Adziel. Entah kenapa, rasanya menyenangkan bisa berbagi mimpi dengan seseorang yang benar-benar mengerti dirinya.
"Oke!" ucap Agatha sambil mengulurkan tangan.
"Kita janji, ya? Kita bakal jadi dokter bareng, bikin penelitian keren, dan tetap sahabatan sampai kapan pun!"
Adziel menatap tangan Agatha sejenak sebelum akhirnya menyambutnya dengan genggaman erat.
"Janji!" ucap keduanya secara bersamaan
Mereka tersenyum satu sama lain, tanpa tahu bahwa janji itu akan diuji seiring berjalannya waktu. Namun, di usia 11 tahun ini, mereka percaya, bahwa persahabatan mereka akan bertahan selamanya.
Agatha berdiri di ambang pintu kamar Adziel, matanya berbinar penuh kekaguman. Sudah beberapa kali ia masuk ke sini, tapi perasaan takjubnya selalu sama.
Kamar Adziel tidak seperti kamar anak laki-laki kebanyakan yang penuh poster superhero atau mobil balap. Sebaliknya, dindingnya dipenuhi gambar-gambar planet, bintang, dan diagram anatomi tubuh manusia. Ada juga rak buku besar yang penuh dengan ensiklopedia sains, dari arkeologi, biologi, astronomi, hingga fisika dan matematika.
"Wah, kamar kamu makin keren!" seru Agatha sambil berjalan masuk
"Kayak perpustakaan mini! Eh, lebih tepatnya, kayak laboratorium penelitian!" lanjut Agatha
Adziel, yang sedang duduk di lantai sambil membuka buku pelajaran, menoleh sekilas dan tersenyum tipis.
"Biasa aja, tuh. Cuma nambah beberapa poster aja."
Agatha mendekati meja belajar Adziel dan melihat ada model tata surya dari bola-bola kecil yang menggantung di atas meja. Ia meraih bola berwarna biru yang mewakili Bumi dan memutarnya pelan.
"Serius, ini keren banget! Aku pengen punya kamar kayak gini juga!" ucap Agatha
"Kamu bisa mulai dengan beli poster tata surya dulu," saran Adziel santai, sambil merapikan bukunya
Agatha tertawa.
"Iya, tapi nanti kalau udah gede, aku mau buat kamar yang kayak observatorium. Aku mau ada teleskop gede di tengah kamar, biar bisa lihat bintang setiap malam!"
Adziel mengangkat alis.
"Bukannya kamu lebih suka biologi? Kenapa jadi suka astronomi juga?"
Agatha mengedikkan bahu.
"Gara-gara kamu, sih. Tiap hari ngomongin planet, galaksi, lubang hitam. Aku jadi ikut tertarik. Lagian, dokter juga butuh pengetahuan sains luas, kan?"
Adziel tersenyum kecil. Ia senang mendengar Agatha tertarik pada hal-hal yang ia sukai.
"Bagus, berarti nanti kita bisa jadi dokter yang juga ngerti tentang bintang."
Agatha mengangguk mantap.
"Dokter yang bisa menjelaskan hubungan antara tubuh manusia dan alam semesta! Kayak, kenapa gravitasi berpengaruh ke tulang kita atau kenapa matahari bisa ngaruh ke mood manusia!"
Adziel tertawa kecil.
"Itu konsep yang menarik. Mungkin kita bisa meneliti itu nanti."
Agatha menatap Adziel penuh semangat.
"Kita?" tanya Agatha
Adziel mengangguk.
"Iya, kan kita mau jadi dokter bareng. Jadi nanti kita bisa kerja sama buat penelitian juga." ucap Adziel
Agatha tersenyum lebar. Ia suka sekali mendengar kata "kita" keluar dari mulut Adziel. Entah kenapa, rasanya menyenangkan bisa berbagi mimpi dengan seseorang yang benar-benar mengerti dirinya.
"Oke!" ucap Agatha sambil mengulurkan tangan.
"Kita janji, ya? Kita bakal jadi dokter bareng, bikin penelitian keren, dan tetap sahabatan sampai kapan pun!"
Adziel menatap tangan Agatha sejenak sebelum akhirnya menyambutnya dengan genggaman erat.
"Janji!" ucap keduanya secara bersamaan
Mereka tersenyum satu sama lain, tanpa tahu bahwa janji itu akan diuji seiring berjalannya waktu. Namun, di usia 11 tahun ini, mereka percaya, bahwa persahabatan mereka akan bertahan selamanya.
@jktpanasmacet
@64m64n9s @mr.buky
Diubah oleh aurora.. 19-02-2025 19:55






bukhorigan dan 8 lainnya memberi reputasi
9
1K
Kutip
30
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan