- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Memelihara Kebodohan


TS
ayomembaca
Memelihara Kebodohan
Disparitas atau kesenjangan Pendapatan merupakan suatu hal yang krusial dalam menjelaskan kondisi perekonomian masyarakat melalui pengamatan pada kesesuaian pendapatan dan pengeluaran yang dilakukan oleh masyarakat. Untuk menjelaskan tentang kondisi kesenjangan pendapatan masyarakat nelayan di daerah saya, maka dilakukan analisis disparitas pendapatan masyarakat. Sehingga dapat dijelaskan dan disimpulkan apakah terjadi kesenjangan pendapatan pada masyaraka Nelayan.
Hal tersebut tampaknya mengakibatkan berkurangnya jumlah orang muda yang ingin berprofesi sebagai nelayan.
Hasil laut, salah satu sektor yang diandalkan untuk pembangunan nasional serta sumber mata pencaharian nelayan, perlu dipertahankan keberlanjutannya.
Status Indonesia sebagai negara maritim tampaknya tidak menjamin nelayan hidup dengan makmur.
mengenai ketimpangan (disparitas pendapatan) saya mempunyai semacam realitas yang saya dapatkan dari proses tanya jawab.
di tempat saya tinggal banyak sekali keluarga yang matapencaharian nya adalah sebagai nelayan. mereka pada waktu waktu musim tertentu seringkali berangkat berlayar di kapal Cumi-cumi yang ada di daerah Bali. Tepatnya di pelabuhan tanjung banoa.
di kapal yang biasa mereka bekerja tersebut menerapkan sistem gaji yang menurutku sulit di cerna dengan akal sehat. Perusahaan kapal itu memberikan mereka gaji menurut/berdasarkan jumlah Cumi-cumi yang telah mereka pancing.
jadi, antara orang per orang gajinya tak bisa sama, bagi yang sudah terbiasa dalam hal memancing, pasti akan mendapatkan hasil yang besar. sedangkan bagi orang-orang yang belum menguasai teknik memancing/belum memiliki keahlian memancing. pasti pada akhirnya gajinya akan sangat minim. bahkan ada sebuah kasus terjadi bahwa orang-orang yang belum menguasai teknik memancing Cumi-cumi pada akhirnya gajinya menjadi minus, karena di sebabkan oleh mereka banyak berhutang. baik karena untuk berhutang rokok atau pun untuk alat-alat nya. Karena manajemen perusahaan tidak menyediakan alat-alat pancing secara cuma cuma
padahal jika di telusuri secara lebih terperinci, bahwa cumi-cumi yang telah di peroleh bisa sampai siap untuk di ekspor/di jual ke pedagang pedagang besar itu pasti memerlukan banyak tangan yang terlibat.
Bila di jelas kan secara runtutnya adalah semacam ini : setelah Cumi-cumi berhasil di tangkap, maka proses berikutnya perlu di bekukan terlebih dulu dalam Cold storage. setelah cumi-cumi menjadi beku barulah di angkat untuk kemudian di kemas. dan pekerjaan seperti ini tentunya harus di lakukan dengan cara kerjasama.
tetapi jika melihat kembali mengenai perolehan gaji yang mereka dapatkan yang ternyata berbeda_beda. Ini tentunya tidak sesuai dengan logika.
dg kata lain. Perusahaan kapal cumi-cumi tersebut menerapkan sistem kerja yang konsepnya adalah individualistis. dan mereka para pekerja mau tak mau terjebak di dalamnya.
seharusnya menurut saya, kalau memang ingin menerapkan sistem kerja seperti itu. tangkapan cumi-cumi dari orang per orang juga seharusnya di kerjakan secara mandiri sampai pada tahap pengemasan.
Itulah yang saya maksud kan bahwa hal ini semacam pemeliharaan atas kebodohan.
atau mungkin bisa di sebut dengan manajemen perusahaan yang sangat buruk.
Karena hal ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun.
***
Untuk tujuan yang lebih spesifik, paparan yang telah saya sampaikan tersebut kiranya akan lebih baik jika saya ubah menjadi sebuah argumentasi berikut ini :
Di tengah gemerlap pariwisata dan pesona alam Bali, tersembunyi kisah pahit yang dialami para nelayan di tempat saya tinggal. Mereka, yang berjuang di lautan demi sesuap nasi, justru terjebak dalam sistem kerja yang tidak adil, menjerumuskan mereka ke dalam jurang ketimpangan dan kemiskinan.
Sistem gaji yang diterapkan di kapal cumi tempat mereka bekerja merupakan contoh nyata dari ketidakadilan. Gaji mereka dihitung berdasarkan jumlah cumi-cumi yang mereka tangkap, menciptakan jurang pemisah yang lebar antara nelayan yang ahli dan yang belum berpengalaman. Nelayan berpengalaman, dengan keahlian dan jam terbang tinggi, mendapatkan hasil pancingan yang lebih banyak, otomatis gajinya juga lebih besar. Sebaliknya, nelayan pemula, yang masih belajar dan belum menguasai teknik memancing, terpaksa menerima gaji minim bahkan minus, terbebani oleh hutang rokok dan peralatan.
Fenomena ini sungguh ironis. Cumi-cumi yang berhasil mereka tangkap, yang kemudian diekspor dan menghasilkan keuntungan besar, merupakan hasil kerja keras dan kolaborasi dari banyak tangan. Proses pembekuan di cold storage, pengemasan, dan pengangkutan tidak bisa dilakukan seorang diri. Namun, keuntungan dari hasil kerja kolektif ini hanya dinikmati oleh segelintir orang. Sistem kerja individualistis yang diterapkan di kapal cumi, seakan-akan mengabaikan peran penting setiap orang dalam rantai produksi.
ini adalah sebuah kebodohan atau juga bisa di sebut dengan manajemen seperusahaan yang buruk. Yang pasti, sistem gaji yang tidak adil ini telah berlangsung selama bertahun-tahun, membebani nelayan dan menciptakan ketimpangan yang mencolok.
Solusi yang adil dan humanis seharusnya perlu diterapkan. Jika sistem gaji berdasarkan hasil tangkapan memang ingin tetap dipertahankan, maka proses produksi cumi-cumi dari hulu hingga hilir juga harus dikerjakan secara individu oleh setiap nelayan. Namun, solusi yang lebih realistis adalah menerapkan sistem gaji yang adil dan proporsional, yang mempertimbangkan peran dan kontribusi setiap individu dalam proses produksi. Sistem ini harus menjamin kesejahteraan semua nelayan, tidak hanya mereka yang ahli.
Ketimpangan yang terjadi di kapal cumi tanjung banoa Bali bukanlah masalah sepele. Ini adalah cerminan ketidakadilan yang merugikan banyak orang. Semoga kisah ini dapat membuka mata kita semua, agar nelayan, yang merupakan pahlawan laut, dapat merasakan keadilan dan kesejahteraan yang layak mereka terima. Terima kasih
***


tiokyapcing memberi reputasi
1
168
3


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan