- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Hujan Kritik terhadap Penurunan BI Rate: Terburu-buru dan Kacau


TS
jaguarxj220
Hujan Kritik terhadap Penurunan BI Rate: Terburu-buru dan Kacau
Bloomberg Technoz, Jakarta - Keputusan mengejutkan Bank Indonesia memangkas bunga acuan, BI Rate, melawan ekspektasi pasar yang secara bulat memperkirakan bertahan di 6% menuai kritik nan ramai dari kalangan ekonom dan pelaku pasar.
Mayoritas ekonom menilai, langkah BI terburu-buru dan kacau. Pasalnya, situasi ketidakpastian masih sangat tinggi di pasar dengan perubahan geopolitik di Amerika Serikat (AS) ditambah lagi Indonesia akan segera memasuki periode puncak permintaan dolar AS musiman yang akan memberi tambahan beban pada rupiah.
Bukan cuma itu, ketidakpastian juga akan melanda pasar surat utang kendati penurunan bunga acuan adalah kabar baik bagi harga obligasi. Namun, di tengah lingkungan bunga tinggi global, para investor akan dipaksa menghitung lagi ekspektasi mereka terhadap Bank Indonesia.
Independensi Bank Indonesia akan menjadi sorotan ke depan setelah keputusan yang melawan konsensus kemarin, apakah hal itu menjadi langkah cerdik nan jitu atau justru menjadi boomerang yang memantik masalah lebih besar ke depan.
Berikut ini pandangan beberapa ekonom dan analis pasar seperti disampaikan pada Bloomberg Technoz dan Bloomberg News:
Putera Satria Sambijantoro (Bahana Sekuritas)
Kami memperkirakan akan ada risiko negatif terhadap aset-aset rupiah setelah keputusan penurunan BI rate. BI pada dasarnya menurunkan bunga acuan ketika ekspektasi bunga global makin tinggi. Perbedaan kebijakan yang berlawanan dengan konsensus itu bisa menyempitkan selisih imbal hasil RI dengan global sehingga akhirnya memberikan tekanan pada rupiah.
Waktu penurunan suku bunga juga kontroversial karena perekonomian akan segera memasuki periode permintaan dolar AS yang tinggi secara musiman, kami perkirakan meningkat pada Maret ketika impor BBM dan barang konsumsi melonjak pada Idul Fitri, dan akan memuncak pada Mei ketika ada Utang Luar Negeri jatuh tempo US$ 8,7 miliar, dua kali lipat dibanding Mei tahun lalu.
Pelonggaran kebijakan yang tidak tepat waktu akan meningkatkan impor biaya modal sehingga memberi dampak negatif pada sektor manufaktur dan pertumbuhan investasi.
Lionel Priyadi (Mega Capital Sekuritas)
Keputusan penurunan BI ini kontroversial dan kacau karena itu menunjukkan perubahan 180 derajat dibanding stance kebijakan sebelumnya. Dalam pandangan kami, BI sedang menghadapi dilema. Posisi kebijakan BI dalam mengupayakan stabilitas rupiah di kisaran Rp15.300-Rp15.700/US$ seperti proyeksi 2025, menjadi terlalu mahal. Itu terlihat dari penurunan prediksi pertumbuhan ekonomi tahun 2025 menjadi 4,70%-5,50%.
Terlebih tidak ada jaminan rupiah akan menguat dalam waktu dekat. Pasar faktanya memperkirakan dolar AS akan menguat pasca pelantikan. Dengan kata lain, BI menghadapi kekalahan dalam upaya mencapai stabilitas rupiah yang dibuat-buat. BI mengambil risiko besar dalam jangka pendek dengan membalikkan posisi kebijakannya saat ini.
BI mungkin berada dalam posisi yang tidak nyaman bila inflasi CPI inti AS lebih kuat dari perkiraan disertai peningkatan inflasi jasa inti, yang mana rupiah bisa melemah ke kisaran Rp16.500-16.900/US$ dalam beberapa hari ke depan dan imbal hasil SUN 10 tahun akan meningkat menjadi 7,50%.
Brian Tan and Audrey Ong (Barclays)
Pemangkasan BI rate dan peralihan stance kebijakan menjadi lebih dovish membuka kerugian lebih lanjut bagi rupiah. Tantangan pelonggaran moneter di masa depan kemungkinan tidak terlalu tinggi meski ada beberapa faktor termasuk pelemahan rupiah. Kami tidak menutup kemungkinan akan terjadi pelemahan rupiah secara front-loading jika BI tetap bersikap dovish.
Kami melihat nilai rupiah ada di Rp16.500/US$ pada akhir kuartal pertama dan Rp16.800/US$ pada akhir kuartal empat.
Lloyd Chan (MUFG Bank Ltd)
Keputusan penurunan BI rate akan menekan rupiah lebih banyak. Keputusan BI jelas menunjukkan bahwa para pembuat kebijakan di bank sentral sedang bergulat dengan kebutuhan untuk mendukung pertumbuhan di satu sisi, dan di sisi lain menstabilkan nilai rupiah.
Alex Loo (TD Securities)
Keputusan itu mencerminkan bahwa BI tidak terlalu khawatir dengan pelemahan rupiah. Kami perkirakan USD/IDR akan diperdagangan mendekati Rp16.500/US$ pada akhir kuartal pertama seiring dengan penguatan dolar AS dan BI lebih berhati-hati menggunakan cadangan devisanya.
Tamara Mast Henderson (Bloomberg Economics)
BI mengalihkan fokus kebijakan dari rupiah ke inflasi namun menegaskan akan terus menstabilkan mata uang dengan intervensi pasar. Panduan ke depan dari BI menunjukkan pelonggaran lebih lanjut akan dilakukan seiring dengan kondisi yang memungkinkan.
Wee Khoon Chong (Bank of New York Mellon Corp)
Risiko depresiasi rupiah lebih lanjut mungkin akan meng-offset keuntungan obligasi karena penurunan suku bunga. Obligasi Pemerintah RI denominasi rupiah relatif tangguh dengan spread dengan AS stabil seiring dana asing yang masuk.
Kai Wei Ang, Abhay Gupta, Rahul Bajoria (Bank of America Corp)
BI memperkirakan akan memangkas satu kali lagi suku bunga pada kuartal II dengan fokus lebih ke pertumbuhan dan inflasi. BI akan bersikap lebih toleran terhadap pelemahan rupiah atau sudah menemukan cara untuk menstabilkan. Imbal hasil front-end diperkirakan bergerak lebih rendah dipimpin oleh investor domestik dan kondisi likuiditas lebih longgar bila rupiah berhasil distabilkan.
Rajeev De Mello (Gama Asset Management)
Ini adalah langkah berisiko yang diambil BI dan meningkatkan risiko keuangan bagi negara. Dengan ketidakpastian kebijakan yang akan segera terjadi di AS, ini bukanlah saat yang tepat bagi bank sentral di negara berkembang untuk melonggarkan kebijakan moneter.
https://www.bloombergtechnoz.com/det...uru-dan-kacau/
Tinggal waktu yang akan membuktikan, apakah likuiditas cukup untuk menghadapi "pelarian" dana?
Dengan likuiditas yang terlihat "mengering", saya lihat potensi adanya krisis perbankan. Tinggal bagaimana BI memanajemen nya saja.
Mayoritas ekonom menilai, langkah BI terburu-buru dan kacau. Pasalnya, situasi ketidakpastian masih sangat tinggi di pasar dengan perubahan geopolitik di Amerika Serikat (AS) ditambah lagi Indonesia akan segera memasuki periode puncak permintaan dolar AS musiman yang akan memberi tambahan beban pada rupiah.
Bukan cuma itu, ketidakpastian juga akan melanda pasar surat utang kendati penurunan bunga acuan adalah kabar baik bagi harga obligasi. Namun, di tengah lingkungan bunga tinggi global, para investor akan dipaksa menghitung lagi ekspektasi mereka terhadap Bank Indonesia.
Independensi Bank Indonesia akan menjadi sorotan ke depan setelah keputusan yang melawan konsensus kemarin, apakah hal itu menjadi langkah cerdik nan jitu atau justru menjadi boomerang yang memantik masalah lebih besar ke depan.
Berikut ini pandangan beberapa ekonom dan analis pasar seperti disampaikan pada Bloomberg Technoz dan Bloomberg News:
Putera Satria Sambijantoro (Bahana Sekuritas)
Kami memperkirakan akan ada risiko negatif terhadap aset-aset rupiah setelah keputusan penurunan BI rate. BI pada dasarnya menurunkan bunga acuan ketika ekspektasi bunga global makin tinggi. Perbedaan kebijakan yang berlawanan dengan konsensus itu bisa menyempitkan selisih imbal hasil RI dengan global sehingga akhirnya memberikan tekanan pada rupiah.
Waktu penurunan suku bunga juga kontroversial karena perekonomian akan segera memasuki periode permintaan dolar AS yang tinggi secara musiman, kami perkirakan meningkat pada Maret ketika impor BBM dan barang konsumsi melonjak pada Idul Fitri, dan akan memuncak pada Mei ketika ada Utang Luar Negeri jatuh tempo US$ 8,7 miliar, dua kali lipat dibanding Mei tahun lalu.
Pelonggaran kebijakan yang tidak tepat waktu akan meningkatkan impor biaya modal sehingga memberi dampak negatif pada sektor manufaktur dan pertumbuhan investasi.
Lionel Priyadi (Mega Capital Sekuritas)
Keputusan penurunan BI ini kontroversial dan kacau karena itu menunjukkan perubahan 180 derajat dibanding stance kebijakan sebelumnya. Dalam pandangan kami, BI sedang menghadapi dilema. Posisi kebijakan BI dalam mengupayakan stabilitas rupiah di kisaran Rp15.300-Rp15.700/US$ seperti proyeksi 2025, menjadi terlalu mahal. Itu terlihat dari penurunan prediksi pertumbuhan ekonomi tahun 2025 menjadi 4,70%-5,50%.
Terlebih tidak ada jaminan rupiah akan menguat dalam waktu dekat. Pasar faktanya memperkirakan dolar AS akan menguat pasca pelantikan. Dengan kata lain, BI menghadapi kekalahan dalam upaya mencapai stabilitas rupiah yang dibuat-buat. BI mengambil risiko besar dalam jangka pendek dengan membalikkan posisi kebijakannya saat ini.
BI mungkin berada dalam posisi yang tidak nyaman bila inflasi CPI inti AS lebih kuat dari perkiraan disertai peningkatan inflasi jasa inti, yang mana rupiah bisa melemah ke kisaran Rp16.500-16.900/US$ dalam beberapa hari ke depan dan imbal hasil SUN 10 tahun akan meningkat menjadi 7,50%.
Brian Tan and Audrey Ong (Barclays)
Pemangkasan BI rate dan peralihan stance kebijakan menjadi lebih dovish membuka kerugian lebih lanjut bagi rupiah. Tantangan pelonggaran moneter di masa depan kemungkinan tidak terlalu tinggi meski ada beberapa faktor termasuk pelemahan rupiah. Kami tidak menutup kemungkinan akan terjadi pelemahan rupiah secara front-loading jika BI tetap bersikap dovish.
Kami melihat nilai rupiah ada di Rp16.500/US$ pada akhir kuartal pertama dan Rp16.800/US$ pada akhir kuartal empat.
Lloyd Chan (MUFG Bank Ltd)
Keputusan penurunan BI rate akan menekan rupiah lebih banyak. Keputusan BI jelas menunjukkan bahwa para pembuat kebijakan di bank sentral sedang bergulat dengan kebutuhan untuk mendukung pertumbuhan di satu sisi, dan di sisi lain menstabilkan nilai rupiah.
Alex Loo (TD Securities)
Keputusan itu mencerminkan bahwa BI tidak terlalu khawatir dengan pelemahan rupiah. Kami perkirakan USD/IDR akan diperdagangan mendekati Rp16.500/US$ pada akhir kuartal pertama seiring dengan penguatan dolar AS dan BI lebih berhati-hati menggunakan cadangan devisanya.
Tamara Mast Henderson (Bloomberg Economics)
BI mengalihkan fokus kebijakan dari rupiah ke inflasi namun menegaskan akan terus menstabilkan mata uang dengan intervensi pasar. Panduan ke depan dari BI menunjukkan pelonggaran lebih lanjut akan dilakukan seiring dengan kondisi yang memungkinkan.
Wee Khoon Chong (Bank of New York Mellon Corp)
Risiko depresiasi rupiah lebih lanjut mungkin akan meng-offset keuntungan obligasi karena penurunan suku bunga. Obligasi Pemerintah RI denominasi rupiah relatif tangguh dengan spread dengan AS stabil seiring dana asing yang masuk.
Kai Wei Ang, Abhay Gupta, Rahul Bajoria (Bank of America Corp)
BI memperkirakan akan memangkas satu kali lagi suku bunga pada kuartal II dengan fokus lebih ke pertumbuhan dan inflasi. BI akan bersikap lebih toleran terhadap pelemahan rupiah atau sudah menemukan cara untuk menstabilkan. Imbal hasil front-end diperkirakan bergerak lebih rendah dipimpin oleh investor domestik dan kondisi likuiditas lebih longgar bila rupiah berhasil distabilkan.
Rajeev De Mello (Gama Asset Management)
Ini adalah langkah berisiko yang diambil BI dan meningkatkan risiko keuangan bagi negara. Dengan ketidakpastian kebijakan yang akan segera terjadi di AS, ini bukanlah saat yang tepat bagi bank sentral di negara berkembang untuk melonggarkan kebijakan moneter.
https://www.bloombergtechnoz.com/det...uru-dan-kacau/
Tinggal waktu yang akan membuktikan, apakah likuiditas cukup untuk menghadapi "pelarian" dana?
Dengan likuiditas yang terlihat "mengering", saya lihat potensi adanya krisis perbankan. Tinggal bagaimana BI memanajemen nya saja.
Diubah oleh jaguarxj220 16-01-2025 15:54






aldonistic dan 2 lainnya memberi reputasi
3
399
23


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan