- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Dua wartawan Australia jalan kaki menembus Papua Barat, raih penghargaan jurnalisme


TS
mabdulkarim
Dua wartawan Australia jalan kaki menembus Papua Barat, raih penghargaan jurnalisme
Dua wartawan Australia jalan kaki menembus Papua Barat, raih penghargaan jurnalisme

Kristo Langker dan Kirsten Felice sesudah wawancara dengan Lamek Taplo dari Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat serta Sebby Sambom, juru bicara TPN-PB, yang menemani kedua wartawan, menyeberang dari PNG ke Papua Barat, pada September 2024. – Foto: Paradise Broadcasting
SHARE
Jakarta, Jubi – Dua wartawan Paradise Broadcasting, media baru dari Sydney, Australia, yang membuat liputan pemakaian roket dan mortar oleh aparat keamanan Indonesia terhadap orang asli Papua di Pegunungan Bintang, mendapat Penghargaan Oktovianus Pogau dari Yayasan Pantau untuk keberanian dalam jurnalisme.
Yayasan Pantau menghargai karya Kristo Langker dan Kirsten Felice yang melintasi hutan dan sungai berjalan kaki melintas perbatasan PNG dan Indonesia, tanpa visa Indonesia,guna menemui belasan anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), guna menerangkan pertempuran ‘asimetris’ mereka dengan aparat keamanan Indonesia di Pegunungan Bintang.
“Salut buat Kirsten Felice dan Kristo Langker, dua jurnalis muda yang sangat berani,” kata Yuliana Lantipo dari Yayasan Pantau. “Mendatangi wilayah konflik di Papua bukan hal yang mudah dan tidak murah, ditambah resiko keamanan yang sulit, apalagi mereka warga negara asing.”
Paradise Broadcasting didirikan Kristo Langker pada 2023. Media ini dibuatnya khusus berisi liputan panjang, sesudah dia membuat liputan soal penculikan pilot Selandia Baru di Pegunungan Tengah. Judulnya, ‘Hostage Land: Why Papuan Guerrilla Fighters Keep Taking Hostages’.
Ia menerangkan bagaimana orang asli Papua menyekap pilot Phillip Mark Mehrtens guna mendapatkan perhatian dari luar Indonesia. Ini juga mencerminkan tindakan serupa pada 1996 ketika gerilyawan pimpinan Kelly Kwalik menyekap belasan peneliti biologi mancanegara di Mapenduma.
Pada 2024, mereka masuk ke Pegunungan Bintang dan membuat film ‘Frontier War: Inside The West Papua Liberation Army’. Dalam ‘Frontier War’, kedua wartawan itu menemukan empat jenis bahan peledak yang dipakai aparat Indonesia saat menyerang Kiwirok di Pegunungan Bintang pada September dan Oktober 2021, yaitu mortir modifikasi Krusik 81mm buatan Serbia, roket udara bersirip lipat merk Thales FZ 68 buatan Prancis, granat Pindad 40mm, dan sirip ekor plastik yang belum dapat diidentifikasi.

Kirsten Felice dan Kristo Langker berada di Pegunungan Bintang, berjalan kaki melintasi perbatasan PNG dan Indonesia, memilih tak melamar visa wartawan dari Indonesia karena pembatasan yang sangat sulit dari pemerintah Indonesia buat wartawan asing masuk ke Papua Barat sejak 1967. –Foto: Kirsten Felic
Sudah banyak liputan media Indonesia soal mortir buatan Serbia dipakai oleh Badan Intelijen Negara (BIN). Bahkan Dewan Perwakilan Rakyat mempertanyakan keterlibatan aparat BIN di Kiwirok. Kedua wartawan menemukan bukan saja selongsong mortir tapi juga roket Thales.
Mereka juga mendapatkan video bahwa aparat Indonesia memakai drone buatan Tiongkok merk Ziyan model Blowfish A3. Helikopter yang dipakai untuk menembakkan roket Thales adalah Airbus H125M atau H225M. Pemerintah Indonesia minta YouTube memblokir ‘Frontier War’.
Pada 2024, Langker dan Felice sengaja memilih berjalan kaki, naik gunung dan turun lembah, sesudah naik beberapa penerbangan di Papua Nugini, berjalan seharian, masuk ke Pegunungan Bintang.
“Melintasi perbatasan PNG-Indonesia dan berjalan kaki ke Pegunungan Bintang untuk liputan bagaimana aparat Indonesia memakai roket dan mortar, serta helikopter dan drone, buat apa yang mereka sebut ‘penegakan hukum’ adalah keberanian dalam jurnalisme.”
Liputan mereka sangat sulit karena negara Indonesia, sejak 1967, membatasi wartawan asing masuk ke semua wilayah Papua Barat (Tanah Papua). Sudah banyak cerita bagaimana wartawan asing dipersulit mendapatkan visa, ditangkap, ditahan, bahkan yang sudah punya surat jalan, juga ditangkap, minimal dikuntit, ketika masuk ke Papua Barat.
Pada 13 September 2021, kelompok bersenjata pimpinan Lamek Taplo menyerang pos militer dan polisi Indonesia di Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang, dekat perbatasan dengan Papua Nugini. Ini puncak dari ketegangan antara kelompok Lamek Taplo dari Kiwirok dengan pihak Indonesia. Baku tembak seharian penuh mengakibatkan tewasnya seorang militan Papua dan luka-luka seorang tentara Indonesia.
Massa juga membakar puluhan properti dan fasilitas umum di Kiwirok dan Okyop, termasuk sejumlah rumah, beberapa kantor pemerintah, delapan sekolah, dua klinik, sebuah rumah sakit, sebuah bank, dan pasar Kiwirok. Militan Papua juga menyerang rumah sakit Kiwirok, membakar rumah sakit dan asramanya serta dua klinik kecil. Mereka diduga memukuli tiga perawat perempuan dan dua perawat laki-laki. Jenazah perawat Gabriella Meilani ditemukan dua hari kemudian.
TPNPB mengatakan mereka hanya menyerang pos keamanan dan membantu “mengamankan perawat Gerald Sokoy”, yang melarikan diri selama serangan dan dijemput oleh pemerintah setempat dua minggu setelah serangan dan kembali ke rumah.
Serangan tersebut membuat pihak Indonesia melancarkan serangan udara, termasuk dengan helikopter dan drone, terhadap Kiwirok. Pada 10 Oktober, militer Indonesia mengerahkan helikopter Angkatan Udara menjatuhkan 14 mortir buatan Serbia di Kiwirok, dan panglima Indonesia di Papua, Mayjen Yogo Triyono, mengakui pengeboman tersebut namun membantah bahwa bom diarahkan ke masyarakat sipil.
Menurut organisasi hak asasi manusia setempat, sekitar 1.000 keluarga telah melarikan diri dari Kiwirok ke Oksibil, ibu kota kabupaten tersebut. Diperkirakan 180 keluarga telah melarikan diri melintasi perbatasan ke Papua Nugini. Banyak yang kekurangan makanan, tempat tinggal, dan bantuan medis.
Pada 25 Oktober, militan menembak mati seorang polisi Indonesia dalam baku tembak di Kiwirok. Yogo Triyono menekankan bahwa pemerintah Indonesia perlu melakukan “dialog politik” untuk menyelesaikan masalah keamanan di Papua. Ia mengatakan bahwa para prajuritnya juga mulai “lelah dengan baku tembak.”
Kedua wartawan muda tersebut kelahiran Sydney. Kini Kristo Langker, umur 24 tahun, masih kuliah musik di University of Sydney. Kristen Felice, umur 25 tahun, alumnus Torrens University Australia, bekerja sebagai wartawan video.
Penghargaan Oktovianus Pogau
Oktovianus Pogau seorang wartawan Papua, lahir di Sugapa pada 1992. Pogau meninggal usia 23 tahun pada 31 Januari 2016 di Jayapura. Penghargaan ini diberikan setiap tahun guna mengenang keberanian Pogau. Suara Papua juga terlibat dalam pembuatan penghargaan pada 2017, namun penilaian dan pengumuman dilakukan Yayasan Pantau.
Pada Oktober 2011, Pogau melaporkan kekerasan terhadap ratusan orang asli Papua ketika berlangsung Kongres Papua III di Jayapura. Dia merekam suara tembakan. Tiga orang Papua meninggal dan lima orang dipenjara dengan vonis makar. Kegelisahan karena tak banyak media Indonesia memberitakan pelanggaran tersebut mendorong Pogau mendirikan Suara Papua pada 10 Desember 2011.
Yuliana Lantipo, sehari-hari bekerja sebagai redaktur Jubi di Jayapura mengatakan, “Saya bertemu Octo pertama kali di Yogja pada 2008 saat dia diundang oleh organisasi mahasiswa di Yogja sebagai pembicara dalam sebuah seminar.”
“Waktu itu dia masih siswa SMA, tapi sudah jadi pembicara di mana-mana dengan artikel-artikelnya yang dipublikasi di beberapa media. Saya lihat dia anak muda pemberani dan kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Keberanian Kirsten dan Kristo mengingatkan saya pada sosok Octo,” ujarnya.
Juri Penghargaan Pogau terdiri dari Andreas Harsono (Jakarta), Alexander Mering (Pontianak), Coen Husain Pontoh (New York), Made Ali (Pekanbaru), dan Yuliana Lantipo (Jayapura). (*)'
https://jubi.id/rilis-pers/2025/dua-...ElacPwvjsokOJA
para wartawan muda Australia pemberani yang meliput perjuangan KKB melawan Indonesia dan kondisi masyarakat yang di tengah pejuangan KKB
video dokumenternya

Kristo Langker dan Kirsten Felice sesudah wawancara dengan Lamek Taplo dari Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat serta Sebby Sambom, juru bicara TPN-PB, yang menemani kedua wartawan, menyeberang dari PNG ke Papua Barat, pada September 2024. – Foto: Paradise Broadcasting
SHARE
Jakarta, Jubi – Dua wartawan Paradise Broadcasting, media baru dari Sydney, Australia, yang membuat liputan pemakaian roket dan mortar oleh aparat keamanan Indonesia terhadap orang asli Papua di Pegunungan Bintang, mendapat Penghargaan Oktovianus Pogau dari Yayasan Pantau untuk keberanian dalam jurnalisme.
Yayasan Pantau menghargai karya Kristo Langker dan Kirsten Felice yang melintasi hutan dan sungai berjalan kaki melintas perbatasan PNG dan Indonesia, tanpa visa Indonesia,guna menemui belasan anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), guna menerangkan pertempuran ‘asimetris’ mereka dengan aparat keamanan Indonesia di Pegunungan Bintang.
“Salut buat Kirsten Felice dan Kristo Langker, dua jurnalis muda yang sangat berani,” kata Yuliana Lantipo dari Yayasan Pantau. “Mendatangi wilayah konflik di Papua bukan hal yang mudah dan tidak murah, ditambah resiko keamanan yang sulit, apalagi mereka warga negara asing.”
Paradise Broadcasting didirikan Kristo Langker pada 2023. Media ini dibuatnya khusus berisi liputan panjang, sesudah dia membuat liputan soal penculikan pilot Selandia Baru di Pegunungan Tengah. Judulnya, ‘Hostage Land: Why Papuan Guerrilla Fighters Keep Taking Hostages’.
Ia menerangkan bagaimana orang asli Papua menyekap pilot Phillip Mark Mehrtens guna mendapatkan perhatian dari luar Indonesia. Ini juga mencerminkan tindakan serupa pada 1996 ketika gerilyawan pimpinan Kelly Kwalik menyekap belasan peneliti biologi mancanegara di Mapenduma.
Pada 2024, mereka masuk ke Pegunungan Bintang dan membuat film ‘Frontier War: Inside The West Papua Liberation Army’. Dalam ‘Frontier War’, kedua wartawan itu menemukan empat jenis bahan peledak yang dipakai aparat Indonesia saat menyerang Kiwirok di Pegunungan Bintang pada September dan Oktober 2021, yaitu mortir modifikasi Krusik 81mm buatan Serbia, roket udara bersirip lipat merk Thales FZ 68 buatan Prancis, granat Pindad 40mm, dan sirip ekor plastik yang belum dapat diidentifikasi.

Kirsten Felice dan Kristo Langker berada di Pegunungan Bintang, berjalan kaki melintasi perbatasan PNG dan Indonesia, memilih tak melamar visa wartawan dari Indonesia karena pembatasan yang sangat sulit dari pemerintah Indonesia buat wartawan asing masuk ke Papua Barat sejak 1967. –Foto: Kirsten Felic
Sudah banyak liputan media Indonesia soal mortir buatan Serbia dipakai oleh Badan Intelijen Negara (BIN). Bahkan Dewan Perwakilan Rakyat mempertanyakan keterlibatan aparat BIN di Kiwirok. Kedua wartawan menemukan bukan saja selongsong mortir tapi juga roket Thales.
Mereka juga mendapatkan video bahwa aparat Indonesia memakai drone buatan Tiongkok merk Ziyan model Blowfish A3. Helikopter yang dipakai untuk menembakkan roket Thales adalah Airbus H125M atau H225M. Pemerintah Indonesia minta YouTube memblokir ‘Frontier War’.
Pada 2024, Langker dan Felice sengaja memilih berjalan kaki, naik gunung dan turun lembah, sesudah naik beberapa penerbangan di Papua Nugini, berjalan seharian, masuk ke Pegunungan Bintang.
“Melintasi perbatasan PNG-Indonesia dan berjalan kaki ke Pegunungan Bintang untuk liputan bagaimana aparat Indonesia memakai roket dan mortar, serta helikopter dan drone, buat apa yang mereka sebut ‘penegakan hukum’ adalah keberanian dalam jurnalisme.”
Liputan mereka sangat sulit karena negara Indonesia, sejak 1967, membatasi wartawan asing masuk ke semua wilayah Papua Barat (Tanah Papua). Sudah banyak cerita bagaimana wartawan asing dipersulit mendapatkan visa, ditangkap, ditahan, bahkan yang sudah punya surat jalan, juga ditangkap, minimal dikuntit, ketika masuk ke Papua Barat.
Pada 13 September 2021, kelompok bersenjata pimpinan Lamek Taplo menyerang pos militer dan polisi Indonesia di Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang, dekat perbatasan dengan Papua Nugini. Ini puncak dari ketegangan antara kelompok Lamek Taplo dari Kiwirok dengan pihak Indonesia. Baku tembak seharian penuh mengakibatkan tewasnya seorang militan Papua dan luka-luka seorang tentara Indonesia.
Massa juga membakar puluhan properti dan fasilitas umum di Kiwirok dan Okyop, termasuk sejumlah rumah, beberapa kantor pemerintah, delapan sekolah, dua klinik, sebuah rumah sakit, sebuah bank, dan pasar Kiwirok. Militan Papua juga menyerang rumah sakit Kiwirok, membakar rumah sakit dan asramanya serta dua klinik kecil. Mereka diduga memukuli tiga perawat perempuan dan dua perawat laki-laki. Jenazah perawat Gabriella Meilani ditemukan dua hari kemudian.
TPNPB mengatakan mereka hanya menyerang pos keamanan dan membantu “mengamankan perawat Gerald Sokoy”, yang melarikan diri selama serangan dan dijemput oleh pemerintah setempat dua minggu setelah serangan dan kembali ke rumah.
Serangan tersebut membuat pihak Indonesia melancarkan serangan udara, termasuk dengan helikopter dan drone, terhadap Kiwirok. Pada 10 Oktober, militer Indonesia mengerahkan helikopter Angkatan Udara menjatuhkan 14 mortir buatan Serbia di Kiwirok, dan panglima Indonesia di Papua, Mayjen Yogo Triyono, mengakui pengeboman tersebut namun membantah bahwa bom diarahkan ke masyarakat sipil.
Menurut organisasi hak asasi manusia setempat, sekitar 1.000 keluarga telah melarikan diri dari Kiwirok ke Oksibil, ibu kota kabupaten tersebut. Diperkirakan 180 keluarga telah melarikan diri melintasi perbatasan ke Papua Nugini. Banyak yang kekurangan makanan, tempat tinggal, dan bantuan medis.
Pada 25 Oktober, militan menembak mati seorang polisi Indonesia dalam baku tembak di Kiwirok. Yogo Triyono menekankan bahwa pemerintah Indonesia perlu melakukan “dialog politik” untuk menyelesaikan masalah keamanan di Papua. Ia mengatakan bahwa para prajuritnya juga mulai “lelah dengan baku tembak.”
Kedua wartawan muda tersebut kelahiran Sydney. Kini Kristo Langker, umur 24 tahun, masih kuliah musik di University of Sydney. Kristen Felice, umur 25 tahun, alumnus Torrens University Australia, bekerja sebagai wartawan video.
Penghargaan Oktovianus Pogau
Oktovianus Pogau seorang wartawan Papua, lahir di Sugapa pada 1992. Pogau meninggal usia 23 tahun pada 31 Januari 2016 di Jayapura. Penghargaan ini diberikan setiap tahun guna mengenang keberanian Pogau. Suara Papua juga terlibat dalam pembuatan penghargaan pada 2017, namun penilaian dan pengumuman dilakukan Yayasan Pantau.
Pada Oktober 2011, Pogau melaporkan kekerasan terhadap ratusan orang asli Papua ketika berlangsung Kongres Papua III di Jayapura. Dia merekam suara tembakan. Tiga orang Papua meninggal dan lima orang dipenjara dengan vonis makar. Kegelisahan karena tak banyak media Indonesia memberitakan pelanggaran tersebut mendorong Pogau mendirikan Suara Papua pada 10 Desember 2011.
Yuliana Lantipo, sehari-hari bekerja sebagai redaktur Jubi di Jayapura mengatakan, “Saya bertemu Octo pertama kali di Yogja pada 2008 saat dia diundang oleh organisasi mahasiswa di Yogja sebagai pembicara dalam sebuah seminar.”
“Waktu itu dia masih siswa SMA, tapi sudah jadi pembicara di mana-mana dengan artikel-artikelnya yang dipublikasi di beberapa media. Saya lihat dia anak muda pemberani dan kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Keberanian Kirsten dan Kristo mengingatkan saya pada sosok Octo,” ujarnya.
Juri Penghargaan Pogau terdiri dari Andreas Harsono (Jakarta), Alexander Mering (Pontianak), Coen Husain Pontoh (New York), Made Ali (Pekanbaru), dan Yuliana Lantipo (Jayapura). (*)'
https://jubi.id/rilis-pers/2025/dua-...ElacPwvjsokOJA
para wartawan muda Australia pemberani yang meliput perjuangan KKB melawan Indonesia dan kondisi masyarakat yang di tengah pejuangan KKB
video dokumenternya



dragunov762mm memberi reputasi
1
229
9


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan